Jelaskan prinsip-prinsip kesetaraan hukum dan Hak Asasi Manusia yang terdapat pada Piagam Madinah

  1. Home /
  2. Archives /
  3. Vol 4 No 1 [2018]: VERITAS /
  4. Articles

DOI: //doi.org/10.34005/veritas.v4i1.201

This research discusses the principles of human rights in the Medina Charter. Inanalyzing this discussion, the author uses the theory of Maqashid Syari'ah[Purpose of sharia or the philosophy of Islamic law], this theory is very relevant inthe contemporary context in seeing and developing the value and spirit of Islamiclaw into various events. The author also uses universalist theory and culturalrelativism theory. Based on the scope and identification of the problem, thisresearch was reviewed using a juridical-normative and socio-legal approach. Inaddition, the author also uses a historical approach. The principles of humanrights in the Universal Declaration of Human Rights which have also beendescribed in various verses of the Qur'an have seven kinds, namely: The principleof human dignity [al-karamah al-insaniyah], the principle of equality [almusawah],the principle of justice [al-'adalah], the principle of freedom [alhurriyah],the principle of peace [as-salam], the principle of the right to socialsecurity [al-haq fi al-dlaman al-ijtima'i] and the principle of the right to property[al-haq fi al-milkiyah]. Meanwhile, the principles of human rights in the MedinaCharter consist of: principles of justice, principles of equality, principles ofreligious freedom and principles of devotion, amar makruf and nahi munkar. Whileon the concept implementation of human rights value in the Medina Charter in theperspective of Indonesianian-ness, the author has summarized the study into threeareas of life; religious, nation and state,consisting of: the field of religiousharmony, the field of law and constitutional enforcement and the field of sociopolitical

life and the development of the political system.

Al-Quran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Jakarta: PT. Syamil Cipta Media, Cetakan 2005. Ahmad, Abidin, Zainal, Piagam Madinah: Konstitusi Tertulis Pertama di Dunia, Jakarta: Pustaka Al kautsar, Cetakan II, 2014. __________________, Membentuk Negara Islam , Jakarta: Bulan Bintang, 1956. Al-Qardhawi, Yusuf, judul asli: Malamih al-mujtama' al-muslim alladzi nansyuduhu, diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo: Anatomi Masyarakat Islam, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999. Azizy, Qodri, Melawan Golbalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam: Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. ___________, Masyarakat Madani Antara Cita dan Fakta; Kajian Historis Normative, dalam Ismail SM dan Abdul Mukti [Editor] Pendidikan Islam Demokratisasi dan Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka pelajar, Cet. I, 2000. Al-Maraghi, Mustafa, Ahmad, Tafsir Al-Maraghi, Bairut: D’ar Al-Fikr, Jilid XXVI, 1974. Al-Raisuni, Ahmad, Nazhariyat Al-Maqashid ‘inda Al-Imam Asy-Syathibi, Beirut: Al-Muassasah Al-Jami’iyyah Li Al-dirasat wa Al-Nasyr wa Al-Tauzi’, 1995. Al-Wahidi, Asbab Nuzul Al-Qur’an t. tp.: Dar al-Qiblah li al-Saqafah al- Islamiyyah, Cet. Ke-2, 1984. Ali, Adam, Abdurrahman, Al-Imam Asy-Syathibi aqidatuhu wa mauqifuhu min albida’ wa ahliha, Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, cet. I, 1998. Al-Jauziyyah, Al-Qayyim, Ibn, A’lam al-Muqi’in, Beirut: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, juz 2, 1996. An-Naim, Ahmed, Abdullah, Islam dan Negara Sekuler: Menegoisasikan Masa Depan Syariah, Bandung: Mizan Pustaka, 2007. As-Syathibi, Ishaq, Abu, AL-Mufawaqat, Dar Ibn Al-Qayyim, Juz 2, 2003. Auda, Jasser, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqashid Syariah, Bandung: Mizan, 2015. Clack, George, Hak Asasi Manusia Sebuah Pengantar, [terjemahan Termaya], Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998. Dahlan, Aziz, Abdul [et.al], Ensiklopedia Hukum Islam, jakarta: Ichtiar baru van Hoeve, 1996. Dawud, Abu, Sunan Abu Dawud, Jilid II, Maktabah Mushthafaal, Bab al-Harabi, Mesir, 1952. Donnely, Jack, Universal Human Right in Theory and Practice, Ithaca and London: Cornell University, 2003. El-Hakim, Imammullah, Muhammady, Himas, Prinsip Konstitusionalisme Dalam Piagam Madinah Dan Relevansinya Bagi Konstitusi Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2015. Hasan, M. Iqbal, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003. Irianto, Sulistyowati dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2009. Ibn Hisyam, Abdul Malik, Abu Muhammad, As-Sirah An-Nabawiyah Li Ibn Hisyam, Mesir: Matba’ah al-khairiyah, Cet. Pertama, Juz II, 1329 H. Kamus Besar Bahasa Indonesia Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988. K.M. Smith, Rhona [et.al], Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008. Misrawi, Zuhari, Madinah, Jakarta: Kompas, 2009. Muhadjir, Noeng, , dkk, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rave Sarasin, 2000. Pulungan, J. Suyuthi, Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Putra, Dalizar, Hak Asasi Manusia menurut al-Qur’an, Jakarta: PT. Al-Husna Dzikra, 1995. Quthub, Sayyid, Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyyah fi Al-Islam, jilid V, Beirut: Dar alkitab Al-‘Arabi, 1981. Sayogie, Frans, Hak Kebebasan Beragama dalam Islam Ditinjau dari Perspektif Perlindungan Negara dan Hak Asasi Manusia Universal, Fak. Hukum- Univ. Indonesia, 2012. Shapiro, Ian, Evolusi Hak dalam Teori Liberal, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006. Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Edisi V, Jakarta: UI-Press, 1993. Soekanto, Soerjono & Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif [Suatu Tinjauan Singkat], Jakarta: Rajawali Pers, 2001. Suaedy, Ahmad [et.al], Islam, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia: Problematika Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Jakarta: The Wahid Institute, 2009. Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah & UUD NRI 1945, Jakarta: Sinar Grafika, 2014. Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum, Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya, Editor : Ifdhal Kasim et.al., Elsam dan Huma, Jakarta, 2002. Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh Islami, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986. Zainab, Al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, Bandung: Penerbit Pustaka, 1995. Artikel/Makalah AM, Arief, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Al-Qur'an, 2015. Asmarani, Nur, Teori Hak Asasi Manusia [HAM], Jurnal Hukum dan Masyarakat, Volume 14, No. 1, Januari 2015. Bakar, Abu dan Hurmain, KERUKUNAN ANTARUMAT BERAGAMA; Telaah Atas Piagam Madinah dan Relevansinya Bagi Indonesia, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, Jurnal TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama, Vol. 8, No. 2, Juli-Desember 2016. Darwis, Muh., Urgensi Maqashid Al-Syari’ah Dalam Ijtihad, Jurnal Al-Ahkam, STAIN Palopo, Volume IV, No. 2, Agustus 2014. Izzuddin, Konsep Ummah Dalam Piagam Madinah, Jurnal Darussalam, Volume 7, No.2, Juli-Desember 2008. Khalid, Muhammad, Khatam al-Nabiyyin, Kairo, 1955. Lewis, Bernard, Islam Liberalisme Demokrasi: membangun sinergi warisan sejarah, doktrin dan konteks global, Jakarta: Paramadina, 2002. Madjid, Nurcholis, Jurnal Paramadina, vol.1, no 1, juli-desember 1998. Marzuki, Kerukunan Antarumat Beragama Dlam Wacana Masyarakat Madani Analisis Piagam Madinah & Relevansinya Bagi Indonesia. Lihat di: //www.artikelmarzuki_kerukunan_antarumat_beragama_dlam_wacana _masyarakat_madani_analisis_Piagam_madinah_&relevansinya_bagi_indo nesia.com Masudi, Idris, Fikih Toleransi Berbasis Maqashid Syariah, Artikel, 2016. Rangkuti, Afifa, SH., M.Hum., Konsep Keadilan Dalam Perspektif Islam, Jurnal Pendidikan Islam, Vol.VI, No.1, Januari-Juni 2017. Priyono, Eko, Prinsip-Prinsip negara Hukum dalam Piagam Madinah dan Konstitusi Indonesia; Suatu Analitis Deskriptif Komparatif, 2006. Lihat di: //studentresearch. umm.ac.id/index.php/twinning_program/article/view/6439 Peraturan Perundang-Undangan UUD 1945 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. KUHP, Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 110 dan Pasal 140 tentang Makar. Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM Internet Biografi Abu A'Ala Al-Maududi: //ufukislam.blogspot.com/2009/12/abul-alaal- maududi.html Budiarsih, Nurul, Ham dan Pembangunan; Teori Relativisme Budaya dan Teori Universal, www.academia.edu Elviandri, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Islam; Kajian Konsep dan Historis, dalam //www.Hukumonline.com, diakes pada 15 Juli 2017 pukul 22.30 WIB. Fikri, M. Ainul, Prinsip Persamaan [Al-Musawah] Dalam Islam, 2015. Bisa diakses melalui: //fikriainul.blogspot.co.id/2015/01/prinsip-persamaanal- musawah-dalam-islam.html KH. Zainuddin Mz, Sholeh Pribadi Dan Sholeh Sosial, Ceramah Agama, bisa diakses melalui: //www.youtube.com/watch?v=kd5j3t18wR4 Samadhi, Putra, Willy: “HAM: Di Antara Jebakan Universalisme dan Tuntutan Relativisme”, //www.kompasiana.com/willypsamadhi/ham-di-antarajebakan- universalisme-dan-tuntutan-relativisme, diakses pada 19 Juli 2017

pukul 21.15 WIB

Piagam Madinah

Kelahiran Piagam Madinah tidaklah lepas dari adanya hijrah Nabi Muhamad SAW dari Makkah ke Madinah, dan merupakan kepanjangan dari dua perjanjian sebelumnya yaitu bai’at aqabah 1 dan 2. Dan setelah hijrahnya Nabi ke Madinah, maka muncullah masyarakat Islam yang damai, tentram dan sejahtera di Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW, yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar, dan beberapa kabilah arab dari Yahudi dan kaum musyrik Madinah.[31] Dan setelah itu, maka Madinah menjadi pusat bagi kegiatan keislaman dan perkembangan dunia Islam.[32]

Dengan tercapainya kesepakatan antara kaum di Madinah, maka semakin heterogenlah masyarakat yang menduduki Madinah. Selain itu, perjanjian ini juga menjadi sangat penting bagi diri Nabi sendiri. Piagam madinah ini secara tidak langsung menunjukkan kapasitas Nabi sebagai seorang pemimpin dan politikus yang ulung, ditandai dengan[33];

  1. Keberhasilan Nabi Muhammad SAW menyatukan umat Islam dalam satu panji, yaitu Islam, dengan mengabaikan perbedaan suku, ras dan kabilah. Dan menyatukan hati semua kaum muslimin dalam satu perasaan.
  2. Menjadikan agama sebagai alasan yang paling kuat, sebagai pengerat antar umat mengalahkan hubungan antar keluarga.
  3. Bahwa ikatan yang terbangun atas dasar agama terdapat didalamnya hak-hak atas setiap individu, dan tercapainya kedamaian dan ketentraman umat.
  4. Adanya kesamaan hak antara kaum muslimin dan yahudi dalam hal maslahat umum, dan dibukannya pintu selebar-lebarnya bagi siapa saja yang ingin memeluk agama Islam dan melindungi hak-hak mereka.

Pagam madinah sendiri terdiri dari 70 pasal, dan ditulis dalam 4 tahapan yang berbeda. Pada penulisan pertama terdapat 28 pasal, yang didalamnya mengatur hubungan antara kaum muslimin sendiri. Pada penulisan yang kedua ada 25 pasal yang mengatur hubungan antara umat Islam dan Yahudi. Dan penulisan yang ketiga terjadi setelah terjadinya perjanjian Hudaibiyah pada tahun ke-2 Hijrah, yang merupakan penekanan atau pengulangan dari pasal pertama dan kedua. Sedangkan pada tahap yang keempat ini hanya terdapat 7 pasal dan mengatur hubungan antara kabilah yang memeluk Islam.[34]

Periwayatan Piagam Madinah

            Ibnu Katsir meriwayatkan dalam Bidayahnya dari Muhammad ibnu Ishak dengan tanpa sanad, beliau berkata [Rasulullah SAW telah menulis sebuah perjanjian antara kaum Muhajirin dan Anshar, dan juga Yahud; Bismilah hirrahman nirrahim, ini perjanjian dari Muhammad SAW dengan Muslimin dan Mu’minin dari Kuraisy dan Yastrib, dan siapa saja yang mengikuti mereka…].[35]

            Selain itu ada juga riwayat lain yang meriwayatkan Piagam Madinah ini, yaitu dari Imam Ahmad, dari Afan, dari Hamad bin Salamah, dari Asim Al-Ahwal, dari Anas bin Malik; Rasulullah SAW membuat sebuah perjanjian antara Muhajirin dan Anshar dirumah Anas bin Malik. Dan telah diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad, Bukhori, Muslim, dan Abu Daud dari berbagai sumber, dari Asim bin Sulaiman, dari Anas bin Malik. Beliau berkata, Rasulullah SAW telah mengadakan perjanjian antara Quraisy dan Anshar dirumahku. Selain itu, Imam Ahmad berkata, telah berkata kepada kita Nasr bin Baab, dari Hajjaj, dia berkata; Suraij telah berkata kepada kita, dari Abad, dari Hajjaj, dari Umar bin Syuaib, dari Ayahnya, dari Kakeknya; Sesungguhnya Rasulullah SAW telah mengadakan perjanjian antara Muhajirin dan Anshar…[36]

Inilah sekilas tentang periwayatan Piagam Madinah yang diriwayatkan oleh beberapa perawi dan ahli hadist terkemuka, yang merupakan undang-undang negara pertama di dunia, yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW.

Teks Piagam Madinah

            Berikut ini adalah teks Piagam Madinah yang ditulis pada tahap pertama yang terdiri dari 18 pasal;[37]

  1. Umat Islam adalah umat yang satu, berdiri sendiri dalam bidang akidah, politik, sosial, dan ekonomi, tidak tergantung pada masyarakat lain.
  2. Warga umat ini terdiri atas beberapa komunitas kabilah yang saling tolong-menolong.
  3. Semua warga sederajat dalam hak dan kewajiban. Hubungan mereka didasarkan pada persamaan dan keadilan.
  4. Untuk kepentingan administratif, umat dibagi menjadi sembilan komunitas; satu komunitas muhajirin, dan delapan komunitas penduduk Madinah lama. Setiap komunitas memiliki system kerja sendiri berdasarkan kebiasan, keadilan, dan persamaan.
  5. Setiap komunitas berkewajiban menegakkan keamanan internal.
  6. Setiap kominitas diikat dalam kesamaan iman. Antara warga satu komunitas dan komunitas lain tidak diperkenankan saling berperang; tidak boleh membunuh dalam rangka membela orang kafir, atau membela orang kafir dalam memusuhi warga jomunitas muslim.
  7. Umat Islam adalah umat Allah yang tidak terpecah belah.
  8. Untuk memperkuat persaudaraan dan hubungan kemanusiaan diantara umat Islam, warga muslim menjadi pelindung bagi warga muslim lainnya.
  9. Orang Yahudi yang menyatakan setia terhadap masyarakat Islam harus dilindungi. Mereka tidak boleh dianiaya dan diperangi.
  10. Stabilitas umat adalah satu. Satu komunitas berparang, semuanya berperang.
  11. Apabila satu komunitas berperang maka komunitas lain wajib membantu.
  12. Semua warga wajib menegakkan akhlak yang mulia.
  13. Apabila ada golongan lain yang bersekutu dengan Islam dalam berperang, maka umat Islam harus saling tolong-menolong dengan mereka.
  14. Oleh karena orang Kuraisy telah mengusir Muhajirin dari Mekah, maka penduduk Madinah, muasrik sekalipun, tidak boleh bersekutu dengan mereka dalam hal-hal yang dapat membahayakan penduduk muslim Madinah.
  15. Jika ada seorang muslim membunuh muslim lain secara sengaja, maka yang membunuh itu harus diqisas [dihukum setimpal], kecuali ahli waris korban berkehendak lain. Dalam hal ini seluruh umat Islam harus bersatu.
  16. Orang yang bersalah harus dihukum. Warga lain tidak boleh membelanya.
  17. Jika terjadi konflik atau perselisihan yang tidak dapat dipecahkan dalam musyawarah, maka penyelesaiannya diserahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
  18. Semua kesalahan ditanggung sendiri. Seorang tidak diperkenankan mempertanggungjawabkan kesalahan teman [sekutu]-nya.

Hak Asasi Manusia Dalam Piagam Madinah

            Perjuangan panjang masyarakat barat dalam menegakkan Hak Asasi Manusia yang ditandai dengan munculnya Magna Charta hingga Universal Declaration of Human Right, ternyata telah terlebih dahulu di dahului umat Islam, yaitu dengan adanya Piagam Madinah yang menjadi tonggak awal berdirinya Negara Islam di bawah panji Islam.

            Piagam Madinah, yang merupakan piagam tertulis pertama di dunia ini telah meletakkan dasar-dasar Hak Asasi Manusia yang berlandaskan Syari’at Islam. Pada awal pembukaan Piagam Madinah telah disebutkan bahwa semua manusia itu adalah umat yang satu, yang dilahirkan dari sumber yang sama, jadi tidak ada perbedaan antara seorang dengan orang lain dalam segala hal. Namun dalam islam ada satu hal yang membuat seorang dianggap lebih tinggi derajatnya dimata Allah, yaitu kadar imannya, jadi bukan dilihat dari warna kulit, suku, ras, Negara dan jenis kelaminnya, namun kadar iman seseorang itu yang membedakannya dengan orang lain.

          Selain adanya persaman hak diantara setiap manusia, Piagam Madinah juga mengakomodasi adanya kebebasan [yang dimaksud kebebasan disini adalah kebebasan yang masih dalam ruang lingkup syari’ah] yang berbeda dengan kebebasan yang terdapat dalam undang-undang lain pada masa sekarang ini, yang mengedepankan hawa nafsu manusia daripada ketentuan syari’at.

            Dalam masalah kebebasan ini, yang dengannya terjaminlah segala kemaslahatan manusia dari segala bentuk penindasan, ketakutan, dan perbudakan. Selain itu, kebebasan juga menjadikan manusia seperti apa yang dikehendaki Allah SWT, sebagai khalifah Allah di bumi ini dan hambanya sekaligus.[38]

            Dari uraian diatas dapat diambil sebuah kesimpulan, bahwa Hak Asasi Manusia yang dimaksud oleh Piagam Madinah adalah Persamaan antara setiap individu manusia dalam segala segi kehidupan bermasyarakat, dan juga kebebasan manusia dalam beragama dan hormat-menghormati antar pemeluk agama, Hak-hak politik yang di tandai dengan adanya persamaan hak antara setiap manusia di muka hukum dan social politik.

Piagam Madinah merupakan konstitusi yang berfungsi menjadi dasar hidup bersama yang disepakati masyarakat Madinah yang heterogen di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad saw. pada paruh akhir tahun 1 H. 

Piagam Madinah mengandungi prinsip-prinsip HAM dan punya relevansi dengan universalitas HAM. Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang dikandung oleh Piagam Madinah dan punya relevansi dengan universalitas HAM, ialah: [1] Hak atas kebebasan beragama; [2] Hak atas persamaan di hadapan hukum; [3] Hak untuk hidup; dan [4] Hak memperoleh keadilan.

Isu HAM dalam Piagam Madinah 

  1. Isu HAM dalam Piagam Madinah

Adapun isu HAM yang dikandung oleh Piagam Madinah, ialah: [1] Hak atas kebebasan beragama; [2] Hak atas persamaan di depan hukum; [3] Hak untuk hidup; dan [4] Hak memperoleh keadilan.

  1.   Hak atas Kebebasan Beragama

Hak atas kebebasan beragama merupakan salah satu isu HAM yang penting dan dikandung oleh Pasal 25 Piagam Madinah, yakni:

“Etnis Yahudi dari Suku ‘Awf adalah satu umat dengan orang mukmin. Bagi etnis Yahudi agama mereka; dan bagi orang muslim agama mereka. Juga [kebebasan ini berlaku] bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya.”

  1. Hak atas Persamaan di depan Hukum

Hak atas persamaan di depan hukum diungkapkan dalam Pasal 26 s/d Pasal 35, sebagaimana tersebut berikut ini:

Pasal 26

“Etnis Yahudi suku Najjar diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Auf.”

Pasal 27

 “Etnis Yahudi suku Harts diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Auf.”

Pasal 28

 “Etnis Yahudi suku Sâ’idah diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Auf.”

Pasal 29

 “Etnis Yahudi suku Jusyam diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Auf.”

Pasal 30

 “Etnis Yahudi suku Aus diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Auf.”

      Pasal 31

 “Etnis Yahudi suku Tsa’labah diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Auf, kecuali orang yang zalim atau khianat. Hukumannya hanya menimpa diri dan keluarganya.”

Pasal 32

 “Suku Jafnah dari Tsa’labah [diperlakukan] sama seperti mereka [Dinasti  Tsa’labah].”

Pasal 33

 “Etnis Yahudi suku Syutaibah diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Awf.  Sesungguhnya kebaikan [kesetiaan] itu lain dari kejahatan [khianat].”

Pasal 34

“Sekutu-sekutu Tsa’labah [diperlakukan] sama seperti mereka [suku Tsa’labah].”

Pasal 35

 “Kerabat Yahudi [di luar kota Madinah] sama seperti mereka [Yahudi].”

Hak untuk hidup merupakan dinyatakan dalam Pasal 14:

“Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran [membunuh] orang kafir. Tidak boleh pula orang mukmin membantu orang kafir untuk [membunuh] orang mukmin.”

Hak memperoleh keadilan dinyatakan dalam Pasal 2 s/d Pasal 13.

Pasal 2

“Kaum Muhajirin dari suku Quraisy sesuai keadaan [kebiasaan] mereka, bahu-membahu membayar diyat di antara mereka, dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara kaum mukmin.”

Pasal 3

“Suku ‘Auf, sesuai keadaan [kebiasaan] mereka, bahu-membahu membayar diyat diantara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara kaum mukmin.”

Pasal 4

“Suku Sâ’idah, sesuai keadaan [kebiasaan] mereka, bahu-membahu membayar diyat diantara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara kaum mukmin.”

Pasal 5

“Suku Harts, sesuai [kebiasaan] mereka, bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara kaum mukmin.”

Pasal 6

“Suku Jusyam, sesuai [kebiasaan] mereka, bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara kaum mukmin.”

Pasal 7

“Suku Najjar, sesuai [kebiasaan] mereka, bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara kaum mukmin.”

Pasal 8

“Suku ‘Amr ibn ‘Auf, sesuai [kebiasaan] mereka, bahu-membahu membayar diyat diantara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara kaum mukmin.”

Pasal 9

“Suku Nabit, sesuai [kebiasaan] mereka, bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara kaum mukmin.”

Pasal 10

“Suku Aus, sesuai [kebiasaan] mereka, bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara orang-orang mukmin.”

Pasal 11

“Sesungguhnya orang mukmin tidak boleh membiarkan orang yang terbelit utang, tetapi membantunya dengan baik dalam pembayaran tebusan atau diyat.”

Pasal 12

“Seorang mukmin tidak dibolehkan membuat persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya, tanpa persetujuan daripadanya.”

Pasal 13

Orang mukmin yang takwa harus menentang orang yang di antara mereka mencari atau menuntut sesuatu secara zalim, jahat, melakukan permusuhan atau kerusakan di kalangan orang mukmin. Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya, sekalipun ia anak dari salah seorang di antara mereka.

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề