Bagaimana prosedur penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat menurut UU Nomor 26 Tahun 2000?

Latuharhary – Komnas HAM telah melakukan penyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di Indonesia. Disinyalir bolak-balik pengembalian berkas antara Komnas HAM [penyelidik] dan Jaksa Agung [penyidik dan penuntut], menjadi penghambat penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat.

Hal ini diungkapkan Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, Amiruddin, dalam konferensi pers Catatan Penegakan HAM 2019 yang dilakukan secara daring, Selasa [09/06/20]. “Fungsi Komnas HAM sebagai penyelidik memastikan Jaksa Agung melanjutkan prosesnya ke pengadilan”, jelas Amir.Senada dengan Amir, Komisioner Mediasi Komnas HAM, Munafrizal Manan, mengungkapkan jika pengembalian berkas dari Jaksa Agung dengan alasan-alasan yang tidak sesuai dengan mandat Komnas HAM. Komnas HAM dituntut untuk melebihi batas kewenangannya sebagai penyelidik.“Komnas HAM terbatas sebagai penyelidik saja untuk menemukan ada atau tidak adanya pelanggaran HAM yang berat dalam suatu peristiwa. Jaksa Agung sebagai penyidik dengan lingkup menentukan tersangka, membuat tuntutan dan memprosesnya di pengadilan”, jelas Munafrizal.Terkait pembahasan untuk meningkatkan kewenangan Komnas HAM, tidak serta merta menjadi solusi atas mandeknya proses hukum kasus pelanggaran HAM yang berat. Munafrizal berpendapat jika Komnas HAM ditingkatkan kewenangannya juga sebagai penyidik misalnya, namun penuntutan tetap saja ada di Jaksa Agung maka tidak solutif. “Hal ini justru akan menjadikan problem tersendiri lagi”, lanjutnya.Menurutnya, sulit jika tidak ada kemauan serius dari Jaksa Agung untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Bahkan untuk menggambarkan situasi hukum yang terjadi, Munafrizal mengutip pernyataan pakar hukum terkenal, B.M.Taverne yang berbunyi ‘Berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa Undang-Undang sekalipun’.“Ini menggambarkan jika penegakan hukum tanpa Undang-Undang pun sebenarnya dapat ditegakan asalkan penegak hukumnya serius”, tekan Munafrizal.Hairansyah, Wakil Ketua Komnas HAM yang turut hadir dalam konferensi pers ini pun ikut berpendapat. Menurutnya kewenangan dan political will dari Negara menjadi bagian yang tidak terpisahkan karena tingkat kepentingannya tidak hanya HAM. Lebih lanjut Hairansyah meminta kepada publik untuk selalu mendorong dan menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat.“Konstitusi UUD  1945 sudah jelas, Komnas HAM membantu memformulasikan berdasarkan Undang-Undang nomor 26 tahun 2000, Undang-Undang nomor 39 tahun 1999, dan Undang-Undang nomor 40 tahun 2008. Kewajiban menyelesaikannya ada di Negara termasuk Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dan Lembaga terkait di dalamnya”, pungkas Hairansyah.Hingga saat ini hanya tiga kasus yang ditindaklanjuti Jaksa Agung sampai tingkat pengadilan HAM. Ketiga kasus tersebut adalah peristiwa Timor-Timor, Tanjung Priok dan Abepura. Tercatat masih ada 12 kasus pelanggaran HAM yang berat terombang-ambing tanpa kepastian hukum. [Ratih/Ibn/RPS]

 

Kabar Latuharhary – Sesuai mandat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM telah melakukan penyelidikan atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Sejumlah kasus telah selesai berkas penyelidikannya dan telah diserahkan kepada Jaksa Agung untuk dilakukan penyidikan. 

“Sampai saat Jaksa Agung belum menindaklanjuti berkas-berkas penyelidikan Komnas HAM,” kata Sandrayati Moniaga, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM diacara “Diskusi dan Pemutaran Film, 23 Tahun Tragedi Semanggi I: Mencari Keadilan” yang diselenggarakan secara daring oleh Amnesty International Indonesia, Kamis 11 November 2021.

Sandra – sapaan akrab Sandrayati Moniaga – kemudian menjelaskan secara lebih rinci bagaimana upaya – upaya yang telah dilakukan oleh Komnas HAM. Mulai dari 27 Agustus 2001, di mana pada saat itu yang diselidiki ada tiga peristiwa, yaitu peristiwa Trisakti 12 Mei 1998, Semanggi I 13-14 November 1998, dan Semanggi II 23-24 September 1999. 

Penyelidikan Komnas HAM tersebut sebagaimana dijelaskan Sandra, telah selesai pada tahun 2002. “Kita semua tahu, sampai sekarang Kejagung belum menindaklanjuti dengan penyidikan, namun terus mengembalikan ke Komnas HAM dan Komnas HAM mengembalikan lagi,” tutur Sandra.

Menurut Sandra, berkas yang dikembalikan tersebut, bukan hanya berkas Trisakti, Semanggi I, semanggi II, tetapi juga berkas-berkas lain yang sudah diserahkan. Sampai saat ini, ada ada 12 berkas, di antaranya kasus Paniai 2014, sebelumnya ada Rumah Geudong Aceh, Jambo Keupok Simpang, pembunuhan dukun santet, peristiwa 1998, Wasior Wamena 2001 dan 2003, penghilangan paksa 1997-1998, kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, Talangsari 1989, penembakan misterius [Petrus] 1982-1985, dan peristiwa 1965-1966. 

“Jadi, sampai saat ini semua berkas tersebut, terus bolak-balik antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Argumennya seperti diketahui bersama, sering dibilang kurang lengkap alat bukti, kemudian penyelidik tidak disumpah, ada juga kadang-kadang penerjemah tidak disumpah, dan lain-lain,” ucap Sandra. 

Komnas HAM kemudian mengembalikan kembali ke Kejaksaan Agung dengan pertimbangan bahwa memang Komnas HAM tidak mungkin mendapatkan bahan lain karena yang berkewajiban mendapatkan cukup alat bukti adalah penyidik, yaitu Jaksa Agung. Hal lain, terkait sumpah, menurut Sandra di dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, hal tersebut juga tidak diatur.

Lebih jauh menurut Sandra, melihat adanya kondisi demikian yang terus menerus, Komnas HAM terus berupaya mendorong pemerintah agar segera menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM tersebut. Selain itu, Komnas HAM juga memandang bahwa perlu adanya metode baru untuk diupayakan.

Pengungkapan kebenaran sebagai salah satu upaya penyelesaian dengan mempertimbangkan kekhasan dan karakteristik tiap kasus, menurut Sandra dapat menjadi salah satu jalan keluar. Dalam hal ini, tentunya pemerintah perlu membangun ruang konsensus yang melibatkan para pihak. Bagi Komnas HAM sendiri, hak korban adalah yang harus diutamakan.

“Selain itu, kami juga terus menyampaikan kepada presiden dan juga kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan [Menkopolhukam]. Dalam konteks ini kami juga sempat mengusulkan memang pola penyelesaian lain, tetapi kami melihat bahwa hal itu tidak mesti diperlakukan untuk semua kasus,” ujar Sandra.

Menilik pilihan pertimbangan kebijakan sipil dan politik [sipol] pada level presiden dan rekonsiliasi, menurut Sandra perlu adanya kejelasan struktur dan kewenangan. Komnas HAM juga mendorong pilihan lain, yaitu soal kebijakan ekonomi sosial budaya [ekosob] dalam konsep keadilan transisional [transitional Justice]. Keadilan transisional dipahami sebagai masalah pelanggaran hak asasi manusia [HAM] yang secara sistematis terjadi di masa lalu dalam proses demokratisasi yang diselesaikan melalui prosedur yudisial seperti lewat pengadilan di dalam negeri atau pengadilan internasional, maupun prosedur non-yudisial lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi [KKR]. Namun, Komnas HAM juga memiliki catatan-catatan tersendiri atas pengadilan yang lalu tersebut.

“Kami melihat bahwa kita perlu melakukan revisi atas UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hukum acara berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana [KUHAP], kualifikasi pembunuhan, penjelasan unsur sistematis atau meluas dan mekanisme pelindungan saksi yang efektif. Kita juga perlu menyusun opsi-opsi lain, selain pengadilan HAM sebagai jalan untuk memberikan keadilan bagi korban. Komnas HAM juga tetap proaktif atas gagasan pemerintah tentang Komisi Kebenaran agar memberikan keadilan pada korban,” tutur Sandra.

Penulis : Niken Sitoresmi. 

Editor: Rusman Widodo.

Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia [“UU 26/2000”], yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia [“HAM”] yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sedangkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi [“KKR”] yang Anda tanyakan diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi [“UU 27/2004”].  Pasal 1 angka 3 UU 27/2004 menjelaskan sebagai berikut:

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang selanjutnya disebut Komisi, adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan melaksanakan rekonsiliasi.

Adapun yang dimaksud dengan rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan, melalui KKR dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa.[1]

KKR ini dibentuk untuk menegakkan kebenaran terhadap pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu [sebelum berlakunya UU 26/2000] di luar pengadilan dengan menempuh langkah-langkah berikut; pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain guna menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan tetap memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.[2]

Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat [“DPR”].[3]

Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda, mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM yang berat melalui KKR yang kami sarikan dari wewenang KKR serta tugas dan wewenang subkomisi penyelidikan dan klarifikasi dalam KKR adalah sebagai berikut;[4]

  1. Penerimaan pengaduan, pengumpulan informasi dan bukti-bukti mengenai pelanggaran HAM yang berat dari korban atau pihak lain;

  2. Pencarian fakta dan bukti-bukti pelanggaran HAM yang berat;

  3. Mendapatkan dokumen resmi milik instansi sipil atau militer serta badan swasta, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri;

  4. Pemanggilan terhadap setiap orang yang terkait untuk memberikan keterangan dan kesaksian;

  5. Klarifikasi seseorang sebagai pelaku atau sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

  6. Penentuan kategori dan jenis pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur dalam UU 26/2000;

  7. Pemutusan pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi.

Selain itu diatur pula mengenai penyelesaian permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi dan amnesti sebagai berikut:[5]

  1. Dalam hal KKR telah menerima pengaduan atau laporan pelanggaran HAM yang berat yang disertai permohonan untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti, KKR wajib memberi keputusan dalam jangka waktu paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan;[6]

  2. Keputusan tersebut dapat berupa mengabulkan atau menolak untuk memberikan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi, atau memberikan rekomendasi berupa pertimbangan hukum dalam hal permohonan amnesti;[7]

  3. Rekomendasi permohonan amnesti, dalam jangka waktu paling lambat 3 hari terhitung sejak tanggal keputusan sidang KKR, disampaikan kepada Presiden untuk mendapatkan keputusan;[8]

  4. Presiden kemudian meminta pertimbangan amnesti kepada DPR dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal rekomendasi diterima;[9]

  5. DPR wajib memberikan pertimbangan amnesti dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal permintaan pertimbangan Presiden diterima;[10]

  6. Keputusan Presiden mengenai mengabulkan atau menolak permohonan amnesti wajib diberikan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal pertimbangan DPR diterima;[11]

  7. Keputusan Presiden kemudian disampaikan kembali kepada KKR dalam jangka waktu paling lambat 3 hari terhitung sejak tanggal diputuskan,[12] dan KKR menyampaikan keputusan Presiden tersebut kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, dalam jangka waktu paling lambat 7 hari sejak tanggal keputusan tersebut diterima oleh KKR.[13]

Sebagai catatan, jika pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahan serta tidak bersedia menyesali, maka pelaku kehilangan hak mendapat amnesti dan yang bersangkutan diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc.[14] Penjelasan lebih lanjut mengenai Pengadilan HAM Ad Hoc dapat Anda simak dalam Mengenal Pengadilan HAM Ad Hoc.

Namun, yang perlu digarisbawahi dalam pembahasan mengenai KKR ini adalah bahwa UU 27/2004 yang menjadi dasar hukum pembentukan KKR telah dicabut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006 yang menyatakan sebagai berikut [hal. 130-131]:

Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR, sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang a quo, tidak mungkin dapat diwujudkan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum [rechtsonzekerheid]. Oleh karena itu, Mahkamah menilai undang-undang a quo secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan dinyatakannya UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, tidak berarti Mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum [undang-undang] yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.

Dengan demikian, pada dasarnya KKR sudah tidak mempunyai dasar hukum lagi, namun sebagaimana yang ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan di atas, hal ini tidak menutup adanya upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi dengan cara lainnya.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Putusan:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006.

[1] Pasal 1 angka 2 UU 27/2004

[2] Pasal 3 huruf a jo. Penjelasan Umum UU 27/004

[3] Pasal 1 angka 9 UU 27/2004

[4] Pasal 18 ayat [1] jo. Pasal 7 ayat [1] UU 27/2004

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề