Hadits tentang dengan siapa kita berteman?

Pentingnya Memilih Teman dalam Bergaul: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 27-28

Islam melalui ajarannya baik dalam Al-Quran ataupun Hadis telah membimbing umat manusia untuk berhati-hati dalam memilih teman. Hal tersebut bukan berarti harus menutup diri dan tidak memperbanyak perkenalan, akan tetapi kita tetap harus hati-hati untuk menentukan teman terdekat atau yang sering disebut dengan ‘circle pertama’. Kemudian bagaimana anjuran Al-Quran dalam memilih teman?

Pada artikel kali ini kita akan membahas ayat Al-Quran yang di dalamnya terdapat gambaran penyesalan orang-orang yang salah dalam memilih teman ketika hidup di dunia, yaitu surah Al-Furqan ayat 27-28.

Baca juga: Berbagai Cara Allah Menjaga Al-Quran dalam Tafsir Surah Al-Hijr Ayat 9

Tafsir surah Al-Furqan ayat 27-28

Al-Quran menggambarkan sebuah keadaan seseorang yang menyesal karena tidak mengikuti jalan rasul sebab salah dalam memilih teman. Gambaran tersebut diabadikan dalam surah Al-Furqan [25]: 27

وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلٰى يَدَيْهِ يَقُوْلُ يٰلَيْتَنِى اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُوْلِ سَبِيْلًا

“Dan [ingatlah] pada hari [ketika] orang-orang zalim menggigit dua jarinya [menyesali perbuatannya] seraya berkata: Wahai sekiranya [dulu] aku mengambil jalan bersama Rasul.”

Al-Furqan [25]: 28

يٰوَيْلَتٰى لَيْتَنِيْ لَمْ اَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيْلًا

“Celaka aku! Sekiranya [dulu] aku tidak menjadikan  si fulan itu teman akrab[ku]

Disebutkan dalam Tafsir Al-Azhar jilid 7, 5026, latar belakang turunnya ayat di atas adalah seorang pemuka Quraisy bernama Uqbah bin Abu Mu’aith. Sebelum memeluk Islam, Uqbah memiliki hubungan sangat baik dengan Rasulullah saw.  Uqbah sering bertukar pikiran dan bergaul dengan Nabi, sehingga ia mengucapkan syahadat.

Baca juga: Surah al-Kahfi Ayat 110: Melihat Sisi Kemanusiaan Nabi Muhammad Saw

Setelah kejadian tersebut, ia bertemu dengan teman lamanya yang sangat membenci Rasulullah saw. yaitu Ubayyu bin Khalaf. Temannya tersebut menghasut Uqbah, ia mencela kelemahannya karena meninggalkan kepercayaan nenek moyang yang pada akhirnya Uqbah berbuat kesalahan dengan mencaci maki  dan meludahi muka Rasulullah saw.

Meskipun temannya sangat memuji perbuatan dirinya, namun dalam hati Uqbah menyesal ‘mengapa saya tidak menuruti ajaran Rasul?’ ‘mengapa saya menjadikan si Ubayyu teman?’ akan tetapi kelemahannya menyebabkan kehancuran jiwanya sehingga Uqbah tidak lagi menempuh jalan kebenaran bersama Rasulullah saw sampai akhir hayatnya. Demikian salah satu contoh orang yang zalim yang pada akhirnya di akhirat nanti hanya gigit jari karena menyesal.

Quraish Shihab dalam tafsirnya, Al-Misbah, Jilid 9, 458 menyebutkan bahwa saking menyesalnya, dari saat ke saat orang zalim tersebut terus berangan-angan dengan berkata: ‘Aduhai seandainya dulu, ketika aku hidup di dunia aku mengekang hawa nafsuku dan memaksanya mengambil walau hanya satu jalan kecil saja dari sekian banyak jalan kebaikan sehingga aku menempuhnya bersama-sama Rasul’ akan tetapi penyesalan pada hari itu tiada artinya.

Lafad fulan pada ayat “…Sekiranya [dulu] aku tidak menjadikan si fulan itu teman akrab[ku] Menurut Sayyid Qutb disebut secara anonim karena bisa jadi mencakup seluruh teman yang buruk yang menghalangi seseorang dari jalan Rasulullah dan menyesatkannya untuk tidak mengingat Allah swt. [Fi Dzilalil Qur’an, Jilid 8, 292].

Pentingnya Teman yang Baik

Gambaran penyesalan orang zalim pada hari akhir yang dipotret oleh Al-Quran tersebut sekiranya menjadi pengingat untuk kita semua, betapa pentingnya kita memiliki teman dekat yang satu misi, satu tujuan, terlebih dalam urusan jangka panjang yaitu akhirat.

Rasulullah saw. bersabda: “Perumpamaan orang yang bergaul dengan orang baik dan orang yang bergaul dengan orang buruk, seperti penjual minyak wangi dan tukang tempa besi. Pasti kau dapatkan dari pedagang minyak wangi apakah kamu membeli minyak wanginya atau sekedar mendapatkan bau wewangiannya, sedangkan dari tukang tempa besi akan membakar badanmu atau kamu akan mendapatkan bau yang tidak sedap” [HR. Bukhari dan Muslim].  

Saking pentingnya seorang teman, ia bahkan menjadi sebuah identitas bagi seseorang. Syeikh Az-Zarnuji dalam Ta’lim Al-Muta’allim menyampaikan hal ini dalam sebuah syair,

عَنِ الْمَرْءِ لَا تَسْأَلْ وَسَلْ قَرِيْنَهُ #  فَكُلُّ قَرِيْنٍ بِالْمَقارِنِ يَقْتَدِي

“Tak perlu kau tanya tentang seseorang [siapa dia], cukup tanya siapa temannya, maka setiap teman akan mengikuti orang yang dia temani.”  

Dilanjut dengan syair berikutnya dengan bahasa Persi yang menyinggung tentang mudarat teman yang tidak baik,

يَا رَبَدْبَدْ تَرْبُودَا زَمَا رِبَدْ # بِحَقِّ ذَاتِ بَاكِ اللهِ الصَّمَد

يَا رَبَدْ اَرَدْ تَرْأَى سِوَى # جَحِيمِ يَا رَنِيكُو كِيْرَنَيَا بِي نَعِيمِ

“Teman jahat itu lebih berbahaya daripada ular hitam berbisa karena teman jahat itu bisa menjeremuskan kita ke neraka jahiim, oleh karenanya bertemanlah dengan teman yang baik karena teman yang baik itu bisa menyebabkan kita masuk surga”

Baca juga: Tafsir Ayat Syifa: Al-Quran sebagai Obat bagi Orang Beriman

Namun demikian, akan lebih bagus lagi ketika kita bisa berteman dengan siapa saja, jika berteman dengan orang yang baik, itu adalah anugerah yang harus kita syukuri, namun jika berteman dengan orang yang tidak baik, maka kita lah yang harus berusaha membawa kemanfaatan padanya dengan mengajaknya menjadi baik.

Semoga kita bisa menjadi teman yang baik untuk orang lain dan memiliki teman yang baik untuk diri kita sendiri, sehingga kita semua termasuk orang yang benar-benar beriman dan berjalan di barisan bersama Rasulullah saw. pada hari ketika tidak ada teman. Ya Allah, jauhkan kami untuk menjadi seseorang yang zalim, yang hanya bisa gigit jari pada hari akhir karena penyesalan pertemanan yang tiada berarti. Wallahu a’lam.

Dari Abu Musa Al-Asy’ariy radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً ، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَة

“Permisalan teman duduk yang shalih dan buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Adapun penjual minyak wangi, bisa jadi ia akan memberimu minyak wangi, atau kamu akan membeli darinya atau kamu akan mendapat bau harum darinya. Adapun tukang pandai besi, bisa jadi ia akan membuat pakaianmu terbakar, atau kamu akan mendapat bau yang tidak sedap darinya.” [HR. Bukhari No. 2101, Muslim No. 2628]

Wahai saudariku, demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petunjuk kepada kita agar senantiasa memilih teman-teman yang shalih dan waspada dari teman-teman yang buruk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh dengan dua permisalan ini dalam rangka menjelaskan bahwa seorang teman yang shalih akan memberikan manfaat bagi kita di setiap saat kita bersamanya. Sebagaimana penjual minyak wangi yang akan memberikan manfaat bagi kita, berupa pemberian minyak wangi, atau minimal jika kita duduk bersamanya, kita akan mencium bau wangi.

Manfaat Berteman dengan Orang yang Shalih

Berteman dengan teman yang shalih, duduk-duduk bersamanya, bergaul dengannya, mempunyai keutamaan yang lebih banyak dari pada keutamaan duduk dengan penjual minyak wangi. Karena duduk dengan orang shalih bisa jadi dia akan mengajari kita sesuatu yang bermanfaat untuk agama dan dunia kita serta memberikan nashihat-nashihat yang bermanfaat bagi kita. Atau dia akan memberikan peringatan kepada kita agar menghindari perkara-perkara yang membahayakan kita.

Teman yang shalih senantiasa mendorong kita untuk melakukan ketaatan kepada Allah, berbakti kepada orang tua, menyambung tali silaturrahim, dan mengajak kita untuk senantiasa berakhlak mulia, baik dengan perkataannya, perbuatannya, ataupun dengan sikapnya. Sesungguhnya seseorang akan mengikuti sahabat atau teman duduknya, dalam hal tabiat dan perilaku. Keduanya saling terikat satu sama lain dalam kebaikan ataupun yang sebaliknya. [Bahjah Quluubil Abrar, 119]

Jika kita tidak mendapat manfaat di atas, minimal masih ada manfaat yang bisa kita peroleh ketika berteman dengan orang yang shalih, yaitu kita akan tercegah dari perbuatan-perbuatan jelek dan maksiat. Teman yang shalih akan selalu menjaga persahabatan, senantiasa mengajak berlomba-lomba dalam kebaikan, berusaha menghilangkan keburukan. Dia juga akan menjaga rahasia kita, baik ketika kita bersamanya maupun tidak. Dia akan memberikan manfaat kepada kita berupa kecintaannya dan doanya pada kita, baik kita masih hidup maupun setelah mati. [Bahjatu Quluubil Abrar, 119]

Wahai saudariku, sungguh manfaat berteman dengan orang yang shalih tidak terhitung banyaknya. Dan begitulah seseorang, akan dinilai sesuai dengan siapakah yang menjadi teman dekatnya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل

“Seseorang itu menurut agama teman dekatnya, maka hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” [HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 927]

Bahaya Teman yang Buruk

Jika berteman dengan orang yang shalih dapat memberikan manfaat yang sangat banyak, maka berteman dengan teman yang buruk memberikan akibat yang sebaliknya. Orang yang bersifat jelek dapat mendatangkan bahaya bagi orang yang berteman dengannya, dapat mendatangkan keburukan bagi orang yang bergaul bersamanya. Sungguh betapa banyak kaum yang hancur karena sebab keburukan-keburukan mereka, dan betapa banyak orang yang mengikuti sahabat-sahabat mereka menuju kehancuran, baik sadar ataupun tidak sadar. [Bahjatu Qulubil Abrar, 120]

Oleh karena itulah, sungguh di antara nikmat Allah yang paling besar bagi seorang hamba yang beriman adalah Allah memberinya taufiq berupa teman yang baik. Sebaliknya, di antara ujian bagi seorang hamba adalah Allah mengujinya dengan teman yang buruk. [Bahjah Qulubil Abrar, 120]

Berteman dengan orang shalih akan memperoleh ilmu yang bermanfaat, akhlak yang utama dan amal yang shalih. Adapun berteman dengan orang yang buruk akan mencegahnya dari hal itu semua.

Jangan Sampai Menyesal

Allah Ta’ala berfirman

وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا [ ] يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا [ ] لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا

“Dan [ingatlah] hari [ketika itu] orang yang dzalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: “Aduhai kiranya [dulu] aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku [dulu] tidak menjadikan sifulan itu teman akrab[ku]. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia.” [QS. Al Furqan: 27-29].

Sebagaimana yang sudah masyhur di kalangan ulama ahli tafsir, yang dimaksud dengan orang yang dzalim dalam ayat ini adalah ‘Uqbah bin Abi Mu’ith, sedangkan si fulan yang telah menyesatkannya dari petunjuk Al Qur’an adalah Umayyah bin Khalaf atau saudaranya Ubay bin Khalaf. Akan tetapi secara umum, ayat ini juga berlaku bagi setiap orang yang dzalim yang telah memilih mengikuti shahabatnya untuk kembali kepada kekafiran setelah datang kepadanya hidayah Islam. Sampai akhirnya dia mati dalam keadaan kafir sebagaimana yang terjadi pada ‘Uqbah bin Abi Mu’ith. [Adhwa’ul Bayan, 6/45]

Begitulah Allah Ta’ala telah menjelaskan betapa besarnya pengaruh seorang teman dekat bagi seseorang, hingga seseorang dapat kembali kepada kekafiran setelah dia mendapatkan hidayah islam disebabkan pengaruh teman yang buruk. Oleh karena itulah sudah sepantasnya setiap dari kita waspada dari teman-teman yang mempunyai perangai buruk.

Penutup

Wahai saudariku, ingin ku kutipkan sedikit nashihat yang semoga bermanfaat untukku maupun untuk dirimu. Nashihat ini berasal dari seorang ulama bernama Ibnu Qudamah Al Maqdisiy:

“Ketahuilah, Sungguh tidaklah pantas seseorang menjadikan semua orang sebagai temannya. Akan tetapi sepantasnya dia memilih orang yang bisa dijadikan sebagai teman, baik dari segi sifatnya, perangainya, ataupun apa saja yang bisa menimbulkan keinginan untuk berteman dengannya. Sifat ataupun perangai tersebut hendaknya sesuai dengan manfaat yang dicari dari hubungan pertemanan. Ada orang yang berteman karena tujuan dunia, seperti karena ingin memanfaatkan harta, kedudukan ataupun hanya sekedar bersenang-senang bersama dan ngobrol bersama, akan tetapi hal ini bukanlah tujuan kita. Ada pula orang yang berteman untuk tujuan agama, dalam hal ini terdapat pula tujuan yang berbeda-beda.

Di antara mereka ada yang bertujuan dapat memanfaatkan ilmu dan amalnya, ada pula yang ingin mengambil manfaat dari hartanya, dengan tercukupinya kebutuhan ketika berada dalam kesempitan. Secara umum, kesimpulan orang yang bisa dijadikan sebagai teman hendaknya dia mempunyai lima kriteria berikut: Berakal [cerdas], berakhlak baik, tidak fasiq, bukan ahli bid’ah dan tidak rakus terhadap dunia.

Kecerdasan merupakan modal utama. Tidak ada kebaikan berteman dengan orang yang dungu, karena orang yang dungu terkadang dia ingin menolongmu tapi justru dia malah mencelakakanmu. Akhlak baik, hal ini juga sebuah keharusan. Karena terkadang orang yang cerdas jika ia sedang marah dan emosi dapat dikuasai oleh hawa nafsunya. Maka tidaklah baik berteman dengan orang yang cerdas tapi tidak berakhlak. Sedangkan orang yang fasiq, dia tidaklah mempunyai rasa takut kepada Allah. Dan orang yang tidak mempunyai rasa takut kepada Allah, kamu tidak akan selamat dari tipu dayanya, disamping dia juga tidak dapat dipercaya. Adapun ahli bid’ah, dikhawatirkan dia akan mempengaruhimu dengan jeleknya kebid’ahannya. [Mukhtashor Minhajul Qashidin, 2/ 36-37]

Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat untukku dan untukmu saudariku…

Amiin …

***
muslimah.or.id Penyusun: Latifah Ummu Zaid

Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề