Apakah istri kedua berhak atas harta bawaan suami

Kerap menjadi hal yang sensitif, apakah pembagian harta warisan untuk istri kedua sah menurut hukum? Simak pembahasannya di sini.

Pikiran Rakyat

Bagi suami yang ditinggal oleh istri yang wafat, pernikahan kedua kerap menjadi proses pembelajaran maupun adaptasi kebiasaan baru.

Bukan hanya faktor suami yang ingin menikah, dukungan dari anak secara moral dan materil juga menjadi hal penting yang harus diperhatikan.

Tak jarang, proses pernikahan ini bisa saja menjadi hal yang sensitif bahkan ada pihak yang tidak setuju.

Ketidaksetujuan disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk pembagian harta warisan khususnya untuk istri kedua sebagai istri dan ibu sambung.

Lantas, jika suami memutuskan untuk menikah lagi apakah ada pembagian warisan bagi istri kedua apabila dalam status kahar? 

Simak pembahasannya bersama-sama!

Proses Pembagian Harta Warisan Apabila Suami Menikah Kedua Kalinya 

Dilansir dari hukumonline, ada beberapa hal yang perlu kamu ketahui mengenai hak dan kepemilikan harta waris bagi istri maupun anak yang ditinggalkan.

Kamu bisa memperhatikan hal-hal berikut supaya tidak salah dalam proses pembagian hak waris keluarga.

Pembagian Harta Warisan Istri sebagai Harta Bawaan 

Dalam penerapannya, pendekatan hak waris juga meliputi UU Perkawinan, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [“UU Perkawinan”].

Adapun, terdapat dua jenis harta dalam perkawinan yakni harta bawaan maupun harta bersama yang terbagi langsung.

Berdasarkan Pasal 35 ayat [1] UU Perkawinan, harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan.

Sedangkan harta bawaan diatur diatur bersama sesuai Pasal 35 ayat [2] UU Perkawinan yang berbunyi : 

“Harta bawaan istri dari masing-masing suami dan istri adalah harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menetukan lain.”

Sehubungan dengan hal tersebut, sebelum pembagian harta warisan baik suami istri berhak atas perjanjian perkawinan yang diatur dalam Pasal 29 ayat [1] dan UU Perkawinan : 

Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Kini, perjanjian perkawinan juga dapat dibuat selama proses perkawinan berlangsung.

Dalam hal ini, apabila tidak diatur dalam perjanjian perkawinan maupun perjanjian pra nikah bahwa terdapat penggabungan harta bawaan, maka pembagian harta warisan dari almarhumah istri menjadi milik suami.

Adapun, sebagai harta bawaan harta tersebut merupakan harta terpisah dari harta bersama istri kedua.

Pembagian Harta Warisan untuk Istri Kedua 

Karena pasangan suami dan istri kedua yang menikah akan tercatat di catatan sipil, diasumsikan hal ini terjadi pada pasangan bukan beragama Islam.

Proses yang digunakan dalam pembagian harta warisan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [“KUH Perdata”].

Berdasarkan Pasal 832 KUH Perdata berbunyi : 

“Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau istri yang hidup terlama dengan peraturan berikut ini.

Bila keluarga sedarah dan suami atau istri yang hidup terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik negara, yang wajib melunasi utang-utang orang tersebut, sejauh harga harta peninggalan mencukupi untuk itu. 

Hal ini menunjukkan, prinsip dari pewarisan adalah adanya hubungan darah antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau istri pewaris. 

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 852 KUH Perdata dalam proses pembagian harta warisan berbunyi:

Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dan berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orangtua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu.

Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, bila dengan yang meninggal mereka semua bertalian keluarga dalam derajat pertama dan masing-masing berhak karena dirinya sendiri; mereka mewarisi pancang demi pancang, bila mereka semua atas sebagian mewarisi sebagai pengganti.

Dengan demikian, proses pembagian harta warisan bagi suami maupun istri yang hidup terlama  dan anak/keturunannya merupakan ahli waris golongan I.

Jika suami yang ditinggalkan tanpa wasiat, maka harta yang ia miliki akan dibagikan kepada ahli waris sesuai dengan KUH Perdata.

Harta yang sebelumnya telah diwariskan kepada pada suami atas kematian istri pertama, akan dibagikan sebagai pembagian harta warisan pada ahli waris dari suami, termasuk untuk istri kedua.

Tak hanya pembagian harta warisan, utang juga menjadi tanggung jawab bersama apabila suami ditinggalkan terlebih dahulu. 

Adapun, jika tidak ada perjanjian pra nikah untuk pemisahan harta, maka ketentuan mengenai harta bersama suami istri tetap mengacu pada UU Perkawinan dan utang masing-masing adalah tanggung jawab terhutang.

Demikian beberapa hal yang perlu kamu ketahui mengenai pembagian harta warisan termasuk utang piutang apabila suami menikah pasca ditinggalkan oleh istrinya terlebih dahulu.

Temukan informasi menarik seputar properti, selengkapnya di artikel.rumah123.com

Wujudkan rumah impian berwawasan lingkungan bersama Podomoro Park Bandung, selengkapnya di Rumah123.com dan dan 99.co, yang pastinya #AdaBuatKamu!

Terinspirasi

Terhibur

Biasa Saja

Tidak Menarik

Terganggu

Tidak Suka

Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh adanya kasus sengketa waris yang berada di Desa Kebonsari Kecamatan Sukodadi Kabupaten Lamongan. Lebih tepatnya kasus ini diselesaikan di Pengadilan Negeri Lamongan dengan Nomor Perkara : 35/Pdt.G/2013.PN. LMG. Diawali dengan pernikahan antara S.Pijan [pewaris] dengan Pani [istri pertama], dalam pernikahan tersebut lahir 8 [delapan] orang anak diantaranya Supiyah, Soepriyohadi, Endang Rumiyati, Suwarni, Suprapti, Hadi Supratikno, Hadi Suprayitno dan Henis Janaudin. setelah S.Pijan dengan Pani bercerai Supiyah salah satu dari kedelapan anak mereka meninggal dunia. Supiyah meninggalkan 6 [enam] orang anak diantaranya Yuliana, Anis Arianto, Erna Nirmala, Rina Kusumawati, Wiwika Naria Ulfa, dan Sri Wulandari. Kemudian S.Pijan menikah kembali untuk yang kedua kalinya dengan Kasmiatun [istri kedua] seorang janda. Hasil dari pernikahannya dengan Kasmiatun melahirkan seorang anak yang bernama Yuli Hartono. Beberapa tahun kemudian S.Pijan meninggal dunia disusul kemudian oleh Pani, dan meninggalkan harta peninggalan berupa tanah pekarangan seluas 1.285 m2 diatasnya berdiri bangunan rumah tembok serta bangunan penggilingan padi atas nama S.Pijan. Setelah kematian S.Pijan [pewaris] Kasmiatun menguasai sepenuhnya harta peninggalan S.Pijan dan membalik nama Sertipikat Hak Milik [SHM] tanah tersebut atas nama Kasmiatun dengan Yuli Hartono. Yuli Hartono yang saat itu masih dbawah umur dimintakan perwalian oleh Kasmiatun ke Pengadilan Negeri Lamongan. Anak-anak hasil dari perkawinan pertama antara S.Pijan dengan Pani merasa berhak atas harta peninggalan ayahnya tersebut. Karena mereka termasuk sebagai ahli waris yang sah. Oleh karena itu 13 [tiga belas] orang yang bertindak selaku ahli waris dan pengganti ahli waris atas harta peninggalan S.Pijan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Lamongan. Tiga belas orang tersebut terdiri dari 7 [tujuh] anak yang tersisa bertindak sebagai ahli waris dan 6 [enam] orang anak dari Supiyah bertindak sebagai pengganti ahli waris. Tergugat I dan tergugat II yaitu Kasmiatun dengan Yuli hartono digugat karena merugikan para penggugat baik materiil maupun imateriil. Penggugat dengan sengaja menguasai dan membalik nama harta peninggalan S.Pijan tanpa sepengetahuan para penggugat, sehingga para penggugat kehilangan hak warisnya atas harta peninggalan tersebut. Gugatan perkara dengan Nomor: 35/Pdt.G/2013/PN.LMG diputuskan secara verstek dan menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lamongan. Hal tersebut sangat merugikan para penggugat karena Hak waris para penggugat yang seharusnya juga turut berhak menjadi ahli waris menjadi tidak ada. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan yang hendak dikaji meliputi 3 [tiga] hal, Apakah anak pada perkawinan pertama dapat mewarisi harta bawaan ayah yang meninggal dunia setelah terjadinya perceraian ?, Bagaimanakah akibat hukum yang timbul apabila harta bawaan ayah dikuasai oleh istri kedua dan anak-anaknya ?, apa pertimbangan hukum hakim dalam putusan Nomor: 35/Pdt.G/2013/PN.LMG yang menyatakan gugatan penggugat tentang sengketa harta bawaan suami tidak dapat diterima ?. xiii Tujuan penulisan skripsi ini terbagi menjadi 2 [dua], yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Selanjutnya, tujuan khusus yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini Untuk mengetahui dan memahami pewarisan harta bawaan ayah yang meninggal dunia setelah terjadinya perceraian terhadap anak dari perkawinan pertama, Untuk mengetahui dan memahami akibat hukum yang timbul apabila harta bawaan ayah dikuasai oleh istri kedua dan anaknya, Untuk mengetahui dan memahami pertimbangan hukum hakim dalam putusan Nomor : 35/Pdt.G/2013/PN.LMG yang menyatakan gugatan penggugat tentang sengketa harta bawaan suami tidak dapat diterima Metode yang digunakan untuk membahas permasalahan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum, kemudian dilanjutkan dengan analisis bahan hukum. Anak pada perkawinan pertama yakni para penggugat seharusnya dapat mewarisi harta bawaan ayahnya S.Pijan setelah bercerai dengan ibunya, karena anak-anak merupakan ahli waris yang terdapat pada golongan I yaitu golongan yang paling dekat atau paling utama memperoleh hak waris dari pewaris. Para tergugat secara sepihak telah menguasai dan membalik nama Sertipikat Hak Milik [SHM] atas nama mereka, hal tersebut tidak dapat dibenarkan dan termasuk dalam salah satu perbuatan melanggar hukum, karena para tergugat menguasai harta peninggalan pewaris melebihi dari ketentuan bagiannya, perbuatan membalik nama SHM atas nama mereka juga termasuk perbuatan melanggar hukum, karena Objek sengketa tersebut belum terbagi waris dan perbuatan tergugat tersebut dengan sengaja tanpa memberitahu dan meminta persetujuan para penggugat. Kesimpulan penulis dari pembahasan, Anak-anak hasil dari perkawinan pertama dapat mewarisi harta bawaan ayahnya yang telah bercerai oleh ibunya. Berdasarkan ketentuan pada Pasal 832 dan Pasal 852 KUH Perdata anak-anak atau hasil keturunan berhak atas harta peninggalan ayahnya serta keluarga sedarah dalam garis lurus keatas. Istri kedua tersebut harus mengembalikan harta peninggalan pewaris kepada anak-anak hasil dari perkawinan yang pertama, untuk kemudian dibagi sesuai bagiannya masing-masing. Bagian istri tersebut tidak boleh lebih dari bagian terkecil yang diperoleh seorang anak. Objek sengketa tersebut harus disita atau disimpan dulu oleh pengadilan karena penguasaanya melawan hukum. Dasar pertimbangan hakim yakni adanya ketidak korelasian antara Posita dengan petitum yang membuat gugatan tersebut tidak memenuhi syarat formil suatu gugatan, sehingga putusan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima dan diputuskan secara Verstek tidak tepat. Ketidak hadiran para tergugat dalam seluruh persidangan tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim. Saran hendaknya kepada kuasa hukum dalam pengajuan gugatan kedepan diharapkan lebih teliti dan lebih jelas, agar dalil-dalil yang terdapat didalam gugatan saling berhubugan dan konsisten. Hendaknya kepada Majelis Hakim lebih cermat dalam memutuskan suatu perkara. Terkait pewarisan para ahli waris sebaiknya membagi harta peninggalan pewaris seadil-adilnya menurut ketentuan perudang-undang yang berlaku, agar tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề