Bagaimanakah pelaksanaan politik luar negeri Indonesia untuk kasus Laut Tiongkok

Oleh: Luqman Hakim

Abstrak:

Republik Rakyat Tiongkok mengklaim secara historis wilayah laut Natuna utara menjadi wilayahnya. Tak heran jika sering sekali kapal Republik Rakyat Tiongkok melakukan kegiatan ilegal di wilayah tersebut, padahal berdasarkan UNCLOS 1982 laut Natuna utara merupakan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, persoalan tersebut menimbulkan sengketa yang tidak kunjung usai. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui upaya penyelesaian sengketa dan kebijakan yang dilakukan Pemerintah Indonesia atas klaim dari Republik Rakyat Tiongkok. Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian hukum dengan melihat hukum yang tertulis dalam perundang-undangan dan Penulis juga menggunakan teori dari ahli Hukum Internasional untuk menganalisa rumusan masalah dalam skripsi ini. Kesimpulan dari penelitian ini adalah, upaya penyelesaian sengketa laut Natuna utara berdasarkan UNCLOS 1982 adalah dengan cara win win solution [Negosiasi, Pencarian Fakta, Mediasi, Konsiliasi] jika win win solution solution tidak tercapai maka dengan win lose solution [Arbitrase Internasional dan Pengadilan Internasional]. Kebijakan yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia adalah mengeluarkan UU No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan hingga melayangkan nota protes kepada Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 2020. Salah satu solusi dari ahli Hukum Internasional adalah memperbanyak nelayan dan petugas keamanan untuk eksploitasi dan penjagaan wilayah laut Natuna utara. Adapun kendala dihadapi Indonesia adalah jika reaksi Indonesia tidak tepat maka bisa merenggangkan hubungan diplomatik serta hubungan kerjasama perekonomian dengan Republik Rakyat Tiongkok.

Kata Kunci: Penyelesaian Sengketa, Perairan Natuna, UNCLOS 1982

Konflik Laut China Selatan, Bagaimana Posisi Indonesia?

Surabaya - Humas | Guru Besar Departemen Hubungan Internasional, Profesor Dr. Makarim Wibisono memberi ulasan mengenai Posisi Indonesia dan Peran ASEAN dalam konflik Laut China Selatan. Dikemas dalam acara diskusi Reboan rutin FISIP UNAIR yang dimoderatori M. Muttaqien yang merupakan staf pengajar Ilmu Hubungan Internasional, diskusi ini menjadi wadah para audiens dengan Profesor Makarim dalam membahas posisi Indonesia dalam konflik Laut China Selatan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Laut China Selatan memiliki arti yang strategis bagi Bangsa Indonesia. Walaupun Indonesia bukan negara yang ikut menuntut klaim atas kepemilikan wilayah di Laut Tiongkok Selatan, namun posisi Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN membuat tindakan yang diambil Indonesia menjadi penting bagi kelanjutan Konflik Laut Tiongkok Selatan. Menurut Makarim, setidaknya ada 4 alasan yang menjadikan wilayah Laut Tiongkok Selatan penting bagi Indonesia. Pertama, perairan merupakan soko guru bagi aktivitas ekspor impor Indonesia. Kedua, konflik dan instabilitas di Laut Tiongkok Selatan akan berdampak pada perdagangan dan ekonomi kawasan. Ketiga, kawasan tersebut juga merupakan jalur masuk ke wilayah Indonesia dari utara dan terakhir, kawasan utara merupakan alur yang disepakati Indonesia sebagai Alur Laut Kepulauan Indonesia [ALKI].

“Konflik Laut Tiongkok Selatan ini mengandung dua dimensi, yakni dimensi hukum yang berkaitan dengan kedaulatan; dan dimensi politik yang berkaitan dengan perdamaian dan keamanan,” Ujar Makarim. Menegaskan posisi Indonesia dalam sengketa ini, Makarim menjelaskan bahwa Indonesia adalah non-claimant states, atau negara tidak menuntut klaim atas Laut Cina Selatan. Indonesia juga memiliki hubungan baik dengan seluruh negara yang terlibat sebagai claimant staes, juga Amerika Serikat. Selain itu, Indonesia juga menjadi target persuasi oleh Tiongkok maupun negara-negara lainnya.

Makarim menekankan bahwa dalam mengatasi konflik ini, integrasi ASEAN tetap harus menjadi hal yang diutamakan. “Perdamaian merupakan peluang untuk memperkuat ASEAN. Dalam situasi konflik, sentralitas ASEAN perlu dijaga agar dapat utuh bersatu secara kohesif. Ketika suatu wilayah mengalami konflik, maka membuka peluang bagi pihak eksternal untuk mengintervensi wilayah konflik,” kata Makarim. [Shafira Yasmine]

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề