Apakah yang kamu ketahui tentang tradisi sekaten tersebut

Grebeg sekaten. TRIBUN JOGJA/HASAN SAKRI

TRIBUNNEWS.COM - Sekaten adalah rangkaian kegiatan tahunan yang umunya diadakan umat Islam sebagai peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Sekaten diadakan oleh Keraton Surakarta dan Yogyakarta.

Tradisi Sekaten telah berlangsung sejak masa pemerintahan Kerajaan Demak.

Sekaten terus menerus dilestarikan oleh Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa Tengah, di anataranya Kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram hingga Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Ngayogyakarta.

Baca: 25 Ucapan Maulid Nabi Muhammad 9 November 2019, Cocok Quote atau Status WhatsApp hingga Facebook

Baca: Amalan yang Bisa Dilakukan untuk Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, Termasuk Perbanyak Sedekah

Pameran Sekaten di Bangsal Pagelaran. TRIBUN JOGJA/NORISTERA PAWESTRI [Tribun Jogja/Noristera Pawestri]

Dilansir dari situs laman resmi Keraton Yogyakarta, Sekaten berasal dari Bahasa Arab ‘syahadatain’ yang berarti dua kalimat syahadat.

Sekaten juga dikaitkan dengan gamelan yang diberi nama Kyai Sekati.

Pada masa Kerajaan Demak, para Wali menggunkan momentum kelahiran Nabi Muhammad yang jatuh pada Bulan Mulud [Tahun Jawa] untuk berdakwah.

Para Wali akan membunyikan Gamelan Sekati untuk menarik perhatian masyarakat.

Grebeg sekaten. TRIBUN JOGJA/HASAN SAKRI

TRIBUNNEWS.COM - Sekaten adalah rangkaian kegiatan tahunan yang umunya diadakan umat Islam sebagai peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Sekaten diadakan oleh Keraton Surakarta dan Yogyakarta.

Tradisi Sekaten telah berlangsung sejak masa pemerintahan Kerajaan Demak.

Sekaten terus menerus dilestarikan oleh Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa Tengah, di anataranya Kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram hingga Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Ngayogyakarta.

Baca: 25 Ucapan Maulid Nabi Muhammad 9 November 2019, Cocok Quote atau Status WhatsApp hingga Facebook

Baca: Amalan yang Bisa Dilakukan untuk Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, Termasuk Perbanyak Sedekah

Pameran Sekaten di Bangsal Pagelaran. TRIBUN JOGJA/NORISTERA PAWESTRI [Tribun Jogja/Noristera Pawestri]

Dilansir dari situs laman resmi Keraton Yogyakarta, Sekaten berasal dari Bahasa Arab ‘syahadatain’ yang berarti dua kalimat syahadat.

Sekaten juga dikaitkan dengan gamelan yang diberi nama Kyai Sekati.

Pada masa Kerajaan Demak, para Wali menggunkan momentum kelahiran Nabi Muhammad yang jatuh pada Bulan Mulud [Tahun Jawa] untuk berdakwah.

Para Wali akan membunyikan Gamelan Sekati untuk menarik perhatian masyarakat.

Lihat Foto

Kompas/AUGUST PARENGKUAN

Gunungan diujung menuju halaman Mesjid Besar Yogya.

KOMPAS.com - Menjelang peringatan Maulid Nabi 12 Rabiul Awal 1440 H, Sekaten merupakan tradisi yang dijalankan dan dinikmati banyak orang.

Bagi masyarakat Surakarta [Solo] dan Yogyakarta, acara Sekaten merupakan sesuatu yang yang dinanti-nanti setiap tahunnya. Sebab, Sekaten juga dimaknai sebagai sarana hiburan keluarga yang menunjukkan identitas kearifan lokal daerah setempat.

Namun, bagi masyarakat luar Surakarta dan Yogyakarta, banyak yang belum tahu mengenai makna Sekaten atau upacara apa saja yang dijalani.

Oleh sebab itu, banyak masyarakat luar Surakarta dan Yogyakarta yang datang untuk melihat prosesi selama Sekaten berlangsung.

Makna Sekaten

Menurut KRT Haji Handipaningrat dalam buku Perayaan Sekaten, kata Sekaten berakar dari kata dalam bahasa Arab, "Syahadatain" yang memiliki makna persaksian [syahadat]. Bagi masyarakat Muslim, syahadat dianggap penting sebab merupakan proses pengakuan terhadap keesaan Tuhan dan risalah Nabi Muhammad SAW.

Kemudian, kata itu mengalami perluasan makna dengan "Suhatain" yang bermakna menghentikan atau menghindari dua perkara, perbuatan buruk dan menyeleweng.

Makna ini kemudian berkembang lagi menjadi "Sakhatain" yang bermakna menghilangkan makna dua watak, hewan dan setan. Selain itu, ada juga "Sakhotain" yang berarti menanamkan dua perkara, yaitu memelihara budi suci dan budi luhur.

Setelah itu ada juga kata "Sekati" yang bermakna orang hidup harus bisa menimbang yang baik dan buruk. Dan yang terakhir "Sekat", adalah pembatas, untuk tidak berbuat jahat dan mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan.

Akhirnya, makna Sekaten tak hanya sebatas hiburan dan prosesi upacara semata, melainkan mengandung makna kehidupan seperti di atas yang harus bisa diterapkan oleh setiap insan individu.

Baca juga: Saat Warga Berebut Janur Kuning di Pembukaan Sekaten

Numplak Wajik

Dua hari sebelum Grebeg, diadakan upacara Numplak Wajik di dalam halaman istana. Upacara ini berupa kotekan atau permainan lagu memakai kentongan, lumpang dan semacamnya.

Lihat Foto

Kompas/AUGUST PARENGKUAN

Gunungan diujung menuju halaman Mesjid Besar Yogya.

KOMPAS.com - Sekaten adalah rangkaian kegiatan tahunan yang dijadikan sebagai peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diadakan oleh Keraton Surakarta dan Yogyakarta.

Sekaten berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta yang dilaksanakan setiap tanggal 5 sampai 11 Rabi’ul Awal dan ditutup dengan upacara Garebeg Mulud pada 12 Rabi’ul Awal.

Awal mula adanya Sekaten yaitu dimulai dari kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa pada zaman Kesultanan Demak.

Saat itu, orang Jawa menyukai gamelan pada hari raya Islam, yaitu hari lahirnya Nabi Muhammad, sehingga dimainkanlah gamelan di Masjid Agung Demak.

Baca juga: Nilai-Nilai pada Tradisi Sekaten

Asal Usul 

Tercetusnya nama Sekaten sendiri diadaptasi dari kata syahadatain yang berarti persaksian [syahadat] yang dua.

Kemudian mengalami perluasan maksa menjadi:

  • sahutain [menghentikan atau menghindari perkara dua, yaitu sifat lacur dan menyeleweng], sakhatain [menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan]
  • sakhotain [menanamkan dua perkara, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur yang selalu mendambakan diri pada Tuhan]
  • sekati [setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk]
  • sekat [batas, orang hidup harus membatasi diri untuk berlaku jahat].

Baca juga: Sejarah Singkat Khulafaur Rasyidin

Prosesi 

Upacara tradisional Sekaten dilakukan selama tujuh hari, adapun tahapan-tahapannya sebagai berikut:

  • Gamelan sekaten dibunyikan pada pukul 16.00 sampai kira-kira jam 23.00 pada tanggal 5 Rabi’ul Awal

  • Gamelan dipindahkan ke pagongan di halaman Masjid Besar mulai jam 23.00.

  • Hadirnya Sri Sultan beserta pengiringnya ke serambi Masjid Besar untuk mendengarkan pembacaan Riwayat kelahiran Nabi Muhammad SAW, diselenggarakan pada tanggal 11 Rabi’ul Awal.

  • Dikembalikannya gamelan sekaten dari halaman Masjid Besar ke Kraton sebagai tanda berakhirnya upacara Sekaten.

Terdapat dua tradisi yang dilakukan selama Sekaten berlangsung, yaitu Grebeg Muludan dan Numpak Wajik.

Grebeg Muludan

Grebeg Muludan diadakan pada tanggal 12 Rabi’ul Awal atau sebagai acara puncak peringatan Sekaten.

Tradisi ini dimulai dari pukul 08.00 sampai 10.00 WIB dikawal dengan 10 macam bregada [kompi] prajurit Kraton.

Abdi dalem Keraton Surakarta menabuh gamelan Kyai Guntur Madu di Halaman Masjid Agung Keraton. sumber

Sekaten merupakan acara tahunan yang sudah ada sejak lama di Solo dan Yogyakarta. Tradisi yang digelar sejak abad 15 ini bertujuan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sekaten juga merupakan tradisi yang selalu ditunggu oleh masyarakat Solo dan Jogja menjelang penutupan akhir tahun.

Pada tradisi ini, selalu diadakan pasar malam selama satu bulan penuh. Kemudian pada puncak acara diadakan Grebeg Maulud Nabi yang berupa kirab gunungan. Tahun ini puncak acara sekaten jatuh pada 1 Desember lalu.

Sekaten sendiri dipercaya sebagai perpaduan antara kesenian dan dakwah. Tradisi ini merupakan salah satu bentuk penyebaran agama Islam di Jawa. Walisongo menggunakan kesenian untuk menarik masyarakat agar datang dan menikmati acara ini. Dari acara ini masyarakat mulai diperkenalkan dengan agama Islam.

Sekaten di Keraton Surakarta

Prosesi resmi Sekaten Surakarta tahun ini dimulai Jumat, 24 November 2017 lalu. Prosesi adat ini diawali dengan keluarnya dua gamelan milik Keraton Surakarta. Dua gamelan  itu ialah gamelan Kyai Guntur Madu dan gamelan Kyai Guntur Sari.

Kedua gamelan tersebut dibawa menuju Masjid Agung Surakarta dengan rute Kori Kamandungan-jalan Sapit Urang Barat – menuju Masjid Agung Surakarta. Pembukaan sekaten ditandai dengan upacara ungeling gangsa atau tabuhan gamelan.

Masyarakat memadati gunungan yang dibawa oleh para abdi dalem Keraton Surakarta. sumber

Gamelan Kyai Guntur Madu akan dimainkan terlebih dahulu kemudian baru gamelan Kyai Guntur Sari. Para niyaga gamelan akan menabuh gamelan sepanjang siang hari, dan hanya beristirahat pada waktu solat Dzuhur dan Ashar.

Pada puncak sekaten diadakan Grebeg Maulud Nabi atau kirab gunungan dari Keraton Surakarta. Ada dua gunungan pada Grebeg Maulud di Keraton Surakarta, yaitu gunungan jaler [laki-laki] dan gunungan estri [perempuan]

Uniknya, masyarakat rela berdesakan untuk mendapatkan isi gunungan tersebut karena dipercaya bisa membawa berkah dari Tuhan.

Sekaten di Keraton Yogyakarta

Hampir sama dengan sekaten di Solo, Keraton Jogja juga mengelar tradisi ini selama sebulan penuh. Tradisi Sekaten di Yogyakarta dimulai dengan Slametan untuk memohon ketentraman dan kelancaran, tradisi ini bersamaan dengan dibukanya pasar malam perayaan Sekaten.

Satu minggu sebelum acara puncak sekaten, Gamelan dibunyikan di dalam Kraton pada malam tanggal 6 Rabiul Awal di Bangsal Poconiti mulai pukul 19.00 hingga pukul 23.00 WIB.

Pada pukul 23.00 gamelan dipindahkan ke Masjid Agung Yogyakarta oleh para prajurit Kraton. Selama satu minggu gamelan dibunyikan terus menerus, kecuali pada waktu solat Dzuhur dan Ashar. Dua gamelan ini ialah gamelan Kyai Guntur Madu dan Gamelan Kanjeng Kyai Nagawilaga.

Puncak acara sekaten ditandai dengan grebeg maulud atau keluarnya gunungan dari Keraton. Sumber

Upacara selanjutnya ialah Numplak Wajik. Berlokasi di Magangan Kidul, upacara numplak wajik merupakan tanda dimulainya pembuatan gunungan wadon.

Kemudian dilaksanakan upacara miyos atau hadirnya Sri sultan di Masjid besar untuk menyebarkan udhik-udik yang berisi beras, bunga, dan uang logam. Setelah itu Sri Sultan duduk di serambi masjid untuk mendengarkan pembacaan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW.

Miyos Dalem berakhir ditandai dengan pelaksanaa Kondur Gongso atau dikembalikannya gamelan kembali ke dalam Keraton. Rangkaian upacara terakhir sekatenan yaitu dikeluarkannya Hajad Dalem Pareden atau Gunungan tepat pada 12 Rabiul Awal.

Yang membedakan dengan sekaten di Solo, di Keraton Yogyakarta ada 6 buah gunungan, yaitu 2 buah gunungan lanang/laki-laki, 1 gunungan wadon/perempuan, 1 gunungan dharat, 1 gunungan gepak, 1 gunungan pawuhan.

budaya jogja sekaten solo tradisi

SHARE :

Video yang berhubungan

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề