Dampak apa yang ditimbulkan dari kegiatan kredit tersebut

Risiko kredit [credit risk] didefinisikan sebagai risiko kerugian yang terkait dengan kemungkinan kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya; atau risiko bahwa debitur tidak membayar kembali utangnya.

Contoh
Bank A memberikan kredit perumahan kepada debitur perorangan.  Saat memberikan kredit tersebut, bank memiliki risiko bahwa sebagian atau seluruh debitur perorangan tersebut akan gagal membayar bunga ataupun pokok kredit yang diterimanya.

Risiko kredit timbul dari adanya kemungkinan bahwa kredit yang diberikan oleh bank, atau obligasi yang dibeli, tidak dapat dibayarkan kembali. Risiko kredit juga timbul dari tidak dipenuhinya berbagai bentuk kewajiban pihak lain kepada bank, seperti kegagalan memenuhi kewajiban pembayaran dalam kontrak derivatif.

Untuk sebagian bank, risiko kredit merupakan risiko terbesar yang dihadapi. Pada umumnya, marjin yang diperhitungkan untuk mengantisipasi risiko kredit hanyalah merupakan bagian kecil dari total kredit yang diberikan bank dan oleh karenanya kerugian pada kredit dapat menghancurkan modal bank dalam waktu singkat.

Metode pengelolaan risiko kredit

Bank menggunakan sejumlah teknik dan kebijakan dalam mengelola risiko kredit untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya atau dampak dari kerugian kredit [dikenal dengan mitigasi risiko kredit]. Teknik dan kebijakan tersebut adalah:

  1. model pemeringkatan [grading model] untuk kredit perorangan
  2. manajemen portofolio kredit
  3. sekuritisasi
  4. agunan
  5. pengawasan arus kas
  6. manajemen pemulihan [recovery management].

Model pemeringkatan [grading model]

Kredit yang diberikan bank setiap saat dapat menjadi bermasalah, namun kemungkinannya menjadi kecil jika bank menerapkan kebijakan pemberian kredit yang sehat.  Langkah pertama adalah menciptakan model pemeringkatan kredit sebagai sarana untuk menetapkan kemungkinan terjadinya gagal bayar [default].  Dalam hal ini bank melakukan kalibrasi risiko yang pada gilirannya akan memungkinkan bank untuk menetapkan suatu probabilitas tertentu untuk setiap kejadian yang tidak diinginkan [yang dikenal dengan probability of default/PD].  Cara ini memungkinkan bank untuk memastikan bahwa portofolio kredit bank tidak terkonsentrasi pada kredit berkualitas buruk yang memiliki kemungkinan gagal bayar yang tinggi.

Contoh
Model pemeringkatan faktor tunggal Bank A memberikan kredit perumahan kepada debiturnya.  Untuk minimalkan risiko kredit, bank membuat sebuah model pemeringkatan yang sederhana.  Dalam kasus ini Bank A mengelompokkan kredit tersebut berdasarkan prosentase kredit yang diberikan kepada debitur terhadap nilai properti saat ini.  Bank kemudian menghitung probabilitas potensi kerugian dari setiap kelompok kredit dan menyesuaikan kebijakan pricing-nya agar terdapat keseimbangan dalam portofolio kredit bank.

Ekspektasi bank dalam hal ini adalah bahwa potensi kerugian atas pemberian kredit sebesar 50% dari nilai properti saat ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan potensi kerugian dari pemberian kredit sebesar 100% dari nilai properti. Selanjutnya bank akan berupaya menyesuaikan pricing kredit yang diberikan dalam rangka mengoptimalkan pengembalian [return] atas risiko yang dihadapi.

Dalam penerapannya, model pemeringkatan mempertimbangkan pula beberapa faktor tambahan. Misalnya, persentase pendapatan debitur yang digunakan untuk membayar bunga kredit, riwayat pekerjaan debitur, dan jumlah tahun pembayaran kembali kredit dibandingkan dengan usia debitur.

Basel II secara spesifik membahas model pemeringkatan sebagai bagian dari kerangka kerja risiko kredit.

Manajemen portofolio kredit

Bank dengan cara yang sama mengukur portofolio kreditnya untuk memberikan keyakinan bahwa kredit yang diberikan tidak terlalu terkonsentrasi pada satu industri atau wilayah geografis tertentu.  Hal ini memungkinkan bank untuk melakukan diversifikasi pada portofolio kredit-nya sehingga risiko terjadinya default yang bersifat sistemik dapat ditekan.  Analisis seperti ini dikenal sebagai cohort analysis dan dapat digunakan baik pada kredit korporasi maupun perorangan.

Sekuritisasi
Basel II mempersyaratkan bank untuk memperkirakan dampak gejolak ekonomi dan memastikan bahwa kegiatan usahanya telah didukung dengan permodalan yang memadai untuk mengantisipasi dampak gejolak ekonomi tersebut.  Selain mengalokasikan modal pada tingkat yang mencukupi, bank juga melakukan tindakan-tindakan lain untuk melindungi kegiatan usahanya.  Salah satu teknik yang digunakan bank untuk melindungi dirinya dari gejolak ekonomi adalah dengan mengemas dan menjual sebagian portofolio kreditnya kepada investor dalam bentuk surat berharga. Teknik ini dikenal sebagai sekuritisasi.

Sekuritisasi memungkinkan bank untuk mengurangi potensi eksposur yang tinggi pada suatu jenis kredit tertentu yang menurut skenario bank menunjukkan tingkat risiko atau konsentrasi risiko yang paling tinggi. Sekuritisasi memungkinkan bank menggunakan dana yang dihasilkan dari penjualan aktiva dan menginvestasikannya pada aktiva lain yang dianggap memiliki risiko lebih rendah.

Peran agunan

Agunan [collateral] didefinisikan sebagai aktiva yang diperjanjikan oleh debitur untuk mendapatkan kredit dan dapat diambil alih dalam hal terjadi default.  Agunan memiliki peranan penting dalam kebijakan pemberian kredit yang diterapkan bank.  Agunan dapat memiliki bentuk yang beragam. Bantuk agunan yang paling mudah dikenali dan paling aman adalah uang tunai, sementara bentuk yang paling umum adalah properti hunian [residential property].

Contoh
Bank A memberikan kredit kepada seorang debitur untuk membeli sebuah rumah dan, sebagai jaminan, bank diberikan hak untuk mengambil alih kepemilikan rumah tersebut jika pembayaran kembali kredit tidak dilakukan sesuai jadwal.  Dalam contoh ini, rumah di atas menjadi agunan atas kredit perumahan yang diberikan bank.

Bank perlu memastikan bahwa agunan yang diterima benar-benar dapat digunakan untuk memitigasi risiko saat debitur mengalami default.  Bentuk agunan yang diserahkan seringkali bersifat spesifik sesuai dengan kegiatan usaha yang dibiayai. Jika kegiatan usaha tersebut secara umum tidak menguntungkan, maka aktiva debitur yang bersangkutan akan dinilai rendah.  Dalam hal ini bank harus memastikan bahwa agunan tetap memiliki nilai yang cukup dalam hal terjadi default.

Contoh
Bank A memberikan kredit kepada sebuah pabrik mobil dan menerima hak untuk mengambil alih kepemilikkan pabrik dan peralatannya dalam hal terjadi default.  Karena kurangnya penjualan, pabrik mobil tersebut gulung tikar dan tidak dapat membayar kembali kreditnya.  Bank A mengambil alih kepemilikan pabrik dan peralatannya. Namun demikian karena kondisi umum industri mobil sedang mengalami penurunan, peralatan tersebut memiliki nilai jual kembali yang rendah.  Dalam hal ini, nilai agunan jauh lebih kecil dari kredit yang masih harus dibayar sehingga Bank A menderita kerugian yang cukup besar.

Basel I sangat membatasi jenis agunan yang dapat diakui. Namun demikian jenis agunan yang diakui dalam Basel II lebih beragam, khususnya pada pendekatan Internal Ratings-Based [IRB] dalam risiko kredit.

Monitoring arus kas

Sebagian bank yang mengalami tingkat default yang tinggi menemukan bahwa tindakan segera terhadap situasi kredit yang memburuk dapat mengurangi permasalahan secara signifikan.  Bank-bank tersebut menurunkan risiko kreditnya dengan cara;membatasi tingkat eksposur [dikenal sebagai EAD/Exposure at Default], danmemastikan bahwa nasabah bereaksi cepat terhadap keadaan yang berubah.

Beberapa model kredit memberikan perhatian khusus terhadap arus kas perusahaan dan perorangan yang tercermin dalam rekening bank mereka.

Manajemen pemulihan

Manajemen yang efisien terhadap suatu kredit yang mengalami default dapat menghasilkan pemulihan [recovery] yang cukup besar dibandingkan tingkat kerugian semula.  Oleh karena itu, sebagian bank menciptakan unit kerja yang secara khusus ditugasi untuk menangani pemulihan kredit macet sebagai bagian dari proses manajemen risiko kredit yang berkualitas tinggi.

Loss given default [LGD] adalah perkiraan kerugian yang akan diderita oleh bank sebagai akibat terjadinya default.  Penetapan LGD dan pengelolaannya secara bersama-sama berperan dalam pendekatan Internal Rating-Based untuk menghitung modal berdasarkan risiko kredit.  Nilai LGD dalam pendekatan Advanced IRB secara langsung dipengaruhi oleh estimasi bank mengenai jumlah yang dapat dipulihkan dari suatu kredit yang mengalami gagal bayar.

Salam hangat dan sukses

Kredit bermasalah adalah pemberian suatu fasilitas kredit yang mengandung risiko kemacetan. Akibatnya, kredit tidak dapat ditagih, sehingga menimbulkan kerugian. Menurut Ikatan Bankir Indonesia [2015:91]. Ada beberapa pengertian kredit bermasalah, yakni:

  1. Kredit yang di dalam pelaksanaannya belum mencapai/memenuhi target yang diinginkan bank.
  2. Kredit yang memiliki kemungkinan timbulnya risiko di kemudian hari bagi bank dalam arti luas.
  3. Mengalami kesulitan di dalam penyelesaian kewajiban-kewajiban, baik dalam bentuk pembayaran kredit kembali pokoknya dan atau pembayaran bunga, denda keterlambatan, serta ongkos-ongkos bank yang menjadi beban debitur.
  4. Kredit di mana pembayaran kembalinya dalam bahaya, terutama apabila sumber-sumber pembayaran kembali yang diharapkan diperkirakan tidak cukup untuk membayar kembali sehingga belum mencapai/ memenuhi target yang diinginkan oleh bank.
  5. Kredit dimana terjadi cedera janji dalam pembayaran kembali sesuai perjanjian sehingga terdapat tunggakan, atau potensi kerugian di perusahaan debitur sehingga memiliki kemungkinan timbulnya resiko dikemudian hari bagi bank dalam arti luas.
  6. Mengalami kesulitan didalam penyelesaian kewajiban-kewajibannya terhadap bank, baik dalam bentuk pembayaran kembali pokoknya, pembayaran bunga maupun pembayaran ongkos-ongkos bank yang menjadi beban nasabah debitur bersangkutan.
  7. Kredit golongan perhatian khusus,kurang lancar, diragukan, dan macet serta golongan lancar yang berpotensi menunggak.

Kemudian juga terdapat faktor penyebab yang mempengaruhi terjadinya kredit bermasalah atau non performing loan. Menurut Ismail [2010:83], dalam penyaluran kredit, tidak selamanya kredit yang diberikan bank kepada debitur akan berjalan dengan lancar sesuai dengan yang diharapkan di dalam perjanjian kredit. Secara umum ada dua faktor utama yang menyebabkan kredit bermasalah, yaitu faktor internal bank dan faktor eksternal bank

  1. Faktor Internal
      • Analisis kurang tepat, sehingga tidak dapat memprediksi apa yang akan terjadi dalam kurun waktu selama jangka waktu kredit. Misalnya, kredit diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan, sehingga nasabah tidak mampu membayar angsuran yang melebihi kemampuan.
      • Adanya kolusi antara pejabat bank yang menangani kredit dan nasabah, sehingga bank memutuskan kredit yang tidak seharusnya diberikan. Misalnya, bank melakukan over taksasi terhadap nilai agunan.
      • Keterbatasan pengetahuan pejabat bank terhadap jenis usaha debitur, sehingga tidak dapat melakukan analisis dengan tepat dan akurat.
      • Campur tangan terlalu besar dari pihak terkait, misalnya komisaris, direktur bank, sehingga petugas tidak independen dalam memutuskan kredit.
      • Kelemahan dalam melakukan pembinaan dan monitoring kredit debitur; dsb.

2. Faktor Eksternal

    • Unsur kesengajaan yang dilakukan oleh nasabah
      • Nasabah sengaja untuk tidak melakukan pembayaran angsuran kepada bank, karena nasabah tidak memiliki kemauan dalam memenuhi kewajibannya;
      • Debitur melakukan ekspansi terlalu besar, sehingga dana yang dibutuhkan terlalu besar. Hal ini akan memiliki dampak terhadap keuangan perusahaan dalam memenuhi kebutuhan Kredit Pemilikan Rumah [KPR].
      • Penyelewengan yang dilakukan nasabah dengan menggunakan dana kredit tersebut tidak sesuai dengan tujuan penggunaan [side streaming]. Misalnya, dalam pengajuan kredit, disebutkan kredit untuk investasi, ternyata dalam praktiknya setelah dana kredit dicairkan, digunakan untuk Kredit Pemilikan Rumah [KPR].
      • Debitur mau melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian, akan tetapi kemampuan perusahaan sangat terbatas, sehingga tidak dapat membayar angsuran;
      • Perusahaannya tidak dapat bersaing dengan pasar, sehingga volume penjualan menurun dan perusahaan rugi;
      • Perubahan kebijakan dan peraturan pemerintah yang berdampak pada usaha debitur;
      • Bencana alam yang dapat menyebabkan kerugian debitur.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề