Kendala yang sering dihadapi para industri batik Pekalongan khususnya home industri adalah

Kolumnis Tidak Terdaftar | CNN Indonesia

Rabu, 21 Apr 2021 18:35 WIB

Pengrajin batik yang didominasi para perempuan. [Antara/Harviyan Perdana Putra]

Jakarta, CNN Indonesia --

Perayaan Hari Kartini selalu identik dengan kebaya dan batik. Sayangnya, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, setelah lebih setahun dihantam pandemi, perayaan Hari Kartini tahun ini dibayangi kabar ambruknya 75 persen pengrajin batik di tanah air.

Pandemi Covid-19 memang telah membuat para pelaku IKM [Industri Kecil Menengah] di sektor TPT [Tekstil dan Produk Tekstil], khususnya batik, jatuh ke titik nadir.

Angka penjualan di berbagai sentra produksi batik, mulai dari Cirebon, Pekalongan, Solo, Yogyakarta, hingga ke Pamekasan, terus merosot tajam.


Jika pada 2019 nilai transaksi perdagangan batik nasional mencapai Rp3,6 triliun, maka pada 2020 nilainya tinggal Rp910 juta saja.

Imbasnya, sebagian besar produsen batik, khususnya yang berskala UMKM [Usaha Mikro, Kecil dan Menengah], telah berhenti total. Menurut data Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia [APPBI], dari 151.656 pengrajin batik yang tercatat, kini hanya tinggal 37.914 pengrajin saja yang masih berproduksi.

Gulung tikarnya industri batik rakyat ini tentu telah berimbas kepada para pengrajin batik. Mereka terpaksa harus dirumahkan dan beralih profesi untuk mempertahankan hidupnya. Menurut APPBI, para pengrajin batik ini kemudian beralih profesi menjadi buruh, nelayan, petani, serta pekerjaan serabutan lainnya.

Secara ekonomi, sebenarnya tidak ada persoalan dari alih profesi semacam itu.

Namun, dari sisi yang lain, misalnya kebudayaan, alih profesi tadi bisa mengancam kelangsungan tradisi batik di tanah air.

Sebab, membatik adalah seni keterampilan motorik halus, sementara pekerjaan-pekerjaan baru yang kini dijalani oleh mantan pengrajin batik tadi umumnya adalah pekerjaan kasar.

Jika tidak ada intervensi untuk memutus mortalitas industri batik rakyat, dan mengembalikan para pengrajin tadi ke profesi awalnya, kita akan menghadapi kendala serius dalam memulihkan keterampilan para pembatik tadi. Menurut penulis, isu ini perlu mendapat perhatian yang serius.

Serbuan "Batik China"

Sebagai catatan, meskipun batik telah ditetapkan oleh UNESCO [United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization] sebagai warisan budaya asli Indonesia pada 2009 silam, namun sebagai teknik menghias kain, batik sebenarnya tak hanya ada di Indonesia.

Pengakuan dunia lahir terutama karena batik Indonesia, khususnya Jawa, diakui sebagai yang paling halus, selain memiliki corak ragam hias yang sangat kaya, teknik pewarnaan yang paling berkembang, serta teknik pembuatan yang paling baik.

Selain itu, hampir setiap daerah di Indonesia juga memiliki batik khasnya masing-masing, baik dari segi corak, pewarnaan, motif, bahan pewarna, serta cara pembuatannya.

Mengenal lebih dalam batik Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. [CNN Indonesia/Muhammad Farochi]

Artinya, pengakuan dunia terhadap batik Indonesia terutama adalah karena keunggulan ragam batik tulisnya. Dan keunggulan itu kini sedang terancam oleh pandemi.

Di sisi lain, dalam sepuluh tahun terakhir, sesudah pasar bebas ASEAN-China [ACFTA] dibuka lebar, para pengrajin batik di tanah air juga telah menghadapi serbuan impor tekstil printing dari China.

Akibat bea masuk sebesar nol persen, produk tekstil China dengan motif mirip batik terus membanjiri pasar dalam negeri dengan harga yang jauh lebih murah dari produk lokal. Hal ini tentu saja telah memukul pengrajin batik lokal, terutama para pengusaha batik cap.

Apa yang sering disebut sebagai "batik China" di pasar-pasar tradisional atau di Tanah Abang, sebenarnya bukanlah batik. Itu hanya produk tekstil yang bercorak batik saja [textile printing].

Sehingga, ketika saya masih di Bappenas [Badan Perencanaan Pembangunan Nasional], dalam berbagai pameran yang diadakan oleh Yayasan Batik Indonesia, textile printing semacam itu tidak pernah diperbolehkan masuk pameran.

Bahkan, textile printing semacam itu juga tidak bisa dipersamakan dengan batik cap.

Proses pembuatan batik cap masih melewati proses yang rumit, melibatkan lilin [malam], ngelorot, serta teknik pewarnaan yang tidak sederhana. Masih banyak unsur seni di dalamnya. Sementara, textile printing sama sekali bukanlah sebuah karya seni.

Kondisi pengrajin batik lokal menjadi semakin buruk karena bahan baku tekstil di dalam negeri justru mengalami kelangkaan dan kenaikan harga yang signifikan.

Ini membuat harga batik lokal lebih mahal dari textile printing dengan motif batik dari China.

Jadi, ada tiga tantangan serius yang kini tengah dihadapi oleh industri batik di tanah air, yaitu serbuan "batik China", kendala bahan baku industri tekstil, serta ancaman hilangnya keterampilan membatik akibat alih profesi para pengrajinnya.

Jika tidak ada upaya sistematis dari pemerintah untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, kita pantas khawatir industri batik akan kian jatuh terpuruk.

Pasang surut batik

Meski pada mulanya membatik hanyalah pekerjaan musiman, namun, sejak akhir abad ke-18 batik telah menjadi komoditas komersial yang menjanjikan.

Hal itu terjadi karena penggunaan batik tidak lagi terbatas di kalangan elite atau keluarga keraton, atau untuk kepentingan upacara keagamaan, pernikahan, serta upacara-upacara tradisional lainnya, melainkan kian meluas di kalangan umum.

Naiknya permintaan terhadap batik ini telah mendorong lahirnya sentra-sentra industri batik di berbagai daerah. Saking menjanjikannya perdagangan batik, pada pertengahan abad ke-19 para perempuan Indo-Eropa dan Indo-Arab tak segan terjun menjadi pengusaha batik.

Namun sejak dulu, produksi batik tulis memang tidak pernah bisa mencukupi kebutuhan pasar, karena proses pengerjaannya yang lama.

Selain itu, karena membutuhkan keterampilan yang tinggi, harganya juga jadi cukup mahal.

Kondisi itu telah mendorong lahirnya teknik produksi baru, yaitu batik cap. Munculnya ragam batik cap ini kemudian telah mendorong terjadinya proses pembagian kerja dalam industri batik di tanah air.

Batik tulis, karena sangat membutuhkan kehalusan, dikerjakan oleh kaum perempuan; sementara batik cap, karena banyak membutuhkan tenaga, menjadi pekerjaan untuk laki-laki.

Lazimnya sektor ekonomi lain, industri batik juga pernah mengalami sejumlah pasang surut.

Menurut Palmer dan Castles [1971], Perang Dunia I telah menghancurkan industri tekstil di Hindia Belanda, termasuk batik, karena impor kain katun putih dari Belanda menjadi terhambat.

Sesudah itu, industri batik kembali dipukul oleh Depresi Besar, yang membuat banyak pengrajin batik kehilangan pekerjaannya. Namun, industri batik pada akhirnya terus bertahan.

Salah satu sebab kenapa tradisi batik bisa terus bertahan dan berkembang adalah karena di masa lalu batik selalu mendapatkan perlindungan dari kalangan keraton dan para priyayi.

Ilustrasi. Selain batik buatan lokal, pasar Indonesia juga dibanjiri 'batik China' yang sebenarnya merupakan textile printing. [CNN Indonesia/Safir Makki]

Setelah Indonesia merdeka, batik juga mendapat perlindungan dari pemerintah dan golongan elite yang menjadi konsumennya.

Apalagi, meski terus didesak oleh gaya berpakaian Barat, batik tetap mendapat tempat di kalangan elite kita sebagai gaya berpakaian sehari-hari.

Namun, sebenarnya ada penjelasan lain kenapa industri batik tergolong liat, yaitu karena sebagian besar pelakunya adalah ekonomi rakyat.

Meminjam Mubyarto [2005], dari sisi pertumbuhan, ekonomi rakyat perkembangannya mungkin lebih lambat jika dibandingkan dengan sektor lain.

Namun, kualitas pertumbuhan dan daya tahannya [resilience] sangat kuat. Bahkan di masa sulit, ekonomi rakyat sering jadi bantalan krisis.

Dengan posisi tersebut, Hernando de Soto [1989] menyebutnya sebagai "katup pengaman sosial" [social security].

Menyelamatkan industri batik emak-emak

Industri batik sejak awal perkembangannya telah didominasi oleh kaum perempuan, baik pelaku usaha maupun tenaga kerjanya.

Secara sosiologis, perempuan di Jawa, dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, memang memiliki peran dominan dalam kehidupan ekonomi.

Di tengah kultur feodal dan juga priyayi, laki-laki biasanya diharapkan untuk bekerja di lembaga pemerintahan daripada berdagang. Pekerjaan sebagai pedagang dianggap lebih rendah derajatnya dibanding menjadi pegawai.

Sementara, di kalangan rakyat biasa, laki-laki biasanya bekerja di sektor pertanian sebagai petani produsen. Inilah yang telah membuat kegiatan ekonomi dan perdagangan di Jawa banyak diisi oleh kaum perempuan, termasuk industri batik rakyat.

Saat ini, baik dalam kajian ilmu politik maupun manajemen, perempuan dianggap sebagai kunci penting perubahan.

Beberapa pakar marketing, misalnya, menyebut zaman sekarang sebagai "New Wave Culture", sebuah gelombang budaya baru yang menandai pergeseran yang berkebalikan dengan gelombang sebelumnya.

Ilustrasi. Pengrajin batik terkena dampak pandemi dan banyak yang beralih profesi. [Dok. Kemenpar]

Berbeda dengan zaman sebelumnya, dunia saat ini didominasi oleh 3 kekuatan besar, yaitu anak muda [youth], perempuan [women] dan netizen. Posisi perempuan benar-benar dianggap vital, sehingga kemudian melahirkan istilah "The Power of Emak-emak".

Itu sebabnya, sangat nahas jika kita membiarkan kehidupan para pengrajin batik, yang didominasi oleh pelaku ekonomi rakyat dan emak-emak, terus jatuh terpuruk.

Bukan hanya tradisi membatik yang terancam mundur, namun juga peran perempuan di sektor ekonomi bisa kian tergerus.

Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional [Sakernas, Agustus 2020], Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja [TPAK] perempuan hanya tercatat sebesar 53,13 persen. Artinya, hanya separuh dari populasi perempuan di Indonesia yang bekerja.

Angka TPAK ini cenderung stagnan dalam dua dekade terakhir, yang berarti sejak 20 tahun yang lalu perempuan Indonesia lebih banyak jadi pengangguran.

Di sisi lain, hanya 39 persen dari angkatan kerja perempuan yang berkarir di sektor formal. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki yang mencapai 47 persen. Itu artinya sekitar 60,69 persen perempuan bekerja di sektor informal. Karena data ini dirilis Agustus 2020 silam, angka-angka tadi tentu saja belum memperlihatkan dampak pandemi terhadap aktivitas ekonomi emak-emak di Indonesia.

Di Hari Kartini ini, pemerintah mestinya memberikan perhatian yang besar untuk menyelamatkan industri batik rakyat dan emak-emak.

Tradisi membatik sendiri, sebagai sebuah seni, mungkin tidak akan benar-benar hilang. Namun, sebagai industri rakyat, serta arena artikulasi ekonomi emak-emak Indonesia, industri batik bisa jadi akan segera menjadi masa lalu. Inilah yang mendesak untuk segera diselamatkan.

[stu/stu]

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề