Mengapa abdul haris nasution disebut sebagai tokoh pejuang

Muhamad Nurdin Fathurrohman 11:34:00 AM

Abdul Haris Nasution 

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ke-2

Masa jabatan: 1966 – 1972

Menteri Pertahanan Republik Indonesia ke-12

Masa jabatan: 10 Juli 1959 – 22 Februari 1966

Informasi pribadi:

Lahir: 3/12/1918 Kotanopan, Mandailing Natal, 

Sumatera Utara, Hindia Belanda

Meninggal: 5 September 2000 [umur 81] 

Jakarta, Indonesia

Kebangsaan: Indonesia

Suami/istri: Johanna Sunarti

Anak: Hendrianti Saharah, Ade Irma Suryani[1]

Profesi: Tentara

Agama: Islam

Jenderal Besar TNI Purn. Abdul Haris Nasution adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang merupakan salah satu tokoh yang menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September, namun yang menjadi korban adalah putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Lettu Pierre Tendean. Beliau lahir di Kotanopan, Sumatera Utara tanggal 3 Desember 1918 dan meninggal di Jakarta pada 6 September 2000 pada umur 81 tahun.

Karier militer

Abdul Haris Nasution adalah seorang tokoh militer yang sangat dikenal sebagai ahli perang gerilya. Pak Nas demikian sebutannya dikenal juga sebagai penggagas dwifungsi ABRI. Orde Baru yang ikut didirikannya [walaupun ia hanya sesaat saja berperan di dalamnya] telah menafsirkan konsep dwifungsi itu ke dalam peran ganda militer yang sangat represif dan eksesif. Selain konsep dwifungsi ABRI, ia juga dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya. Gagasan perang gerilya dituangkan dalam bukunya yang fenomenal, Fundamentals of Guerrilla Warfare. Selain diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, karya itu menjadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite militer dunia, West Point, Amerika Serikat. Tahun 1940, ketika Belanda membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda Indonesia, ia ikut mendaftar. Ia kemudian menjadi pembantu letnan di Surabaya. Pada 1942, ia mengalami pertempuran pertamanya saat melawan Jepang di Surabaya. Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, Nasution bersama para pemuda eks-PETA mendirikan Badan Keamanan Rakyat.

Pada Maret 1946, ia diangkat menjadi Panglima Divisi III/Priangan. Mei 1946, ia dilantik Presiden Soekarno sebagai Panglima Divisi Siliwangi. Pada Februari 1948, ia menjadi Wakil Panglima Besar TNI [orang kedua setelah Jendral Soedirman]. Sebulan kemudian jabatan "Wapangsar" dihapus dan ia ditunjuk menjadi Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Di penghujung tahun 1949, ia diangkat menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat.

Akibat pertentangan internal di dalam Angkatan Darat maka ia menggalang kekuatan dan melawan pemerintahan yang terkenal dengan peristiwa 17 Oktober 1952. Akibat peristiwa ini Presiden Soekarno mencopotnya dari jabatan KASAD dan menggantinya dengan Bambang Sugeng. Setelah islah akhirnya pada November 1955 ia menjabat kembali posisinya sebagai KASAD. Tidak hanya itu, pada Desember 1955 ia pun diangkat menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia.

Gelar

Pada 5 Oktober 1997, bertepatan dengan hari ABRI, Nasution dianugerahi pangkat Jendral Besar bintang lima. Nasution tutup usia di RS Gatot Soebroto pada 6 September 2000 dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Abdul Harris Nasution dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 6 November 2002 dengan dikeluarkannya Keppres No. 73/TK/2002 oleh Pemerintah Indonesia.

Peristiwa G30S

Pada pagi tanggal 1 Oktober 1965, pasukan Gerakan 30 September [G30S] mendatangi rumah Nasution dengan tujuan untuk menculiknya. Tendean yang sedang tidur di ruang belakang rumah Jenderal Nasution terbangun karena suara tembakan dan ribut-ribut dan segera berlari ke bagian depan rumah. Ia ditangkap oleh gerombolan G30S yang mengira dirinya sebagai Nasution karena kondisi rumah yang gelap. Nasution sendiri berhasil melarikan diri dengan melompati pagar. Tendean lalu di bawa ke sebuah rumah di daerah Lubang Buaya bersama enam perwira tinggi lainnya. Ia ditembak mati dan mayatnya dibuang ke sebuah sumur tua bersama enam jasad perwira lainnya.

Peristiwa 17 Oktober

Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah peristiwa di mana KSAD [dijabat A.H. Nasution] dan tujuh panglima daerah meminta Dewan Perwakilan Rakyat Sementara [DPRS] dibubarkan. Kemal Idris, salah satu dari tujuh panglima, pernah mengarahkan moncong meriam ke Istana. Dalihnya melindungi Presiden Soekarno dari demonstrasi mahasiswa. Pemicunya adalah pemilu yang tertunda-tunda yang dianggap hanyalah taktik DPRS [yang didukung Bung Karno] untuk mempertahankan keadaan yang makin parah. Konflik intern militer dan partai-partai menajam, korupsi meluas, dan keadaan keamanan memburuk.

[Wikipedia]

Biografi Terkait :

Pengunjung mengunjungi Museum Jenderal Besar AH Nasution di Jakarta, Senin 30 September 2019. Museum yang awalnya merupakan rumah Jenderal AH Nasution itu merupakan saksi bisu peristiwa G 30 S/PKI yang menewaskan putri Nasution Ade Irma Suryani dan ajudannya Lettu Pierre Tendean. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

TEMPO.CO, Jakarta - Abdul Haris Nasution atau sering disebut dengan A.H. Nasution adalah seorang Jenderal Besar seperti Jenderal Soedirman dan Soeharto. Ia dikenal sebagai Jenderal yang selamat dari peristiwa G30S karena melarikan diri melalui jendela. Selain itu, ia juga terkenal sebagai peletak dasar perang gerilya di Indonesia.

AH Nasution lahir di Kotapan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara pada tanggal 3 Desember 1918. Ia adalah anak dari pasangan H. Abdul Halim Nasution dan Zahara Lubis. Ia lahir di keluarga yang taat beragama, hal ini ia pegang sampai akhir hayatnya. Ayahnya merupakan anggota pergerakan Sarekat Islam di Koanopan, Tapanuli Selatan.

Dilansir dari lama Biografiku, A.H. Nasution memulai pendidikannya di Hollandsch Inlandsche School [HIS] dan lulus pada tahun 1932. Setelah itu ia melanjutkan pendidikan menengah dan lulus pada tahun 1935. Kemudian ia berangkat ke Yogyakarta dan melanjutkan pendidikan di sekolah guru. Ia meneruskan pendidikan di Algemeene Middelbare School [AMS] bagian B di Jakarta dan lulus pada tahun 1938.

Setelah menyelesaikan studinya, ia sempat menjadi guru selama dua tahun. Kemudian pada tahun 1940, A.H. Nasution mendaftar untuk menjadi prajurit di sekolah perwira cadangan yang dibentuk Belanda. Ia ikut bertempur melawan Jepang di Surabaya saat invasi Jepang ke Indonesia pada tahun 1942. Kekalahan Jepang dan merdekanya Indonesia membuat para bekas tentara PETA termasuk A.H. Nasution mendirikan Badan Keamanan Rakyat [BKR] yang menjadi cikal bakal TNI.

Kariernya di bidang militer kemudian terus menanjak. Pada bulan Maret tahun 1946, ia ditunjuk sebagai Panglima Divisi III/Priangan. Di tahun yang sama pada bulan Mei, ia dilantik oleh Presiden Soekarno sebagai Panglima Divisi Siliwangi. Ketika pemberontakan PKI yang dipimpin Muso pecah di Madiun pada tahun 1948, Nasution memimpin pasukannya untuk menumpas pemberontakan tersebut.

Pada masa agresi militer Belanda pada tahun 1948 hingga 1949, ia menjabat sebagai Panglima Komando Jawa. Setelah itu, ia diangkat oleh presiden Soekarno kala itu menjadi Wakil Panglima Besar TNI dibawah Jenderal Besar Soedirman.

Kemudian ia pindah posisi sebagai Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang Republik Indonesia. Di akhir tahun 1949, A.H Nasution kemudian menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat [KSAD]. Ia sempat dipecat oleh Soekarno sebagai KSAD, tetapi diangkat kembali pada tahun 1955.

Karena rasa tidak sukanya pada sikap Soekarno yang dekat dengan PKI, ia menjadi salah satu target utama yang akan diculik dan dilenyapkan pada peristiwa G30S pada tahun 1965. Namun, saat itu ia berhasil melarikan diri dengan melompati jendela. Sayangnya, ia harus kehilangan putrinya yaitu Ade Irma Nasution dan ajudannya yaitu Pierre Tendean.

A.H. Nasution memiliki peran yang besar dalam militer. Ia merupakan penggagas perang gerilya. Hal ini berawal dari saat ia memimpin Divisi Siliwangi, ia mengetaui bahwa rakyat mendukung TNI.

Ia kemudian menggagas taktik perang gerilya atau guerrilla warfare yang diartikan sebagai perang rakyat. Terkait taktik perang gerilya, ia menulis buku yang berjudul Pokok-Pokok Perang GerilyaK. Buku ini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, bahkan menjadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara termasuk di sekolah elite bagi militer dunia, West Point Amerika Serikat [AS].

Jenderal Besar AH Nasution menghembuskan nafas terakhirnya di RS Gatot Subroto pada 6 September 2000. Jasadnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Palawan Kalibata, Jakarta. Atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya.

MAGHVIRA ARZAQ KARIMA

Baca juga: Jenderal Soedirman, Panglima Besar TNI yang Tidak Alami Sekolah Militer

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề