Lukisan yang objeknya cenderung menampilkan hal-hal yang berurusan dengan percintaan adalah

A. Basuki Abdullah [1915 – 1993]

Lukisan Basuki Abdullah yang berjudul “Kakak dan Adik”, 1978 ini merupakan salah satu karyanya yang menunjukkan kekuatan penguasaan teknik realis. Dengan pencahayaan dari samping, figur kakak dan adik yang dalam gendongan terasa mengandung ritme drama kehidupan. Dengan penguasaan proporsi dan anatomi, pelukis ini menggambarkan gerak tubuh mereka yang mengalunkan perjalanan sunyi. Suasana itu, seperti ekspresi wajah mereka yeng jernih tetapi matanya menatap kosong. Apalagi pakaian mereka yang bersahaja dan berwarna gelap, sosok kakak beradik ini dalam selubung keharuan. Dari berbagai fakta tekstual ini, Basuki Abdullah ingin mengungkapkan empatinya pada kasih sayang dan kemanusiaan.

Namun demikian, spirit keharuan kemanusiaan dalam lukisan ini tetap dalam bingkai romantisisme.Oleh karena itu, figur kakak beradik lebih hadir sebabagi idealisme dunia utuh atau bahkan manis, daripada ketajaman realitas kemanusiaan yang menyakitkan. Pilihan konsep estetis yang demikian dapat dikonfirmasikan pada semua karya Basuki Abdullah yang lain. Dari beberapa mitologi, sosok-sosok tubuh yang telanjang, sosok binatang, potret-potret orang terkenal, ataupun hamparan pemandangan, walaupun dibangun dengan dramatisasi namun semua hadir sebagai dunia ideal yang cantik dengan penuh warna dan cahaya.

Berkaitan dengan konsep estetik tersebut, Basuki Abdullah pernah mendapat kritikan tajam dari Sudjojono. Lukisan Basuki Abdullah dikatakan sarat dengan semangat Mooi Indie yang hanya berurusan dengan kecantikan dan keindahan saja. Padahal pada masa itu, bangsa Indonesia sedang menghadapi penjajahan, sehingga realitas kehidupannya sangat pahit. Kedua pelukis itu sebenarnya memang mempunyai pandangan estetik yang berbeda, sehingga melahirkan cara pengungkapan yang berlainan. Dalam kenyataan estetik Basuki Abdullah yang didukung kemampuan teknik akademis yang tinggi tetap menempatkannya sebagai pelukis besar. Hal itu terbukti berbagai penghargaan yang diperoleh, juga dukungan dari masyarakat bawah sampai kelompok elite di istana, dan juga kemampuan bertahan karya-karyanya eksis menembus berbagai masa.

B. Popo Iskandar [1929 – 2000]

Lukisan Popo Iskandar “Kucing”, 1975 mengungkapkan salah satu dari berbagai karakter yang pernah dibuat dengan objek binatang. Dengan deformasi yang mengandalkan efek-efek goresan yang spontan dan transparan, binatang itu seakan baru bangkit dari tidur dan mengibaskan badannya. Dengan warna hitam belang-belang putih, kucing ini tampak sebagai sosok binatang yang misterius.

Popo Iskandar adalah dikenal sebagai pelukis yang sangat esensial dalam menangkap objek-objeknya. Namun demikian, kecenderungan itu tidak sama dengan Rusli yang lebih mengadalkan kekuatan garis dan warna. Popo masih mengembangkan berbagai unsur visual lain dan cara pengolahannya. Hal itu bisa dilihat misalnya pada pengolahan nilai tekstur, efek-efek teknik transparan atau opaque dalam medium cat, maupun pengolahan deformasi dan komposisi objek-objeknya. Di samping itu, pelukis ini juga selalu melakukan penggalian psikologis untuk menampilkan esensi dan ekspresi objek yang akan dilukis. Dengan demikian karakter objek-objek itu bisa diungkapkan secara khas. Dalam serial kucing, ia menggali esensi binatang jinak, lucu, indah bahkan juga bisa memancarkan sifat-sifat misterius.

Dalam penghayatan objek-objeknya, Popo memang berhasil menampilkan karakter-karakter yang esensial. Dengan demikian dapat dilihat misalnya, ia begitu piawai menampilkan kegagahan, kejantanan, dan nilai-nilai artistik pada objek ayam jago dan kuda. Dalam intensitas penghayatan juga dapat dilihat bagaimana rumpun-rumpun bambu yang ramping menjadi irama yang puitis dalam kanvasnya. Dari berbagai serial objek-objek itu, yang paling fenomenal dan akhirnya menjadi ciri identitas kepelukisan Popo Iskandar adalah objek kucing. Dalam seni lukis modern Indonesia, pelukis Popo oleh para pengamat dimasukkan sebagai seorang modernis yang berhasil meletakkan azas kemurnian kreativitas individual dalam karya-karyanya. Esensi karakteristik dari objek-objek dalam ruang imajiner itu merupakan tanda yang kuat dalam pencapaiannya.

C. Sudjojono [1913 – 1986]

Jika pada lukisan “Di depan Kelamboe Terbuka” ekspresi Sudjojono terlihat sunyi  tetapi mencekam , maka dalam karya “Tjap Go Meh”, 1940 ini, ia mengungkapkan emosinya dengan meluap-luap. Dalam lukisan karnaval perayaan keagamaan Cina tersebut, selain dihadirkan suasana hiruk pikuk muncul nuansa ironi. Ironi itu bisa sebatas pada karnaval yang meluapkan berbagai emosi secara absurd, namun lebih jauh lagi bisa mengandung komentar ketimpangan sosial. Hal itu mengingat setting sosial tahun pembuatan karya, adalah pada masa depresi ekonomi, tekanan pemerintah kolonial yang makin keras pada para nasionalis, dan euphoria menjelang kedatangan Jepang.

Pada latar depan, terlihat seorang wanita dalam tarian dan gandengan seorang bertopeng, diapit oleh seorang ambtenar yang berdasi dan seorang pemusik bertopeng buaya. Di sisi lain ada seorang kerdil yang berdiri tegak temangu-mangu, sedangkan di latar belakang berombak masa yang berarak dan menari dalam kegembiraan. Walaupun lukisan ini berukuran kecil, namun Sudjojono benar-benar telah mewujudkan kredo jiwo ketoknya dalam melukis. Dalam “Tjap Go Meh” ini terlihat spontanitas yang meluap tinggi. Deformasi orang-orang dalam arakan dan warna-warnanya yang kuat, mendukung seluruh ekspresi yang absurd itu.

Sudjojono dalam masa Persagi dan masa Jepang berusaha merealisir seni lukis Indonesia baru, seperti yang sangat kuat disuarakan lewat tulisan-tulisan dan karyanya. Jiwa semangat itu adalah menolak estetika seni lukis Mooi Indie yang hanya mengungkapkan keindahan dan eksotisme saja. Dengan semangat nasionalisme, Sudjojono ingin membawa seni lukis Indonesia pada kesadaran tentang realitas sosial yang dihadapi bangsa dalam penjajahan. Di samping itu, dia ingin membawa nafas baru pengungkapan seni lukis yang jujur dan empati yang dalam dari realitas kehidupan lewat ekpresionisme. Kedua masalah yang diperjuangkan tersebut, menempatkan Sudjojono sebagai pemberontak estetika “Mooi Indie” yang telah mapan dalam kultur kolonial feodal. Lukisan Sudjojono “Di Depan Kelamboe Terbuka” dan “Tjap Go Meh” ini, merupakan implementasi dari perjuangan estetika yang mengandung moral etik kontekstualime dan nasionalisme. Dengan kapasitas kesadaran dan karya-karya yang diperjuangkan, banyak pengamat yang menempatkan Sudjojono sebagai Bapak Seni Lukis Indonesia.

D. Pirous [Lahir 1933]

A.D. Pirous dikenal dengan karya-karyanya yang bernafaskan islami. Pengungkapannya dalam lukisan lewat konstruksi struktur bidang-bidang dengan latar belakang warna yang memancarkan berbagai karakter imajinatif. Dengan prinsip penyusunan itu, pelukis ini sangat kuat sensibilitasnya terhadap komposisi dan pemahaman yang dalam berbagai karakter warna. Nafas spiritual suatu ketika muncul dalam imaji warna yang terang, saat yang lain bisa dalam warna redup yang syahdu, sesuatu juga bisa muncul dalam kekayaan warna yang menggetarkan. Sentuhan ragam hias etnis Aceh, yang memuat ornament-ornamen atau motif Buraq, juga memberikan nafas sosiokultural yang islami dalam lukisannya. Sebagai puncak kunci nafas spiritual itu, adalah aksentuasi kaligrafi Arab yang melafaskan ayat-ayat Suci Al Qur’an.

Dalam lukisan “Beratapkan Langit dan Bumi Amparan” [QS. Al Baqarah: 22a], 1990 ini, Pirous juga menghadirkan spiritualitas yang menyentuh. Latar belakang biru ultramarine membawa imaji tentang kedalaman kosmos yang tak terhingga. Di atas, menyembul bagian dari potongan-potongan bidang oker yang mencitrakan suatu massa langit. Di bawah, dua bidang putih dengan kaligrafi Al Qur’an tegak menjadi pondasi yang kokoh untuk citra bumi. Di antara imaji antara langit dan bumi itu suatu garis putih yang serupa cahaya membelah vertikal melewati kedalaman kosmos. Dengan berbagai karakter yang dapat dibaca lewat fenomena tekstual tersebut, maka garis yang serupa cahaya itu, dapat ditafsirkan sebagai cahaya keilahian yang menghubungkan langit dan bumi. Dalam lukisan-lukisan yang lain, pelukis ini sering membangun suasana alam untuk memberikan latar belakang yang kuat yang berhubungan dengan ayat-ayat Al Qur’an dalam lukisannya. Lewat penyusunan bidang-bidang, ruang, dan warna-warna tertentu, suasana dalam lukisan dapat memantulkan senja yang temaram, pagi yang jernih, ataupun malam yang syahdu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pirous juga berhasil mengembangkan seni lukis abstrak yang simbolis. Semua eksploitasi ide, medium, dan teknis tersebut akhirnya tidak hanya sekedar menempatkan Pirous sebagai pelukis kaligrafi yang handal, tetapi lebih jauh lagi mempertegas pencapaiannya sebagai pelukis spiritual islami.

E. Fadjar Sidik [1930 – 2004]

Dalam lukisan “Dinamika Keruangan”, 1969 ini, Fadjar Sidik menampilkan ritme-ritme bentuk dari dua gugusan elemen visual dengan dominan warna hitam dan warna kuning oker. Di sela-sela susunan bentuk terdapat bulatan-bulatan merah yang memberikan aksentuasi seluruh ritme itu, sehingga timbul klimaks yang menetaskan kelegaan. Jika dalam lukisan ini terdapat bentuk bulan dan sabit, hal itu sama sekali bukan representasi religius yang berkaitan dengan nilai simbolik bulan penuh dan bulan sabit. Demikian juga dengan gugusan bentuk-bentuk segi empat dan geliat sulur garis hitam, bukan abstraksi bentuk ular dan sarangnya yang mempunyai nilai magis simbolik. Pelukis ini lebih menekankan bagaimana dalam kanvasnya hadir ekspresi visual yang membuat dinamika, ketegangan, ritme, keseimbangan, atau karakter-karakter lain. Ungkapan dalam lukisan ini merupakan salah satu dari manifestasi pencapaian abstrak murni yang telah melewati proses panjang dalam kreativitasnya.

Pencapaian Fadjar Sidik sampai pada bentuk estetik ini menunjukkan sikapnya sebagai seorang modernis. Hal itu justru dilatabelakangi oleh kekecewaannya sebagai seorang romantis yang kehilangan dunia idealnya, yaitu objek Bali yang telah berubah menjadi artifisial. Sebagai seorang yang mempunyai bahan dasar modernis lewat lingkungan kultural keluarga dan pendidikan, Fadjar tetap lebih dahulu melewati proses mengabstraksi bentuk-bentuk alam yang disukainya. Keputusan utntuk menciptakan bentuk-bentuk sendiri [ia sering menyebutnya sebagai desain ekspresif], tanpa merepresentasikan bentuk-bentuk apapun di alam, merupakan sikap yang purna dari pencarian dan pemberontakan estetiknya. Pemberontakan itu bisa lebih dilihat dengan makna sosial, karena Fadjar pada waktu itu berjuang sebagai seorang modernis dalam lingkungan seni lukis Yogyakarta yang masih kuat mengembangkan paradigma estetik kerakyatan. Sikap sosial yang terkristal dalam konsep estetis itu, menempatkan Fadjar Sidik sebagai agen perubahan dalam seni lukis modern Indonesia.

F. Otto Djaja [1916 – 2002]

Karya lukisan berjudul “Pertemuan”, 1947 ini isinya dapat ditafsirkan dengan berbagai interprestasi. Hal itu karena secara tekstual objek-objeknya mengandung potensi naratif yang multi interpretatif. Laki-laki dan perempuan duduk di depan ranjang. Laki-lakinya masih berpakaian lengkap dengan jas dan peci, sementara kebaya wanitanya terbuka, sehingga BHnya terlihat. Gestur tubuh kedua orang itu bisa mengisyaratkan komunikasi yang berisi keintiman, bisa juga konflik, sekaligus humor. Setting ini bisa terjadi dalam kehidupan rumah tangga, dalam hubungan percintaan di luar rumah, atau bahkan dari indikator visualnya bisa mengarah potret sebuah bordil di tahun 1940-an. Namun lebih dari itu, lukisan dengan pengolahan figur-figur naïf, warna cerah dan garisnya yang linier ini, dapat memberikan komentar kehidupan yang tajam. Karya-karya Otto Djaja memang bercirikan karakternya yang naïf, selalu dapat menangkap jiwa kehidupan masyarakat, dan dibingkai dalam warna humor yang satiris.

Tema-tema lain yang digarap banyak berisi sindiran tentang kemunafikan lingkungan sosial. Tema-tema demikian bisa dilihat pada karyanya tentang suasana resepsi, suasana pasar kain batik, atau juga pada adegan-adegan praktek perdukunan. Sebagai tekanan untuk menampilkan humor dan satire tersebut, pelukis ini biasanya menggunakan tokoh-tokoh Punokawan dari dunia pewayangan dan legenda-legenda tradisional. Walaupun Otto Djaja mengungkapkan tentang sisi gelap hubungan manusia, namun karena tema itu diolah dengan humor dan warna-warna yang meriah, maka lukisannya selalu menghadirkan suasana yang hangat.

G. Raden Saleh [1807 – 1880]

Lukisan Raden Saleh yang berjudul “Badai” ini merupakan ungkapan khas karya yang beraliran Romatisme. Dalam aliran ini seniman sebenarnya ingin mengungkapkan gejolak jiwanya yang terombang-ambing antara keinginan menghayati dan menyatakan dunia [imajinasi] ideal dan dunia nyata yang rumit dan terpecah-pecah. Dari petualangan penghayatan itu, seniman cenderung mengungkapkan hal-hal yang dramatis, emosional, misterius, dan imajiner. Namun demikian para seniman romantisme sering kali berkarya berdasarkan pada kenyataan aktual.

Dalam lukisan “Badai” ini, dapat dilihat bagaimana Raden Saleh mengungkapkan perjuangan yang dramatis dua buah kapal dalam hempasan badai dahsyat di tengah lautan. Suasana tampak lebih menekan oleh kegelapan awan tebal dan terkaman ombak-ombak tinggi yang menghancurkan salah satu kapal. Dari sudut atas secercah sinar matahari yang memantul ke gulungan ombak, lebih memberikan tekanan suasana yang dramatis.

Walaupun Raden Saleh berada dalam bingkai romantisisme, tetapi tema-tema lukisannya kaya variasi, dramatis dan mempunyai élan vital yang tinggi. Karya-karya Raden Saleh tidak hanya sebatas pemandangan alam, tetapi juga kehidupan manusia dan binatang yang bergulat dalam tragedi. Sebagai contoh adalah lukisan “Een Boschbrand” [Kebakaran Hutan], dan “Een Overstrooming op Java” [Banjir di Jawa], “Een Jagt op Java” [Berburu di Jawa] atau pada “Gevangenneming van Diponegoro” [Penangkapan Diponegoro]. Walaupun Raden Saleh belum sadar berjuang menciptakan seni lukis Indonesia, tetapi dorongan hidup yang diungkapkan tema-temanya sangat inspiratif bagi seluruh lapisan masyarakat, lebih-lebih kaum terpelajar pribumi yang sedang bangkit nasionalismenya.

Noto Soeroto dalam tulisannya “Bi het100” Geboortejaar van Raden Saleh [Peringatan ke 100 tahun kelahiran Raden Saleh], tahu 1913, mengungkapkan bahwa dalam masa kebangkitan nasional, orang Jawa didorong untuk mengerahkan kemampuannya sendiri. Akan tetapi, titik terang dalam bidang kebudayaan [kesenian] tak banyak dijumpai. Untuk itu, keberhasilan Raden Saleh diharapkan dapat membangkitkan perhatian orang Jawa pada kesenian nasional.

H. Affandi [1907 – 1990]

Lukisan Affandi yang menampilkan sosok pengemis ini merupakan manifestasi pencapaian gaya pribadinya yang kuat. Lewat ekpresionisme, ia luluh dengan objek-objeknya bersama dengan empati yang tumbuh lewat proses pengamatan dan pendalaman. Setelah empati itu menjadi energi yang masak, maka terjadilah proses penuangan dalam lukisan seperti luapan gunung menuntaskan gejolak lavanya. Dalam setiap ekspresi, selain garis-garis lukisanya memunculkan energi yang meluap juga merekam penghayatan keharuan dunia bathinnya. Dalam lukisan ini terlihat sesosok tubuh renta pengemis yang duduk menunggu pemberian santunan dari orang yang lewat. Penggambaran tubuh renta lewat sulur-sulur garis yang mengalir, menekankan ekspresi penderitaan pengemis itu. Warna coklat hitam yang membangun sosok tubuh, serta aksentuasi warna-warna kuning kehijauan sebagai latar belakang, semakin mempertajam suasana muram yang terbangun dalam ekspresi keseluruhan.

Namun dibalik kemuraman itu, vitalitas hidup yang kuat tetap dapat dibaca lewat goresan-goresan yang menggambarkan gerak sebagian figur lain. Dalam konfigurasi objek-objek ini, komposisi yang dinamis. Dinamika itu juga diperkaya dengan goresan spontan dan efek-efek tekstural yang kasar dari plototan tube cat yang menghasilkan kekuatan ekspresi.

Pilihan sosok pengemis sebagai objek-objek dalam lukisan tidak lepas dari empatinya pada kehidupan masyarakat bawah. Affandi adalah penghayat yang mudah terharu, sekaligus petualang hidup yang penuh vitalitas.Objek-objek rongsok dan jelata selalu menggugah empatinya. Oleh karenanya, ia sering disebut sebagai seorang humanis dalam karya seninya. Dalam berbagai pernyataan dan lukisannya, ia sering menggungkapkan bahwa matahari, tangan dan kaki merupakan simbol kehidupannya. Matahari merupakan manifestasi dari semangat hidup. Tangan menunjukkan sikap yang keras dalam berkarya dan merealisir segala idenya. Kaki merupakan ungkapan simbolik dari motivasi untuk terus melangkah maju dalam menjalani kehidupan. Simbol-simbol itu memang merupakan kristalisasi pengalaman dan sikap hidup Affandi, maupun proses perjalanan keseniannya yang keras dan panjang. Lewat sosok pengemis dalam lukisan ini, kristalisasi pengalaman hidup yang keras dan empati terhadap penderitaan itu dapat terbaca.

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề