Di bagian apa sajakah yang menandakan bahwa novel Rumah Kaca tergolong ke dalam novel sejarah

Novel sejarah ini ini menceritakan perjalanan panjang Minke sebagai pencetus pers pribumi dan pergerakan nasional. Pram menggambarkan kondisi masyarakat pribumi akibat kekuasaan Belanda mulai dari pergundikan perlakuan semena-mena.


Analisis Novel Rumah Kaca

Secara bentuk buku ini tetaplah hanya roman dengan latar belakang sejarah dan memadukan fiksi dan sejarah.

Sejarah berikut ini dengan kutipan novel sejarah rumah kaca karya pramoedya. Tetralogi Pulau Buru terdiri dari empat bagian yakni Bumi Manusia Anak Semua Bangsa Jejak Langkah dan seri terakhir Rumah Kaca. Perbedaan novel sejarah Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer dan teks sejarah Borobudur adalah sebagai berikut. Buku Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer.

Novel ini merupakan bagian pertama dari Tetralogi Buru sebelum Anak Semua Bangsa Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Sementara novel Rumah Kaca dibangun berdasarkan pemikiran penulisnya dan tidak terikat pada penggunaan fakta sehingga tergolong ke karya fiksi. Aliyya Alifah Zulfa 052.

Dia tak bisa menghadapi kekerasan. Pramoedya memang luar biasa. Menurut reviewer novel ini wajib untuk dibaca semua orang di Indonesia terutama kaum pelajar di Indonesia untuk semakin mendalami sejarah bangsa ini.

Cermati penggalan teks novel sejarah berikut. Sulit untuk tidak memuji Pramoedya Ananta Toer dengan tetraloginya. Novel Rumah Kaca juga berbeda dengan novel pertama sampai ketiga yang menjadi narator dalam buku ini bukanlah Minke melainkan seorang mantan Komisaris Polisi bernama Pangemanann dengan.

Unsur sejarah dapat menjadi salah satu unsur pembangun karya sastra. Novel Rumah kaca merupakan novel terakhir dari tetralogi Pulau Buru yang sangat berbeda dari tiga novel sebelumnya Bumi Manusia Anak Semua Bangsa dan Jejak Langkah. Resensi novel rumah kaca karya pramodya ananta toer betapa bedanya bangsa bangsa hindia ini dari bangsa eropa.

Dia mengimpikan seorang yang mengasihi menyayanginya dengan tulus. Apa perbedaan dan persamaan teks sejarah borobudur dengan kutipan novel rumah kaca 24032528. Sementara novel Rumah Kaca menyajikan peristiwa fiksi.

Novel sejarah misalnya merupakan novel yang mengambil setidaknya salah satu latar waktu danatau tempat di masa lalu. Novel sejarah ini bercerita tentang kisah perjuangan Laut seorang mahasiswa sekaligus aktivis kritis yang berani menyuarakan isu sosial pada masa orde baru. Teks Borobudur menyajikan peristiwa faktual yang terjadi di masa lalu berdasarkan catatan sejarah.

Tugas Halaman 52 Berdasarkan uraian sebelumnyatemukanlah bukti perbandingan antara teks sejarah berikut ini dengan kutipan novel sejarah Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer No. Teks Sejarah Novel sejarah 1. Berdasarkan Prasasti Karangtengah dan Kuhulunansejarawan JG De Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah Raja Mataram Kuno dari Dinasti Syailendra bernama Samaratunggadan.

Tetapi perbedaannya dengan Pra Revolusi Prancis di Hindia ini tidak lahir pemikir Pribumi tidak ada konsep-konsep tidak ada filsafat. A well-regarded writer in the West Pramoedyas outspoken and often politically charged writings faced censorship in his native land during the pre-reformation era. Novel ini seakan membawa pembaca untuk hadir dan mengalami sendiri peristiwa-peristiwa pada masa itu.

Tugas Perbandingan Teks Sejarah Borobudur Kutipan Novel Rumah KacaKelompok 3 Kelas XII IPS 1 SMAN 68 JakartaAnggota. Di antara banyaknya karya Pramoedya Ananta Toer Tetralogi Buru merupakan karyanya yang paling terkenal. Pramoedya Ananta Toer was an Indonesian author of novels short stories essays polemics and histories of his homeland and its people.

Rumah Kaca 1988 adalah buku terakhir dari tetralogi Buru. Latar yang diambil pun sesuai dengan peristiwa sejarah. Tetralogi ini bukanlah rangkaian buku sejarah maupun biografi tapi roman yang dirangkai oleh detik waktu yang berlalu untuk merangsang pembacanya untuk mencari tahu akan sejarah dan membaca buku sejarah yang sesungguhnya maupun mencari tahu tokoh sejarah.

Apa disparitas dan persamaan teks sejarah borobudur dengan kutipan novel tempat tinggal kaca 24032528. Saya tidak ingin laporan membaca ini hanya berputar pada puja-puji yang takberkesudahan. Pada bagian ini diambil sudut pandang yang sama sekali tidak terduga dari tiga cerita sebelumnya.

Dalam novel ini kembali dibahas sebagian dari isi ketiga novel tersebut. Artikel ringkasan novel rumah kaca karya pramoedya ananta toer ini dipublish oleh light pada hari rabu 25 april 2012. Kehadiran roman sejarah ini bukan saja dimaksudkan untuk mengisi sebuah episode berbangsa yang berada di titik persalinan yang pelik dan.

Di luar rumah dan kantor Pangemanann gerakan yang hamper-hampir disamakan dengan yang terjadi menjelang Revolusi Perancis membara seakan-akan sedang mendapatkan titik letusnya. Resensi novel rumah kaca karya pramodya ananta toer betapa bedanya bangsa bangsa hindia ini dari bangsa eropa. Artikel kompendium novel rumah kaca karya pramoedya ananta toer ini dipublish sang light dalam hari rabu 25 april 2012.


Laporan Kegiatan Membaca Borobudur


Analisis Struktur Teks Cerita Sejarah Borobudur Orientasi Pengungkaan Peristiwa Menuju Konflik Brainly Co Id


Perbandingan Teks Sejarah Dengan Novel Sejarah


Ulasan Novel Rumah Kaca Pramoedya Ananta Toer Damironova


Struktur Teks Cerita Sejarah Rumah Kaca Berbagi Struktur


Analisa Struktur Novel Sejarah Rumah Kaca Karya Pramoedya Ananta Brainly Co Id


Review Novel Rumah Kaca Karya Pramoedya Ananta Toer Politik Arsip Merupakan Kegiatan Per Rumah Kaca An


Temukanlah Bukti Perbandingan Antara Teks Sejarah Borobudur Dengan Kutipan Novel Sejarah Rumah Kaca Operator Sekolah


Analisis Struktur Dan Kaidah Teks Cerita Sejarah Novel Sejarah Sekali Peristiwa Di Banten Selatan


Awal bulan Desember ini akhirnya saya bisa menyelesaikan tetralogi Buru dan tentunya, sebelum saya menyelesaikan studi, sebelum melepas status mahasiswa. Buku terakhir dari tetralogi ini berjudul “Rumah Kaca” yang terdiri dari empat belas bab, namun lebih tebal dari buku sebelumnya yaitu sekitar enam ratus empat puluh enam halaman. Mungkin akan lebih banyak hal yang akan saya tulis di sini, tidak hanya ulasan “Rumah Kaca” namun juga sedikit tentang keseluruhan tetralogi ini. “Rumah Kaca” berbeda dari tiga buku sebelumnya yang bercerita dari sudut pandang orang pertama dari pihak Minke. Kali ini tetap sudut pandang orang pertama namun dari sudut pandang Jacques Pangemanann dengan dua n di belakang. Pangemanann adalah bekas Komisaris Besar Kepolisian Hindia Belanda yang diangkat menjadi staf ahli di Algemeene Secretarie menggantikan De Lange, seorang muda sarjana Eropa yang menandatangani pembuangan Minke ke Ambon tanpa proses peradilan lalu mati bunuh diri di kantornya yang kelak kantor itu menjadi kantor Pangemanann. Di sini diceritakan bahwa setiap pembuangan tokoh-tokoh yang dianggap membahayakan Gubermen adalah tindakan di luar hukum yang ilegal. Termasuk Pangemanann yang lalu menandatangani surat-surat pembuangan orang-orang selanjutnya. Ia juga yang menjemput Minke di rumahnya dan mengantarkan Minke ke Ambon, tempat pembuangannya. Pangemanann menceritakan kekejaman kolonial yang menjadi-jadi di masa kekuasaan Gubernur Jenderal Idenburg dan ia adalah orang yangberperan penting di balik pembuangan-pembuangan itu. Di buku ini juga disebutkan bahwa ia telah mengalami tiga kali ganti sep; yang pertama adalah orang Perancis yang sakit saraf, yang kedua orang Belanda yang mengagumi Amerika dan yang ketiga juga orang Belanda. Namun yang paling berpengaruh  ketika ia bekerja dengan sepnya yang pertama dan kedua. Selain itu Pangemanann juga menceritakan tentang persekutuan bangsa-bangsa kolonial Eropa dan oposisinya dalam memperebutkan wilayah jajahan dan menunjukkan prestise bangsa masing-masing dengan peperangan dan mengungkapkan keinginan kuat Gubermen untuk mengisolasi rakyat Hindia dari berita-berita dunia luar tentang kebangkitan dan pergerakan nasionalis di negara-negara Asia, khususnya Tiongkok dan Filipina yang sudah menjadi republik dan memiliki presiden sendiri. Pangemanann memprediksi Minke bisa menjadi presiden ketiga di Asia jika ia tidak mengalami pembuangan itu. Pangemanann juga menceritakan konflik batinnya, keharmonisan keluarganya yang kemudian hancur, ketergantungannya akan alkohol, dan intrik-intrik yang hanya diketahui oleh pejabat-pejabat kelas atas. Salah satu tugasnya adalah mempelajari perilaku dan gejolak sosial dari pergerakan Pribumi Hindia melalui dokumen-dokumen yang membuatnya menjadi ahli Pribumi Hindia Belanda bagi Gubermen. Kemunculan tokoh-tokoh nasionalis pribumi yang merupakan tuganya untuk mempelajari mereka; latar belakang pendidikan, keluarga dan orang-orang terkait dengan mereka, lalu jika dianggap berbahaya mereka akan dibuang, diasingkan. Ternyata tokoh-tokoh nasionalis ini memiliki keterkaitan masing-masing antara satu dengan yang lainnya. Maka ini membuat Pangemanann menyebut meja kerjanya dengan arsip-arsip di dalamnya sebagai “rumah kaca”  yang tembus pandang sehingga ia selalu bisa melihat pergerakan mereka. Kemunduran karirnya dimulai dengan bergantinya Gubernur Jenderal yang baru yaitu Van Limburg Stirum. Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum dan sep keduanya tidaklah terlalu bersifat kolonialis, bahkan mereka mengakui ketidakadilan dan kecurangan Gubermen. Pangemanann menjadi amat ambisius dan selalu berusaha mempertahankan posisinya, bekerja terus menerus, mengabdi pada Gubermen hingga lupa waktu dan menemui kenyataan bahwa ia telah jauh bertambah tua dan hanya bertambah tua tanpa pencapaian apapun kecuali uang pensiunan kelak dari Gubermen. Pada tahun bergantinya gubernur jenderal juga merupakan kepulangan Minke dari pembuangannya. Sekembalinya dari Ambon ia mendapati bahwa “kerajaan”nya sudah runtuh dan hancur tanpa bekas. Penerbitannya sudah mati, harta bendanya sudah dilelang tanpa sepengetahuannya apalagi seijiinya. Rumahnya di Buitenzorg pun telah menjadi rumah Pangemanann sejak ia jadi staf ahli di Algemeene Secretarie. Selain itu ia masih pula diminta tidak lagi berhubungan dengan Syarikat secara hitam di atas putih yang ditolaknya mentah-mentah. Ia pun hidup terkatung-katung dan jatuh sakit. Ia telah bangkrut, tepatnya dibangkrutkan. Tak ada sanak saudara dan para sahabat di sekitarnya. Ia akhirnya ditampung oleh seorang teman anggota Syarikat yang dikucilkan. Kesehatan Minke semakin parah. Mereka berusaha untuk berobat pada seorang dokter Jerman. Namun sang dokter telah diintimidasi sebelumnya untuk tidak mengobati Minke. Sebagai mantan calon dokter, Minke tahu apa penyakitnya namun mendapat diagnosa dan vonis yang bukan seharusnya, ia diam saja, tak ada daya untuk melawan, kondisinya amat lemah. Ia berniat akan memperkarakan ketidakadilan yang menimpanya setelah Perang Dunia I. Namun waktu tampaknya tak terlalu berkenan untuk memeperkarakannya dan memiliki kebijakan sendiri; memisahkannya dengan dunia. Minke meninggal di usia yang relatif muda. Dengan istri yang terpaksa dicerai, tanpa anak dan para sahabat. Nasib Pangemanann juga tak bertambah baik dengan kematian Minke. Ia justru sakit-sakitan dan mengalami pengalaman rohani tersendiri yang membuatnya bertobat dan berusaha kembali menjadi Pangemanann yang dulu. Setelah kematian Minke, Nyai Ontosoroh kembali ke Hindia dan mencari Minke setelah mengetahui kepulangannya dari Ambon, namun tak pernah ia temui  Minke selain makamnya dan diantarkan oleh Pangemanann. Pengalaman itu sungguh menyiksa bagi Pangemanann. Di halaman terakhir buku ini pun diakhiri dengan pesan Pangemanann kepada Nyai Ontosoroh.

Menggunakan sudut pandang orang pertama dari sisi Pangemanann  yang bisa dibilang anatagonis, sedangkan tiga buku  sebelumnya menggunakan sudut pandang orang pertama dari sisi Minke yang bisa dibilang protagonis. Tokoh Pangemanann memiliki sifat yang menyebalkan, munafik dan egois. Terbukti dengan ia melawan bangsanya sendiri yang ingin maju karena mengabdi pada kekuasaan kolonial demi dirinya sendiri. Namun ia tetap ingin terlihat baik di masyarakat, dipandang sebagai pejabat penting dan terhormat. Ia juga menjadi orang yang gila jabatan dan gila hormat. Ia sudah tidak lagi menganggap  dirinya bagian dari bangsa Hindia maupun Menado namun sudah mencampurkan diri pada bangsa Eropa yang kolonial. Secara umum Pangemanann adalah orang yang cerdik, lihai, cermat dalam melihat celah dan teliti. Mungkin ia bisa juga disebut sebagai intel pribumi pertama jaman kolonial. Di sisi lain, di awal-awal cerita ia menceritakan pergulatan batinnya sebagai orang yang lurus dan baik menjadi busuk dan khianat karena tuntutan pekerjaan dan pekerjaan merupakan tuntutan hidup. Ia juga mengakui bahwa dirinya bersalah dan selalu dihantui rasa bersalah yang sempat membuatnya berhalusinasi walau akhirnya ia bisa dengan ikhlas menggadaikan harga dirinya dan sepenuhnya mencampurkan diri dengan kubangan kolonial.  Namun pernyataan-pernyataannya itu seolah menghamba minta dimaafkan dan cuci tangan daripada sebuah penyesalan. Terlihat pula keinginan kuat dari pemerintah kolonial untuk tetap berkuasa atas Hindia hingga akhir jaman, kalau bisa. Jika diibaratkan film, maka buku ini seperti film dokumenter. Tetap ada sutradara, kejadiannya bisa nyata ataupun fiktif [yang dalam buku dipadukan]. Sudut pandang kamera tokoh utama [aku]. Seolah si tokoh ini adalah penulisna tanpa sutradara. Tapi kenyataannya penulis sebenarnya bukanlah si tokoh. Dari buku pertama hingga terakhir terasa ada perubahan bahasa secara kosakata maupun konstruksi kalimat. Mungkin karena menggambarkan perkembangan jaman dan semakin luas dan pluralnya lingkaran pergauan Minke. Buku terakhir ini juga menungkapkan sedikit demi sedikit tokoh-tokoh sejarah dan persisnya tokoh sebenarnya yang pernah disebut Minke dalam “Bumi Manusia” hingga “Jejak Langkah” dan namanya disamarkan oleh Minke. Melalui penelitian Pangemanann tokoh-tokoh ini diungkap jati dirinya dalam “Rumah Kaca”. Cara penulis mengungkapan dan menyelipkan petunjuk akan suatu tokoh sangat  cerdas dan menarik. Seperti cara mengungkapkan Maysaroh Marais. Pangemanann bersama sep Perancisnya di awal pernah mendengarkan sebuah lagu berbahasa Perancis yang dinyanyikan oleh May Le Bouncq. Penyanyi terkenal dari Perancis yang ketika ditelusuri Pangemanann ternyata adalah Maysaroh Marais yang disebut Minke dalam tulisannya yang pindah ke Perancis ketika berumur tujuh belas tahun dan menjadi penyanyi. Maysaroh Marais adalah nama samaran dari May Le Bouncq karena nama Jean Marais sendiri adalah samaran untuk Jean Le Bouncq. Sedangkan Minke sendiri adalah nama dari seorang anak bupati dan keturunan ningrat bergelar Raden Mas dengan inisial nama T.A.S. . Hal yang miris dari Pangemanann adalah ia membangun karirnya dan memiliki jabatan tinggi dengan modal kosong. Ia bukan anak pejabat dan hanya rakyat biasa. Namun dari semua perjuangan dan kerja kerasnya, ia tidak mendapatkan “apa-apa” di hari tuanya karena dirinya sendiri.

Salah satu saya tangkap dari buku ini, kolonial bukanlah Belanda. Bukan juga Perancis, Inggris, Jerman, Spanyol ataupun bangsa lainnya. Tapi kolonial adalah kolonial. Koloni jiwa-jiwa rakus nan tamak pun serakah. Pendidikan Eropa, filsafat ilmu, dan semangat idealisme yang dibawa orang-orang Eropa hampir bisa dikatakan sepenuhnya baik. Para kolonial mengkhianati ilmu, semangat dan idealisme bangsa mereka sendiri dengan berkuasa atas tanah dan air Hindia Belanda beserta juga jiwa-jiwa manusianya. Jika ditarik kesimpulan kasar, orang berpengaruh, penggerak massa, penyelenggara negara memiliki latar belakang eksekutif, seorang berada, seperti Minke, Siti Soendari, RA Kartini dan sebagainya. Dari dulu hinga kini orang-orang biasa, jika tak mau disebut rakyat jelata, bergantung pada si eksekutif. Apakah ia cukup bermral dan berbudi untuk menggunakan “modalnya” atau jatuh merangkak dalam kenistaan kekuasaan kotor. Jika diperhatikan terdapat kesamaan anatara masa kini dan masa kolonial. Ternyata “didikan” dan adat kolonial begitu mendarah daging dalam tubuh bangsa ini. Meski pada masa kini sudah tidak lagi berdasarkan bangsa maupun warna kulit, kesamaan sifat berikut adalah; kolonial – pejabat, kompeni dan aparat kolonial – aparatur negara [lebih persis lagi pada jaman Orde Baru] dan selain penguasa; para pemodal kolonial – para pengusaha. Di buku terakhir ini menyoroti gejala sosial di awal abad 20, pengaruh globalisasi dan perubahan tatanan sosial juga cara berpikir masyarakat. Selain itu terdapat nilai-nilai yang dapat diambil dalama tetralogi ini, khususnya buku terakhir ini, mencakup nilai-nilai dari ilmu sosial, politik dan humaniora sekaligus. Jangan lupakan pula filosofi di dalamnya. Khususnya pada buku terakhir ini mungkin sedikit menyingkapkan peran Perang Dunia I terhadap Hindia Belanda saat itu. Hal yang tidak tertulis pada buku pelajaran sejarah [yang digabung menjadi IPS Terpadu], setidaknya pada generasi saya mungkin juga sampai saat ini. Mengingat tetralogi ini adalah roman, rasanya kurang tepat, dan bisa saya tegaskan, bahwa tetralogi ini tidak bisa dijadikan acuan sejarah, meski berlatar belakang sejarah dan banyak kejadian dan tokoh yang merupakan non-fiktif. Secara bentuk, buku ini tetaplah “hanya” roman dengan latar belakang sejarah dan memadukan fiksi dan sejarah. Tetralogi ini bukanlah rangkaian buku sejarah maupun biografi, tapi roman yang dirangkai oleh detik waktu yang berlalu untuk merangsang pembacanya untuk mencari tahu akan sejarah dan membaca buku sejarah yang sesungguhnya, maupun mencari tahu tokoh sejarah yang disebutkan di dalamnya. Saya membaca tetralogi ini dengan modal meminjam. “Bumi Manusia” dipinjamkan seorang teman yang sekaligus mengenalkan saya pada tetralogi ini. Lalu sisanya saya pinjam dari perpustakaan umum setempat yang dibangun dan dikelola secara swasta. Mungkin suatu kebetulan yang menarik bahwa saya menyelesaikan pinjaman buku terakhir ini pada tanggal 7 Desember, bertepatan dengan tanggal wafatnya “Minke” di dunia nyata yang baru saya ketahui ketika hampir menyelesaikan buku terakhir. Karena ada tenggat waktu mengembalikan pula [jika lewat kena denda], maka saya tidak sempat menyisipkan kutipan yang menarik perhatian saya di akhir ulasan ini seperti biasa. Padahal selama proses membaca saya sudah menandai halaman mana yang terdapat kutipan menarik.

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề