Apakah Kearifan lokal masih harus seluruhnya Dilestarikan di zaman yang modern ini jelaskan

DEPOK POS – Indonesia adalah negara yang memiliki beragam potensi budaya. Dari Sabang sampai Merauke, berbagai budaya dapat ditemukan seperti tarian, musik, pakaian, rumah adat, makanan, dan tentu, seluruhnya memiliki keunikan tersendiri atau bisa dikenal sebagai kearifan lokal. Itulah kekayaan hakiki bangsa yang harus dilestarikan dan diberdayakan oleh seluruh warga negara Indonesia. Dalam keragaman bangsa Indonesia, pada umumnya setiap masyarakat memiliki nilai-nilai yang menjadi pedoman hidupnya. Nilai-nilai itu menjadi sebuah kearifan lokal yang menjadi ciri khas daerahnya masing-masing.

Kearifan lokal tak lain dapat dimanfaatkan sebagai memperkaya khazanah diiringi sebagai upaya untuk mempersatukan perbedaan. Namun, pada zaman ini, era globalisasi dan modernisasi masuk dan mempengaruhi seluruh negara di dunia, termasuk kearifan lokal yang ada di dalamnya. Ketika menghadapi perkembangan zaman tersebut, masyarakat disadarkan bahwa di satu sisi, perkembangan yang ada akan meningkatkan taraf hidup masyarakat, tetapi di sisi lain dapat mengancam pola-pola kehidupan yang sudah lama mengakar, yaitu kearifan lokal. Selain itu, kearifan lokal kerap kali terbentur dengan berbagai nilai-nilai yang muncul karena globalisasi dan modernisasi, seperti kemakmuran, kenyamanan, kemudahan, individualisme, materialisme, konsumerisme, budaya cepat, dan instan. Hal tersebut melatarbelakangi perlunya pengenalan serta penguatan kearifan lokal dalam masyarakat agar ciri dan karakter bangsa tersebut tidak hilang dan terkikis dalam perkembangan zaman.

Ada pun beberapa hal-hal yang menyebabkan kearifan lokal terkikis oleh globalisasi dan modernisasi, meliputi: kebebasan yang terkekang dan terbendung, objektivitas manusia, mentalitas teknologi, krisis teknologi, penghapusan tentang moral serta etika norma di dalam lingkungan masyarakat, dan pergeseran pengertian manusia.

Sampai sekarang ini, banyak sekali kearifan lokal yang terkikiskan dari lingkungan kehidupan masyarakat. Ada pun beberapa kearifan lokal tersebut adalah sebagai berikut. Di perkotaan, kebiasaan gotong royong semakin berkurang. Ada berbagai banyak hal yang menyebabkan masyarakat perkotaan tidak mau bergotong royong, antara lain gaya hidup yang hedonisme, sikap konsumerisme, sikap individualis, dan sikap acuh. Sebagai contoh, biasanya masyarakat kota akan kumpul untuk gotong royong di acara tertentu yang bersifat mengikat. Setelah itu, juga ada kebiasaan para petani yang menggunakan tanaman lokal untuk mengendalikan hama dengan cara memilih varietas tanaman tertentu yang kebal hama dan mampu bertahan dalam kondisi ekstrem, seperti kekeringan dan banjir. Sejatinya, kearifan lokal jangan dianggap sebagai musuh dari globalisasi dan modernisasi. Namun, kearifan lokal hendaknya dipandang sebagai jiwa dari globalisasi dan modernisasi suatu bangsa. Dengan demikian, jiwa dan karakter bangsa masih bisa terlihat meskipun negara itu maju dan modern.

Hal ini tentu perlu menjadi perhatian serius. Sebagai contohnya, kita dapat menuiru negara yang sudah cukup berhasil mengkombinasikan kearifan lokal dan kemajuan zaman adalah Jepang. Sekarang, dunia mengenal berbagai kebudayaan, bahkan kearifan lokal Jepang. Sebagai contoh, budaya pekerja keras, rasa malu, dan kesimbangan dengan alam. Lewat berbagai kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, jepang mampu menunjukkan karakter bangsanya.

Di era zaman industri 4.0 ini, mengajak kita untuk menggandeng komunitas-komunitas yang ada di dalam masyarakat untuk melestarikan dan merawat nilai-nilai serta norma-norma leluhur dari nenek moyang kita agar tetap terjaga sebagai bentuk kearifan lokal yang utuh. Dalam rangka mempertahankan budaya yang ada di dalam masyarakat, kita harus tetap bertindak secara rasional atau kritis dalam arti mampu memilah dan memilih mana yang masih perlu dipertahankan dan mana yang harus ditinggalkan. Demikian pula dengan nilai dan norma yang datang dari luar sebagai akibat dari globalisasi harus kita saring juga. Menyaring budaya dari luar [globalisasi] dan budaya lokal merupakan bentuk strategi yang harus kita terapkan. Supaya bangsa kita yang memiliki berbagai kebudayaan dalam wujud bentuk kearifan lokal tidak luntur tertelan oleh arus globalisasi. Melihat komunitas lokal kita yang begitu besar karena Indonesia memiliki kawasan yang luas dengan kondisi geografi yang beragam, kita harus menggunakan pendekatan per kasus atau permasalah. Mengapa kita harus menggunakan pendekatan per kasus dalam rangka memberdayakan masyarakat lokal? Karena meskipun masyarakat itu tinggal dalam kawasan atau wilayah yang sama dan memiliki masalah yang sama, tetapi bisa saja akar permasalahannya berbeda. Adapun, wilayah dan komunitas yang berbeda, dalam menentukan strategi pemberdayaannya tetaplah harus diselesaikan per kasus pula, karena biarpun mereka memiliki masalah yang intinya sama seperti kemiskinan, tetapi faktor penyebabnya dapat berbeda-beda.

BACA JUGA:  Mengenal Hakikat Manusia dalam Manajemen Sumber Daya Insani

Dengan demikian, strategi pemberdayaan masyarakat adalah suatu cara yang kita pilih untuk menggali kemampuan dari masing-masing komunitas dengan keanekaragaman kearifan lokal dalam mewujudkan harapannya. Melalui proses pemberdayaan ini, dimaksudkan untuk mengubah fungsi dan peran suatu individu dari objek menjadi subjek pemberdayaan kearifan lokal. Seperti yang diungkapkan oleh Sunyoto Usman [Usman [2004] dalam Cholisin [2011]] ada beberapa strategi yang bisa diterapkan dalam pemberdayaan komunitas, yaitu sebagai berikut. Mewujudkan atmosfer atau suasana yang memungkinkan potensi paguyuban masyarakat berkembang [enabling]. Hal ini bertujuan untuk mengenalkan bahwa setiap individu maupun paguyuban komunitas masyarakat memiliki potensi untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya. Dalam rangka memperkuat daya saing potensi yang dimiliki oleh komunitas paguyuban masyarakat [empowering], maka upaya yang dilakukan yakni dengan cara memberikan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan kesempatan dalam memperoleh sumber kemajuan ekonomi [modal, saham, pendapatan, teknologi, informasi, tenaga kerja, dan pasar]. Hal itu, dapat diwujudkan dalam melakukan penguatan individu berupa dorongan, motivasi bekerja keras, gaya hidup terampil, hidup hemat, keterbukaan, dan tanggung jawab. Selain itu, penguatan institusi juga sangat dibutuhkan, tetapi yang lebih penting adalah penguatan komunitas untuk berpartisipasi dalam pemberdayaan. Memberdayakan bisa berarti melindungi [protection]. Dalam hal ini, bukan berarti mengisolasi, tetapi lebih cenderung untuk mencegah terjadinya kekerasaan yang dilakukan oleh kaum yang kuat terhadap kaum yang lemah.

Sementara itu, menurut Edi Suharto, pemberdayaan komunitas dapat dilakukan dengan lima strategi yang biasanya disebut dengan 5P, yaitu seperti [Suharto, 2004]. Pemungkinan, penguatan, perlindungan, penyokongan, dan pemeliharaan.

Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat atau komunitas yang didasari oleh nilai-nilai kearifan lokal masyarakatnya akan memberikan konstribusi yang besar untuk pembangunan di Indonesia tetapi tetap mengedepankan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia. Terciptanya keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai mapun norma yang berlaku dalam kelompok paguyuban masyarakat tertentu. Nilai dan norma tersebut akan menjadikan pegangan hidup kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari. Selain itu, dengan digunakannya kearifan lokal, masyarakat dapat lebih mudah untuk menerimanya karena sudah familiar. Dengan demikian, kearifan lokal dapat dimanfaatkan sebagai upaya untuk mencegah atau menjadi tameng dari dampak negatif globalisasi.

RIZKY YUNAZAR, Mahasiswa S-1 Pendidikan Sosiologi-Antropologi Universitas Sebelas Maret [UNS] Surakarta.

A. Kearifan lokal itu apa ya ?

Menurut pemahaman kearifan Lokal terdiri    dari dua   kata yaitu kearifan [ wisdom ] yang artinya  kebijaksanaan dan lokal [ local ] yang berarti daerah setempat. Jadi secara umum pengertian dari Kearifan Lokal adalah gagasan-gagasan, nilai-nilai atau pandangan dari suatu tempat yang memiliki sifat bijaksana dan bernilai baik yang diikuti dan dipercayai oleh masyarakat di suatu tempat tersebut dan sudah diikuti secara turun temurun. Kearifan Lokal merupakan pengetahuan eksplisit yang muncul dari periode yang panjang dan berevolusi bersama dengan masyarakat dan lingkungan di daerahnya berdasarkan apa yang sudah dialami. Jadi dapat dikatakan, kearifan lokal disetiap daerah berbeda-beda tergantung lingkungan dan kebutuhan hidup.

Adapun beberapa ciri-ciri yang melekat antara lain :

  1. Mempunyai kemampuan mengendalikan warisan leluhur yang ada.
  2. Merupakan benteng untuk bertahan dari pengaruh budaya luar.
  3. Mempunyai kemampuan mengakomodasi budaya luar dengan bijak.
  4. Mempunyai kemampuan memberi arah perkembangan budaya.
  5. Mempunyai kemampuan mengintegrasi atau menyatukan budaya luar dan budaya asli.

Kearifan lokal adalah adat istiadat dan kebiasaan yang telah turun temurun dilakukan oleh sekelompok masyarakat dan hingga saat ini masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat setempat dalam hal ini di kampong Tua Tunu. Kearifan lokal dapat juga didefinisikan sebagai kebijaksanaan manusia yang berstandar pada nilai-nilai, etika, cara dan prilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal [local genius/local wisdom]  didifinisikan merupakan pengetahuan lokal yang tercipta dari hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Proses regeneasi kearifan lokal dilakukan melalui tradisi lisan [cerita rakyat] dan karya-karya sastra, seperti babad, tembang, hikayat, lontar , permainan rakyat dan lain sebagainya.

Karakter dari kearifan lokal, yaitu pertama mampu mengendalikan pemikiran, sikap dan perilaku masyarakat setempat, kedua menjadi perisai pertahanan dari serangan budaya barat, ketiga mampu menjadi filter budaya luar. Kearifan lokal dapat ditemukan pada sikap terhadap alam, manusia, karya, waktu dan terhadap hidup. Dalam hal ini, penulis akan memaparkan beberapa nilai kearifan lokal, diantaranya nilai-nilai kearifan lokal dalam memandang alam, contohnya memandang alam sebagai sahabat, sebagai sumber kehidupan. Alam bukan semata-mata benda mati tapi dianggap sebagai mahluk hidup yang perlu diperlakukan dengan baik. Kearifan lokal terdiri atas kesopanan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan dan penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur.

B. Kearifan Lokal di Tua Tunu

Tuatunu adalah  Kampung Religi yang Indah di Ujung Kota Pangkalpinang Ibu Kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan Bersama masyarakat Membangun Peradaban yang Religius  & Menjaga Kearifan Lokal “ sebagai motto. Kelurahan Tua Tunu  terletak di sebelah Barat berbatasan dengan Desa air Duren,Timur berbatasan dengan Bukit Merapin, Utara berbatasan dengan Desa Balun Ijuk, Selatan dengan Desa Kace serta Kelurahan Kepala Tujuh. Kelurahan ini dipimpin Pak Lurah Hasani sahabat penulis yang senantiasa memberikan informasi secara ramah yang telah beberapa tahun memberikan pelayanan kepada masyarakat setempat merasakan pahit manisnya pelayanan publik di daerah ini.Konon kampung ini adalah kampung yang tertua di Kecamatan Gerunggang dengan letak geografisnya di ujung Pangkalpinang, dari pusat kota Alun-alun Taman Merdeka [ATM] sekitar 5 km. Mata pencaharian mayoritas penduduk adalah berkebun. Tanaman andalan yang ditanam adalah lada,karet, nanas,sayur mayor. Selain berkebun, mata pencaharian sebagian penduduk adalah berdagang di Pasar Pagi dan Pasar Besar serta berkeliling ke seluruh pelosok Pulau Bangka.

Unsur-unsur kebudayaan yang berkaitan erat dan mencerminkan kearifan lokalnya, karena meskipun telah terjadi pencampuran dengan suku lain, suku Melayu Bangka memiliki kearifan lokal yang sampai sekarang masih melekat dalam diri masyarakatnya, mulai dari mulai dari falsafah hidup yang dipegang teguh oleh masyarakatnya, kearifan lokal dalam tata cara berbaur dengan masyarakat, sebagai kontrol sosial masyarakat didalamnya, kearifan lokal dalam memperlakukan alam sekitarnya, sampai kepada upacara-upacara adat yang didalamnya secara jelas tercermin kearifan lokal suku tersebut.

Alam bukan semata-mata benda mati tapi dianggap sebagai mahluk hidup yang perlu diperlakukan dengan baik. Terlihat jelas tidak ada diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan keseharian, seperti ibu-ibu berdagang di pasar dan di keluar masuk kampong menjunjung bakul jualan yang berisi beragam kebutuhan sehari-hari apakah sayur mayur maupun lainnya tanpa ada larangan dari suami.

Ragam kearifan lokal yang ada antara lain :

  1. Tolak Bala [ Rebo Kasan ]
  2. Maulid
  3. Ruahan
  4. Isra’miraj
  5. Nisfu Sya’ban
  6. 1 Muharam
  7. Milang Ari
  8. Lebaran Idul Fitri dan Idul Adha

Salah satu tokoh masyarakat yang diajak penulis ngobrol yaitu Bapak M.Talib bin Indris, dengan keramahan dan senyum menawan serta rendah hati sebagai ciri khas warga Tua Tunu secara sukarela memberikan keterangan secara jelas dan menarik. Kearifan lokal dalam beberapa konteks menjadi praktik nilai luhur, sekaligus tantangan dan peluang bagi kehidupan sektor masyarakat modern. Kearifan juga menghasilkan budi pekerti baik perasaan mendalam terhadap tanah kelahiran serta bentuk perangai, atau tabiat masyarakat.  Semboyan dan motto masyarakat Bangka yang bermakna adanya persatuan dan kesatuan serta gotong royong. Ritual adalah satu kegiatan penduduk pulau Bangka pada waktu pesta kampung membawa dulang berisi makanan untuk dimakan tamu tau siapa saja di balai adat/mesjid. Dari ritual ini, tercermin betapa masyarakat Bangka menjujung tinggi rasa persatuan dan kesatuan serta gotong royong, bukan hanya dilaksanakan penduduk setempat melainkan juga dengan para pendatang.

Jiwa gotong royong masyarakat Bangka cukup tinggi. Warga masyarakat akan mengulurkan tangannya membantu jika ada anggota warganya memerlukanya. Semua ini berjalan dengan dilandasi jiwa keagamaan.

C. Dampak Zaman Now

Gelora zaman now hadir di seluruh pelosok tanah air tak ketinggalan berimbas terhadap masyarakat tradisional, ini memunculkan konflik sosial baru yang merupakan keniscayaan sejarah dan berpeluang muncul di tengah masyarakat. Makna positif konflik berupa terjadinya perubahan sosial, makna negatif berupa kerenggangan sosial dan kekerasan. Dalam kaitannya dengan konflik sosial, perlu dilakukan pendekatan resolusi konflik berbasis nilai-nilai kearifan lokal [local wisdom]. Resolusi konflik berbasis nilai-nilai kearifan lokal diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat dan berfungsi sebagai perekat / kohesi sosial antara satu sama lain yang mengintegrasikan manusia ke dalam satu ikatan moral yang kolektif. Dalam realitasnya, kearifan lokal pada masyarakat Tua Tunu mampu menjadi basis kohesivitas sosial yang mengintegrasikan masyarakat dalam kondisinya yang multikultur dan multiagama.

Perubahan  nampak  terlihat jelas di kehidupan masyarakat kampung Tua Tuni, ini tidak bisa dipungkiri banyak kegiatan rutinitas lokal yang dahulunya di bawah tahun 2000 masih mempercayai hal berbau gaib/mistik sekarang bergeser kearah cara memaknai sesuatu dengan logika / daya nalar modern dilandasi pemahaman agama Islam. Perkembangan zaman now disebabkan karena generasi muda terdidik baik di daerah sendiri maupun luar daerah membawa suatu pemandangan baru biasanya sesuatu yang baru dianggap tabu sekarang berbalik arah. Pengetahuan baru berkembang dan tersedianya jaringan internet secara mudah dapat diakses, tapi generasi muda tetap menghargai kearifan lokal untuk dilestarikan berkelanjutan.

1. KEARIFAN LOKAL MASA SEKARANG

Kehidupan tidak lepas hubungannya satu dengan yang lain apakah hewan, tumbuhan,   dengan perkembangan pembangunan yang semakin pesat dan peradabanpun berubah menimbulkan beragam kebutuhan hidup. Kehidupan manusia secara adat di Tua Tunu telah berhasil menjaga/melestarikan keragaman hayati secara alami.

 Suatu realitas sebagian besar masyarakat asli Tua Tunu masih memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam/ekosistem yang ada di lingkungannya inilah keunikan yang perlu terjaga dengan baik sebagai asset budaya sampai kapanpun. Umumnya mereka mewariskan hal tersebut secara turun temurun secara otodidak dari apa yang mereka lihat, lakukan dalam kehidupan sehari-hari dalam kekerabatan secara bersama-sama. Simbolisme pelaksanaan acara bersifat kearifan lokal berlandaskan agama terlaksana secara meriah sehingga menumbuhkan rasa kebersamaan memberikan filosofi kehidupan membangun kampung secara bijak.

2. PROSPEK MASA DEPAN

Di masa depan pemerintah senantiasa melibatkan tokoh agama, tokoh adat, tokoh budaya, tokoh pemuda serta masyarakat setempat untuk aktif berperan serta menunjang pembangunan, karakter masyarakat asli Tua Tunu sebetulnya bisa dirangkul dengan pendekatan yang menyentuh hatinya bukan dengan iming-iming/janji yang muluk-muluk seperti sebelumnya karena keteguhan keyakinan masyarakat ini tidak bisa diganti dengan materi.

Untuk Kekhasan tiap kampung akan lestari bila pemerintah dan masyarakat bersatu padu menghargai kebudayaan lokal secara berkelanjutan  akhirnya tradisi ini akan menjadi sumber pariwisata baru sebagai daya tarik / destinasi yang layak untuk dikunjungi wisatawan nasional dan internasional. Potensi kearifan lokal melekat dalam budaya akan menjadi daya Tarik tersendiri memberikan nilai tambah ekonomi baru / lapangan kerja kreatif Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.      

D. Ketangguhan

Masyarakat Tua Tunu dikenal arif dalam memelihara alam dan mereka pasti memiliki kearifan lokal yang dipegang teguh dalam memanfaatkan dan melestarikannya secara berkelanjutan dari generasi ke generasi. Sumber daya alam yang kaya dengan asrinya alam di kelurahan Tua Tunu didukung oleh tanah yang subur dan membuat berbagai macam tanaman dapat tumbuh dengan baik disana khususnya nanas sebagai primadona.Sapaan ketika ketemu kepada orang yang melintasi kampung meskipun belum dikenal untuk pria biasanya dengan ramah penuh senyum sebutan “ Boy “ tentu tidak akan ditemukan di daerah lain. Nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang dan menjadi keunikan masing-masing suku dan budaya menjadi perekat sosial dan mampu menciptakan kerukunan sosial dan relasi sosial yang harmonis. Kearifan lokal adalah adat istiadat dan kebiasaan yang telah turun temurun dilakukan oleh sekelompok masyarakat dan hingga saat ini masih dipertahankan dalam hal ini penulis mengaktulisasikan melalui   budaya “ Nganggung “.

1. Ciri khas

Untuk Warga Tua tunu asli adalah orang yang ulet dalam kehidupan baik laki-laki maupun peremuan tua muda mayoritas beraktifitas sebagai petani dan pedagang dengan menunjung nilai-nilai keislaman yang melekat sangat kentara, terbukti para tokoh masyarakatnya berperan aktif dan dikenal di Pulau Bangka khususnya. Nilai-nilai gotong royong, kebersamaan, kekompakan dan   Kearifan lokal terhadap alam menjadi modal sosial dari masyarakat ini untuk menjaga lingkungan hidup,fungsi dari kearifan lokal terhadap alam, yaitu pertama fungsi konservasi [melindungi keanekaragaman hayati], kedua fungsi daerah resapan air [menjaga sumber air agar tidak kekeringan], ketiga fungsi kehidupan [memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan secukupnya dari pengelolaan hutan], dan keempat fungsi kesejahteraan [terpenuhinya rasa aman, baik fisik, psikis maupun sosial]. Kearifan lokal yang khas dan menjadi ikon di kampung ini, yaitu tradisi nganggung. Setiap perayaan hari besar Islam, masing-masing anggota masyarakat membawa makanan beraneka ragam yang disimpan di atas nampan berbentuk lingkaran dan ditutup dengan tudung saji. Makanan tersebut di susun rapi di suatu tempat yang dapat menampung orang banyak, biasanya di masjid.

Masyarakat kemudian berduyun-duyun hadir duduk dengan rapi dan khidmat menunggu arahan dari sesepuh kampung untuk menyantap beragam kuliner khas yang telah disajikan tersebut dengan terlebih dahulu membaca doa. Masyarakat yang datang dapat saling menyicipi makanan yang dibawa oleh tetangganya, dan bagi yang tidak membawa makanan pun dapat menikmati nganggung. Kearifan lokal ini, tidak hanya bicara makan bersama, lebih dari itu mengandung nilai kebersamaan dan harmonisasi hubungan antar anggota masyarakat yang ada di negeri serumpun sebalai ini. Melalui wasilah nganggung, dapat terjalin silah ukhuwah di tengah masyarakat. Tidak sedikit yang sudah lama tidak bertemu, dapat kembali bertemu melalui acara ini. Melalui acara tersebut, dapat menjadi wasilah untuk membangun ketahanan sosial di tengah masyarakat yang hari ini diserang oleh “virus” individualisme dan apatisme. Budaya ini sangat berbahaya dan merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.

2. Kawasan wisata

Kampung Tuatunu merupakan daerah perkampungan yang kental dengan adat istiadat kebudayaan Melayu. "Kegiatan tahunan itu bertujuan untuk menumbuhkan kecintaan para generasi muda terhadap tradisi daerah, terutama Pangkalpinang. Dengan acara ini kami berharap bisa memberikan pengalaman.

Kampung Tuatunu merupakan daerah perkampungan yang kental dengan adat istiadat kebudayaan Melayu. "Kegiatan tahunan itu bertujuan untuk menumbuhkan kecintaan para generasi muda terhadap tradisi daerah, terutama Pangkalpinang. Dengan acara ini kami berharap bisa memberikan pengalaman kepada para generasi muda untuk menyelami kemajemukan budaya Pangkalpinang. Salah satu destinasi yang sudah ada antara lain : KELEKAK COMMUNITY

Berlokasi di kawasan Hutan Taklok Tuatunu Pangkalpinang, 5 km dari pusat Kota, Kelekak Community merupakan kawasan hutan masyarakat yang dikembangkan menjadi eksotisme alam berbalut budaya lokal Bangka.

Wisatawan dapat menikmati keindahan alam hutan, permainan budaya Bangka, rumah tradisional, peralatan dan perlengkapan tradisional masyarakat Bangka, makanan khas Bangka serta tempat peribadatan masjid kayu yang bercirikan budaya lokal.

Setiap wisatawan yang berkunjung akan disuguhkan tarian khas Bangka sebagai penyambut kedatangan. Selain itu destinasi budaya ini juga memiliki miniatur Ka’bah yang bisa dijadikan lokasi manasik haji bagi masyarakat Bangka.

Kemasan Kelekak Community menjadi miniatur perkampungan masyarakat Bangka abad 18 yang dibangun untuk menghadirkan bagaimana suasana kehidupan penduduk Bangka dan kebiasaan sehari-hari.

Masjid Kayu Tua Tunu

Masjid Kayu Tua Tunu terletak di kawasan hutan di Desa Tua Tunu, Pangkalpinang. Kawasan Masjid ini masih berupa kawasan hutan dan kebun masyarakat, namun dilengkapi dengan galeri dan model kampong Bangka di masa lalu. Kawasan ini dirintis dan dikelola Kelekak Community.

 Untuk menuju kawasan Masjid, dapat mengikuti papan petunjuk arah yang dipasang dari sebuah gang kecil di sebelah Masjid Raya Tua Tunu, Pangkalpinang. Jalan menuju kawasan ini masih berupa jalan kampong yang tidak di aspal dan di beberapa bagian lebarnya hanya cukup untuk 1 kendaraan mobil penumpang. Sepanjang jalan kampong tersebut dapat dilihat kebun-kebun warga seperti kebun sayuran, kebun lada dan kebun nanas, serta melewati sungai yang airnya masih jernih dan sering digunakan penduduk warga untuk mencuci dan mandi.

Masjid Kayu Tua Tunu baru dibangun di akhir tahun 2012. Dinamakan Masjid Kayu karena memang bangunan ini seluruhnya terbuat dari kayu. Kayu yang digunakan adalah kayu Cempedak dan Meranti yang diharapkan tahan rayap. Masjid ini mengambil bentuk awal Masjid Jami’ Pangkalpinang yang memiliki 5 tiang kayu di dalamnya.

Masjid Kayu Tua Tunu terletak di kawasan hutan di Desa Tua Tunu, Pangkalpinang. Kawasan Masjid ini masih berupa kawasan hutan dan kebun masyarakat, namun dilengkapi dengan galeri dan model kampong Bangka di masa lalu. Kawasan ini dirintis dan dikelola Kelekak Community.

Untuk menuju kawasan Masjid, dapat mengikuti papan petunjuk arah yang dipasang dari sebuah gang kecil di sebelah Masjid Raya Tua Tunu, Pangkalpinang. Jalan menuju kawasan ini masih berupa jalan kampong yang tidak di aspal dan di beberapa bagian lebarnya hanya cukup untuk 1 kendaraan mobil penumpang. Sepanjang jalan kampong tersebut dapat dilihat kebun-kebun warga seperti kebun sayuran, kebun lada dan kebun nanas, serta melewati sungai yang airnya masih jernih dan sering digunakan penduduk warga untuk mencuci dan mandi.

Masjid Kayu Tua Tunu baru dibangun di akhir tahun 2012. Dinamakan Masjid Kayu karena memang bangunan ini seluruhnya terbuat dari kayu. Kayu yang digunakan adalah kayu Cempedak dan Meranti yang diharapkan tahan rayap. Masjid ini mengambil bentuk awal Masjid Jami’ Pangkalpinang yang memiliki 5 tiang kayu di dalamnya.

Referensi :

//id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Bangka_Belitung

//merito.wordpress.com/2008/01/03/kebudayaan-dan-adat-istiadat-bangka/

 budaya dan adat istiadat Bangka

Local wisdom of the Bangka people in the present

A. What is local wisdom?

According to the understanding of local wisdom consists of two words, namely wisdom which means wisdom and local [local] which means the local area. So generally the notion of Local Wisdom is ideas, values ​​or views from a place that has a wise and valuable character that is followed and trusted by the community in that place and has been followed for generations. Local Wisdom is explicit knowledge that emerges from a long period and evolves together with the community and environment in the area based on what has been experienced. So it can be said, local wisdom in each region varies depending on the environment and living needs.

The several inherent characteristics include:

  1. Has the ability to control existing ancestral heritage.
  2. Is a fortress to survive the influence of outside culture.
  3. Has the ability to accommodate outside culture wisely.
  4. Has the ability to give direction to cultural development.
  5. Have the ability to integrate or unite outside culture and native culture.

Local wisdom is customs and habits that have been handed down for generations by a group of people and its existence is still maintained by the local community in this case in Tua Tunu village. Local wisdom can also be defined as human wisdom that is standardized on traditional values, ethics, ways and behaviors. Local wisdom [local genius / local wisdom] is defined as local knowledge created from the adaptation of a community that comes from life experiences communicated from generation to generation. The process of regenasi local wisdom is carried out through oral traditions [folklore] and literary works, such as chronicles, songs, saga, lontar, folk games and so forth.

The character of local wisdom, which is first able to control the thinking, attitudes and behavior of the local community, the second being a defense shield from the attack of western culture, the third is able to become a filter for external culture. Local wisdom can be found in attitudes towards nature, humans, works, time and life. In this case, the author will present some values ​​of local wisdom, including the values ​​of local wisdom in looking at nature, for example, seeing nature as a friend, as a source of life. Nature is not merely an inanimate object but is considered a living being that needs to be treated well. Local wisdom consists of politeness, honesty, social solidarity, harmony and resolution of conflict, commitment, positive thoughts, and gratitude.

B. Local Wisdom in Tua Tunu

Tuatunu is a Beautiful Religious Village at the End of Pangkalpinang City, the Provincial Capital of the Bangka Belitung Islands with "Together with the Community Building a Religious Civilization & Maintaining Local Wisdom" as the motto. Kelurahan Tua Tunu is located on the west bordering Air Duren Village, East bordering Bukit Merapin, North bordering Balun Ijuk Village, South with Kace Village and Kepala Tujuh Village. The village is led by Pak Lurah Hasani, a writer friend who always provides friendly information that has been providing services to the local community for several years to feel the bitter sweetness of public services in this area. the city center Taman Merdeka Square [ATM] is around 5 km. The livelihood of the majority of the population is gardening. The mainstay plants planted are pepper, rubber, pineapple, vegetable major. In addition to gardening, the livelihood of some residents is trading in the Morning Market and Big Market and traveling to all corners of Bangka Island.

Cultural elements that are closely related and reflect local wisdom, because even though there has been mixing with other tribes, the Bangka Malay tribe has local wisdom that is still inherent in its community, starting from the philosophy of life that is held firmly by its people, local wisdom in the manner of mingling with the community, as the social control of the community in it, local wisdom in treating the surrounding environment, to traditional ceremonies in which the tribal local wisdom clearly reflected.

Nature is not merely an inanimate object but is considered a living being that needs to be treated well. It is clear that there is no discrimination between women and men in daily life, as mothers trade on the market and in and out of the village uphold selling baskets that contain a variety of daily necessities whether vegetables or others without any restrictions from their husbands.

The various local wisdoms that exist include:

  1. Reject Bala [Rebo Kasan]
  2. Maulid
  3. Ruahan
  4. Isra Mi'raj
  5. Nisfu Sya'ban
  6. 1 Muharam
  7. Milang Ari
  8. Eid al-Fitr and Eid al-Adha

One of the community leaders invited by the writer to chat was Mr. M. Binib bin Indris, with his friendliness and charming and humble smile as a characteristic of Tua Tunu residents who volunteered to provide clear and interesting information. Local wisdom in several contexts becomes a practice of noble values, as well as challenges and opportunities for the life of the modern society sector. Wisdom also produces character both deep feelings towards the land of birth and forms of temperament, or the nature of society. The motto and motto of the Bangka community which means the existence of unity and unity and mutual cooperation. Ritual is an activity of the residents of Bangka Island at a village party carrying dulang filled with food to eat for guests to know who is in the traditional hall / mosque. From this ritual, it was reflected how the people of Bangka had a high sense of unity and unity and mutual cooperation, not only carried out by local residents but also by migrants.

The Bangka community's mutual cooperation spirit is quite high. Community members will extend their hands to help if there are members of their citizens needing it. All of this goes on based on religious spirit.

C. Impact of the Age Now

The present era surge in all corners of the country does not miss the impact on traditional communities, this raises a new social conflict which is a necessity of history and the opportunity to emerge in the community. The positive meaning of the conflict is in the form of social change, the negative meaning in the form of social estrangement and violence. In relation to social conflict, a conflict resolution approach is based on the values ​​of local wisdom. Conflict resolution based on local wisdom values ​​is recognized as important elements that are able to strengthen social cohesion among community members and function as a glue / social cohesion between one another that integrates human beings into one collective moral bond. In reality, local wisdom in the community of Tua Tunu is able to become the basis of social cohesiveness that integrates society in its multicultural and multi-religious conditions.

Changes can be seen clearly in the life of the community of Tua Tuni village, this is undeniable that many local routine activities which were under 2000 still believe the occult / mystical things are now shifting towards ways of interpreting logic / reasoning power based on understanding Islam. Today's development is due to educated young generation both in their own area and outside the region bringing a new scene, usually something new considered taboo is now reversing. New knowledge develops and the availability of internet networks is easily accessible, but the younger generation still respects local wisdom to be sustained sustainably.

1. LOCAL FRIENDS OF NOW

Life cannot be separated from one another, whether animals, plants, with the development of increasingly rapid development and change in civilization that creates various necessities of life. Customary human life in Tua Tunu has managed to preserve / preserve biodiversity naturally.

 It is a reality that most of the indigenous people of Tua Tunu still have local wisdom in managing natural resources / ecosystems that exist in their environment, this is the uniqueness that needs to be well preserved as a cultural asset at any time. In general, they inherit this from generation to generation independently of what they see, do in daily life in kinship together. The symbolism of the implementation of local wisdom based on religion was carried out lively so that it fostered a sense of togetherness giving the philosophy of life to build a village wisely.

2. FUTURE PROSPECTS

In the future the government always involves religious leaders, traditional leaders, cultural figures, youth leaders and local communities to actively participate in supporting development, the character of the native community of Tua Tunu can actually be embraced with an approach that touches their hearts not with lofty promises / promises - grandiose as before because the determination of this community's beliefs cannot be replaced with material.

For the peculiarities of each village to be sustainable if the government and society unite in respecting local culture in a sustainable manner this tradition will eventually become a new tourism source as an attractive attraction for national and international tourists. The potential of local wisdom inherent in the culture will be the main attraction of providing new economic value / creative employment in the Bangka Belitung Islands Province.

D. Resilience

The Tua Tunu community is known to be wise in nurturing nature and they certainly have local wisdom that is held firmly in utilizing and preserving it sustainably from generation to generation. Natural resources that are rich in nature in the Old Tunu village are supported by fertile land and make a variety of plants grow well there, especially pineapple as a prima donna. When meeting people who cross the village though it is not known to men usually with friendly smiles the term "Boy" certainly will not be found in other areas. The values ​​of local wisdom that developed and became the uniqueness of each tribe and culture became a social glue and were able to create harmonious social and harmonious social relations. Local wisdom is customs and habits that have been handed down for generations by a group of people and until now it is still maintained in this case the author applies through the culture of "Nganggung".

For elderly native people who are resilient in the lives of both men and women, the majority of young people are active as farmers and traders by upholding Islamic values ​​that are inherently very evident, it is evident that community leaders play an active and well-known role on Bangka Island in particular. The values ​​of mutual cooperation, togetherness, cohesiveness and local wisdom towards nature are the social capital of this community to protect the environment, the function of local wisdom towards nature, namely the first conservation function [protecting biodiversity], the two functions of water catchment areas [guarding resources water so as not to drought], the three functions of life [meeting the needs of clothing, food, adequate boards from forest management], and the four welfare functions [fulfillment of security, both physical, psychological and social]. Typical local wisdom and an icon in this village, namely the nganggung tradition. Every celebration of Islamic holidays, each member of the community carries a variety of food stored on a circular tray and covered with a serving cap. The food is arranged neatly in a place that can accommodate many people, usually in a mosque.

The community then flocked to sit neatly and solemnly waiting for directions from the village elders to eat a variety of typical culinary that had been presented by first reading a prayer. People who come can taste each other's food brought by their neighbors, and even those who do not bring food can enjoy it. This local wisdom, not only talk about eating together, more than that it contains the value of togetherness and harmonization of relations between members of the community that exist in this allied country instead of this. Through wasilah nganggung, ukhuwah can be established in the community. Not a few who have not met for a long time, can meet again through this event. Through the event, it can be a wonder to build social security in a society that is today attacked by "viruses" of individualism and apathy. This culture is very dangerous and damages the joints of community life.

2. Tourist area

Tuatunu village is a settlement area that is thick with Malay cultural customs. "The annual event aims to foster the love of the younger generation towards regional traditions, especially Pangkalpinang. With this event we hope to provide experience.

Tuatunu village is a settlement area that is thick with Malay cultural customs. "The annual event aims to foster the love of the young generation for regional traditions, especially Pangkalpinang. With this event we hope to provide experience to the younger generation to explore the cultural diversity of Pangkalpinang. One of the existing destinations includes: KELEKAK COMMUNITY

Located in the Forest area of ​​Taklok Tuatunu Pangkalpinang, 5 km from the city center, Kelekak Community is a community forest area developed into natural exoticism wrapped in Bangka local culture.

Tourists can enjoy the natural beauty of the forest, Bangka cultural games, traditional houses, equipment and traditional equipment of the Bangka people, Bangka specialties and places of worship for wooden mosques that are characterized by local culture.

Every tourist who visits will be presented with a typical Bangka dance as a welcome greeter. Besides this cultural destination also has a miniature Ka'bah that can be used as a location for Hajj rituals for the people of Bangka.

Kelekak Community Packaging is a miniature of the 18th century Bangka community village that was built to present the atmosphere of the lives of Bangka residents and their daily habits.

Kayu Tua Tunu Mosque

Kayu Tua Tunu Mosque is located in a forest area in Tua Tunu Village, Pangkalpinang. The area of ​​the mosque is still a forest area and community garden, but it is equipped with galleries and Bangka village models in the past. This area was pioneered and managed by Kelekak Community.

To go to the mosque area, you can follow the direction signs installed from a small alley next to the Tua Tunu Grand Mosque, Pangkalpinang. The road to this area is still a village road that is not on asphalt and in some parts it is only enough for 1 passenger car vehicle. Along the village road can be seen the gardens of residents such as vegetable gardens, pepper gardens and pineapple gardens, and through the river where the water is still clear and often used by residents to wash and bathe.

The Kayu Tua Tunu Mosque was only built at the end of 2012. Named a Wooden Mosque because this building is made entirely of wood. The wood used is Cempedak and Meranti wood which is expected to be termite resistant. The mosque takes the initial form of the Jami ’Pangkalpinang Mosque which has 5 wooden pillars inside.

Kayu Tua Tunu Mosque is located in a forest area in Tua Tunu Village, Pangkalpinang. The area of ​​the mosque is still a forest area and community garden, but it is equipped with galleries and Bangka village models in the past. This area was pioneered and managed by Kelekak Community.

To go to the mosque area, you can follow the direction signs installed from a small alley next to the Tua Tunu Grand Mosque, Pangkalpinang. The road to this area is still a village road that is not on asphalt and in some parts it is only enough for 1 passenger car vehicle. Along the village road can be seen the gardens of residents such as vegetable gardens, pepper gardens and pineapple gardens, and through the river where the water is still clear and often used by residents to wash and bathe.

The Kayu Tua Tunu Mosque was only built at the end of 2012. Named a Wooden Mosque because this building is made entirely of wood. The wood used is Cempedak and Meranti wood which is expected to be termite resistant. The mosque takes the initial form of the Jami ’Pangkalpinang Mosque which has 5 wooden pillars inside.

Reference:

//id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Bangka_Belitung

//merito.wordpress.com/2008/01/03/kebudayaan-dan-adat-istiadat-bangka/

 budaya dan adat istiadat Bangka

Page 2

A. Kearifan lokal itu apa ya ?

Menurut pemahaman kearifan Lokal terdiri    dari dua   kata yaitu kearifan [ wisdom ] yang artinya  kebijaksanaan dan lokal [ local ] yang berarti daerah setempat. Jadi secara umum pengertian dari Kearifan Lokal adalah gagasan-gagasan, nilai-nilai atau pandangan dari suatu tempat yang memiliki sifat bijaksana dan bernilai baik yang diikuti dan dipercayai oleh masyarakat di suatu tempat tersebut dan sudah diikuti secara turun temurun. Kearifan Lokal merupakan pengetahuan eksplisit yang muncul dari periode yang panjang dan berevolusi bersama dengan masyarakat dan lingkungan di daerahnya berdasarkan apa yang sudah dialami. Jadi dapat dikatakan, kearifan lokal disetiap daerah berbeda-beda tergantung lingkungan dan kebutuhan hidup.

Adapun beberapa ciri-ciri yang melekat antara lain :

  1. Mempunyai kemampuan mengendalikan warisan leluhur yang ada.
  2. Merupakan benteng untuk bertahan dari pengaruh budaya luar.
  3. Mempunyai kemampuan mengakomodasi budaya luar dengan bijak.
  4. Mempunyai kemampuan memberi arah perkembangan budaya.
  5. Mempunyai kemampuan mengintegrasi atau menyatukan budaya luar dan budaya asli.

Kearifan lokal adalah adat istiadat dan kebiasaan yang telah turun temurun dilakukan oleh sekelompok masyarakat dan hingga saat ini masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat setempat dalam hal ini di kampong Tua Tunu. Kearifan lokal dapat juga didefinisikan sebagai kebijaksanaan manusia yang berstandar pada nilai-nilai, etika, cara dan prilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal [local genius/local wisdom]  didifinisikan merupakan pengetahuan lokal yang tercipta dari hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Proses regeneasi kearifan lokal dilakukan melalui tradisi lisan [cerita rakyat] dan karya-karya sastra, seperti babad, tembang, hikayat, lontar , permainan rakyat dan lain sebagainya.

Karakter dari kearifan lokal, yaitu pertama mampu mengendalikan pemikiran, sikap dan perilaku masyarakat setempat, kedua menjadi perisai pertahanan dari serangan budaya barat, ketiga mampu menjadi filter budaya luar. Kearifan lokal dapat ditemukan pada sikap terhadap alam, manusia, karya, waktu dan terhadap hidup. Dalam hal ini, penulis akan memaparkan beberapa nilai kearifan lokal, diantaranya nilai-nilai kearifan lokal dalam memandang alam, contohnya memandang alam sebagai sahabat, sebagai sumber kehidupan. Alam bukan semata-mata benda mati tapi dianggap sebagai mahluk hidup yang perlu diperlakukan dengan baik. Kearifan lokal terdiri atas kesopanan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan dan penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur.

B. Kearifan Lokal di Tua Tunu

Tuatunu adalah  Kampung Religi yang Indah di Ujung Kota Pangkalpinang Ibu Kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan Bersama masyarakat Membangun Peradaban yang Religius  & Menjaga Kearifan Lokal “ sebagai motto. Kelurahan Tua Tunu  terletak di sebelah Barat berbatasan dengan Desa air Duren,Timur berbatasan dengan Bukit Merapin, Utara berbatasan dengan Desa Balun Ijuk, Selatan dengan Desa Kace serta Kelurahan Kepala Tujuh. Kelurahan ini dipimpin Pak Lurah Hasani sahabat penulis yang senantiasa memberikan informasi secara ramah yang telah beberapa tahun memberikan pelayanan kepada masyarakat setempat merasakan pahit manisnya pelayanan publik di daerah ini.Konon kampung ini adalah kampung yang tertua di Kecamatan Gerunggang dengan letak geografisnya di ujung Pangkalpinang, dari pusat kota Alun-alun Taman Merdeka [ATM] sekitar 5 km. Mata pencaharian mayoritas penduduk adalah berkebun. Tanaman andalan yang ditanam adalah lada,karet, nanas,sayur mayor. Selain berkebun, mata pencaharian sebagian penduduk adalah berdagang di Pasar Pagi dan Pasar Besar serta berkeliling ke seluruh pelosok Pulau Bangka.

Unsur-unsur kebudayaan yang berkaitan erat dan mencerminkan kearifan lokalnya, karena meskipun telah terjadi pencampuran dengan suku lain, suku Melayu Bangka memiliki kearifan lokal yang sampai sekarang masih melekat dalam diri masyarakatnya, mulai dari mulai dari falsafah hidup yang dipegang teguh oleh masyarakatnya, kearifan lokal dalam tata cara berbaur dengan masyarakat, sebagai kontrol sosial masyarakat didalamnya, kearifan lokal dalam memperlakukan alam sekitarnya, sampai kepada upacara-upacara adat yang didalamnya secara jelas tercermin kearifan lokal suku tersebut.

Alam bukan semata-mata benda mati tapi dianggap sebagai mahluk hidup yang perlu diperlakukan dengan baik. Terlihat jelas tidak ada diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan keseharian, seperti ibu-ibu berdagang di pasar dan di keluar masuk kampong menjunjung bakul jualan yang berisi beragam kebutuhan sehari-hari apakah sayur mayur maupun lainnya tanpa ada larangan dari suami.

Ragam kearifan lokal yang ada antara lain :

  1. Tolak Bala [ Rebo Kasan ]
  2. Maulid
  3. Ruahan
  4. Isra’miraj
  5. Nisfu Sya’ban
  6. 1 Muharam
  7. Milang Ari
  8. Lebaran Idul Fitri dan Idul Adha

Salah satu tokoh masyarakat yang diajak penulis ngobrol yaitu Bapak M.Talib bin Indris, dengan keramahan dan senyum menawan serta rendah hati sebagai ciri khas warga Tua Tunu secara sukarela memberikan keterangan secara jelas dan menarik. Kearifan lokal dalam beberapa konteks menjadi praktik nilai luhur, sekaligus tantangan dan peluang bagi kehidupan sektor masyarakat modern. Kearifan juga menghasilkan budi pekerti baik perasaan mendalam terhadap tanah kelahiran serta bentuk perangai, atau tabiat masyarakat.  Semboyan dan motto masyarakat Bangka yang bermakna adanya persatuan dan kesatuan serta gotong royong. Ritual adalah satu kegiatan penduduk pulau Bangka pada waktu pesta kampung membawa dulang berisi makanan untuk dimakan tamu tau siapa saja di balai adat/mesjid. Dari ritual ini, tercermin betapa masyarakat Bangka menjujung tinggi rasa persatuan dan kesatuan serta gotong royong, bukan hanya dilaksanakan penduduk setempat melainkan juga dengan para pendatang.

Jiwa gotong royong masyarakat Bangka cukup tinggi. Warga masyarakat akan mengulurkan tangannya membantu jika ada anggota warganya memerlukanya. Semua ini berjalan dengan dilandasi jiwa keagamaan.

C. Dampak Zaman Now

Gelora zaman now hadir di seluruh pelosok tanah air tak ketinggalan berimbas terhadap masyarakat tradisional, ini memunculkan konflik sosial baru yang merupakan keniscayaan sejarah dan berpeluang muncul di tengah masyarakat. Makna positif konflik berupa terjadinya perubahan sosial, makna negatif berupa kerenggangan sosial dan kekerasan. Dalam kaitannya dengan konflik sosial, perlu dilakukan pendekatan resolusi konflik berbasis nilai-nilai kearifan lokal [local wisdom]. Resolusi konflik berbasis nilai-nilai kearifan lokal diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat dan berfungsi sebagai perekat / kohesi sosial antara satu sama lain yang mengintegrasikan manusia ke dalam satu ikatan moral yang kolektif. Dalam realitasnya, kearifan lokal pada masyarakat Tua Tunu mampu menjadi basis kohesivitas sosial yang mengintegrasikan masyarakat dalam kondisinya yang multikultur dan multiagama.

Perubahan  nampak  terlihat jelas di kehidupan masyarakat kampung Tua Tuni, ini tidak bisa dipungkiri banyak kegiatan rutinitas lokal yang dahulunya di bawah tahun 2000 masih mempercayai hal berbau gaib/mistik sekarang bergeser kearah cara memaknai sesuatu dengan logika / daya nalar modern dilandasi pemahaman agama Islam. Perkembangan zaman now disebabkan karena generasi muda terdidik baik di daerah sendiri maupun luar daerah membawa suatu pemandangan baru biasanya sesuatu yang baru dianggap tabu sekarang berbalik arah. Pengetahuan baru berkembang dan tersedianya jaringan internet secara mudah dapat diakses, tapi generasi muda tetap menghargai kearifan lokal untuk dilestarikan berkelanjutan.

1. KEARIFAN LOKAL MASA SEKARANG

Kehidupan tidak lepas hubungannya satu dengan yang lain apakah hewan, tumbuhan,   dengan perkembangan pembangunan yang semakin pesat dan peradabanpun berubah menimbulkan beragam kebutuhan hidup. Kehidupan manusia secara adat di Tua Tunu telah berhasil menjaga/melestarikan keragaman hayati secara alami.

 Suatu realitas sebagian besar masyarakat asli Tua Tunu masih memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam/ekosistem yang ada di lingkungannya inilah keunikan yang perlu terjaga dengan baik sebagai asset budaya sampai kapanpun. Umumnya mereka mewariskan hal tersebut secara turun temurun secara otodidak dari apa yang mereka lihat, lakukan dalam kehidupan sehari-hari dalam kekerabatan secara bersama-sama. Simbolisme pelaksanaan acara bersifat kearifan lokal berlandaskan agama terlaksana secara meriah sehingga menumbuhkan rasa kebersamaan memberikan filosofi kehidupan membangun kampung secara bijak.

2. PROSPEK MASA DEPAN

Di masa depan pemerintah senantiasa melibatkan tokoh agama, tokoh adat, tokoh budaya, tokoh pemuda serta masyarakat setempat untuk aktif berperan serta menunjang pembangunan, karakter masyarakat asli Tua Tunu sebetulnya bisa dirangkul dengan pendekatan yang menyentuh hatinya bukan dengan iming-iming/janji yang muluk-muluk seperti sebelumnya karena keteguhan keyakinan masyarakat ini tidak bisa diganti dengan materi.

Untuk Kekhasan tiap kampung akan lestari bila pemerintah dan masyarakat bersatu padu menghargai kebudayaan lokal secara berkelanjutan  akhirnya tradisi ini akan menjadi sumber pariwisata baru sebagai daya tarik / destinasi yang layak untuk dikunjungi wisatawan nasional dan internasional. Potensi kearifan lokal melekat dalam budaya akan menjadi daya Tarik tersendiri memberikan nilai tambah ekonomi baru / lapangan kerja kreatif Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.      

D. Ketangguhan

Masyarakat Tua Tunu dikenal arif dalam memelihara alam dan mereka pasti memiliki kearifan lokal yang dipegang teguh dalam memanfaatkan dan melestarikannya secara berkelanjutan dari generasi ke generasi. Sumber daya alam yang kaya dengan asrinya alam di kelurahan Tua Tunu didukung oleh tanah yang subur dan membuat berbagai macam tanaman dapat tumbuh dengan baik disana khususnya nanas sebagai primadona.Sapaan ketika ketemu kepada orang yang melintasi kampung meskipun belum dikenal untuk pria biasanya dengan ramah penuh senyum sebutan “ Boy “ tentu tidak akan ditemukan di daerah lain. Nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang dan menjadi keunikan masing-masing suku dan budaya menjadi perekat sosial dan mampu menciptakan kerukunan sosial dan relasi sosial yang harmonis. Kearifan lokal adalah adat istiadat dan kebiasaan yang telah turun temurun dilakukan oleh sekelompok masyarakat dan hingga saat ini masih dipertahankan dalam hal ini penulis mengaktulisasikan melalui   budaya “ Nganggung “.

1. Ciri khas

Untuk Warga Tua tunu asli adalah orang yang ulet dalam kehidupan baik laki-laki maupun peremuan tua muda mayoritas beraktifitas sebagai petani dan pedagang dengan menunjung nilai-nilai keislaman yang melekat sangat kentara, terbukti para tokoh masyarakatnya berperan aktif dan dikenal di Pulau Bangka khususnya. Nilai-nilai gotong royong, kebersamaan, kekompakan dan   Kearifan lokal terhadap alam menjadi modal sosial dari masyarakat ini untuk menjaga lingkungan hidup,fungsi dari kearifan lokal terhadap alam, yaitu pertama fungsi konservasi [melindungi keanekaragaman hayati], kedua fungsi daerah resapan air [menjaga sumber air agar tidak kekeringan], ketiga fungsi kehidupan [memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan secukupnya dari pengelolaan hutan], dan keempat fungsi kesejahteraan [terpenuhinya rasa aman, baik fisik, psikis maupun sosial]. Kearifan lokal yang khas dan menjadi ikon di kampung ini, yaitu tradisi nganggung. Setiap perayaan hari besar Islam, masing-masing anggota masyarakat membawa makanan beraneka ragam yang disimpan di atas nampan berbentuk lingkaran dan ditutup dengan tudung saji. Makanan tersebut di susun rapi di suatu tempat yang dapat menampung orang banyak, biasanya di masjid.

Masyarakat kemudian berduyun-duyun hadir duduk dengan rapi dan khidmat menunggu arahan dari sesepuh kampung untuk menyantap beragam kuliner khas yang telah disajikan tersebut dengan terlebih dahulu membaca doa. Masyarakat yang datang dapat saling menyicipi makanan yang dibawa oleh tetangganya, dan bagi yang tidak membawa makanan pun dapat menikmati nganggung. Kearifan lokal ini, tidak hanya bicara makan bersama, lebih dari itu mengandung nilai kebersamaan dan harmonisasi hubungan antar anggota masyarakat yang ada di negeri serumpun sebalai ini. Melalui wasilah nganggung, dapat terjalin silah ukhuwah di tengah masyarakat. Tidak sedikit yang sudah lama tidak bertemu, dapat kembali bertemu melalui acara ini. Melalui acara tersebut, dapat menjadi wasilah untuk membangun ketahanan sosial di tengah masyarakat yang hari ini diserang oleh “virus” individualisme dan apatisme. Budaya ini sangat berbahaya dan merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.

2. Kawasan wisata

Kampung Tuatunu merupakan daerah perkampungan yang kental dengan adat istiadat kebudayaan Melayu. "Kegiatan tahunan itu bertujuan untuk menumbuhkan kecintaan para generasi muda terhadap tradisi daerah, terutama Pangkalpinang. Dengan acara ini kami berharap bisa memberikan pengalaman.

Kampung Tuatunu merupakan daerah perkampungan yang kental dengan adat istiadat kebudayaan Melayu. "Kegiatan tahunan itu bertujuan untuk menumbuhkan kecintaan para generasi muda terhadap tradisi daerah, terutama Pangkalpinang. Dengan acara ini kami berharap bisa memberikan pengalaman kepada para generasi muda untuk menyelami kemajemukan budaya Pangkalpinang. Salah satu destinasi yang sudah ada antara lain : KELEKAK COMMUNITY

Berlokasi di kawasan Hutan Taklok Tuatunu Pangkalpinang, 5 km dari pusat Kota, Kelekak Community merupakan kawasan hutan masyarakat yang dikembangkan menjadi eksotisme alam berbalut budaya lokal Bangka.

Wisatawan dapat menikmati keindahan alam hutan, permainan budaya Bangka, rumah tradisional, peralatan dan perlengkapan tradisional masyarakat Bangka, makanan khas Bangka serta tempat peribadatan masjid kayu yang bercirikan budaya lokal.

Setiap wisatawan yang berkunjung akan disuguhkan tarian khas Bangka sebagai penyambut kedatangan. Selain itu destinasi budaya ini juga memiliki miniatur Ka’bah yang bisa dijadikan lokasi manasik haji bagi masyarakat Bangka.

Kemasan Kelekak Community menjadi miniatur perkampungan masyarakat Bangka abad 18 yang dibangun untuk menghadirkan bagaimana suasana kehidupan penduduk Bangka dan kebiasaan sehari-hari.

Masjid Kayu Tua Tunu

Masjid Kayu Tua Tunu terletak di kawasan hutan di Desa Tua Tunu, Pangkalpinang. Kawasan Masjid ini masih berupa kawasan hutan dan kebun masyarakat, namun dilengkapi dengan galeri dan model kampong Bangka di masa lalu. Kawasan ini dirintis dan dikelola Kelekak Community.

 Untuk menuju kawasan Masjid, dapat mengikuti papan petunjuk arah yang dipasang dari sebuah gang kecil di sebelah Masjid Raya Tua Tunu, Pangkalpinang. Jalan menuju kawasan ini masih berupa jalan kampong yang tidak di aspal dan di beberapa bagian lebarnya hanya cukup untuk 1 kendaraan mobil penumpang. Sepanjang jalan kampong tersebut dapat dilihat kebun-kebun warga seperti kebun sayuran, kebun lada dan kebun nanas, serta melewati sungai yang airnya masih jernih dan sering digunakan penduduk warga untuk mencuci dan mandi.

Masjid Kayu Tua Tunu baru dibangun di akhir tahun 2012. Dinamakan Masjid Kayu karena memang bangunan ini seluruhnya terbuat dari kayu. Kayu yang digunakan adalah kayu Cempedak dan Meranti yang diharapkan tahan rayap. Masjid ini mengambil bentuk awal Masjid Jami’ Pangkalpinang yang memiliki 5 tiang kayu di dalamnya.

Masjid Kayu Tua Tunu terletak di kawasan hutan di Desa Tua Tunu, Pangkalpinang. Kawasan Masjid ini masih berupa kawasan hutan dan kebun masyarakat, namun dilengkapi dengan galeri dan model kampong Bangka di masa lalu. Kawasan ini dirintis dan dikelola Kelekak Community.

Untuk menuju kawasan Masjid, dapat mengikuti papan petunjuk arah yang dipasang dari sebuah gang kecil di sebelah Masjid Raya Tua Tunu, Pangkalpinang. Jalan menuju kawasan ini masih berupa jalan kampong yang tidak di aspal dan di beberapa bagian lebarnya hanya cukup untuk 1 kendaraan mobil penumpang. Sepanjang jalan kampong tersebut dapat dilihat kebun-kebun warga seperti kebun sayuran, kebun lada dan kebun nanas, serta melewati sungai yang airnya masih jernih dan sering digunakan penduduk warga untuk mencuci dan mandi.

Masjid Kayu Tua Tunu baru dibangun di akhir tahun 2012. Dinamakan Masjid Kayu karena memang bangunan ini seluruhnya terbuat dari kayu. Kayu yang digunakan adalah kayu Cempedak dan Meranti yang diharapkan tahan rayap. Masjid ini mengambil bentuk awal Masjid Jami’ Pangkalpinang yang memiliki 5 tiang kayu di dalamnya.

Referensi :

//id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Bangka_Belitung

//merito.wordpress.com/2008/01/03/kebudayaan-dan-adat-istiadat-bangka/

 budaya dan adat istiadat Bangka

Local wisdom of the Bangka people in the present

A. What is local wisdom?

According to the understanding of local wisdom consists of two words, namely wisdom which means wisdom and local [local] which means the local area. So generally the notion of Local Wisdom is ideas, values ​​or views from a place that has a wise and valuable character that is followed and trusted by the community in that place and has been followed for generations. Local Wisdom is explicit knowledge that emerges from a long period and evolves together with the community and environment in the area based on what has been experienced. So it can be said, local wisdom in each region varies depending on the environment and living needs.

The several inherent characteristics include:

  1. Has the ability to control existing ancestral heritage.
  2. Is a fortress to survive the influence of outside culture.
  3. Has the ability to accommodate outside culture wisely.
  4. Has the ability to give direction to cultural development.
  5. Have the ability to integrate or unite outside culture and native culture.

Local wisdom is customs and habits that have been handed down for generations by a group of people and its existence is still maintained by the local community in this case in Tua Tunu village. Local wisdom can also be defined as human wisdom that is standardized on traditional values, ethics, ways and behaviors. Local wisdom [local genius / local wisdom] is defined as local knowledge created from the adaptation of a community that comes from life experiences communicated from generation to generation. The process of regenasi local wisdom is carried out through oral traditions [folklore] and literary works, such as chronicles, songs, saga, lontar, folk games and so forth.

The character of local wisdom, which is first able to control the thinking, attitudes and behavior of the local community, the second being a defense shield from the attack of western culture, the third is able to become a filter for external culture. Local wisdom can be found in attitudes towards nature, humans, works, time and life. In this case, the author will present some values ​​of local wisdom, including the values ​​of local wisdom in looking at nature, for example, seeing nature as a friend, as a source of life. Nature is not merely an inanimate object but is considered a living being that needs to be treated well. Local wisdom consists of politeness, honesty, social solidarity, harmony and resolution of conflict, commitment, positive thoughts, and gratitude.

B. Local Wisdom in Tua Tunu

Tuatunu is a Beautiful Religious Village at the End of Pangkalpinang City, the Provincial Capital of the Bangka Belitung Islands with "Together with the Community Building a Religious Civilization & Maintaining Local Wisdom" as the motto. Kelurahan Tua Tunu is located on the west bordering Air Duren Village, East bordering Bukit Merapin, North bordering Balun Ijuk Village, South with Kace Village and Kepala Tujuh Village. The village is led by Pak Lurah Hasani, a writer friend who always provides friendly information that has been providing services to the local community for several years to feel the bitter sweetness of public services in this area. the city center Taman Merdeka Square [ATM] is around 5 km. The livelihood of the majority of the population is gardening. The mainstay plants planted are pepper, rubber, pineapple, vegetable major. In addition to gardening, the livelihood of some residents is trading in the Morning Market and Big Market and traveling to all corners of Bangka Island.

Cultural elements that are closely related and reflect local wisdom, because even though there has been mixing with other tribes, the Bangka Malay tribe has local wisdom that is still inherent in its community, starting from the philosophy of life that is held firmly by its people, local wisdom in the manner of mingling with the community, as the social control of the community in it, local wisdom in treating the surrounding environment, to traditional ceremonies in which the tribal local wisdom clearly reflected.

Nature is not merely an inanimate object but is considered a living being that needs to be treated well. It is clear that there is no discrimination between women and men in daily life, as mothers trade on the market and in and out of the village uphold selling baskets that contain a variety of daily necessities whether vegetables or others without any restrictions from their husbands.

The various local wisdoms that exist include:

  1. Reject Bala [Rebo Kasan]
  2. Maulid
  3. Ruahan
  4. Isra Mi'raj
  5. Nisfu Sya'ban
  6. 1 Muharam
  7. Milang Ari
  8. Eid al-Fitr and Eid al-Adha

One of the community leaders invited by the writer to chat was Mr. M. Binib bin Indris, with his friendliness and charming and humble smile as a characteristic of Tua Tunu residents who volunteered to provide clear and interesting information. Local wisdom in several contexts becomes a practice of noble values, as well as challenges and opportunities for the life of the modern society sector. Wisdom also produces character both deep feelings towards the land of birth and forms of temperament, or the nature of society. The motto and motto of the Bangka community which means the existence of unity and unity and mutual cooperation. Ritual is an activity of the residents of Bangka Island at a village party carrying dulang filled with food to eat for guests to know who is in the traditional hall / mosque. From this ritual, it was reflected how the people of Bangka had a high sense of unity and unity and mutual cooperation, not only carried out by local residents but also by migrants.

The Bangka community's mutual cooperation spirit is quite high. Community members will extend their hands to help if there are members of their citizens needing it. All of this goes on based on religious spirit.

C. Impact of the Age Now

The present era surge in all corners of the country does not miss the impact on traditional communities, this raises a new social conflict which is a necessity of history and the opportunity to emerge in the community. The positive meaning of the conflict is in the form of social change, the negative meaning in the form of social estrangement and violence. In relation to social conflict, a conflict resolution approach is based on the values ​​of local wisdom. Conflict resolution based on local wisdom values ​​is recognized as important elements that are able to strengthen social cohesion among community members and function as a glue / social cohesion between one another that integrates human beings into one collective moral bond. In reality, local wisdom in the community of Tua Tunu is able to become the basis of social cohesiveness that integrates society in its multicultural and multi-religious conditions.

Changes can be seen clearly in the life of the community of Tua Tuni village, this is undeniable that many local routine activities which were under 2000 still believe the occult / mystical things are now shifting towards ways of interpreting logic / reasoning power based on understanding Islam. Today's development is due to educated young generation both in their own area and outside the region bringing a new scene, usually something new considered taboo is now reversing. New knowledge develops and the availability of internet networks is easily accessible, but the younger generation still respects local wisdom to be sustained sustainably.

1. LOCAL FRIENDS OF NOW

Life cannot be separated from one another, whether animals, plants, with the development of increasingly rapid development and change in civilization that creates various necessities of life. Customary human life in Tua Tunu has managed to preserve / preserve biodiversity naturally.

 It is a reality that most of the indigenous people of Tua Tunu still have local wisdom in managing natural resources / ecosystems that exist in their environment, this is the uniqueness that needs to be well preserved as a cultural asset at any time. In general, they inherit this from generation to generation independently of what they see, do in daily life in kinship together. The symbolism of the implementation of local wisdom based on religion was carried out lively so that it fostered a sense of togetherness giving the philosophy of life to build a village wisely.

2. FUTURE PROSPECTS

In the future the government always involves religious leaders, traditional leaders, cultural figures, youth leaders and local communities to actively participate in supporting development, the character of the native community of Tua Tunu can actually be embraced with an approach that touches their hearts not with lofty promises / promises - grandiose as before because the determination of this community's beliefs cannot be replaced with material.

For the peculiarities of each village to be sustainable if the government and society unite in respecting local culture in a sustainable manner this tradition will eventually become a new tourism source as an attractive attraction for national and international tourists. The potential of local wisdom inherent in the culture will be the main attraction of providing new economic value / creative employment in the Bangka Belitung Islands Province.

D. Resilience

The Tua Tunu community is known to be wise in nurturing nature and they certainly have local wisdom that is held firmly in utilizing and preserving it sustainably from generation to generation. Natural resources that are rich in nature in the Old Tunu village are supported by fertile land and make a variety of plants grow well there, especially pineapple as a prima donna. When meeting people who cross the village though it is not known to men usually with friendly smiles the term "Boy" certainly will not be found in other areas. The values ​​of local wisdom that developed and became the uniqueness of each tribe and culture became a social glue and were able to create harmonious social and harmonious social relations. Local wisdom is customs and habits that have been handed down for generations by a group of people and until now it is still maintained in this case the author applies through the culture of "Nganggung".

For elderly native people who are resilient in the lives of both men and women, the majority of young people are active as farmers and traders by upholding Islamic values ​​that are inherently very evident, it is evident that community leaders play an active and well-known role on Bangka Island in particular. The values ​​of mutual cooperation, togetherness, cohesiveness and local wisdom towards nature are the social capital of this community to protect the environment, the function of local wisdom towards nature, namely the first conservation function [protecting biodiversity], the two functions of water catchment areas [guarding resources water so as not to drought], the three functions of life [meeting the needs of clothing, food, adequate boards from forest management], and the four welfare functions [fulfillment of security, both physical, psychological and social]. Typical local wisdom and an icon in this village, namely the nganggung tradition. Every celebration of Islamic holidays, each member of the community carries a variety of food stored on a circular tray and covered with a serving cap. The food is arranged neatly in a place that can accommodate many people, usually in a mosque.

The community then flocked to sit neatly and solemnly waiting for directions from the village elders to eat a variety of typical culinary that had been presented by first reading a prayer. People who come can taste each other's food brought by their neighbors, and even those who do not bring food can enjoy it. This local wisdom, not only talk about eating together, more than that it contains the value of togetherness and harmonization of relations between members of the community that exist in this allied country instead of this. Through wasilah nganggung, ukhuwah can be established in the community. Not a few who have not met for a long time, can meet again through this event. Through the event, it can be a wonder to build social security in a society that is today attacked by "viruses" of individualism and apathy. This culture is very dangerous and damages the joints of community life.

2. Tourist area

Tuatunu village is a settlement area that is thick with Malay cultural customs. "The annual event aims to foster the love of the younger generation towards regional traditions, especially Pangkalpinang. With this event we hope to provide experience.

Tuatunu village is a settlement area that is thick with Malay cultural customs. "The annual event aims to foster the love of the young generation for regional traditions, especially Pangkalpinang. With this event we hope to provide experience to the younger generation to explore the cultural diversity of Pangkalpinang. One of the existing destinations includes: KELEKAK COMMUNITY

Located in the Forest area of ​​Taklok Tuatunu Pangkalpinang, 5 km from the city center, Kelekak Community is a community forest area developed into natural exoticism wrapped in Bangka local culture.

Tourists can enjoy the natural beauty of the forest, Bangka cultural games, traditional houses, equipment and traditional equipment of the Bangka people, Bangka specialties and places of worship for wooden mosques that are characterized by local culture.

Every tourist who visits will be presented with a typical Bangka dance as a welcome greeter. Besides this cultural destination also has a miniature Ka'bah that can be used as a location for Hajj rituals for the people of Bangka.

Kelekak Community Packaging is a miniature of the 18th century Bangka community village that was built to present the atmosphere of the lives of Bangka residents and their daily habits.

Kayu Tua Tunu Mosque

Kayu Tua Tunu Mosque is located in a forest area in Tua Tunu Village, Pangkalpinang. The area of ​​the mosque is still a forest area and community garden, but it is equipped with galleries and Bangka village models in the past. This area was pioneered and managed by Kelekak Community.

To go to the mosque area, you can follow the direction signs installed from a small alley next to the Tua Tunu Grand Mosque, Pangkalpinang. The road to this area is still a village road that is not on asphalt and in some parts it is only enough for 1 passenger car vehicle. Along the village road can be seen the gardens of residents such as vegetable gardens, pepper gardens and pineapple gardens, and through the river where the water is still clear and often used by residents to wash and bathe.

The Kayu Tua Tunu Mosque was only built at the end of 2012. Named a Wooden Mosque because this building is made entirely of wood. The wood used is Cempedak and Meranti wood which is expected to be termite resistant. The mosque takes the initial form of the Jami ’Pangkalpinang Mosque which has 5 wooden pillars inside.

Kayu Tua Tunu Mosque is located in a forest area in Tua Tunu Village, Pangkalpinang. The area of ​​the mosque is still a forest area and community garden, but it is equipped with galleries and Bangka village models in the past. This area was pioneered and managed by Kelekak Community.

To go to the mosque area, you can follow the direction signs installed from a small alley next to the Tua Tunu Grand Mosque, Pangkalpinang. The road to this area is still a village road that is not on asphalt and in some parts it is only enough for 1 passenger car vehicle. Along the village road can be seen the gardens of residents such as vegetable gardens, pepper gardens and pineapple gardens, and through the river where the water is still clear and often used by residents to wash and bathe.

The Kayu Tua Tunu Mosque was only built at the end of 2012. Named a Wooden Mosque because this building is made entirely of wood. The wood used is Cempedak and Meranti wood which is expected to be termite resistant. The mosque takes the initial form of the Jami ’Pangkalpinang Mosque which has 5 wooden pillars inside.

Reference:

//id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Bangka_Belitung

//merito.wordpress.com/2008/01/03/kebudayaan-dan-adat-istiadat-bangka/

 budaya dan adat istiadat Bangka

Page 3

A. Kearifan lokal itu apa ya ?

Menurut pemahaman kearifan Lokal terdiri    dari dua   kata yaitu kearifan [ wisdom ] yang artinya  kebijaksanaan dan lokal [ local ] yang berarti daerah setempat. Jadi secara umum pengertian dari Kearifan Lokal adalah gagasan-gagasan, nilai-nilai atau pandangan dari suatu tempat yang memiliki sifat bijaksana dan bernilai baik yang diikuti dan dipercayai oleh masyarakat di suatu tempat tersebut dan sudah diikuti secara turun temurun. Kearifan Lokal merupakan pengetahuan eksplisit yang muncul dari periode yang panjang dan berevolusi bersama dengan masyarakat dan lingkungan di daerahnya berdasarkan apa yang sudah dialami. Jadi dapat dikatakan, kearifan lokal disetiap daerah berbeda-beda tergantung lingkungan dan kebutuhan hidup.

Adapun beberapa ciri-ciri yang melekat antara lain :

  1. Mempunyai kemampuan mengendalikan warisan leluhur yang ada.
  2. Merupakan benteng untuk bertahan dari pengaruh budaya luar.
  3. Mempunyai kemampuan mengakomodasi budaya luar dengan bijak.
  4. Mempunyai kemampuan memberi arah perkembangan budaya.
  5. Mempunyai kemampuan mengintegrasi atau menyatukan budaya luar dan budaya asli.

Kearifan lokal adalah adat istiadat dan kebiasaan yang telah turun temurun dilakukan oleh sekelompok masyarakat dan hingga saat ini masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat setempat dalam hal ini di kampong Tua Tunu. Kearifan lokal dapat juga didefinisikan sebagai kebijaksanaan manusia yang berstandar pada nilai-nilai, etika, cara dan prilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal [local genius/local wisdom]  didifinisikan merupakan pengetahuan lokal yang tercipta dari hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Proses regeneasi kearifan lokal dilakukan melalui tradisi lisan [cerita rakyat] dan karya-karya sastra, seperti babad, tembang, hikayat, lontar , permainan rakyat dan lain sebagainya.

Karakter dari kearifan lokal, yaitu pertama mampu mengendalikan pemikiran, sikap dan perilaku masyarakat setempat, kedua menjadi perisai pertahanan dari serangan budaya barat, ketiga mampu menjadi filter budaya luar. Kearifan lokal dapat ditemukan pada sikap terhadap alam, manusia, karya, waktu dan terhadap hidup. Dalam hal ini, penulis akan memaparkan beberapa nilai kearifan lokal, diantaranya nilai-nilai kearifan lokal dalam memandang alam, contohnya memandang alam sebagai sahabat, sebagai sumber kehidupan. Alam bukan semata-mata benda mati tapi dianggap sebagai mahluk hidup yang perlu diperlakukan dengan baik. Kearifan lokal terdiri atas kesopanan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan dan penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur.

B. Kearifan Lokal di Tua Tunu

Tuatunu adalah  Kampung Religi yang Indah di Ujung Kota Pangkalpinang Ibu Kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan Bersama masyarakat Membangun Peradaban yang Religius  & Menjaga Kearifan Lokal “ sebagai motto. Kelurahan Tua Tunu  terletak di sebelah Barat berbatasan dengan Desa air Duren,Timur berbatasan dengan Bukit Merapin, Utara berbatasan dengan Desa Balun Ijuk, Selatan dengan Desa Kace serta Kelurahan Kepala Tujuh. Kelurahan ini dipimpin Pak Lurah Hasani sahabat penulis yang senantiasa memberikan informasi secara ramah yang telah beberapa tahun memberikan pelayanan kepada masyarakat setempat merasakan pahit manisnya pelayanan publik di daerah ini.Konon kampung ini adalah kampung yang tertua di Kecamatan Gerunggang dengan letak geografisnya di ujung Pangkalpinang, dari pusat kota Alun-alun Taman Merdeka [ATM] sekitar 5 km. Mata pencaharian mayoritas penduduk adalah berkebun. Tanaman andalan yang ditanam adalah lada,karet, nanas,sayur mayor. Selain berkebun, mata pencaharian sebagian penduduk adalah berdagang di Pasar Pagi dan Pasar Besar serta berkeliling ke seluruh pelosok Pulau Bangka.

Unsur-unsur kebudayaan yang berkaitan erat dan mencerminkan kearifan lokalnya, karena meskipun telah terjadi pencampuran dengan suku lain, suku Melayu Bangka memiliki kearifan lokal yang sampai sekarang masih melekat dalam diri masyarakatnya, mulai dari mulai dari falsafah hidup yang dipegang teguh oleh masyarakatnya, kearifan lokal dalam tata cara berbaur dengan masyarakat, sebagai kontrol sosial masyarakat didalamnya, kearifan lokal dalam memperlakukan alam sekitarnya, sampai kepada upacara-upacara adat yang didalamnya secara jelas tercermin kearifan lokal suku tersebut.

Alam bukan semata-mata benda mati tapi dianggap sebagai mahluk hidup yang perlu diperlakukan dengan baik. Terlihat jelas tidak ada diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan keseharian, seperti ibu-ibu berdagang di pasar dan di keluar masuk kampong menjunjung bakul jualan yang berisi beragam kebutuhan sehari-hari apakah sayur mayur maupun lainnya tanpa ada larangan dari suami.

Ragam kearifan lokal yang ada antara lain :

  1. Tolak Bala [ Rebo Kasan ]
  2. Maulid
  3. Ruahan
  4. Isra’miraj
  5. Nisfu Sya’ban
  6. 1 Muharam
  7. Milang Ari
  8. Lebaran Idul Fitri dan Idul Adha

Salah satu tokoh masyarakat yang diajak penulis ngobrol yaitu Bapak M.Talib bin Indris, dengan keramahan dan senyum menawan serta rendah hati sebagai ciri khas warga Tua Tunu secara sukarela memberikan keterangan secara jelas dan menarik. Kearifan lokal dalam beberapa konteks menjadi praktik nilai luhur, sekaligus tantangan dan peluang bagi kehidupan sektor masyarakat modern. Kearifan juga menghasilkan budi pekerti baik perasaan mendalam terhadap tanah kelahiran serta bentuk perangai, atau tabiat masyarakat.  Semboyan dan motto masyarakat Bangka yang bermakna adanya persatuan dan kesatuan serta gotong royong. Ritual adalah satu kegiatan penduduk pulau Bangka pada waktu pesta kampung membawa dulang berisi makanan untuk dimakan tamu tau siapa saja di balai adat/mesjid. Dari ritual ini, tercermin betapa masyarakat Bangka menjujung tinggi rasa persatuan dan kesatuan serta gotong royong, bukan hanya dilaksanakan penduduk setempat melainkan juga dengan para pendatang.

Jiwa gotong royong masyarakat Bangka cukup tinggi. Warga masyarakat akan mengulurkan tangannya membantu jika ada anggota warganya memerlukanya. Semua ini berjalan dengan dilandasi jiwa keagamaan.

C. Dampak Zaman Now

Gelora zaman now hadir di seluruh pelosok tanah air tak ketinggalan berimbas terhadap masyarakat tradisional, ini memunculkan konflik sosial baru yang merupakan keniscayaan sejarah dan berpeluang muncul di tengah masyarakat. Makna positif konflik berupa terjadinya perubahan sosial, makna negatif berupa kerenggangan sosial dan kekerasan. Dalam kaitannya dengan konflik sosial, perlu dilakukan pendekatan resolusi konflik berbasis nilai-nilai kearifan lokal [local wisdom]. Resolusi konflik berbasis nilai-nilai kearifan lokal diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat dan berfungsi sebagai perekat / kohesi sosial antara satu sama lain yang mengintegrasikan manusia ke dalam satu ikatan moral yang kolektif. Dalam realitasnya, kearifan lokal pada masyarakat Tua Tunu mampu menjadi basis kohesivitas sosial yang mengintegrasikan masyarakat dalam kondisinya yang multikultur dan multiagama.

Perubahan  nampak  terlihat jelas di kehidupan masyarakat kampung Tua Tuni, ini tidak bisa dipungkiri banyak kegiatan rutinitas lokal yang dahulunya di bawah tahun 2000 masih mempercayai hal berbau gaib/mistik sekarang bergeser kearah cara memaknai sesuatu dengan logika / daya nalar modern dilandasi pemahaman agama Islam. Perkembangan zaman now disebabkan karena generasi muda terdidik baik di daerah sendiri maupun luar daerah membawa suatu pemandangan baru biasanya sesuatu yang baru dianggap tabu sekarang berbalik arah. Pengetahuan baru berkembang dan tersedianya jaringan internet secara mudah dapat diakses, tapi generasi muda tetap menghargai kearifan lokal untuk dilestarikan berkelanjutan.

1. KEARIFAN LOKAL MASA SEKARANG

Kehidupan tidak lepas hubungannya satu dengan yang lain apakah hewan, tumbuhan,   dengan perkembangan pembangunan yang semakin pesat dan peradabanpun berubah menimbulkan beragam kebutuhan hidup. Kehidupan manusia secara adat di Tua Tunu telah berhasil menjaga/melestarikan keragaman hayati secara alami.

 Suatu realitas sebagian besar masyarakat asli Tua Tunu masih memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam/ekosistem yang ada di lingkungannya inilah keunikan yang perlu terjaga dengan baik sebagai asset budaya sampai kapanpun. Umumnya mereka mewariskan hal tersebut secara turun temurun secara otodidak dari apa yang mereka lihat, lakukan dalam kehidupan sehari-hari dalam kekerabatan secara bersama-sama. Simbolisme pelaksanaan acara bersifat kearifan lokal berlandaskan agama terlaksana secara meriah sehingga menumbuhkan rasa kebersamaan memberikan filosofi kehidupan membangun kampung secara bijak.

2. PROSPEK MASA DEPAN

Di masa depan pemerintah senantiasa melibatkan tokoh agama, tokoh adat, tokoh budaya, tokoh pemuda serta masyarakat setempat untuk aktif berperan serta menunjang pembangunan, karakter masyarakat asli Tua Tunu sebetulnya bisa dirangkul dengan pendekatan yang menyentuh hatinya bukan dengan iming-iming/janji yang muluk-muluk seperti sebelumnya karena keteguhan keyakinan masyarakat ini tidak bisa diganti dengan materi.

Untuk Kekhasan tiap kampung akan lestari bila pemerintah dan masyarakat bersatu padu menghargai kebudayaan lokal secara berkelanjutan  akhirnya tradisi ini akan menjadi sumber pariwisata baru sebagai daya tarik / destinasi yang layak untuk dikunjungi wisatawan nasional dan internasional. Potensi kearifan lokal melekat dalam budaya akan menjadi daya Tarik tersendiri memberikan nilai tambah ekonomi baru / lapangan kerja kreatif Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.      

D. Ketangguhan

Masyarakat Tua Tunu dikenal arif dalam memelihara alam dan mereka pasti memiliki kearifan lokal yang dipegang teguh dalam memanfaatkan dan melestarikannya secara berkelanjutan dari generasi ke generasi. Sumber daya alam yang kaya dengan asrinya alam di kelurahan Tua Tunu didukung oleh tanah yang subur dan membuat berbagai macam tanaman dapat tumbuh dengan baik disana khususnya nanas sebagai primadona.Sapaan ketika ketemu kepada orang yang melintasi kampung meskipun belum dikenal untuk pria biasanya dengan ramah penuh senyum sebutan “ Boy “ tentu tidak akan ditemukan di daerah lain. Nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang dan menjadi keunikan masing-masing suku dan budaya menjadi perekat sosial dan mampu menciptakan kerukunan sosial dan relasi sosial yang harmonis. Kearifan lokal adalah adat istiadat dan kebiasaan yang telah turun temurun dilakukan oleh sekelompok masyarakat dan hingga saat ini masih dipertahankan dalam hal ini penulis mengaktulisasikan melalui   budaya “ Nganggung “.

1. Ciri khas

Untuk Warga Tua tunu asli adalah orang yang ulet dalam kehidupan baik laki-laki maupun peremuan tua muda mayoritas beraktifitas sebagai petani dan pedagang dengan menunjung nilai-nilai keislaman yang melekat sangat kentara, terbukti para tokoh masyarakatnya berperan aktif dan dikenal di Pulau Bangka khususnya. Nilai-nilai gotong royong, kebersamaan, kekompakan dan   Kearifan lokal terhadap alam menjadi modal sosial dari masyarakat ini untuk menjaga lingkungan hidup,fungsi dari kearifan lokal terhadap alam, yaitu pertama fungsi konservasi [melindungi keanekaragaman hayati], kedua fungsi daerah resapan air [menjaga sumber air agar tidak kekeringan], ketiga fungsi kehidupan [memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan secukupnya dari pengelolaan hutan], dan keempat fungsi kesejahteraan [terpenuhinya rasa aman, baik fisik, psikis maupun sosial]. Kearifan lokal yang khas dan menjadi ikon di kampung ini, yaitu tradisi nganggung. Setiap perayaan hari besar Islam, masing-masing anggota masyarakat membawa makanan beraneka ragam yang disimpan di atas nampan berbentuk lingkaran dan ditutup dengan tudung saji. Makanan tersebut di susun rapi di suatu tempat yang dapat menampung orang banyak, biasanya di masjid.

Masyarakat kemudian berduyun-duyun hadir duduk dengan rapi dan khidmat menunggu arahan dari sesepuh kampung untuk menyantap beragam kuliner khas yang telah disajikan tersebut dengan terlebih dahulu membaca doa. Masyarakat yang datang dapat saling menyicipi makanan yang dibawa oleh tetangganya, dan bagi yang tidak membawa makanan pun dapat menikmati nganggung. Kearifan lokal ini, tidak hanya bicara makan bersama, lebih dari itu mengandung nilai kebersamaan dan harmonisasi hubungan antar anggota masyarakat yang ada di negeri serumpun sebalai ini. Melalui wasilah nganggung, dapat terjalin silah ukhuwah di tengah masyarakat. Tidak sedikit yang sudah lama tidak bertemu, dapat kembali bertemu melalui acara ini. Melalui acara tersebut, dapat menjadi wasilah untuk membangun ketahanan sosial di tengah masyarakat yang hari ini diserang oleh “virus” individualisme dan apatisme. Budaya ini sangat berbahaya dan merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.

2. Kawasan wisata

Kampung Tuatunu merupakan daerah perkampungan yang kental dengan adat istiadat kebudayaan Melayu. "Kegiatan tahunan itu bertujuan untuk menumbuhkan kecintaan para generasi muda terhadap tradisi daerah, terutama Pangkalpinang. Dengan acara ini kami berharap bisa memberikan pengalaman.

Kampung Tuatunu merupakan daerah perkampungan yang kental dengan adat istiadat kebudayaan Melayu. "Kegiatan tahunan itu bertujuan untuk menumbuhkan kecintaan para generasi muda terhadap tradisi daerah, terutama Pangkalpinang. Dengan acara ini kami berharap bisa memberikan pengalaman kepada para generasi muda untuk menyelami kemajemukan budaya Pangkalpinang. Salah satu destinasi yang sudah ada antara lain : KELEKAK COMMUNITY

Berlokasi di kawasan Hutan Taklok Tuatunu Pangkalpinang, 5 km dari pusat Kota, Kelekak Community merupakan kawasan hutan masyarakat yang dikembangkan menjadi eksotisme alam berbalut budaya lokal Bangka.

Wisatawan dapat menikmati keindahan alam hutan, permainan budaya Bangka, rumah tradisional, peralatan dan perlengkapan tradisional masyarakat Bangka, makanan khas Bangka serta tempat peribadatan masjid kayu yang bercirikan budaya lokal.

Setiap wisatawan yang berkunjung akan disuguhkan tarian khas Bangka sebagai penyambut kedatangan. Selain itu destinasi budaya ini juga memiliki miniatur Ka’bah yang bisa dijadikan lokasi manasik haji bagi masyarakat Bangka.

Kemasan Kelekak Community menjadi miniatur perkampungan masyarakat Bangka abad 18 yang dibangun untuk menghadirkan bagaimana suasana kehidupan penduduk Bangka dan kebiasaan sehari-hari.

Masjid Kayu Tua Tunu

Masjid Kayu Tua Tunu terletak di kawasan hutan di Desa Tua Tunu, Pangkalpinang. Kawasan Masjid ini masih berupa kawasan hutan dan kebun masyarakat, namun dilengkapi dengan galeri dan model kampong Bangka di masa lalu. Kawasan ini dirintis dan dikelola Kelekak Community.

 Untuk menuju kawasan Masjid, dapat mengikuti papan petunjuk arah yang dipasang dari sebuah gang kecil di sebelah Masjid Raya Tua Tunu, Pangkalpinang. Jalan menuju kawasan ini masih berupa jalan kampong yang tidak di aspal dan di beberapa bagian lebarnya hanya cukup untuk 1 kendaraan mobil penumpang. Sepanjang jalan kampong tersebut dapat dilihat kebun-kebun warga seperti kebun sayuran, kebun lada dan kebun nanas, serta melewati sungai yang airnya masih jernih dan sering digunakan penduduk warga untuk mencuci dan mandi.

Masjid Kayu Tua Tunu baru dibangun di akhir tahun 2012. Dinamakan Masjid Kayu karena memang bangunan ini seluruhnya terbuat dari kayu. Kayu yang digunakan adalah kayu Cempedak dan Meranti yang diharapkan tahan rayap. Masjid ini mengambil bentuk awal Masjid Jami’ Pangkalpinang yang memiliki 5 tiang kayu di dalamnya.

Masjid Kayu Tua Tunu terletak di kawasan hutan di Desa Tua Tunu, Pangkalpinang. Kawasan Masjid ini masih berupa kawasan hutan dan kebun masyarakat, namun dilengkapi dengan galeri dan model kampong Bangka di masa lalu. Kawasan ini dirintis dan dikelola Kelekak Community.

Untuk menuju kawasan Masjid, dapat mengikuti papan petunjuk arah yang dipasang dari sebuah gang kecil di sebelah Masjid Raya Tua Tunu, Pangkalpinang. Jalan menuju kawasan ini masih berupa jalan kampong yang tidak di aspal dan di beberapa bagian lebarnya hanya cukup untuk 1 kendaraan mobil penumpang. Sepanjang jalan kampong tersebut dapat dilihat kebun-kebun warga seperti kebun sayuran, kebun lada dan kebun nanas, serta melewati sungai yang airnya masih jernih dan sering digunakan penduduk warga untuk mencuci dan mandi.

Masjid Kayu Tua Tunu baru dibangun di akhir tahun 2012. Dinamakan Masjid Kayu karena memang bangunan ini seluruhnya terbuat dari kayu. Kayu yang digunakan adalah kayu Cempedak dan Meranti yang diharapkan tahan rayap. Masjid ini mengambil bentuk awal Masjid Jami’ Pangkalpinang yang memiliki 5 tiang kayu di dalamnya.

Referensi :

//id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Bangka_Belitung

//merito.wordpress.com/2008/01/03/kebudayaan-dan-adat-istiadat-bangka/

 budaya dan adat istiadat Bangka

Local wisdom of the Bangka people in the present

A. What is local wisdom?

According to the understanding of local wisdom consists of two words, namely wisdom which means wisdom and local [local] which means the local area. So generally the notion of Local Wisdom is ideas, values ​​or views from a place that has a wise and valuable character that is followed and trusted by the community in that place and has been followed for generations. Local Wisdom is explicit knowledge that emerges from a long period and evolves together with the community and environment in the area based on what has been experienced. So it can be said, local wisdom in each region varies depending on the environment and living needs.

The several inherent characteristics include:

  1. Has the ability to control existing ancestral heritage.
  2. Is a fortress to survive the influence of outside culture.
  3. Has the ability to accommodate outside culture wisely.
  4. Has the ability to give direction to cultural development.
  5. Have the ability to integrate or unite outside culture and native culture.

Local wisdom is customs and habits that have been handed down for generations by a group of people and its existence is still maintained by the local community in this case in Tua Tunu village. Local wisdom can also be defined as human wisdom that is standardized on traditional values, ethics, ways and behaviors. Local wisdom [local genius / local wisdom] is defined as local knowledge created from the adaptation of a community that comes from life experiences communicated from generation to generation. The process of regenasi local wisdom is carried out through oral traditions [folklore] and literary works, such as chronicles, songs, saga, lontar, folk games and so forth.

The character of local wisdom, which is first able to control the thinking, attitudes and behavior of the local community, the second being a defense shield from the attack of western culture, the third is able to become a filter for external culture. Local wisdom can be found in attitudes towards nature, humans, works, time and life. In this case, the author will present some values ​​of local wisdom, including the values ​​of local wisdom in looking at nature, for example, seeing nature as a friend, as a source of life. Nature is not merely an inanimate object but is considered a living being that needs to be treated well. Local wisdom consists of politeness, honesty, social solidarity, harmony and resolution of conflict, commitment, positive thoughts, and gratitude.

B. Local Wisdom in Tua Tunu

Tuatunu is a Beautiful Religious Village at the End of Pangkalpinang City, the Provincial Capital of the Bangka Belitung Islands with "Together with the Community Building a Religious Civilization & Maintaining Local Wisdom" as the motto. Kelurahan Tua Tunu is located on the west bordering Air Duren Village, East bordering Bukit Merapin, North bordering Balun Ijuk Village, South with Kace Village and Kepala Tujuh Village. The village is led by Pak Lurah Hasani, a writer friend who always provides friendly information that has been providing services to the local community for several years to feel the bitter sweetness of public services in this area. the city center Taman Merdeka Square [ATM] is around 5 km. The livelihood of the majority of the population is gardening. The mainstay plants planted are pepper, rubber, pineapple, vegetable major. In addition to gardening, the livelihood of some residents is trading in the Morning Market and Big Market and traveling to all corners of Bangka Island.

Cultural elements that are closely related and reflect local wisdom, because even though there has been mixing with other tribes, the Bangka Malay tribe has local wisdom that is still inherent in its community, starting from the philosophy of life that is held firmly by its people, local wisdom in the manner of mingling with the community, as the social control of the community in it, local wisdom in treating the surrounding environment, to traditional ceremonies in which the tribal local wisdom clearly reflected.

Nature is not merely an inanimate object but is considered a living being that needs to be treated well. It is clear that there is no discrimination between women and men in daily life, as mothers trade on the market and in and out of the village uphold selling baskets that contain a variety of daily necessities whether vegetables or others without any restrictions from their husbands.

The various local wisdoms that exist include:

  1. Reject Bala [Rebo Kasan]
  2. Maulid
  3. Ruahan
  4. Isra Mi'raj
  5. Nisfu Sya'ban
  6. 1 Muharam
  7. Milang Ari
  8. Eid al-Fitr and Eid al-Adha

One of the community leaders invited by the writer to chat was Mr. M. Binib bin Indris, with his friendliness and charming and humble smile as a characteristic of Tua Tunu residents who volunteered to provide clear and interesting information. Local wisdom in several contexts becomes a practice of noble values, as well as challenges and opportunities for the life of the modern society sector. Wisdom also produces character both deep feelings towards the land of birth and forms of temperament, or the nature of society. The motto and motto of the Bangka community which means the existence of unity and unity and mutual cooperation. Ritual is an activity of the residents of Bangka Island at a village party carrying dulang filled with food to eat for guests to know who is in the traditional hall / mosque. From this ritual, it was reflected how the people of Bangka had a high sense of unity and unity and mutual cooperation, not only carried out by local residents but also by migrants.

The Bangka community's mutual cooperation spirit is quite high. Community members will extend their hands to help if there are members of their citizens needing it. All of this goes on based on religious spirit.

C. Impact of the Age Now

The present era surge in all corners of the country does not miss the impact on traditional communities, this raises a new social conflict which is a necessity of history and the opportunity to emerge in the community. The positive meaning of the conflict is in the form of social change, the negative meaning in the form of social estrangement and violence. In relation to social conflict, a conflict resolution approach is based on the values ​​of local wisdom. Conflict resolution based on local wisdom values ​​is recognized as important elements that are able to strengthen social cohesion among community members and function as a glue / social cohesion between one another that integrates human beings into one collective moral bond. In reality, local wisdom in the community of Tua Tunu is able to become the basis of social cohesiveness that integrates society in its multicultural and multi-religious conditions.

Changes can be seen clearly in the life of the community of Tua Tuni village, this is undeniable that many local routine activities which were under 2000 still believe the occult / mystical things are now shifting towards ways of interpreting logic / reasoning power based on understanding Islam. Today's development is due to educated young generation both in their own area and outside the region bringing a new scene, usually something new considered taboo is now reversing. New knowledge develops and the availability of internet networks is easily accessible, but the younger generation still respects local wisdom to be sustained sustainably.

1. LOCAL FRIENDS OF NOW

Life cannot be separated from one another, whether animals, plants, with the development of increasingly rapid development and change in civilization that creates various necessities of life. Customary human life in Tua Tunu has managed to preserve / preserve biodiversity naturally.

 It is a reality that most of the indigenous people of Tua Tunu still have local wisdom in managing natural resources / ecosystems that exist in their environment, this is the uniqueness that needs to be well preserved as a cultural asset at any time. In general, they inherit this from generation to generation independently of what they see, do in daily life in kinship together. The symbolism of the implementation of local wisdom based on religion was carried out lively so that it fostered a sense of togetherness giving the philosophy of life to build a village wisely.

2. FUTURE PROSPECTS

In the future the government always involves religious leaders, traditional leaders, cultural figures, youth leaders and local communities to actively participate in supporting development, the character of the native community of Tua Tunu can actually be embraced with an approach that touches their hearts not with lofty promises / promises - grandiose as before because the determination of this community's beliefs cannot be replaced with material.

For the peculiarities of each village to be sustainable if the government and society unite in respecting local culture in a sustainable manner this tradition will eventually become a new tourism source as an attractive attraction for national and international tourists. The potential of local wisdom inherent in the culture will be the main attraction of providing new economic value / creative employment in the Bangka Belitung Islands Province.

D. Resilience

The Tua Tunu community is known to be wise in nurturing nature and they certainly have local wisdom that is held firmly in utilizing and preserving it sustainably from generation to generation. Natural resources that are rich in nature in the Old Tunu village are supported by fertile land and make a variety of plants grow well there, especially pineapple as a prima donna. When meeting people who cross the village though it is not known to men usually with friendly smiles the term "Boy" certainly will not be found in other areas. The values ​​of local wisdom that developed and became the uniqueness of each tribe and culture became a social glue and were able to create harmonious social and harmonious social relations. Local wisdom is customs and habits that have been handed down for generations by a group of people and until now it is still maintained in this case the author applies through the culture of "Nganggung".

For elderly native people who are resilient in the lives of both men and women, the majority of young people are active as farmers and traders by upholding Islamic values ​​that are inherently very evident, it is evident that community leaders play an active and well-known role on Bangka Island in particular. The values ​​of mutual cooperation, togetherness, cohesiveness and local wisdom towards nature are the social capital of this community to protect the environment, the function of local wisdom towards nature, namely the first conservation function [protecting biodiversity], the two functions of water catchment areas [guarding resources water so as not to drought], the three functions of life [meeting the needs of clothing, food, adequate boards from forest management], and the four welfare functions [fulfillment of security, both physical, psychological and social]. Typical local wisdom and an icon in this village, namely the nganggung tradition. Every celebration of Islamic holidays, each member of the community carries a variety of food stored on a circular tray and covered with a serving cap. The food is arranged neatly in a place that can accommodate many people, usually in a mosque.

The community then flocked to sit neatly and solemnly waiting for directions from the village elders to eat a variety of typical culinary that had been presented by first reading a prayer. People who come can taste each other's food brought by their neighbors, and even those who do not bring food can enjoy it. This local wisdom, not only talk about eating together, more than that it contains the value of togetherness and harmonization of relations between members of the community that exist in this allied country instead of this. Through wasilah nganggung, ukhuwah can be established in the community. Not a few who have not met for a long time, can meet again through this event. Through the event, it can be a wonder to build social security in a society that is today attacked by "viruses" of individualism and apathy. This culture is very dangerous and damages the joints of community life.

2. Tourist area

Tuatunu village is a settlement area that is thick with Malay cultural customs. "The annual event aims to foster the love of the younger generation towards regional traditions, especially Pangkalpinang. With this event we hope to provide experience.

Tuatunu village is a settlement area that is thick with Malay cultural customs. "The annual event aims to foster the love of the young generation for regional traditions, especially Pangkalpinang. With this event we hope to provide experience to the younger generation to explore the cultural diversity of Pangkalpinang. One of the existing destinations includes: KELEKAK COMMUNITY

Located in the Forest area of ​​Taklok Tuatunu Pangkalpinang, 5 km from the city center, Kelekak Community is a community forest area developed into natural exoticism wrapped in Bangka local culture.

Tourists can enjoy the natural beauty of the forest, Bangka cultural games, traditional houses, equipment and traditional equipment of the Bangka people, Bangka specialties and places of worship for wooden mosques that are characterized by local culture.

Every tourist who visits will be presented with a typical Bangka dance as a welcome greeter. Besides this cultural destination also has a miniature Ka'bah that can be used as a location for Hajj rituals for the people of Bangka.

Kelekak Community Packaging is a miniature of the 18th century Bangka community village that was built to present the atmosphere of the lives of Bangka residents and their daily habits.

Kayu Tua Tunu Mosque

Kayu Tua Tunu Mosque is located in a forest area in Tua Tunu Village, Pangkalpinang. The area of ​​the mosque is still a forest area and community garden, but it is equipped with galleries and Bangka village models in the past. This area was pioneered and managed by Kelekak Community.

To go to the mosque area, you can follow the direction signs installed from a small alley next to the Tua Tunu Grand Mosque, Pangkalpinang. The road to this area is still a village road that is not on asphalt and in some parts it is only enough for 1 passenger car vehicle. Along the village road can be seen the gardens of residents such as vegetable gardens, pepper gardens and pineapple gardens, and through the river where the water is still clear and often used by residents to wash and bathe.

The Kayu Tua Tunu Mosque was only built at the end of 2012. Named a Wooden Mosque because this building is made entirely of wood. The wood used is Cempedak and Meranti wood which is expected to be termite resistant. The mosque takes the initial form of the Jami ’Pangkalpinang Mosque which has 5 wooden pillars inside.

Kayu Tua Tunu Mosque is located in a forest area in Tua Tunu Village, Pangkalpinang. The area of ​​the mosque is still a forest area and community garden, but it is equipped with galleries and Bangka village models in the past. This area was pioneered and managed by Kelekak Community.

To go to the mosque area, you can follow the direction signs installed from a small alley next to the Tua Tunu Grand Mosque, Pangkalpinang. The road to this area is still a village road that is not on asphalt and in some parts it is only enough for 1 passenger car vehicle. Along the village road can be seen the gardens of residents such as vegetable gardens, pepper gardens and pineapple gardens, and through the river where the water is still clear and often used by residents to wash and bathe.

The Kayu Tua Tunu Mosque was only built at the end of 2012. Named a Wooden Mosque because this building is made entirely of wood. The wood used is Cempedak and Meranti wood which is expected to be termite resistant. The mosque takes the initial form of the Jami ’Pangkalpinang Mosque which has 5 wooden pillars inside.

Reference:

//id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Bangka_Belitung

//merito.wordpress.com/2008/01/03/kebudayaan-dan-adat-istiadat-bangka/

 budaya dan adat istiadat Bangka

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề