Apakah Indonesia dapat lepas dari ketergantungan utang luar negeri

Lihat Foto

SHUTTERSTOCK

Ilustrasi


JAKARTA, KOMPAS.com – Utang luar negeri Indonesia kembali jadi sorotan seiring adanya kekhawatiran dari Badan Pemeriksa Keuangan [BPK] atas lonjakan utang pemerintah plus beban bunga yang bakal ditanggung.

Terkait hal ini, lantas muncul pertanyaan mengapa pemerintah melakukan utang?

Berikut ini adalah penjelasan terkait alasan kenapa negara harus berutang, yang dirangkum dari laman laman resmi djppr.kemenkeu.go.id.

Sebab sebuah negara perlu berutang tidak lepas dari adanya kebutuhan pembiayaan APBN dalam menambal defisit.

Baca juga: Perjalanan Lonjakan Utang Pemerintah di 2 Periode Jokowi

Kemenkeu menjelaskan, utang negara untuk pembiayaan defisit APBN adalah konsekuensi dari belanja negara yang lebih besar dari pendapatan negara. Inilah penjelasan dari pertanyaan kenapa Indonesia utang ke luar negeri.

Dijelaskan, utang merupakan konsekuensi belanja negara yang ekspansif. Kebijakan belanja yang ekspansif dilakukan dengan memprioritaskan belanja produktif pada sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

“Besarnya belanja Pemerintah ini untuk memberikan stimulus bagi perekonomian, dan masih belum dapat terpenuhi seluruhnya dari penerimaan negara [Perpajakan, Bea Cukai, PNBP, dan Hibah]. Konsekuensi dari selisih kurang antara pendapatan dan belanja negara adalah defisit APBN,” demikian bunyi penjelasan djppr.kemenkeu.go.id, dikutip pada Sabtu [26/6/2021].

Baca juga: Daftar 10 Negara dengan Utang Luar Negeri Terbesar, Indonesia Nomor Berapa?

Lebih lanjut, Kemenkeu juga menyampaikan poin-poin penjelasan yang juga jadi alasan kenapa negara harus berutang. Berikut 4 alasan Indonesia tidak bisa lepas dari utang.

1. Utang untuk menghindari opportunity loss

Salah satu alasan Indonesia perlu berutang adalah untuk menjaga momentum dan menghindari opportunity loss.

“Adanya kebutuhan belanja yang tidak bisa ditunda, misalnya penyediaan fasilitas kesehatan dan ketahahan pangan. Penundaan pembiayaan justru akan mengakibatkan biaya/kerugian yang lebih besar di masa mendatang,” jelas Kemenkeu.

Selasa , 16 Jan 2018, 17:26 WIB

johndillon.ie

Utang/ilustrasi

Rep: Idealisa Masyrafina Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendalaman pasar keuangan dinilai bisa mengurangi ketergantungan porsi utang luar negeri pemerintah. Besarnya utang luar negeri bisa mengancam stabilitas sistem keuangan nasional.

Ekonom Indef, Bhima Yudhistira menjelaskan, saat ini 40,9 persen porsi surat utang pemerintah dikuasai oleh asing. Pada November 2017, Utang Luar Negeri [ULN] pemerintah melonjak 14,3 persen menjadi 176,6 miliar dolar AS.

"Apabila kondisi ekonomi memburuk, asing bisa melakukan sudden capital reversal atau penjualan secara besar besaran. Ini dapat menjadi ancaman stabilitas sistem keuangan nasional," ujar Bhima kepada Republika.co.id, Selasa [16/1].

Menurut Bhima, masalah tersebut bisa diatasi dengan melakukan pendalaman pasar keuangan. Salah satunya dengan menerbitkan obligasi ritel. Kendalanya, bunga ritel lebih mahal karena biaya dana tinggi.

"Trade off antara instabilitas keuangan dan beban bunga utang. Pemerintah pilih yang asing dengan konsekuensi sistem keuangannya kurang stabil," kata Bhima.

Sementara itu mengenai kemampuan membayar utang dengan ruang fiskal yang semakin sempit, menurut Bhima cara satu-satunya adalah dengan memangkas belanja atau tambah utang baru. Pada 2017, belanja negara tercatat sebesar Rp 121,7 triliun, lebih tinggi dari target yang sebesar Rp 105,8 triliun.Defisit APBN tercatat sebesar 2,46 persen, didukung oleh penerimaan pajak yang mencapai 1.147,5 trilliun. Namun pada tahun ini, penerimaan pajak diprediksi tidak sebesar tahun lalu, karena tidak ada lagi program amnesti pajak. Bhima memprediksi penerimaan pajak kemungkinan besar realisasinya 85 persen atau Rp 1.375 triliun."Jadi defisit proyeksinya hampir sama dengan tahun lalu dikisaran 2,4-2,5 persen," katanya.

  • utang luar negeri
  • utang pemerintah

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia saat ini diibaratkan sebagai perusahaan yang sedang berekspansi, namun tak di dukung dengan kas penerimaan yang sehat. Tanpa dukungan neraca yang stabil, mau tidak mau beban bertambah karena harus menambah utang untuk berekspansi.Pengamat Ekonomi Dradjad Wibowo mengungkapkan, upaya meningkatkan penerimaan negara terutama yang bersumber dari pajak menjadi solusi bagi pemerintah untuk tetap menjaga manajemen pengelolaan utang. Apalagi, per Desember 2017 utang pemerintah hampir menembus Rp 4.000 triliun.“Indonesia itu mirip pengusaha yang berambisi ekspansi. Ketika berambisi, strukturnya harus ditopang dengan penerimaan yang sehat,” kata Dradjad kepada CNBC Indonesia, Selasa [16/1/2018]. Dari sisi makro, Dradjad memandang, utang pemerintah terhadap produk domestik bruto [PDB] masih cukup aman dibandingkan negara-negara maju. Namun, keseimbangan primer kas negara saat ini masih mencatatkan defisit, yang artinya pemerintah harus berutang untuk membayar utang jatuh tempo.Apabila kondisi ini terus berlanjut, Dradjad menilai, Indonesia akan selalu bergantung pada pembiayaan luar negeri. Bahkan menurut dia, bukan tidak mungkin lubang utang yang terus digali untuk membayar bunga utang akan semakin melebar.Dalam kesempatan berbeda, Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengungkapkan, terjadinya defisit keseimbangan primer, memang tak lepas dari belanja yang ekspansif, sementara penerimaan yang berasal dari pajak tidak sesuai dengan target yang ditetapkan.Defisit tersebut, kata Lana, mau tidak mau harus ditutup dengan utang. Namun, tidak semua pemberi utang bisa dengan mudahnya memberikan pinjaman. Ada beberapa konsekuensi yang harus diterima pemerintah, salah satunya adalah bunga yang tinggi dengan tenor yang tak lama.“Sekarang kalau kita berutang itu menerbitkan obligasi, artinya ke swasta. Tetapi sering kali, swasta ini menuntut governance harus bagus, pemerintah harus perbaiki makronya. Kalau tidak bunga akan tinggi, beban bunganya akan semakin tinggi,” katanya.Setiap negara, ditegaskan Lana, sah-sah saja memiliki utang. Namun, manajemen pengelolaan utang yang dilakukan pemerintah harus tetap mengedepankan aspek kehati-hatian, terhadap sejumlah risiko yang diharapkan tidak menimbulkan gejolak pada perekonomian.“Utang itu sebenarnya tidak jelek, asal bisa bayar. Kalau tidak mau berutang, naikan pajaknya. Hanya itu saja,” tegasnya.

Sebagai informasi, total utang pemerintah per Desember 2017 tercatat Rp 3.938,7 triliun atau 29,2% PDB. Berdasarkan catatan, pertumbuhan utang pemerintah dalam lima tahun terakhir cukup tinggi, dengan rata-rata 14,8%.


[dru]

tirto.id - Sejumlah lembaga pemeringkat utang menyoroti tingginya ketergantungan Indonesia pada pembiayaan eksternal atau utang dari luar negeri. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pemerintah akan mewaspadai catatan itu dan berupaya memperbaikinya.

“Ini artinya meski Indonesia unggul dari sisi pertumbuhan dan rasio utang, kita masih memiliki beberapa area yang perlu diperkuat [diperbaiki] yaitu ketergantungan pada external financing," ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual, Selasa [22/3/2021].

Catatan itu kata Sri Mulyani disampaikan oleh lembaga pemeringkat utang Fitch Ratings. Fitch mempertahankan peringkat Indonesia tetap pada BBB dengan outlook stabil yang berarti sama baiknya seperti tahun sebelumnya. Meski sinyalnya positif, Fitch memberi catatan kepada para kliennya bahwa Indonesia saat ini masih memiiki ketergantungan pada pembiayaan eksternal.

Selain Fitch, lembaga pemeringkat Moodys juga memberi catatan serupa ketika mengumumkan untuk mempertahankan peringkat utang Indonesia di Baa2 dengan outlook stabil. Moodys juga menyoroti ketergantungan Indonesia pada pembiayaan eksternal serta ketergantungan pendapatan negara yang terkonsentrasi pada siklus komoditas.

Peringkat BBB dan Baa2 yang disebutkan Fitch dan Moody menunjukan Indonesia masih mampu mempertahankan peringkat utangnya dalam kategori investment grade atau layak investasi.

Peringkat investment grade merentang dari BBB- dan Baa3 sampai AAA dan Aaa untuk skala Fitch dan Moody. Semakin mendekati A, maka peringkat dikategorikan semakin baik dan utang yang diterbitkan lembaga/negara bersangkutan cukup menjanjikan dan aman.

Peringkat BBB dan Baa2 Indonesia hanya satu tingkat di atas batas terendah peringkat investment grade BBB- dan Baa3. Jika Indonesia turun ke zona BBB- dan Baa3, maka peringkat utang Indonesia dapat dikatakan memburuk. Penurunan lebih lanjut sampai melewati batas minimum BBB- dan Baa3 punya konsekuensi membikin lembaga rating mengkategorikan obligasi Indonesia semakin berisiko.

Meski mendapat dua catatan itu dari 2 lembaga pemeringkat, Sri Mulyani menyatakan nasib Indonesia masih lebih baik dibandingkan negara-negara lain. Ia mencontohkan Indonesia tidak masuk ke dalam daftar 124 negara yang peringkat utangnya dipangkas atau downgrade pada 2020 oleh 3 lembaga pemeringkat. Indonesia juga lolos dari daftar 133 negara yang outlook utangnya direvisi ke zona negatif.

“Indonesia masih di posisi stabil dan posisi rating tidak di-downgrade. Ini patut disyukuri meski kita harus tetap waspada dan bekerja keras untuk memperbaiki faktor sturktural yang disampaikan lembaga rating," ucap Sri Mulyani.

Disamping itu, laporan IMF terbaru terhadap kondisi Indonesia juga mencermati risiko dari profil utang Indonesia. Antara lain, kebutuhan pembiayaan eksternal, utang Indonesia dalam valuta asing, dan kepemilikan asing pada SBN yang menjadi paling dicermati oleh IMF.

“Ini area yang harus terus diperbaiki dan diwspadai," ucap Sri Mulyani.

Baca juga:

  • Pentingnya Polri Usut Kekerasan Ormas dalam Penggusuran Pancoran
  • Duduk Perkara 'Kandungan Babi' dalam Vaksin COVID-19 AstraZeneca
  • Kejanggalan Vaksin Nusantara Terawan: Asal Catut & Didanai Sponsor

Baca juga artikel terkait UTANG LUAR NEGERI INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Vincent Fabian Thomas
[tirto.id - vft/byu]

Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Bayu Septianto

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề