Berikut yang bukan termasuk julukan bagi Ali bin Abi Thalib adalah

Foto: bincangsyariah.com

Bulan suci Ramadhan merupakan bulan  yang sangat ditunggu-tunggu oleh kaum muslimin. Pada bulan tersebut, setiap ibadah pahalanya dilipatgandakan. Bahkan tidurpun, bagi orang yang berpuasa, dinilai lebih baik. Kaum muslimin saling berlomba-lomba menggairahkan ibadah, dengan berbagai bentuknya. Ada yang memperbanyak membaca al-Qur’an, memperbanyak sedekah, dzikir-sholawat dan sebagainya. Dan yang diidolakan adalah melaksanakan sholat tarowih secara berjama’ah.

Untuk menyelenggarakan sholat tarowih secara berjama’ah, biasanya takmir masjid telah menyiapkan segala; tempat dan pengisi kultum. Mengenai pelaksanaan sholat tarowih ini, di beberapa daerah, terutama Jawa Tengah, terdapat tradisi yan menarik. Tradisi ini berupa pembacaan sholawat dan penyebutan nama-nama sahabat Nabi [khulafaurasyidin] di antara salam kedua atau keempat sholat tarawih yang dikerjakan dengan hitungan 2 rokaat setiap salamnya. Pembacaan ini dilakukan oleh seorang pemandu, atau bisanya disebut dengan ‘bilal’. Pembacaan nama-nama Khulafaurrasyidin dimaksudkan sebagai tanda jumlah rokaat dan sekaligus untuk mengenang nama sahabat terbaik Rasulullah Saw. di awal dakwah Islam.

Adapun kalimatnya -setiap daerah bisa berbeda meski intinya sama- secara berurutan sebagai berikut:

الخليفة الأولى أبي بكر الصديق رضي الله عنه

الخليفة الثاني عمر ابن الخطاب رضي الله عنه

الخليفة الثالث عثمان ابن عفّان رضي الله عنه

الخليفة الرابع على ابن أبي طالب كرّم الله وجهه

Mungkin ada yang bertanya, mengapa gelar [laqob] khalifah Ali bin Abi Thalib berbeda dengan tiga khalifah lainnya, yang disematkan lafadz رضي الله عنه [semoga Allah meridhinya]. Sementara sahabat Ali bin Abi Thalib, kepadanya disematkan lafadz كرّم الله وجهه [semoga Allah memuliakan wajahnya]?.

Penyematan lafadz كرّم الله وجهه pada sahabat Ali, bukan berasal dari beliau sendiri. Berdasarkan penelusuran literatur yang penulis lakukan, terdapat riwayat bahwa penyematan كرّم الله وجهه pada sahabat Ali diberikan oleh kaum muslimin. Dan semata-mata berdasarkan penghormatan kaum muslimin pada saat itu kepada beliau. Di dalam kitab Ghidzau al-Albab Syarh Mandlumat al-Adab karya Muhammad bin Ahmad bin Salim as-Safarini al-Hambali, Juz I, halaman 24 disebutkan:

قال الأشياخ: وإنما خصّ على رضي الله عنه بقول كرّم الله وجهه لأنّه ما سجد صنم قط وهذا إنشاء الله تعالى لا بأس به

“para Syeikh berkata: mengenai pengkhususan terhadap sahabat Ali ra. dengan ucapan  كرّم الله وجهه karena sesunggunya sahabat Ali tidak pernah sujud terhadap berhala sama sekali. Dan hal ini Insya Allah tidak apa-apa”

Sejarah mencatat bahwa Ali ra. termasuk salah satu yang mengimani kerasulan Muhammad Saw. mengimani risalah yang dibawanya, dan masuk Islam. Saat itu Ali ra. berusia 10 tahun, yang artinya masih sangat belia [anak-anak]. Beliau juga orang yang pertama kali sholat bersama Nabi Muhammad Saw. Dalam suatu atsar, Ali ra. berkata:

عن سلمة بن  كهيل قال: سمعت حبة العرني قال: سمعت عليا كرم الله وجهه يقول: أنا أول من صلى مع رسول الله صّلى الله عليه واله وسلم

“dari Salamah bin Kahil berkata: saya mendengar Hubbah al-‘Urnia berkata: saya mendengar Ali kw. berkata: saya adalah orang pertama sholat bersama Rasulullan Saw.”   [an- Nasai, 1987:19]

Di dalam kitab Fatawa al-Haditsiyah karya Ibn Hajar al-Haitami [1971:102] juga menyebutkan tentang adanya hikmah penyematan lafadz كرّم الله وجهه. Karena Ali ra. tidak pernah sujud kepada berhala, maka semoga Allah memuliakan wajahnya dan memeliharanya agar senantiasa menghadap Allah semata. Sahabat Abu Bakar juga tidak pernah sujud kepada berhala. Namun usia Ali ra. ketika masuk Islam dalam usia yang sangat belia, maka beliau lebih lama dalam keislaman, sehingga gelar كرّم الله وجهه dikhususkan untuk beliau.

Mengenai pengkhususan gelar كرّم الله وجهه untuk sahabat Ali ra., terdapat perbedaan pendapat. Misalnya yang disampaikan oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an al-Adzim jilid 11 halaman 237:

قلت: وقد غلب هذا في عبارة كثير من النساخ للكتب، أن يفرد علي، رضي الله عنه، بأن يقال: “عليه السلام”، من دون سائر الصحابة، أو: “كرم الله وجهه” وهذا وإن كان معناه صحيحا، لكن ينبغي أن يُسَاوى بين الصحابة في ذلك؛ فإن هذا من باب التعظيم والتكريم، فالشيخان وأمير المؤمنين عثمان بن عفان أولى بذلك منه، رضي الله عنهم أجمعين.

Menurut Ibnu Katsir, ungkapan penghormatan antara Ali ra. dan sahabat yang lain sebaiknya disamakan, meskipun pengkhususan gelar كرّم الله وجهه untuk Ali secara makna benar. Ibnu Katsir hanya menyarankan agar Ali pun sebaiknya menggunakan ‘radhiyallahu ‘anhu saja, bukan karramallahu wajhah atau ‘alaihis salam.

Perbedaan masalah furu’ [cabang] sudah terjadi sejak masa sahabat. Maka, wajar saja apabila masalah gelar كرّم الله وجهه juga terjadi perbedaan. Umat Islam terdiri dari berbagai kelompok [madzhab], dan masing-masing memiliki manhaj  [metode] dalam mengambil suatu ketetapan hokum. Dan yang penting untuk dipahami adalah perbedaan yang terjadi adalah sebagai rahmat dari Allah Swt.

Setiap umat Islam memilik cara yang berbeda dalam mengekspresikan rasa cintanya kepada para sahabat ra. Adakalanya rasa cinta itu diungkapkan dalam bentuk do’a dan syair puji-pujian. Salah satu contoh ungkapan rasa cinta adalah dengan menyematkan gelar          كرّم الله وجهه kepada sahabat Ali ra.

Wallahu a’lam bi ash-showab.

Referensi

Al-Haitami, Ibn Hajar. [1971]. Al-Fatawa al-Haditsiyah.  Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. al-Hambali, Muhammad bin Ahmad bin Salim as-Safarini. [1996]. Ghidzau al-Albab Syarh Mandlumat al-Adab, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah. An-Nasai, Abdurrohman Ahmad bin Syu’aib. [1987]. Kitab Khashaish Amir al-Mu’minin ‘Ali ibn Abi Thalib. Beiru: Dar al-Kitab al-‘Arabi.

Ibnu Katsir. [1999]. Tafsir Al-Qur’an al-Adzim.  Kairo: Dar ath-Thoyyibah

Sumber :

Penulis : Achmad Subkhan, SHI., MSI

Editor : N. Latif

Merdeka.com - Pada umumnya, gelar yang disematkan kepada para sahabat Nabi Muhammad SAW adalah radiyallahu anhu [semoga Allah meridainya]. Di samping sebagai doa, gelar tersebut merupakan bentuk penghormatan umat Muslim kepada para sahabat Nabi yang turut memperjuangkan eksistensi Islam.

Namun berbeda dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ia memiliki gelar karramallahu wajhah. Artinya, semoga Allah memuliakannya.

Dikutip dari nu.or.id, dalam buku 'Ali bin Abi Thalib, Sampai kepada Hasan dan Husain' dijelaskan, menantu Nabi Muhammad itu tidak pernah menyembah berhala sepanjang hidupnya. Ali bin Abi Thalib juga tidak pernah melihat aurat dirinya sendiri dan orang lain. Ia begitu menjaga pandangannya sehingga tidak melihat aurat orang lain.

Itulah yang melatarbelakangi gelar karramallahu wajhah tersemat di belakang nama Ali bin Abi Thalib.

Masuk Islam di Usia Muda

Dalam sebuah riwayat disebutkan, Ali bin Abi Thalib masuk Islam saat berusia sepuluh tahun. Itulah yang menjadikannya sebagai orang pertama masuk Islam dari kalangan anak-anak.

Masuk Islamnya sahabat Nabi yang lahir di area Masjidil Haram, Makkah pada Jumat, 13 Rajab itu berawal dari ketika ia tidak sengaja mendapati Rasulullah dan Sayyidah Khadijah melaksanakan salat. Ia kemudian bertanya tentang apa yang dikerjakan pamannya itu.

Nabi Muhammad menjelaskan bahwa yang dikerjakannya adalah shalat. Nabi Muhammad lantas menyeru Ali bin Abi Thalib untuk masuk Islam.

Ali bin Abi Thalib menerima dakwah Nabi Muhammad untuk masuk Islam tanpa meminta izin atau pendapat dari orang tuanya, Abu Thalib.

Sahabat Nabi Muhammad yang Cerdas

Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad yang cerdas. Jika para sahabat lainnya menemukan persoalan dan tidak menemukan jalan keluar, maka mereka mendatangi Ali bin Abi Thalib untuk meminta jawaban.

Nabi Muhammad juga mengakui kecerdasan Ali bin Abi Thalib. Dalam sebuah hadits, Nabi mengatakan bahwa dirinya adalah kotanya ilmu sementara Ali bin Abi Thalib adalah gerbangnya ilmu.

"Ali" beralih ke halaman ini. Untuk kegunaan lain, lihat Ali [disambiguasi].

Artikel atau halaman tentang atau mungkin bertopik biografi tokoh muslim ini membutuhkan lebih banyak rujukan, kutipan, sitasi atau catatan kaki. Gunakan templatnya atau alat untuk pemastian. Anda dapat berkontribusi dalam WBI memperbaiki artikel ini dengan menambahkannya dari sumber yang tepercaya, dalam WBI ada 328 halaman sejenis ini. Silakan menghapus templat pemeliharaan ini setelahnya.

Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampilkan] di bagian kanan.

  • Artikel ini adalah bagian dari ProyekWiki Biografi.
  • Lihat pula Kategori:Semua artikel biografi tokoh muslim dan Kategori:Templat kutipan
  • Gunakan Wikipedia:Templat/Referensi dengan bantuan Peralatan sitasi untuk kerapian dan kemudahan dalam pengembangan atau perbaikan dari bagian bibliografi, referensi, kutipan, catatan kaki, catatan akhir, rujukan ataupun yang disebut dengan daftar pustaka pada artikel ini.

Informasi lebih lanjut: Wikipedia:Sumber tepercaya, Wikipedia:Kutip sumber tulisan, Wikipedia:Pemastian, Wikipedia:Bukan riset asli, Wikipedia:Biografi tokoh yang masih hidup, dan Wikipedia:Sudut pandang netral

‘Alī bin Abī Thālib [Arab: علي بن أﺑﻲ طالب, Persia: علی پسر ابو طالب] [lahir sekitar 13 Rajab 23 SH/599 Masehi – wafat 21 Ramadan 40 Hijriah/661 Masehi] adalah khalifah keempat yang berkuasa dan Imam Syiah pertama. Dia termasuk golongan pemeluk Islam pertama dan salah satu sahabat utama Nabi. Secara silsilah, 'Ali adalah sepupu dari Nabi Muhammad. Pernikahan 'Ali dengan Fatimah az-Zahra juga menjadikannya sebagai menantu Nabi Muhammad.

Ali bin Abi Thalib
علي بن أبي طالب

Ali radhiallahu anhu

Khalifah
sudut pandang SunniBerkuasa20 Juni 656 – 29 Januari 661[4 tahun, 224 hari]PendahuluUtsman bin 'AffanPenerusHasan bin AliImam

sudut pandang Syi'ahBerkuasa632–661PenerusHasan bin Ali

Lahir15 September 601 [13 Rajab 21 SH]Ka'bah, Makkah, Jazirah Arab[1]Wafat29 Januari 661 [21 Ramadan  40 H] [usia 59][2][3]

Kufah, MesopotamiaPemakaman

Masjid Imam Ali, Najaf

SukuBani Hasyim [Quraisy]Nama lengkapNama dan tanggal periode
'Alī ibn Abī Ṭālib bahasa Arab: علي ابن أبي طالب
Khulafaur Rasyidin: 656–661
AyahAbu ThalibIbuFatimah binti AsadPasangan

  • Fathimah binti Muhammad
  • Umamah binti Zainab
  • Fathimah binti Hizam
  • Laila binti Mas'ud
  • Asma binti 'Umays
  • Khaulah binti Ja'far
  • Ash-Shahba' binti Rabi'ah
  • Ummu Said binti Urwah

Anak

  • Hasan
  • Husain
  • Zainab
  • Ummu Kultsum
  • Muhsin
  • Muhammad
  • 'Abbas
  • 'Abdullah
  • Abu Bakar
  • Utsman
  • Umar
  • Ubaidillah
  • Muhammad al-Ashghar

AgamaIslam

Bagian dari artikel tentang
Imam Syiah
Dua Belas Imam

Ali bin Abi Thalib
Hasan al-Mujtaba
Husain asy-Syahid
Ali Zainal Abidin
Muhammad al-Baqir
Ja'far ash-Shadiq
Musa al-Kadzim
Ali ar-Ridha
Muhammad al-Jawad
Ali al-Hadi
Hasan al-Askari
Muhammad al-Mahdi

Sebagai salah satu pemeluk Islam awal, Ali telah terlibat dalam berbagai peran besar sejak masa kenabian, meski usianya terbilang muda bila dibandingkan sahabat utama Nabi yang lain. Ali mengikuti semua perang, kecuali Perang Tabuk, pengusung panji, juga berperan sebagai sekretaris dan pembawa pesan Nabi. Ali juga ditunjuk sebagai pemimpin pasukan pada Perang Khaibar.

Sepeninggal Nabi Muhammad, Ali diangkat sebagai khalifah atau pemimpin umat Islam setelah Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Dalam sudut pandang Sunni, Ali bersama tiga pendahulunya digolongkan sebagai Khulafaur Rasyidin.[4] Di sisi lain, kelompok Syiah memandang bahwa 'Ali yang harusnya mewarisi kepemimpinan umat Islam begitu mangkatnya Nabi Muhammad atas tafsiran mereka dalam peristiwa Ghadir Khum, membuat kepemimpinan tiga khalifah sebelumnya dipandang tidak sah. Masa kekuasaan 'Ali merupakan salah satu periode tersulit dalam sejarah Islam karena saat itulah terjadi perang saudara pertama dalam tubuh umat Muslim yang berawal dari terbunuhnya Utsman bin 'Affan, khalifah ketiga. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai status 'Ali dan hak kepemimpinannya atas umat Islam, Sunni dan Syiah sepakat mengenai pribadinya yang saleh dan adil.

Ahlussunnah memandang Ali bin Abi Thalib sebagai salah seorang sahabat Nabi yang terpandang. Hubungan kekerabatan Ali dan Rasulullah sangat dekat sehingga ia merupakan seorang ahlul bait dari Nabi ﷺ. Ahlussunnah juga mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai salah seorang Khulafaur Rasyidin [khalifah yang mendapat petunjuk].

Sunni menambahkan nama Ali di belakang dengan Radhiyallahu Anhu atau semoga Allah ridha padanya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada sahabat Nabi yang lain.

Sufi

Sufi menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu Wajhah atau semoga Allah memuliakan wajahnya. Doa kaum Sufi ini sangat unik, berdasarkan riwayat bahwa dia tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun.[butuh rujukan] Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa dia tidak suka memandang ke bawah bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak pertempuran, bila pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang dia, maka Ali enggan meneruskan duel hingga musuhnya lebih dahulu memperbaiki pakaiannya.

Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu al-hikmah [divine wisdom] dan futuwwah [spiritual warriorship]. Dari dia bermunculan cabang-cabang tarekat [thoriqoh] atau spiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan dia sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadiriyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani [karya Syekh Ja'far Barzanji] dan banyak kitab-kitab lainnya.

Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 [perkiraan]. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.

Dia bernama asli Assad bin Abu Thalib, bapaknya Assad adalah salah seorang paman dari Muhammad ﷺ. Assad yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah.

Setelah mengetahui anaknya yang baru lahir diberi nama Assad,[butuh rujukan] Ayahnya memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi [derajat di sisi Allah].

Kehidupan Awal

Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, di mana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.

Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi ﷺ karena dia tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi ﷺ bersama istri dia Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak dia kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.

Masa Remaja

Ketika Nabi Muhammad ﷺ menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini, Ali berusia sekitar 10 tahun.[butuh rujukan]

Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi ﷺ karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga dia menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani [spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan'] atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada dia tetapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.

Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.

Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zahir [eksterior] atau syariah dan batin [interior] atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.

Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah

Ali bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Dia tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.

Kehidupan di Madinah

Pernikahan

Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali menikah dengan Fatimah az-Zahra, putri Nabi Muhammad. Ali tidak menikah dengan wanita lain ketika Fatimah masih hidup. Tertulis dalam Tarikh Ibnu Atsir, setelah itu Ali menikah dengan Ummu Banin binti Haram, Laila binti Mas'ud, Asma binti Umais, Sahba binti Rabia, Umamah binti Abil Ash, Haulah binti Ja'far, Ummu Said binti Urwah, dan Mahabba binti Imru'ul Qais.[5]

Julukan

Ketika Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata Ali sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad pun lalu duduk dan membersihkan punggung Ali sambil berkata, "Duduklah wahai Abu Turab, duduklah." Turab yang berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali.

Pertempuran yang diikuti pada masa Nabi

Perang Badar

Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tetapi semua sepakat dia menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.

Perang Khandaq

Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.

Perang Khaibar

Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kukuh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi ﷺ bersabda:

"Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya".

Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, tenyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.

Peperangan lainnya

Hampir semua peperangan dia ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili Nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah.

Artikel atau sebagian dari artikel ini mungkin diterjemahkan dari Ali bin Abi Thalib di en.wikipedia.org. Isinya masih belum akurat, karena bagian yang diterjemahkan masih perlu diperhalus dan disempurnakan. Jika Anda menguasai bahasa aslinya, harap pertimbangkan untuk menelusuri referensinya dan menyempurnakan terjemahan ini. Anda juga dapat ikut bergotong royong pada ProyekWiki Perbaikan Terjemahan.
[Pesan ini dapat dihapus jika terjemahan dirasa sudah cukup tepat. Lihat pula: panduan penerjemahan artikel]

Setelah Nabi wafat

Sampai disini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib, perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi Muhammad wafat. Syi'ah berpendapat sudah ada wasiat [berdasar riwayat Ghadir Khum] bahwa Ali harus menjadi Khalifah bila Nabi ﷺ wafat. Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar.

Menurut riwayat dari Al-Ya'qubi dalam kitab Tarikh-nya Jilid II Menyebutkan suatu peristiwa sebagai berikut. Dalam perjalan pulang ke Madinah seusai menunaikan ibadah haji [ Hijjatul-Wada'], malam hari Rasulullah ﷺ bersama rombongan tiba di suatu tempat dekat Jifrah yang dikenal dengan nama "GHADIR KHUM." Hari itu adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Ia keluar dari kemahnya kemudia berkhutbah di depan jamaah sambil memegang tangan Imam Ali Bin Abi Tholib r.a. Dalam khutbahnya itu antara lain dia berkata: "Barang siapa menanggap aku ini pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah, pimpinlah orang yang mengakui kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya".

Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi, Ahlul Bait, dan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai'at-an Ali bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Ada yang meriwayatkan setelah Nabi dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali membai'at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummat.

Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.

Sebagai khalifah

Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah 'Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa dia, sehingga akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.

Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Pertempuran Basra. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu'minin Aisyah binti Abu Bakar, Istri Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.

Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah telanjur meluas dan sudah diisyaratkan [akan terjadi] oleh Nabi Muhammad ﷺ ketika dia masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Pertempuran Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut. Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya.

Pembunuhan di Kufah

Artikel utama: Pembunuhan Ali

Pada tanggal 19 Ramadan 40 Hijriyah, atau 27 Januari 661 Masehi, saat sholat di Masjid Agung Kufah, Ali diserang oleh seorang Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam. Dia terluka oleh pedang yang diracuni oleh Abdurrahman bin Muljam saat ia sedang bersujud ketika sholat subuh.[6] Ali memerintahkan anak-anaknya untuk tidak menyerang orang Khawarij tersebut, Ali malah berkata bahwa jika dia selamat, Abdurrahman bin Muljam akan diampuni sedangkan jika dia meninggal, Abdurrahman bin Muljam hanya diberi satu pukulan yang sama [terlepas apakah dia akan meninggal karena pukulan itu atau tidak].[7] Ali meninggal dua hari kemudian pada tanggal 29 Januari 661 [21 Ramadan 40 Hijriyah].[8][6] Hasan bin Ali memenuhi Qisas dan memberikan hukuman yang sama kepada Abdurrahman bin Muljam atas kematian Ali.[9]

Ayah — 'Imran [sekitar 539 – sekitar 619]. Lebih dikenal dengan nama Abu Thalib. Pemimpin Bani Hasyim. Salah satu pelindung utama Nabi Muhammad di Makkah. Terdapat perbedaan pendapat, utamanya antara kalangan Sunni dan Syi'ah, mengenai status keislamannya. Menurut Sunni, Abu Thalib tidak masuk Islam sampai akhir hayatnya, sementara Syi'ah memandang bahwa Abu Thalib adalah seorang Muslim.

  • Kakek — Syaibah bin Hasyim. Lebih dikenal dengan 'Abdul Muttalib.
  • Nenek — Fatimah binti Amr dari Bani Makhzum

IbuFatimah binti Asad.

  • Kakek — Asad bin Hasyim
  • Nenek — Fatimah binti Qais

Pasangan dan keturunan

Artikel utama: Keturunan Ali bin Abi Thalib

'Ali menikahi delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra.[5][10]

  • Fatimah [615–632]. Putri bungsu Nabi Muhammad dan Khadijah binti Khuwailid.
    • Hasan [624–670]. Menjadi khalifah selama enam atau tujuh bulan pada tahun 661.
    • Husain [625–680]. Menikah dengan Syahrbanu, putri Yazdegerd III, Kaisar Sasaniyah terakhir. Terbunuh dalam Pertempuran Karbala.
    • Zainab [626–681]. Menikah dengan sepupunya, 'Abdullah bin Ja'far bin Abu Thalib.
    • Zainab As-Sughra [Zainab Kecil], juga dikenal dengan Ummu Kultsum. Menikah dengan Umar bin Khattab. Mahar untuk pernikahannya sebesar 40.000 dirham[11] dan mereka hidup sebagai suami istri pada tahun 638.[12] Tercatat Ummu Kultsum pernah memberikan hadiah parfum kepada Permaisuri Martina, istri Kaisar Romawi Timur Heraklius. Sebagai balasan, Martina menghadiahi kalung kepada Ummu Kulstum. Namun 'Umar yang percaya bahwa istrinya tak seharusnya ikut campur dalam urusan kenegaraan akhirnya menyerahkan kalung tersebut ke dalam perbendaharaan negara.[13] Dalam sudut pandang Syi'ah, pernikahan antara Ummu Kulstum dan 'Umar adalah kisah rekaan.[14]
    • Muhsin. Terlahir mati.
  • Khaulah binti Ja'far dari Bani Hanifah. Saat masyarakat Yamamah menolak membayar zakat sepeninggal Nabi Muhammad, Khalifah Abu Bakar memerangi mereka. Khaulah dan beberapa wanita lain ditawan sebagai budak dan dibawa ke Madinah. Saat sukunya mengetahui nasib Asma, mereka mendatangi 'Ali bin Abi Thalib untuk membebaskannya dari perbudakan dan melindungi martabat keluarganya. 'Ali kemudian membeli Asma dan membebaskannya, kemudian menikahinya.
    • Muhammad bin al-Hanafiyah [637–700]
  • Umamah. Ibunya adalah Zainab, putri tertua Nabi Muhammad dan Khadijah binti Khuwailid. Ayahnya adalah Abu Al-'Ash bin Ar-Rabi' dari Bani Abdu Syams.
    • Hilal. Juga dikenal dengan Muhammad Al-Awsath.
    • Awn
  • Fatimah binti Hizam. Juga dikenal dengan Ummul-Banin. Berasal dari Bani Kilab.
    • 'Abbas [647–680]
    • Utsman
    • 'Abdullah
    • Ja'far
  • Laila binti Mas'ud
  • Asma binti Umais. Secara keseluruhan, Asma menikah sebanyak tiga kali dan 'Ali adalah suami terakhirnya. Suami pertama Asma adalah saudara 'Ali sendiri, Ja'far bin Abi Thalib. Suami keduanya adalah Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
  • Ash-Shahba' binti Rabi'ah
    • 'Umar
    • Ruqayyah. Dikatakan mengungsi ke anak benua India dan mendakwahkan Islam di sana setelah Pertempuran Karbala.
  • Ummu Said binti Urwah
  • Mahabba binti Imru'ul Qais
    • seorang putri, meninggal ketika masih kecil
  • Ummu walad

Banyak keturunan Ali yang tewas terbunuh dalam Pertempuran Karbala. Keturunannya yang masih ada saat ini merupakan para keturunan dari Hasan dan Husain [anak Fatimah], Muhammad bin al-Hanafiyah [anak Khaulah], Abbas [anak Ummul Banin], dan Umar [anak Ash-Shahba'].[5]

Keturunan Ali melalui putranya Hassan dikenal dengan Syarif, dan dari jalur Hussein dikenal dengan Sayyid. Sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi'ah. Keturunan Ali secara kesuluruhan dari para istrinya dikenal sebutan dengan Alawiyin atau Alawiyah.

  • Fatimah az-Zahra
  • Rabithah Alawiyah
  • Ahlul Bait
  • Sayyid

  1. ^ Rahim, Husein A.; Sheriff, Ali Mohamedjaffer [1993]. Guidance From Qur'an [dalam bahasa Inggris]. Khoja Shia Ithna-asheri Supreme Council. Diakses tanggal 11 April 2017. 
  2. ^ Shad, Abdur Rahman. Ali Al-Murtaza. Kazi Publications; 1978 1st Edition. Mohiyuddin, Dr. Ata. Ali The Superman. Sh. Muhammad Ashraf Publishers; 1980 1st Edition. Lalljee, Yousuf N. Ali The Magnificent. Ansariyan Publications; January 1981 1st Edition.
  3. ^ Sallaabee, Ali Muhammad. Ali ibn Abi Talib [volume 2]. hlm. 621. Diakses tanggal 15 December 2015. 
  4. ^ Biographies of the Prophet's companions and their successors, Ṭabarī, translated by Ella Landau-Tasseron, pp.37-40, Vol:XXXIX
  5. ^ a b c Sayyid Sulaiman Nadwi [2015]. Ali bin Abi Thalib. Puspa Swara. hlm. 62. ISBN 978-979-1479-87-5. 
  6. ^ a b Tabatabaei 1979, hlm. 192
  7. ^ Kelsay 1993, hlm. 92
  8. ^ Kesalahan pengutipan: Tag tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Iranica
  9. ^ Kesalahan pengutipan: Tag tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Madelung 1997 p=309
  10. ^ The Life of Hadrat Ali
  11. ^ Muhammad ibn Jarir al-Tabari. Tarikh al-Rusul wa'l-Muluk. Translated by Smith, G. R. [1994]. Volume 14: The Conquest of Iran, hlm. 101. Albany: State University of New York Press.
  12. ^ Muhammad ibn Jarir al-Tabari. Tarikh al-Rusul wa'l-Muluk. Translated by Juynboll, G. H. A. [1989]. Volume 13: The Conquest of Iraq, Southwestern Persia, and Egypt, hlm. 109-110. Albany: State University of New York Press.
  13. ^ Muhammad ibn Jarir al-Tabari. Tarikh al-Rusul wa'l-Muluk. Translated by Humphreys, R. S. [1990]. Volume 15: The Crisis of the Early Caliphate, hlm. 28. Albany: State University of New York Press
  14. ^ Umar's Marriage to Umm Kulthum in Shiite Narrations. [n.d] Retrieved from //www.al-islam.org/critical-assessment-umm-kulthums-marriage-umar-sayyid-ali-al-husayni-al-milani/section-4-umars.

  • [Inggris] Ali bin Abi Talib oleh I. K. Poonawala dan E. Kohlberg dalam Encyclopedia Iranica
  • [Inggris] Ali, artikel pada Enyclopaedia Britannica Online
  • [Inggris] Biography from USC's MSA website Diarsipkan 2008-12-16 di Wayback Machine.
  • [Inggris] The Life of the Commander of the Faithful Ali b. Abu Talib by Shaykh Mufid in Kitab al-Irshad
Jabatan Islam Sunni Jabatan Islam Syi'ah

Ali bin Abi Thalib

Bani Hasyim

Cabang kadet Quraisy

Lahir: 15 September 601 Wafat: 29 Januari 661
Didahului oleh:
'Utsman bin 'Affan
Khalifah
20 Juni 656 – 29 Januari 661
Diteruskan oleh:
Hasan bin 'Ali
Jabatan baru Imam
632–661
Diteruskan oleh:
Hasan bin 'Ali

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ali_bin_Abi_Thalib&oldid=20796445"

Video yang berhubungan

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề