Maraknya kasus penyelundupan Barang impor atau sering disebut black market disebabkan karena

Lihat Foto

ANTARA FOTO/HAFIDZ MUBARAK A

Menteri Keuangan Sri Mulyani [tengah] bersama Menteri BUMN Erick Thohir [kanan] dan Dirjen Bea Cukai Kemenkeu Heru Pambudi [kiri] menggelar konferensi pers terkait penyelundupan motor Harlery Davidson dan sepeda Brompton menggunakan pesawat baru milik Garuda Indonesia di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis [5/12/2019]. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu berhasil mengungkap penyelundupan sepeda motor Harley Davidson pesanan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk, I Gusti Ngurah Askhara dan dua sepeda Brompton beserta aksesorisnya menggunakan pesawat baru Airbus A330-900 Neo milik Garuda Indonesia.

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan penyebab serbuan barang impor ilegal yang masuk ke Indonesia.

Ia meminta jajaran Kementerian Keuangan, terutama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai [DJBC] untuk mewaspadai serbuan barang impor ilegal.

"Pertama dengan adanya ekonomi digital memungkinkan masuknya barang-barang dari luar secara lebih mudah ke indonesia. Lebih lancar," ujar dia di Jakarta, Jumat [20/12/2019].

Baca juga: RI Diserbu Barang Impor llegal, Ini Instruksi Sri Mulyani

Selain itu, perang dagang juga menjadi faktor lain yang membuat barang-barang impor membanjiri Indonesia.

Menurut Sri Mulyani, dunia usaha juga mengalami tekanan yang cukup besar. Contohnya banjir impor tekstil yang menyebabkan industri tekstil dalam negeri tenggelam.

"Dari sisi apa yang kita lihat di berbagai fenomena seperti tekstil dan lain-lain menggambarkan dunia usaha mengalami tekanan yang cukup besar," imbuh Sri Mulyani.

Dia pun meminta agar seluruh pejabat Bea dan Cukai waspada, terutama dalam mengawasi proses masuknya barang luar negeri ke Indonesia sehingga memenuhi aspek-aspek legalitas.

Baca juga: Sri Mulyani Lantik Mantan Dirjen Pajak hingga Wamenkeu Jadi Dewan Pengawas Perpajakan

Seiring dengan perkembanngan zaman semakin tinggi pula kebutuhan akan teknologi informasi. Para produsen gencar mengeluarkan produk teknologi untuk menunjang keinginan yang besar dari konsumen, salah satunya adalah gadget. Tahun-tahun ini merupakan tahun-tahun di mana para produsen terutama produsen luar negeri bersaing ketat untuk mengeluarkan produk gadget unggulan mereka untuk memenuhi minat pasar. Selain bersaing dengan kualitas, para produsen juga mau tidak mau harus bersaing dengan harga. Karena sekarang banyak gadget yang berkualitas bagus tetapi memiliki harga yang terjangkau. Meski demikian tidak menutup kemungkinan pula bahwa para konsumen berani membayar mahal untuk sebuah gadget impian.

Masyarakat Indonesia memiliki tingkat konsumtif yang tinggi—terhadap gadget—jika dijajarkan dengan negara-negara lain. Menurut data dari VNI [Visual Networking Index] Forecast Cisco pada tahun 2011, hanya dalam satu tahun pemilik gadget di Indonesia meningkat 50 juta menjadi 300 juta pengguna. Akibat permintaan pasar yang begitu besar, produsen tidak bisa memenuhi permintaan pasar. Hal ini terjadi karena stok barang yang terbatas sehingga banyak oknum yang memanfaatkan keadaan seperti itu contohnya beredarnya barang-barang black market.

Seperti ketika sebuah produk gadget laris dipasaran, secara otomatis model black marketnya mulai bermunculan. Ini karena permintaan terhadap produk tersebut di anggap belum terpenuhi, minat pasar besar dan stok barang yang terbatas membuat barang black market semakin merajalela. Oleh oknum-oknum tadi di edarkanlah barang-barang black market tadi yang mana barang-barang tersebut membawa kerugian tidak hanya pada konsumen tapi juga negara. Konsumen biasanya tidak mendapatkan bentuk dukungan garansi resmi untuk seandainya terjadi kerusakan pada smartphone mereka. Bahkan ada sejumlah kasus smartphone black market yang terindikasi menyimpan malware. Keberadaan ponsel black market ini berpotensi membuat pemerintah kehilangan pemasukan pajak dari sektor industri ponsel yang diprediksi mencapai Rp. 5 triliun dalam setahun.

Di Indonesia sendiri sudah ada peraturan yang mengatur tentang perlindungan konsumen yaitu dalam UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Undang-undang tersebut pada pasal 7 poin e dikatakan bahwa para pelaku usaha harus memberi kesempatan   kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan. Sedangkan dalam produk-produk black market itu sendiri tidak seperti itu. Bahkan kadang terdapat beberapa barang black market yang indikator di dalamnya sudah diganti dengan barang yang tidak asli, sehingga memicu barang tersebut mudah rusak.

Dalam hal ini gadget adalah termasuk produk telematika sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.: 19/M-DAG/PER/5/2009. Definisi produk telematika menurut Pasal 1 angka 1 Permendag 19/M-DAG/PER/5/2009 adalah sebagai berikut: “Produk telematika adalah produk dari kelompok industri perangkat keras telekomunikasi dan pendukungnya, industri perangkat penyiaran dan pendukungnya, industri komputer dan peralatannya, industri perangkat lunak dan konten multimedia, industri kreatif teknologi informasi, dan komunikasi.” Gadget atau biasa kita sebut telepon selular, menurut ketentuan Lampiran I Permendag 19/M-DAG/PER/5/2009, merupakan salah satu produk yang wajib dijual dengan disertai kartu jaminan/garansi purna jual dalam Bahasa Indonesia.

Hal tersebut juga terkait dengan pengaturan Pasal 2 ayat 1 Permendag 19/M-DAG/PER/5/2009 yang menyatakan bahwa: “Setiap produk telematika dan elektronika yang diproduksi dan/atau diimpor untuk diperdagangkan di pasar dalam negeri wajib dilengkapi dengan petunjuk penggunaan dan kartu jaminan [garansi purna jual] dalam Bahasa Indonesia.” Karena itu, terhadap penjual telepon selular yang melanggar ketentuan Pasal 2 ayat 1 Permen 19/M-DAG/PER/5/2009 berlaku ketentuan Pasal 22 Permen 19/M-DAG/PER/5/2009 yang menyatakan bahwa:

“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1, dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.”

Jika kita melihat pada ketentuan Undang-undang perlindungan konsumen, Pasal 8 ayat 1 huruf j menyatakan bahwa seorang pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang yang tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Terhadap pelanggaran Pasal 8 Undang-undang perlindungan konsumen ini pelaku usaha dapat dikenakan pidana penjara paling lama 5 [lima] tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2 miliar [lihat Pasal 62 ayat 1 Undang-undang Perlindungan Konsumen].  Dari uraian tersebut, dapat kita simpulkan bahwa penjualan gadget atau telepon selular melalui black market atau tanpa garansi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan adalah melanggar hukum.

Namun terlepas dari itu, banyak juga diantara para konsumen yang lebih tertarik dengan produk-produk black market. Dikarenakan selisih harga yang lumayan jauh antara produk black market dengan produk yang dijual secara resmi dipasaran. Untuk memenuhi hasrat mereka memiliki sebuah gadget impian, terkadang mereka mengesampingkan dampak kerugian yang didapat dari produk-produk black market seperti yang sudah disinggung sebelumnya. Sehingga mereka tetap saja membeli barang-barang black market meski sudah mengetahui konsekuensi kerugian yang bisa saja terjadi dari pembelian barang-barang black market tersebut.

            Untuk mengatasi dari maraknya peredaran barang-barang black market, sebenarnya di Indonesia sendiri sudah ada ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang sanksi dari peredaran barang black market. Seperti sanksi pidana maupun sanksi denda, untuk pelaku peredaran maupun pembeli, karena terjadinya penyelundupan dari barang-barang black market itu dikarenakan permintaan pembeli yang begitu besar terhadap barang-barang black market sehingga itu sama dengan mendukung adanya perdagangan black market. Dalam undang-undang perlindungan konsumen sudah terdapat pasal yang memberikan sanksi terhadap perbuatan yang melanggar prinsip-prinsip dari perlindungan konsumen, selain itu sanksi terhadap barang-barang selundupan seperti barang-barang black market juga terdapat pada undang-undang kepabeaan yang juga membahas tentang sanksi pidana dan sanksi administratif berupa denda atas beberapa pelanggaran terhadap bea cukai.

            Selain beberapa kerugian yang telah disebutkan sebelumnya, dampak dari maraknya peredaran barang-barang black market di Indonesia membuat barang-barang dalam negeri kalah saing, karena barang-barang dalam negeri eksistensinya cenderung kalah dibanding dengan produk-produk luar negeri. Dengan beredarnya barang-barang black market maka juga berpengaruh dengan konsumsi barang-barang dalam negeri oleh para konsumen. Salah satu cara untuk menghindari beredarnya barang-barang black market, adalah dengan mulai memakai dan mulai mencintai produk dalam negeri. Karena dengan demikian mengurangi permintaan pasar yang begitu besar terhadap barang-barang impor. Jika permintaan terhadap barang-barang impor mulai bisa ditekan maka itu pun juga mempengaruhi permintaan terhadap barang-barang black market. Jika itu sudah bisa dikendalikan maka bisa jadi produk-produk dalam negeri menjadi primadona di Indonesia, sehingga selain mencukupi pasar dalam negeri produk-produk Indonesia pun bisa jadi go internasional dan mulai dikenal oleh dunia. Dan itu pun tidak menutup kemungkinan kalau Indonesia bisa mengekspor produk-produk dalam negeri.   

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề