Korupsi demi kepentingan pribadi berpesta pora atau euforia adalah contoh dari pola hidup yang

Konsumerisme berasal dari kata consumere atau consumo, sumpsi, sumptum [bahasa Latin] yang berarti menghabiskan, memakai sampai habis, memboroskan, menghambur-hamburkan, menggerogoti sampai habis. Kata itu menurunkan kata konsumen [pemakai, orang yang menghabiskan], konsumsi [sesuatu yang dimakan habis], dan konsumerisme [pikiran/mentalitas mau menghabiskan/memboroskan].

Hidup masyarakat diwarnai dengan interaksi antara produsen dan konsumen; antara pembuat dan pemakai. Ketika hubungan keduanya seimbang, kehidupan berjalan dengan aman dan harmonis. Tetapi ketika konsumen terlalu boros, kesimbangan akan terganggu.

Konsumerisme adalah mentalitas dan gaya hidup yang boros. Di sana orang menghabiskan barang dan jasa yang tersedia secara berlebih-lebihan [menghambur-hamburkan]. Akibatnya, alam dan manusia terganggu; bahkan rusak dan hancur.

Materialisme berasal dari kata materia [bahasa Latin] yang berarti bahan, benda, atau barang. Materialisme adalah pandangan yang menganggap bahwa segala sesuatu itu hanyalah benda atau barang; tidak lebih, tidak kurang. Penganut paham ini tidak mengakui adanya roh atau jiwa.

Mereka yang menganut materialisme memperlakukan segala sesuatu, termasuk manusia sebagai barang atau benda. Lebih jelek lagi, mereka memuja barang dan benda sebagai tujuan hidup. Karena itu, mereka sering mengorbankan manusia demi mencapai harta benda.

Hedonisme berasal kata hedone [bahasa Yunani] yang berarti kenikmatan/kesenangan [pleasure, Inggris]. Hedonisme adalah ajaran yang menganggap kenikmatan sebagai tujuan hidup. Kaum hedonis [penganut hedonisme] adalah orang-orang yang hidup hanya untuk mengejar kenikmatan. Mereka memuja-muja kenikmatan dan hidup hanya untuk mencari kenikmatan. Konsekuensinya, mereka menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan. Mudah mengeluh pada saat menghadapi kesulitan hidup.

Tiga mentalitas, yakni konsumerisme, materialisme, dan hedonisme sering berjalan beriringan bagaikan tiga serangkai. Orang-orang yang menganggap bahwa hidup ini hanya untuk kenikmatan [hedonis] mencari-cari barang-barang untuk memuaskan dirinya [materialis] dan mengakibatkan perilaku konsumeristis atau pemborosan.

Ego dan Kapitalisme
Dalam filsafat Buddhisme, disebutkan bahwa yang menyebabkan seseorang tidak dapat lepas dari roda tumimbal lahir adalah terdapatnya kotoran batin yang merupakan bibit dari kelahiran itu sendiri, sehingga seseorang akan terus terlahir merasakan penderitaan di dalam samsara [siklus kelahiran-kematian].

Disebutkan bahwa kotoran batin yang paling dasar dan paling sulit dikikis adalah ego atau keakuan. Ego atau keakuan inilah yang kemudian akan melahirkan kotoran batin dan penderitaan lain, seperti keserakahan, konflik sosial, kebencian, serta iri hati.

Dalam budaya konsumerisme, ego ini adalah instrumen halus yang menggerakan pasar kapitalisme. Ego merupakan alasan seseorang berperilaku konsumtif. Baik demi status sosial ataupun menikmati kemewahan dan kenyamanan, ego inilah yang sesungguhnya dijual dan ditawarkan oleh industri kapitalis melalui beragam barang dan jasa dengan harga yang hanya bisa dijangkau oleh mereka yang memiliki cukup uang.

Dengan hadirnya status sosial yang terkategorikan oleh mampu tidaknya seseorang untuk membeli ego, maka kesenjangan sosioekonomi pun terjadi. Munculah istilah si kaya dan si miskin. Munculah kelas bawah, kelas menengah, dan kelas atas. Munculah kaum priayi dan kaum liyan.

Stratifikasi kelas sosioekonomi akhirnya melahirkan konflik-konflik sosial dalam masyarakat, dari kasus pencurian hingga kekerasan. Konflik-konflik ini pada dasarnya lahir karena alasan yang sudah dapat ditebak, yaitu keserakahan dan iri hati.

Sebagai contoh atas pembagian kelas sosial, masyarakat kita sudah terbiasa membedakan antara majikan dengan pesuruhnya, yang mana majikan sudah sewajarnya memiliki uang dan kekuasaan, sedangkan pesuruh identik dengan kotor, debu, rendah, dan miskin. Tidak jarang kita menemukan seorang majikan bersikap sewenang-wenang kepada pesuruhnya, seolah berhak berkata kasar dan membentak pesuruhnya, sedangkan pesuruh wajib patuh dan wajar menerima hardikan dari majikannya.

Pembagian kelas sosial seperti ini, beserta “hak-hak khusus” yang diperoleh karenanya, menyebabkan banyak orang berlomba-lomba untuk bisa berada di posisi “majikan”, dan memenuhi semua keinginan egoismenya.
Dalam rangka mencapai hal ini, ketika bekerja saja tak cukup, akhirnya lahir kasus-kasus pencurian karena seseorang ingin memenuhi kehausan egonya dalam memiliki beragam benda yang bisa menjadi simbol atas status dan kemewahan dalam budaya konsumerisme. Kasus korupsi dan penghindaran pajak yang ramai dibicarakan pun tak lain adalah buah akibat dari sistem kapitalisme dan budaya konsumerisme ini, yang mana orang berbondong-bondong ingin memperkaya diri agar dapat berperilaku konsumtif untuk meningkatkan status sosialnya.

Di sisi lain, “keakuan” adalah alasan mengapa kita cenderung mendahulukan “kepentinganku”, “kenyamananku”, “kebahagianku”, dan segala “-ku” lainnya. Kita berlomba-lomba mencari kemewahan sekalipun itu dengan jalan instan dan curang serta merugikan pihak lain untuk memenuhi keinginan si “aku” ini. Kita jadi melupakan keberadaan orang lain, kesulitan orang lain, kebutuhan orang lain. Kita merasa bahwa diri kita adalah yang paling penting di dunia ini.

Kita mengabaikan karakter sosial dan komunal pada kodrat manusia sebagaimana yang disebutkan dalam teori evolusi bahwa justru dengan membentuk kelompok yang harmonis dan mempedulikan antar-anggotanya maka tiap-tiap individu akan lebih terjamin keamanan dan kesejahteraannya, sehingga yang terpenting bagi kita adalah memperkaya diri sendiri dan membiarkan orang lain tetap dalam kondisi miskin. Tidak lagi kita memahami pentingnya kepemilikan bersama, tapi kita hanya tahu soal kepemilikian pribadi.

Industri kapitalis menyadari perilaku yang demikian sehingga mereka memanfaatkannya untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan cara mempromosikan bahwa dengan memenuhi ego atau keakuan, maka kita akan mendapatkan kepuasan. Semakin mampu membeli barang dan jasa dengan harga yang mahal, maka harga diri juga semakin meningkat. Semakin memiliki pesuruh, semakin merasa dirinya adalah golongan priayi atau kelas menengah atas yang punya hak ditinggikan oleh orang lain [jika bukan merendahkan orang lain].

Era media sosial saat ini memperburuk kondisi tersebut. Jika dulu kebanggaan atas status sosial hanya bisa ditunjukkan pada lingkungan sekitar dan keluarga atau kerabat dekat, saat ini hal itu bisa ditunjukkan ke semua orang yang tidak kita kenal sekalipun dengan mengunggahnya ke media sosial. Beragam gambar dan tagar kita tampilkan di berbagai akun media sosial sebagai bukti atas status sosial yang kita banggakan.

Semakin memberi makan pada ego, maka seseorang semakin merasa puas. Semakin membuat orang lain iri hati, semakin seseorang merasa bangga dan lebih tinggi statusnya. Perilaku seperti ini akan menjadi adiksi dan mendorong seseorang untuk merepetisi perbuatannya yang dia anggap membawa kepuasan tersebut.

Dari sini dapat kita lihat bagaimana bahayanya sistem kapitalisme dalam mempengaruhi perilaku dan gaya hidup konsumerisme seseorang. Rantai lingkaran setan antara keakuan dan sistem kapitalisme semakin menjerumuskan pola perilaku masyarakat ke dalam beragam masalah. Hal inilah yang akhirnya akan menyebabkan jurang pemisah antara yang kaya dan miskin semakin besar dan dalam, semakin menindas yang di bawah.

Kita menjadi manusia-manusia yang mengutamakan kompetisi, tidak peduli apakah berbuat curang atau jujur, tidak peduli sekalipun itu menjatuhkan orang lain, dan tidak memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain. Bahkan mungkin kita akan sedemikian rupa mempertahankan kondisi kemiskinan pada orang lain agar status sosial kita tetap terjaga.

Dengan dalih manusiawi dan apresiasi terhadap kreativitas mencari peluang usaha, kita telah mengizinkan masyarakat kita terkotak-kotakan ke dalam si kaya dan si miskin. Kita membiarkan sebuah keluarga tinggal dalam rumah besar atau bahkan memiliki lebih dari satu rumah di saat banyak keluarga lain tidak memiliki rumah. Kita telah membiarkan seseorang membuang makanan yang dibeli dengan harga mahal di saat orang lain mengais sampah untuk mencari sisa makanan.

Inilah bentuk perbudakan di zaman modern. Si borjuis memperbudak si proletar melalui sistem perekonomian dan kompetisi antar-individu yang sejak awal tidak berimbang. Kita semua diperbudak oleh sistem kapitalisme untuk terus memenuhi ego dengan iming-iming meningkatnya status sosial dan kemewahan.

Kita dibuat percaya pada individualitas dan lupa bahwa keberadaan kita sesungguhnya ditopang oleh keterhubungan antara individu tersebut dalam kesetaraan sosial dan kekuatan komunal. Dan semakin lama, integritas kita pun semakin tergerus oleh perilaku keserakahan yang terbentuk melalui sistem yang demikian.

“Society does not consist of individuals, but expresses the sum of interrelations, the relations within which these individuals stand”. [Karl Marx, Grundrisse, 1858]

Sumber Referensi:
• Konsumerisme, Materialisme, & Hedonisme; DIPOSTING OLEH SARAIHNBOW; //sarahnlicious.blogspot.com.au/2010/07/konsumerisme-materialisme-dan-hedonisme.html
• Ego dan Kapitalisme; Posted by Liswindio //fateisinevitability.blogspot.com.au/2016/10/ego-dan-kapitalisme.html;

Jakarta | Egindo.co. Kita sering mendengar kata hedonis atau hedonisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:

Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup.

Seseorang dikatakan menganut hedonisme ketika mereka melakukan aktivitas fisik berupa mengejar modernitas dan menghabiskan banyak uang dan waktu yang dimiliki [aktivitas], memenuhi banyak keinginan dan objek apa saja yang dianggap menarik.

Perilaku ini terlihat misalnya pada objek yang menekankan unsur kesenangan hidup seperti fashion, makanan, barang mewah, tempat nongkrong [minat], serta memberi jawaban atau respon positif terhadap kenikmatan hidup [pendapat].

Gaya hidup konsumtif tidak bisa dilepaskan dari gaya hidup hedonisme yang dianut. Di satu sisi, pola dan gaya hidup konsumtif memberikan kenikmatan dan kepuasan baik secara fisik maupun psikologi.

Namun disadari atau tidak, gaya hidup konsumtif justru memiliki dampak kurang baik terhadap “kesehatan finansial”. Gaya hidup konsumtif dapat dikatakan sebagai pemborosan. Sementara pemborosan itu sendiri bisa dimaknai sebagai suatu perilaku yang berlebih-lebihan melampaui apa yang dibutuhkan.

Ketika kita masih memiliki daya beli, gaya hidup konsumtif memang mengasyikkan, kita bisa membeli segala sesuatu yang tak hanya sekedar apa yang dibutuhkan, tetapi juga apa yang diinginkan.

Tanpa disadari, perilaku ini akan menjadi kebiasaan yang mengendap dan membentuk karakter yang sulit diubah apalagi dihilangkan. Ketika kita telah menaikkan gaya hidup, maka untuk menurunkan gaya hidup bukanlah hal yang mudah.

Ini karena sifat manusia untuk mencari kenikmatan dan menjauhi kesengsaraan. Selain itu ada faktor malu, faktor kenyamanan yang akan menyiksa diri kita ketika sudah mempunyai penghasilan dan ingin memuaskan gaya hidup.

8 Cara Mengubah Perilaku Hedonisme dan Gaya Hidup Konsumtif

Nicolas Cage pernah dikenal sebagai aktor Hollywood dengan bayaran termahal dan pemasukan hingga US$40 juta per tahunnya. Lalu, ia mengalami masalah keuangan karena gaya hidup dengan membeli jet pribadi dan hewan eksotis.

Baca Juga :  Lagi Kelilit Sama Hutang ? Begini Menurut Primbon Jawa

Setidaknya ada beberapa pedoman dalam mengendalikan diri agar tidak jatuh miskin di kemudian hari:

#1 Menabung

Untuk orang yang menganut hedonisme, menabung itu merupakan hal sulit dilakukan. Padahal menabung ini sangat penting untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang seperti biaya pendidikan anak, membayar DP rumah atau persiapan dana pensiun.

Menabung tidak harus dalam jumlah banyak. Ketika Anda mulai berkomitmen untuk memisahkan dari penghasilan misalnya 5% atau 10% dari gaji, maka jika dilakukan secara terus menerus, tentu nilai tabungan akan semakin banyak

#2 Membuat Anggaran Belanja

Anggaran belanja merupakan salah satu alat untuk mengatur aliran dana. Dalam konteks ini, tentu saja yang menjadi fokus utama adalah perencanaan pengeluaran. Kebutuhan bisa mencakup harian, juga bulanan. Setiap pengeluaran harus diatur dalam pos-pos yang jelas.

Dengan demikian, anggaran yang disediakan untuk pemenuhannya juga bisa terpampang secara gamblang. Pembuatan anggaran belanja juga bisa Anda gunakan sebagai alat untuk penentuan target pengeluaran.

Dalam membuat anggaran belanja, Anda perlu kedisiplinan untuk menepati setiap anggaran yang sudah Anda buat. Diperlukan pengendalian diri agar anggaran belanja yang sudah dibuat dapat ditepati.

#3 Prioritas Kebutuhan

Anda harus paham bahwa kebutuhan tidak sama dengan keinginan dan keperluan. Kebutuhan memiliki ‘derajat’ yang lebih tinggi daripada keperluan atau hanya sekedar keinginan. Nah, untuk beranjak dari perilaku konsumtif, prioritaskan kebutuhan. Jika kebutuhan telah dipenuhi, maka keinginan atau keperluan bisa dipenuhi ketika ada dana sisa.

Buatlah skala prioritas mengenai barang atau hal-hal yang Anda butuhkan. Mulai dari yang tingkat urgensi yang tinggi hingga ke rendah. Jangan lupa untuk membuat substitusinya.

#4 Hindari Pemakaian Kartu Kredit

Jangan mudah terayu dengan promo-promo yang diberikan oleh kartu kredit. Kartu kredit begitu mudah membujuk Anda untuk berperilaku gaya hidup konsumtif dengan berbelanja berlebihan bahkan untuk barang-barang yang sebenarnya Anda tidak butuh.

Baca Juga :  Diduga Investasi Bodong, Aplikasi WPP Berbagi Dilaporkan

Belanja dengan kartu kredit butuh komitmen dan kontrol diri yang kuat. Dalam perencanaan keuangan, maksimal proporsi yang ideal untuk pos utang ini sebesar 30% dari penghasilan setiap bulan.

Jika lebih dari itu, keadaan keuangan Anda bisa goyah dan Anda pun dapat mengalami masalah keuangan. Hal ini akan diperparah lagi apabila Anda membayar cicilan utang kartu kredit yang bunganya bisa mencapai 2-3% sebulan atau sekitar 24-36% per tahun.

Jika tidak segera dilunasi, utang kartu kredit ini akan terus menggerogoti isi kantong Anda karena berlaku suku bunga efektif, yang akan terus terhitung selama kita hanya membayar minimum cicilannya saja.

Bila Anda ingin berutang, gunakanlah untuk barang-barang produktif, yang dapat dirasakan manfaatnya dalam jangka panjang. Misalnya seperti menyicil kendaraan seperti mobil atau motor. Dengan kendaraan tersebut, Anda bisa mendapatkan penghasilan tambahan apabila dijadikan transportasi online.

#5 Kurangi Jalan-jalan dan Cuci Mata di Mal

Jalan-jalan dan cuci mata di mall atau pusat perbelanjaan memang aktivitas yang mengasyikkan, namun akan berbahaya, jika hal ini menjadi kebiasaan. Cuci mata di pusat perbelanjaan berpotensi menimbulkan niat belanja yang tidak terduga dan terencana.

Kita sering mudah tertarik dan membeli barang-barang yang tidak ada dalam daftar belanja Anda, dimana barang ini belum tentu Anda butuhkan.

#6 Cermatlah Ketika Membeli Barang

Membeli barang sebaiknya berdasarkan fungsi akan lebih bijak dibandingkan merek yang hanya untuk menunjang gengsi.

Sebagai contoh dalam membeli tas, orang hedonisme selalu akan membeli barang berdasarkan merek dimana harga dari tas tersebut bisa mencapai ratusan juta, padahal fungsinya sama dengan tas yang berharga ratusan atau puluhan ribu saja. Perilaku ini tentu saja merupakan pemborosan.

#7 Beramal dan Bersedekah

Cara yang satu ini memang berbau religi, namun tak kalah ampuh untuk mengubah perilaku konsumtif. Dengan beramal dan bersedekah berarti Anda telah berbagi dengan orang-orang yang secara ekonomi tidak seberuntung Anda.

Banyak miliarder dunia yang mengalokasikan sedikit uang mereka untuk beramal. Sebagai contoh, Bill Gates yang memberikan 60% dari kekayaannya untuk yayasan Bill and Melinda Gates [yayasan dengan dana paling besar di dunia dan banyak membantu dunia kesehatan dan pendidikan], Mark Zuckerberg juga memberikan US$75 juta untuk Foundation.

#8 Lebih Baik Habiskan Uang untuk Berinvestasi daripada Berfoya-Foya

Investasi merupakan salah satu cara untuk menghindari perilaku dan gaya hidup konsumtif. Investasi dapat digunakan untuk merencanakan kehidupan masa depan yang lebih baik.

Investasi dapat dipahami sebagai penanaman modal pada suatu usaha atau barang tak bergerak dengan tujuan memperoleh keuntungan di masa mendatang.

Ketika usia Anda tidak lagi produktif, investasi bisa menyelamatkan kehidupan masa tua Anda.

Sebagai contoh, Apabila kita memiliki penghasilan Rp3 juta, maka 30%-nya sekitar Rp 900 ribu setiap bulan yang digunakan untuk membayar cicilan utang, maka jumlah yang terkumpul dalam 5 tahun sebesar Rp 54 juta.

Bila dana sebesar itu rutin diinvestasikan pada reksa dana, maka berpotensi tumbuh menjadi Rp 91,58 juta atau sebesar 69,5%. Angka ini berdasarkan perhitungan kalkulator investasi Finansialku.

Setelah melihat potensi hasil dari investasi ini, pastinya sungguh disayangkan apabila kita hanya menghabiskan uang hanya untuk membayar cicilan utang yang sifatnya konsumtif.

Hindari Hedonisme dan Gaya Hidup Konsumtif

Ada baiknya saat ini, Anda mulai membiasakan hidup hemat dan mengatur keuangan secara bijak. Jangan sampai berutang hanya untuk keperluan konsumtif demi memenuhi tuntutan gaya hidup yang tidak ada ujungnya.

Sumber: Finansialku.com

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề