Apakah yang dimaksud cara pandang ilmu sejarah secara interpretasi?

BAB I

PENDAHULUAN

Catatan perjalanan bangsa Indonesia sering diwarnai oleh persoalan tentang sejarahnya sendiri, dimulai dari validitas data, variasi metode dalam pengajaran sejarah hingga perbedaan cara penafsiran.

Interpretasi atau penafsiran sejarah sering disebut dengan analisis sejarah. Peristiwa masa lampau akan menjadi sejarah apabila sudah diberi tafsir terlebih dahulu. Oleh karena itu, peran seorang sejarawan dalam menafsirkan peristiwa sejarah sangatlah penting. Sehingga timbullah sebuah pernyataan bahwa “sejarah tanpa penafsiran bagaikan manusia tanpa nyawa”. Hal ini menandakan bahwa bukti-bukti sejarah yang merupakan saksi bisu atas peristiwa sejarah tidak berarti apa-apa jika belum ditafsirkan.

Permasalahan relatifnya kebenaran sejarah bukan sesuatu yang baru muncul karena ada banyak kasus sejarah yang hampir tidak pernah terlepas dari polemik dan kontradiksi. Hal ini sangat mungkin terjadi karena sejarah berkisah tentang peristiwa masa lalu yang dibatasi ruang dan waktu, maka dalam proses reka ulangnya tidak bisa bebas dari reduksi bahkan mungkin distorsi terhadap bukti sejarah. Sehingga, tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi ini akan menjadikan sejarah sebagai sesuatu yang dipertanyakan, yakni adanya anggapan bahwa dapat dapatkah seorang sejarawan mempertanggungjawabkan kredibilitas dan keautentikan bukti peninggalan masa lalu karena masih bersifat asumsi-asumsi dan penafsiran.

Kemampuan interpretasi adalah menguraikan fakta-fakta sejarah dan kepentingan topik sejarah, tidak ada masa lalu dalam konteks sejarah aktual, yang ada hanyalah interpretasi historis. Sehingga, interpretasi dalam sejarah tidak akan menemui titik final, karena setiap generasi berhak untuk mengerangkakan interpretasinya sendiri sesuai dengan jiwa zamannya.

Oleh karena itu, dalam menafsirkan suatu peristiwa sejarah maka, dibutuhkan model interpretasi yang mana didalamnya mencakup konsep hermeneutik dalam interpretasi tersebut.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan, maka dirumuskanlah beberapa rumusan masalah, yakni:

  1. Interpretasi sejarah?
  2. model interpretasi sejarah?
  3. Hermeneutika dalam interpretasi sejarah?
  4. Permasalahan dalam interpretasi sejarah?

Penafsiran dalam penulisan sejarah bertujuan untuk:

  1. Untuk menjelaskan apa yang disebut dengan interpretasi dalam sejarah
  2. Untuk menjelaskan model interpretasi yang terdapat di dalam sejarah
  3. Untuk menjelaskan hermeneutika dalam interpretasi sejarah
  4. Untuk menjelaskan permasalahan dalam interpretasi sejarah

Dengan adanya interpretasi dalam kajian ilmu sejarah dapat memudahkan seorang sejarawan untuk mampu merekonstruksi kejadian masa lalu untuk mendekati kebenaran, sebagaimana kejadian yang sebenarnya terjadi, walaupun dalam interpretasi tersebut sejarawan dituntut untuk dapat menginterpretasikan sebuah masalah dengan seobyektif mungkin.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Interpretasi Sejarah

            Setelah menyelesaikan langkah-langkah pertama dan kedua berupa heuristik dan kritik sumber, maka seorang sejarawan memasuki tahap ke tiga, yakni interpretasi [penafsiran]. Interpretasi merupakan suatu proses yang dijalani oleh seorang sejarawan dalam penganalisisan suatu peristiwa sejarah, yakni dengan menggunakan benda-benda peninggalan baik yang tertulis maupun lisan sebagai penghubung antara masa lalu dan masa sekarang. Peninggalan-peninggalan tersebut kemudian diberikan tafsiran supaya dapat mengonstruksikan peristiwa masa lalu untuk diketahui pada masa sekarang.[1]

            Interpretasi atau penafsiran sejarah sering disebut dengan analisis sejarah. Analisis berarti menguraikan, dan secara terminologi berbeda sintesis yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis berarti dipandang sebagai metode utama dalam interpretasi. Penafsiran bertujuan untuk melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber sejarah, maka disusunlah fakta tersebut dalam interpretasi yang menyeluruh.

Dalam menyajikan dan menafsirkan fakta dalam peristiwa sejarah, manusia bertindak sebagai subjek. Manusia sebagai subjek dalam menyusun sejarah mencoba untuk mengerti subjek-subjek lain dalam dimensi budaya, ruang, dan waktu secara objektif. Oleh karena itu, fakta dan peristiwa harus ditafsirkan karena tanpa penafsiran, hanya akan menjadi rangkaian pseudo history.[2]

Akan tetapi, untuk seleksi penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah, diperlukan syarat bahwa sejarawan harus dapat membebaskan diri dari semua kecendrungan pikiran dan kemauan, tidak boleh memihak dan harus mengabdi pada kebenaran. Walaupun penafsiran sejarah tidak selamanya dianggap benar, karena kadang-kadang tidak sesuai lagi dengan zamannya, maka setiap generasi menyusun sejarah zamannya. [3]

Faktor lain yang mempengaruhi penafsiran sejarah, yakni perbedaan cara berfikir manusia yang dipengaruhi oleh pandangan hidupnya. Pandangan filsafat atau pandangan hidup menentukan cara berfikir, begitu pula pandangan manusia terhadap alam semesta. Maka, berdasarkan pandangan tersebut sangat sulit untuk mendapatkan penafsiran sejarah yang objektif, sebab sejarawan adalah manusia yang mempunyai perbedaan cara berfikir yang baginya sulit untuk melepaskan diri dari pengaruh apapun. Seperti, adanya berbagai kepentingan atas dasar ras, suku, agama, golongan, partai dan sebagainya merupakan beberapa faktor yang menyebabkan tafsiran sejarah yang beragam.

Ada beberapa kondisi yang menyebabkan sejarawan tidak bisa lepas dari pengaruh apapun, yakni:

  1. Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak bisa hidup terlepas dari kehidupan serba golongan. Yakni, golongan yang mempunyai pendapat sendiri dan pendirian pribadi.
  2. Manusia hidup dalam satu fase zaman tertentu, yang mana setiap zaman mempunyai sifat dan corak sendiri yang tidak selalu sama.
  3. Pribadi manusia berkembang dan dibina dalam zaman tertentu. Misalnya, tidak mungkin manusia golongan A, mempunyai pemikiran yang sama persis dengan manusia golongan B.[4]

Sejarah dibuat manusia berdasarkan fakta-fakta atau warisan masa lalu. Manusia di sini adalah subyek, fakta atau warisan adalah obyek. Untuk menjadi peristiwa sejarah, obyek tersebut harus ditafsirkan oleh subyek. Obyek yang ingin memberikan gambaran tentang dirinya tidak berbicara sendiri, tetapi bicara melalui subyek. [5]

2.2 Model-Model Interpretasi Sejarah

Model interpretasi sejarah pada umunya, sering diarahkan pada pandangan para ahli filsafat, sehingga sejarawan bisa mendapatkan kemungkinan jalan pemecahan dalam menghadapi masalah historis. Secara garis besar interpretasi sejarah dapat digolongkan kedalam dua model atau cara penafsiran, yaitu sebagai berikut:

  1. Interpretasi atau Penafsiran Monistik

Penafsiran monistik adalah interpretasi yang bersifat tunggal, penafsiran yang hanya mencatat peristiwa besar dan perbuatan orang terkemuka. Penafsiran ini memiliki beberapa bentuk, yakni:

Penafsiran ini menekankan bahwa sejarah hidup manusia ditentukan oleh takdir Tuhan, sedangkan manusia hanya menerima nasibnya. Konsekuensi dari paham ini, karena semua peristiwa telah ditakdirkan terlebih dahulu oleh Tuhan, maka peranan gerak sejarah bersifat pasif.

      Faktor geografis menerangkan bahwa kalau tidak adanya bumi, sudah tentu tidak ada sejarahnya, letak bumi dan bentuk tanahnya dapat mempengaruhi cara hidup suatu bangsa. Mereka mencari kunci sejarah dalam lingkungan fisik di luar manusia, seperti iklim, tanah, bentuk tanah , dianggap sebagai pengontrol sejarah. Dalam sejarah manusia, pengaruh geografis ini dapat dilihat pada peradaban pertama di sungai Nil, Eufrat dan Tigris.[6]

Interpretasi atau penafsiran yang menyatakan bahwa secara deterministik ekonomi sangat  berpengaruh. Dalam kehidupan, ekonomi suatu bangsa menentukan karakter umum sejarah bangsa itu, yakni meliputi segala ide, pandangan politik, sosial, kebudayaan. Meskipun diakui adanya faktor-faktor nonekonomi dalam politik, moral, sosial, semua faktor nonekonomi ini diperintah oleh faktor ekonomi.

  1. Penafsiran teori “Orang Besar”

Mengutip pendapat sejarawan Inggris, Thomas Carlyle dan James A. Freud, berpendapat bahwa faktor penyebab utama dalam perkembangan sejarah adalah tokoh-tokoh orang besar [Great Men Theory]. Bagi mereka, sejarah adalah biografi kolektif. Adapun tokoh-yokoh besar yang dimaksud adalah para negarawan, kaisar, raja, panglima perang, jenderal dan para nabi.

  1. Interpretasi atau Penafsiran Pluralistik

Menurut penafsiran ini, tidak ada satu kategori sebab tunggal yang cukup untuk menjelaskan semua fase dalam periode perkembangan sejarah. Artinya, perkembangan dan jalannya sejarah digerakkan oleh berbagai faktor dan tenaga bersama-sama serta manusia sebagai pemeran utama. Penafsiran model ini dimunculkan oleh para filsuf abad ke-19 yang mengemukakan bahwa sejarah akan mengikuti perkembangan sosial, budaya, politik dan ekonomi yang menunjukkan pola peradaban yang bersifat multikompleks.[7]

Pada umumnya, sejarawan tidak mensyaratkan harus terikat pada satu model interpretasi saja, melainkan dikalangan sejarawan modern, kecendrungan terhadap interpretasi pluralistik lebih menonjol, karena mereka beranggapan bahwa kemajuan studi sejarah dapat didorong pula oleh kemajuan ilmu pengetahuan lain dan dapat mendukung bagi kajian studi sejarah yang lebih komprehensif dan sempurna.[8] Sejarawan modern memiliki kecenderungan ke arah interpretasi pluralistik, karena mereka beranggapan kemajuan studi sejarah dapat didorong pula oleh kemajuan ilmu pengetahuan.

  • Hermeneutika dan Interpretasi Sejarah

Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermeneuein yang berarti menafsirkan, dan kata benda hermeneia yang berarti penafsiran atau interpretasi. Ada spekulasi historis yang mengatakan bahwa kata hermeneutika merujuk pada nama dewa Yunani Kuno, Hermes. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dipahami oleh manusia. Fungsi Hermes dipandang sangat penting karena ia mampu menginterptretasikan sebuah pesan ke dalam bahasa yang digunakan pendengarnya. Oleh karena itu, orang Yunani berhutang budi pada Hermes dengan penemuan bahasa dan tulisan, sebagai sebuah mediasi dimana pemahaman manusia dapat menangkap makna dan menyampaikannya pada orang lain.[9] Sejak saat itulah, tokoh mitologis Yunani ini menjadi simbol dan penentu keberhasilan penyampaian pesan.

Menurut Gerhad Ebeling, seorang teolog dan filsuf Swiss, kata hermeneuein menunjuk pada tiga pengertian, yaitu to express [pengungkapan, pembicaraan]pada pembacaan kitab, to explanation [penafsiran, penjelasan] berkaitan dengan situasi, dan to translation [penerjemahan] berkaitan dengan penerjemahan bahasa asing.

Hermeneutika yang berarti kepandaian menerangkan dan menafsirkan sesuatu, semula hanya terbatas pada teori dan kaidah menafsirkan sebuah teks, khususnya kitab suci agama Yahudi dan Kristen. Namun, seiring berjalannya waktu, Friedrich Schleirmacher memperkenalkan konsep hermeneutika yang tidak terbatas pada interpretasi kitab suci atau kitab sastra sebagai metode umum dalam interpretasi, melainkan kajian hermeneutika telah meluas ke dalam ilmu sosial humaniora seperti sejarah, hukum, filsafat, kesusasteraan, dan lain sebagainya.[10]

Ankersmith membagi hermeneutika kedalam dua bentuk, yakni: pertama, menafsirkan teks-teks pada masa silam. Kedua, menerangkan perbuatan seorang pelaku sejarah. Teks yang ditafsirkan merupakan bagian dari bahasa, kemudian terjadinya petualangan intelektual yang didorong rasa ketidaktahuan pada satu sisi dan keingintahuan pada sisi lain. Perjuangan ini melahirkan dinamika sejarah yang ditandai dengan trial and error, yang selalu mencoba dan menggali hal-hal baru serta siap untuk menerima kegagalan.

  1. Metode/Cara Kerja Hermeneutika dalam Interpretasi Sejarah

Dalam bidang sains, hanya benda-benda yang berada dalam dunia fisik yang dapat menjadi penelitian objektif dan ilmiah, sedangkan hal-hal dan peristiwa yang bertalian dengan individu hanya dapat dipahami dan di interpretasi. Dengan kata lain, bahwa terhadap benda-benda kita hanya mampu mengetahui, sedangkan memahami dan interpretasi hanya dipergunakan untuk mengetahui manusia. Oleh karena itu, sejarah sebagai ilmu yang mengkaji manusia, sehingga dapat dipahami dan diinterpretasi melalui data-data sejarah yang ada.

Pada umumnya sejarawan melakukan interpretasi terhadap sumber sejarah, yakni data yang didapatkan di lapangan. Data sejarah adalah bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorian. Sejumlah data yang tersedia pada umumnya adalah data verbal yang membuka kemungkinan bagi peneliti sejarah mendapatkan pengetahuan berbagai hal. Kumpulan data verbal yang berbentuk tulisan biasa disebut dengan dokumen.

Kerja interpretasi dimulai dengan mengumpulkan teks yang sebanyak-banyaknya, setelah itu dibandingkan antara yang satu dengan yang lain, sehingga bias ditemukan perbedaan pada kata atau kalimat, selanjutnya dilakukan pengklasifikasian atau kategorisasi ke dalam beberapa kelompok berdasarkan kebutuhan atau kecenderungan dari peristiwa sejarah yang tertulis. Kemudian, dengan cara memahami latar belakang penulis, dapat diketahui penyebab atau pendorong ia menulis teks dan kondisi atau situasi sosio-historis-empiris penulis pada saat itu sehingga bermakna bagi manusia kekinian.

Tradisi, teks dan pembaca melahirkan sebuah lingkaran hermeneutika. Dalam tradisi hermeneutika, sebuah teks menawarkan berbagai kemungkinan untuk ditafsirkan berdasarkan sudut pandang dan teori. Hermeneutika berusaha menggambarkan bagaimana peristiwa yang terjadi berdasarkan teks. Dalam prosesnya, intuisi penafsir sangat diperlukan di samping juga sikap curiga dan waspada agar tidak tertipu oleh sistem tanda atau struktur gramatika bahasa yang ada dipermukaan sehingga mengaburkan makna yang lebi objektif.

Oleh karena itu, tugas pokok hermeneutika adalah menafsirkan teks klasik atau teks yang asing menjadi milik kita yang hidup pada zaman, tempat, suasana kultural yang berbeda. Pada dasarnya hermeneutik bersifat menyejarah, artinya makna itu tidak pernah berhenti pada satu masa, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah. Sebut misalnya, sejarah Indonesia tidak mungkin hanya ditulis untuk satu kali, tetapi akan ditulis pada setiap generasi.

  • Permasalahan dalam Interpretasi Sejarah

Interpretasi sering disebut sebagai “biang” subjektivitas. Pada satu sisi pernyataan ini benar karena tanpa penafsiran sejarawan, data tidak bisa “berbicara”. Menurut Leopold Van Ranke, berpendapat hendaklah sejararawan menulis sebagaimana sebenarnya terjadi. Artinya, sejarawan harus tunduk pada fakta, sejarawan harus punya integritas, sehingga bisa mendekati kearah kebenaran.[11]

Menurut Prof. Taufik Abdullah, salah seorang sejarawan senior Indonesia, menyebutkan bahwa buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI akan ditinjau kembali dan ditulis ulang. Kemudian, Taufik Abdullah membuat analogi, bahwa Sejarah Nasional Indonesia ibarat sebuah foto keluarga besar bangsa, setiap anggota keluarga ingin melihat wajahnya tampak jelas dalam foto itu. Jika semua wajah tampak jelas dalam foto tersebut tidak jadi masalah, tetapi ada satu atau dua orang wajahnya terlihat samar-samar padahal ia yakin berdiri paling depan, terlebih lagi wajah yang terlihat seharusnya tidak perlu ada di stu justru terlihat lebih jelas.[12]

Tampak jelas bahwa hasil penulisan sejarah masih ada yang mencerminkan apa yang diinginkan, yang hasilnya jauh melebihi dari yang seharusnya/semestinya, sehingga dampaknya akan menyentuh pada permasalahan metodologis, kredibilitas, dan validitas data. Bagaimanapun juga, sejarah yang murni oleh sejarawan dapat dibebaskan dari propaganda, yang menuntut validitas objektif.

Seorang sejarawan bisa saja memiliki pendapat yang berbeda terhadap peristiwa yang sama. Oleh karena itu, setiap generasi dibolehkan menuliskan kembali sejarah-sejarah yang dituli pada masa dahulu, pada suatu saat dan tempat tertentu sehingga memunculkan versi yang berbeda dari serangkaian peristiwa yang sama, masing-masing versi peristiwa tersebut bermaksud memberikan kebenaran yang dapat dimiliki sekarang.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Interpretasi merupakan suatu proses yang dijalani oleh seorang sejarawan dalam penganalisisan suatu peristiwa sejarah. Peristiwa masa lampau dapat dikatakan sebagai peristiwa sejarah apabila sudah diberi tafsir. Penafsiran sejarah dituntut adanya validitas obyektif, namun terkadang tafsiran sejarah tidak selamanya dianggap benar karena tidak sesuai lagi dengan zamannya, oleh karena itu setiap generasi menyusun sejarah zamannya sendiri.

Perbedaan cara berfikir manusia yang dipengaruhi oleh pandangan hidupnya, salah satu faktor yang menyebabkan tafsiran yang beragam, yakni penafsiran monistik dan penafsiran pluralistik. Akan tetapi model, penafsiran yang umumnya dipakai oleh sejarawan di era modern saat ini adalah model penafsiran pluralistik, karena mereka berfikir bahwa gerak sejarah didorong oleh akal manusia yang ditandai oleh kemajuan ilmu.

Hermeneutika dianggap sebagai teori baru mengenai interpretasi sejarah, yang dapat memudahkan sejarawan dalam menafsirkan dan menerjemahkan teks-teks kedalam bentuk penafsiran tentunya dengan menggunakan analisis dan metodologis yang sesuai dengan kajian ilmu sejarah. Namun, dengan beragam model interpretasi, tidak serta merta melepaskan seorang sejarawan dari segenap persoalan terhadap tafsirannya. Penafsiran dalam sejarah tidak bisa terlepas dari unsur subjektivitas penulisnya. Akan tetapi, ini tidak dianggap sebagai persoalan yang berarti, karena subjektivitas terjadi karena penulis punya pandangan tersendiri terhadap sumber yang ditemukan. Bahkan data yang sama tidak menutup kemungkinan menimbulkan interpretasi yang berbeda, apabila hal ini telah terjadi maka penelitian tersebut dapat dibenarkan atau sah, asalkan peneliti menggunakan sumber yang valid.

DAFTAR PUSTAKA

Gazalba, Sidi. 1966. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: PT Bhratara Karya Aksara.

Hugiono dan P.K Purwantana. 1992.  Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Kartodirdjo, Sartono. 1993.Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah [historical Explanation]. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008.

Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sjamsuddin, Helius. 2012. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Sulasman. 2014. Metodologi Penelitian Sejarah, Bandung: CV Pustaka Setia.

[1] Sulasman. Metodologi Penelitian Sejarah, [Bandung: CV Pustaka Setia, 2014], hal 110.

[2] pseudo history merupakan catatan tentang masa lampau menurut kedudukannya, mati dan tak dapat dimengerti, disebut juga dengan “Kronik atau analen”

[3] Ibid., hal 111.

[4] Ibid., hal 112.

[5] Sidi Gazalba, Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu, [Jakarta: PT Bhratara Karya Aksara, 1966],hal 8.

[6] Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, [Yogyakarta: Ombak, 2012], hal 130.

[7] Hugiono dan P.K Purwantana, Pengantar Ilmu Sejarah, [Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992], hal 79.

[8] Sulasman, Op.cit., hal 128.

[9] Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, [Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003], hal 15.

[10] Sulasman, Op.cit., hal 275.

[11] Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah [historical Explanation], [Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008], hal 35.

[12] Helius Sjamsuddin, Op.cit., hal 146.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề