Menurut surah ali imran 97 ibadah haji diwajibkan bagi mereka yang

[Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata] di antaranya [makam Ibrahim] yakni batu tempat berpijaknya Ibrahim sewaktu mendirikan Baitullah itu. Kedua telapak kakinya meninggalkan bekas padanya sampai sekarang dan tetap sepanjang zaman walaupun pemerintahan yang berkuasa sudah silih berganti. Di antaranya pula dilipatgandakannya pahala kebaikan bagi yang salat di dalamnya dan burung tidak dapat terbang di atas Kakbah [dan barang siapa memasukinya menjadi amanlah dia] artinya bebas dari ancaman pembunuhan, keaniayaan dan lain-lain. [Mengerjakan haji di Baitullah itu menjadi kewajiban manusia terhadap Allah] Ada yang membaca hajja dengan makna menyengaja. Lalu sebagai badal dari 'manusia' ialah [yakni orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya] yang oleh Nabi saw. ditafsirkan dengan adanya perbekalan dan kendaraan, menurut riwayat Hakim dan lain-lain. [Barang siapa yang kafir] terhadap Allah atau terhadap kewajiban haji [maka sesungguhnya Allah Maha Kaya terhadap seluruh alam] artinya tidak memerlukan manusia, jin dan malaikat serta amal ibadah mereka.

Tafsir Surat Ali-'Imran: 96-97 Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk [tempat ibadah] manusia ialah Baitullah yang di Bakkah [Mekah] yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata [di antaranya] maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya [Baitullah itu] menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu [bagi] orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari [kewajiban haji], maka sesungguhnya Allah Mahakaya [tidak memerlukan sesuatu] dari semesta alam. Allah subhanahu wa ta’ala memberitahukan bahwa rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, yakni untuk tempat ibadah dan manasik mereka, di mana mereka melakukan tawaf dan shalat serta ber-i'tikaf padanya. ialah Baitullah yang di Bakkah. [Ali Imran: 96] Yakni Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim Al-Khalil ‘alaihissalam yang diklaim oleh masing-masing dari dua golongan, yaitu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani; bahwa mereka berada di dalam agama Nabi Ibrahim dan tuntunannya, tetapi mereka tidak mau berhaji ke Baitullah yang dibangun olehnya atas perintah Allah untuk tujuan itu, padahal Nabi Ibrahim telah menyerukan kepada manusia untuk melakukan haji ke Baitullah. Seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya: yang diberkahi. [Ali Imran: 96] Yaitu diberkahi sejak awal pembangunannya. Yang menjadi petunjuk bagi semua manusia. [Ali Imran: 96] Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari Ibrahim At-Taimi, dari ayahnya, dari Abu Dzar yang telah menceritakan: Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, masjid manakah yang mula-mula dibangun?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Masjidil Haram." Aku bertanya, "Sesudah itu mana lagi?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Masjidil Aqsa." Aku bertanya, "Berapa lama jarak di antara keduanya?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab.Empat puluh tahun." Aku bertanya, "Kemudian masjid apa lagi?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Kemudian tempat di mana kamu mengalami waklu shalat, maka salatlah padanya, karena semuanya adalah masjid." Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui hadits Al-A'masy dengan lafal yang sama. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, dari Syarik, dari Mujahid, dari Asy-Sya'bi, dari Ali sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk [tempat ibadah] manusia ialah Baitullah yang di Bakkah [Mekah] yang diberkahi. [Ali Imran: 96] Memang banyak rumah yang dibangun sebelum Masjidil Haram, tetapi Baitullah adalah rumah yang mula-mula dibangun untuk tempat beribadah. [Ibnu Abu Hatim mengatakan pula] dan telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnur Rabi', telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Sammak, dari Khalid ibnu Ur'urah yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki berdiri, lalu menuju kepada sahabat Ali dan bertanya, "Sudikah engkau menceritakan kepadaku tentang Baitullah, apakah ia merupakan rumah yang mula-mula dibangun di bumi ini?" Sahabat Ali menjawab, "Tidak, tetapi Baitullah merupakan rumah yang mula-mula dibangun mengandung berkah, yaitu maqam Ibrahim; dan barang siapa memasukinya, menjadi amanlah dia." Kemudian Ibnu Abu Hatim menuturkan atsar ini hingga selesai, yaitu menyangkut perihal pembangunan Baitullah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Kami mengetengahkan atsar ini secara rinci di dalam permulaan tafsir surat Al-Baqarah, hingga tidak perlu diulangi lagi dalam bab ini. As-Suddi menduga bahwa Baitullah merupakan rumah yang mula-mula dibangun di bumi ini secara mutlak. Akan tetapi, pendapat Ali -lah yang benar. Adapun mengenai hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi di dalam kitabnya yang berjudul Dalailun Nubuwwah mengenai pembangunan Ka'bah yang ia ketengahkan melalui jalur Ibnu Luhai'ah, dari Yazid ibnu Habib, dari Abul Khair, dari Abdullah ibnu Amr ibnul As secara marfu yaitu: Allah mengutus Jibril kepada Adam dan Hawa, membawa perintah kepada keduanya agar keduanya membangun Ka'bah. Maka Adam membangunnya, kemudian Allah memerintahkan kepadanya untuk melakukan tawaf di sekeliling Ka'bah. Dikatakan kepadanya, "Engkau adalah manusia pertama [yang beribadah di Baitullah], dan ini merupakan Baitullah yang mula-mula dibangun untuk tempat beribadah manusia." Maka sesungguhnya hadits ini merupakan salah satu dari mufradat [hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu orang] Ibnu Luhai'ah, sedangkan Ibnu Luhai'ah orangnya dinilai dha’if. Hal yang mirip kepada kebenaran hanya Allah Yang Maha Mengetahuibila hadits ini dikatakan mauquf hanya sampai kepada Abdullah ibnu Amr. Dengan demikian, berarti kisah ini termasuk ke dalam kategori kedua hadits dha’if lainnya yang keduanya diperoleh oleh Abdullah ibnu Amr pada saat Perang Yarmuk, yaitu diambil dari kisah Ahli Kitab. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: ialah Baitullah yang di Bakkah [Mekah]. [Ali Imran: 96] Bakkah merupakan salah satu nama lain dari kota Mekah yang terkenal. Menurut suatu pendapat, dinamakan demikian karena kota Mekah dapat membuat hina orang-orang yang zalim dan yang angkara murka. Dengan kata lain, mereka menjadi hina dan tunduk bila memasukinya. Menurut pendapat yang lainnya lagi, dinamakan demikian karena manusia berdesak-desakan padanya. Qatadah mengatakan, sesungguhnya Allah membuat manusia berdesak-desakan di dalamnya, hingga kaum wanita dapat shalat di depan kaum laki-laki; hal seperti ini tidak boleh dilakukan selain hanya di dalam kota Mekah. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Amr ibnu Syu'aib, dan Muqatil ibnu Hayyan. Hammad ibnu Salamah meriwayatkan dari ‘Atha’ ibnus Saib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa batas Mekah mulai dari Al-Faj sampai ke Tan'im, sedangkan Bakkah batas-nya dari Baitullah sampai ke Al-Batha. Syu'bah meriwayatkan dari Al-Mugirah, dari Ibrahim, bahwa Bakkah ialah Baitullah dan Masjidil Haram. Hal yang sama dikatakan pula oleh Az-Zuhri. Ikrimah dalam salah satu riwayat dan Maimun ibnu Mihran mengatakan bahwa Baitullah dan sekitarnya dinamakan Bakkah, sedangkan selain itu dinamakan Mekah. Abu Malik, Abu Saleh, Ibrahim An-Nakha'i, Atiyyah Al-Aufi, dan Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa Bakkah ialah tempat Baitullah berada, sedangkan selain itu dinamakan Mekah. Mereka menyebutkan beberapa nama lain yang banyak bagi Mekah, yaitu Bakkah, Baitul Atiq, Baitul Haram, Baladul Amin, Al-Mamun, Ummu Rahim, Ummul Qura, Salah, Al-Arsy, Al-Qadis [karena menyucikan dosa-dosa], Al-Muqaddasah, An-Nasah, Al-Basah, Al-Balsah, Al-Hatimah, Ar-Ras, Kausa, Al-Baldah, Al-Bunyah, dan Al-Ka'bah. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata. [ali Imran: 97] Yaitu tanda-tanda yang jelas menunjukkan bahwa bangunan tersebut dibangun oleh Nabi Ibrahim, dan Allah memuliakan serta menghormatinya. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: maqam Ibrahim. [ali Imran: 97] Yaitu sarana yang dipakai oleh Nabi Ibrahim ketika bangunan Ka'bah mulai meninggi untuk meninggikan fondasi dan temboknya. Sarana ini dipakai untuk tangga tempat berdiri, sedangkan anaknya [yaitu Nabi Ismail] menyuplai bebatuan. Pada mulanya maqam Ibrahim ini menempel pada dinding Ka'bah, kemudian pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibnul Khattab maqam tersebut dipindahkan ke sebelah timur Ka'bah hingga memudahkan bagi orang-orang yang bertawaf dan tidak berdesak-desakan dengan orang-orang yang shalat di dekatnya sesudah melakukan tawaf. Karena Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kepada kita agar melakukan shalat di dekat maqam Ibrahim, yaitu melalui firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat. [Al-Baqarah: 125] Dalam pembahasan terdahulu telah kami kemukakan hadits-hadits mengenai hal ini, maka tidak perlu diulangi lagi dalam bab ini. Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata [di antaranya] maqam Ibrahim. [Ali Imran: 97] Yakni antara lain ialah maqam Ibrahim dan tanda-tanda lainnya. Menurut Mujahid, bekas kedua telapak kaki Nabi Ibrahim di maqamnya mempakan tanda yang nyata. Hal yang sama dikatakan pula dalam riwayat lain dari Umar ibnu Abdul Aziz, Al-Hasan, Qatadah, As-Suddi, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya. Abu Thalib mengatakan dalam salah satu bait syair dari qasidah Lamiyah yang terkenal, yaitu: Pijakan kaki Nabi Ibrahim pada batu itu tampak nyata bekas kedua telapak kakinya yang telanjang tanpa memakai terompah. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id dan Amr Al-Audi; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: maqam Ibrahim. [Ali Imran: 97] Bahwa yang dimaksud dengan maqam Ibrahim ialah tanah suci seluruhnya. Sedangkan menurut lafal Amr disebutkan bahwa Al-Hijir seluruhnya adalah maqam Ibrahim. Telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair bahwa dia pernah mengatakan, "Haji itu maqam Ibrahim." Demikianlah yang aku lihat di dalam kitab salinannya, barangkali yang dimaksud ialah Al-Hijir seluruhnya adalah maqam Ibrahim. Hal ini telah diterangkan pula oleh Mujahid. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: barang siapa memasukinya, menjadi amanlah dia. [Ali Imran: 97] Yaitu memasuki lingkungan Mekah yang diharamkan [disucikan]. Apabila orang yang dalam ketakutan memasukinya, menjadi amanlah dia dari semua kejahatan. Hal yang sama terjadi pula di masa Jahiliah, seperti yang dikatakan oleh Al-Hasan Al-Basri dan lain-lain-nya. Disebutkan bahwa pernah ada seorang lelaki melakukan pembunuhan, lalu ia memakai kain wol pada lehernya dan memasuki Masjidil Haram. Ketika anak laki-laki si terbunuh menjumpainya, ia tidak menyerangnya sebelum keluar dari lingkungan Masjidil Haram. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Yahya At-Tamimi, dari ‘Atha’, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: barang siapa memasukinya, menjadi amanlah dia. [Ali Imran: 97] Bahwa barang siapa yang berlindung di Baitullah, maka Baitullah melindunginya. Tetapi Baitullah tidak memberikan naungan, tidak juga makanan dan minuman; dan bila ia keluar darinya, maka ia pasti dihukum karena dosanya. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan [negeri mereka] tanah suci yang aman, sedangkan manusia sekitarnya rampok-merampok. [Al-Ankabut: 67], hingga akhir ayat. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini [Ka'bah]. Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan. [Quraisy: 3-4] Sehingga disebutkan bahwa termasuk hal yang diharamkan di dalam kota Mekah ialah dilarang memburu binatang buruannya dan menghardiknya dari sarangnya, dilarang pula memotong pepohonannya serta mencabut rerumputannya. Seperti yang dinyatakan di dalam banyak hadits dan atsar mengenainya dari sejumlah sahabat secara marfu' dan mauquf. Di dalam kitab Shahihain menurut lafal Imam Muslim dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda pada hari kemenangan atas kota Mekah: Tidak ada hijrah lagi, tetapi yang ada adalah jihad dan niat; dan apabila kalian diseru untuk berjihad, maka berangkatlah. Pada hari kemenangan atas kota Mekah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula: Sesungguhnya negeri [kota] ini diharamkan oleh Allah sejak Dia menciptakan langit dan bumi, maka ia haram karena diharamkan oleh Allah sampai hari kiamat. Dan sesungguhnya tidak dihalalkan melakukan peperangan di dalamnya sebelumku, dan tidaklah dihalalkan bagiku kecuali hanya sesaat dari siang hari. Maka ia kembali menjadi haram karena diharamkan oleh Allah hingga hari kiamat; pepohonannya tidak boleh ditebang, binatang buruannya tidak boleh diburu, barang temuannya tidak boleh dipungut kecuali bagi orang yang hendak mempermaklumatkannya, dan rerumputannya tidak boleh dicabut. Lalu Al Abbas berkata mengajukan usulnya, "Wahai Rasulullah, kecuali izkhir, karena sesungguhnya izkhir digunakan oleh mereka untuk atap rumah mereka." Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Terkecuali izkhir [sejenis rumput ilalang]. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan pula hal yang semisal atau yang sama melalui sahabat Abu Hurairah Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan pula dari Abu Syuraih Al-Adawi menurut lafal yang ada pada Imam Muslim . bahwa ia pernah berkata kepada Amr ibnu Sa'id yang sedang melantik delegasi-delegasinya yang akan berangkat ke Mekah, "Izinkanlah kepadaku, wahai Amirui Muminin. Aku akan menceritakan kepadamu sebuah hadits yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada keesokan harinya setelah kemenangan atas kota Mekah, aku mendengarnya dengan kedua telingaku ini dan kuhafalkan dalam kalbuku serta aku saksikan dengan mata kepalaku sendiri ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya. Sesungguhnya pada mulanya beliau memanjatkan puja dan puji kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian bersabda: Sesungguhnya Mekah ini diharamkan oleh Allah dan bukan diharamkan oleh manusia. Karena itu, tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian mengalirkan darah di dalamnya, atau menebang suatu pohon padanya. Apabila ada seseorang menghalalkannya dengan alasan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan peperangan di dalamnya, maka katakanlah oleh kalian kepadanya, 'Sesungguhnya Allah telah memberikan izin kepada Nabi-Nya, tetapi Dia tidak mengizinkan bagi kalian, dan sesungguhnya Allah hanya memberikan izin kepadaku melakukan peperangan di dalamnya sesaat dari siang hari. Dan sekarang keharaman kota Mekah telah kembali seperti semula, sama dengan keharaman yang sebelumnya. Maka hendaklah orang yang hadir menyampaikan berita ini kepada yang gaib [tidak hadir]'." Ketika ditanyakan kepada Abu Syuraih, "Apa yang dikatakan oleh Amr kepadamu?" Abu Syuraih menjawab bahwa Amr berkata, "Aku lebih mengetahui hal tersebut daripada kamu, wahai Abu Syuraih. Sesungguhnya Kota Suci Mekah ini tidak memberikan perlindungan kepada orang yang maksiat, tidak bagi orang yang lari setelah membunuh, tidak pula orang yang lari karena menimbulkan kerusakan." Telah diriwayatkan dari Jabir bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidak dihalalkan bagi seorang pun membawa senjata di Mekah. Hadits riwayat Imam Muslim. Diriwayatkan dari Abdullah ibnu Addi ibnul Hamra Az-Zuhri, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kota kelahirannya seraya berdiri di Harurah, pasar Mekah: Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah sebaik-baik bumi Allah dan bumi Allah yang paling dicintai oleh-Nya. Seandainya aku tidak dikeluarkan darimu, niscaya aku tidak akan keluar. Hadits riwayat Imam Ahmad lafal ini menurutnya, Imam At-Tirmidzi, Imam An-Nasai, dan Imam Ibnu Majah. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berpredikat hasan shahih, demikian pula telah disahihkan yang semisalnya dari hadits Ibnu Abbas. Imam Ahmad telah meriwayatkan pula hadits yang sama dari Abu Hurairah. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Adam ibnu binti Azar As-Saman, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu ‘Ashim, dari Zuraiq ibnu Muslim Al-A'ma maula Bani Makhzum, telah menceritakan kepadaku Ziyad ibnu Abu Iyasy, dari Yahya ibnu Ja'dah ibnu Hubairah sehubungan dengan Firman-Nya: Barang siapa memasukinya, menjadi amanlah dia. [Ali Imran: 97] Yang dimaksud ialah aman dari api neraka. Semakna dengan pendapat ini hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi. Disebutkan bahwa: telah menceritakan kepada kami Abul Hasan Ali ibnu Ahmad ibnu Abdan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sulaiman ibnul Wasiti, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Ibnul Muammal, dari Ibnu Muhaisin, dari Atha,dari Abdullah ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Barang siapa memasuki Baitullah, berarti dia masuk ke dalam kebaikan dan keluar dari keburukan, serta ia keluar dalam keadaan diampuni baginya. Kemudian Imam Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini hanya diriwayatkan oleh Abdullah ibnul Muammal sendiri, sedangkan dia orangnya tidak kuat. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah. yaitu [bagi] orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. [Ali Imran: 97] Ayat ini mewajibkan ibadah haji, menurut pendapat jumhur ulama. Sedangkan menurut yang lainnya, ayat yang mewajibkan ibadah haji ialah firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. [Al-Baqarah: 196] Akan tetapi, pendapat yang pertama lebih kuat. Banyak hadits yang beraneka ragam menyatakan bahwa ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam dan merupakan pilar serta fondasinya. Kaum muslim telah sepakat akan hal tersebut dengan kesepakatan yang tidak dapat diganggu gugat lagi. Sesungguhnya melakukan ibadah haji itu hanya diwajibkan sekali dalam seumur hidup berdasarkan keterangan dari nas dan ijma'. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Muslim Al-Qurasyi, dari Muhammad ibnu Ziyad, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhotbah kepada kami [para sahabat] yang isinya mengatakan: "Wahai manusia, telah difardukan atas kalian melakukan ibadah haji. Karena itu, berhajilah kalian." Ketika ada seorang lelaki bertanya, "Apakah untuk setiap tahun, wahai Rasulullah?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diam hingga lelaki itu mengulangi pertanyaannya tiga kali. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Seandainya aku katakan, 'Ya,' niscaya diwajibkan [setiap tahunnya], tetapi niscaya kalian tidak akan mampu." Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Terimalah dariku apa yang aku tinggaikan buat kalian, karena sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian [umat-umat terdahulu] karena mereka banyak bertanya dan menentang nabi-nabi mereka. Apabila aku perintahkan kepada kalian sesuatu hal, maka kerjakanlah sebagian darinya semampu kalian; dan apabila aku larang kalian terhadap sesuatu, maka tinggalkanlah ia oleh kalian." Imam Muslim meriwayatkannya dari Zuhair ibnu Harb, dari Yazid ibnu Harun dengan lafal yang semisal. Sufyan ibnu Husain, Sulaiman ibnu Kasir, Abdul Jalil ibnu Humaid, dan Muhammad ibnu Abu Hafsah meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Abu Sinan Ad-Duali [yang namanya adalah Yazid ibnu Umayyah], dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah kepada kami yang isinya mengatakan: "Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian ibadah haji." Maka berdirilah Al-Aqra' ibnu Habis, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah untuk setiap tahun?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Seandainya aku mengatakannya, niscaya akan diwajibkan; dan seandainya diwajibkan, niscaya kalian tidak dapat mengerjakannya dan kalian tidak akan dapat melakukannya. Ibadah haji adalah sekali; maka barang siapa yang lebih dari sekali, maka hal itu haji sunat." Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, Imam An-Nasai, dan Imam Ibnu Majah serta Imam Hakim melalui hadits Az-Zuhri dengan lafal yang sama. Syarik meriwayatkannya melalui Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas dengan lafal yang semakna. Hal ini diriwayatkan pula melalui hadits Usamah ibnu Zaid. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mansur ibnu Wardan, dari Abdul A'la ibnu Abdul A'la, dari ayahnya, dari Al-Bukhturi, dari Ali yang mengatakan bahwa ketika ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu [bagi] orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. [Ali Imran: 97] Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah untuk setiap tahun?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diam. Mereka bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, apakah untuk setiap tahun?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Tidak, seandainya aku katakan, 'Ya,' niscaya diwajibkan [setiap tahunnya]." Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan [kepada Nabi kalian] hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian. [Al-Maidah: 101 Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Imam Hakim melalui hadits Mansur ibnu Wardan. Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan garib. Akan tetapi, apa yang dikatakan oleh Imam At-Tirmidzi itu masih perlu dipertimbangkan, mengingat Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa Abul Bukhturi belum pernah mendengar dari sahabat Ali Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Numair, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Ubaidah, dari ayahnya, dari Al-A'masy ibnu Abu Sufyan, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan: Mereka [para sahabat] bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ibadah haji itu setiap tahun?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Seandainya aku kalakan, 'Ya,' niscaya diwajibkan. Dan seandainya diwajibkan, niscaya kalian tidak dapat melakukannya; dan seandainya kalian tidak dapat melakukannya, niscaya kalian akan tersiksa. Di dalam kitab Shahihain disebutkan sebuah hadits melalui Ibnu Juraij, dari ‘Atha’, dari Jabir, dari Suraqah ibnu Malik yang mengatakan: "Wahai Rasulullah, apakah engkau mengajak kami ber-tamattu' hanya untuk tahun kita sekarang ini, ataukah untuk selama-lamanya?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Tidak, bahkan untuk selamanya." Menurut riwayat yang lain disebutkan, "Bahkan untuk selama-lamanya." Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad dan kitab Sunan Abu Dawud dinyatakan melalui hadits Waqid ibnu Abu Waqid Al-Laisi, dari ayahnya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hajinya itu berkata kepada istri-istrinya, "Kemudian mereka [kaum wanita] menetapi tikar hamparannya," maksudnya tetaplah kalian pada tikar kalian dan janganlah kalian keluar dari rumah. Adapun mengenai istita'ah [yakni berkemampuan], hal ini terdiri atas berbagai macam, adakalanya seseorang mempunyai kemampuan pada dirinya, dan adakalanya pada yang lainnya, seperti yang ditetapkan di dalam kitab yang membahas masalah hukum. Abu Isa At-At-Tirmidzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdu ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Yazid yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Muhammad ibnu Abbad ibnu Ja'far menceritakan sebuah hadits dari Ibnu Umar : Seorang lelaki menghadap kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang berhaji sesungguhnya?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Orang yang rambutnya awut-awutan dan kusut pakaiannya [karena lama dalam perjalanannya]." Lalu ada lelaki lain menghadap dan bertanya, "Wahai Rasulullah, haji apakah yang lebih utama?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Mengeraskan bacaan talbiyah dan berkelompok-kelompok." Lalu datang lagi lelaki yang lainnya dan bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan as-sabil itu?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Bekal dan kendaraan." Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui hadits Ibrahim ibnu Yazid [yaitu Al-Jauzi]. Imam At-Tirmidzi mengatakan, tiada yang me-rafa'-kan hadits ini kecuali hanya melalui hadisnya [Ibrahim ibnu Yazid]. Akan tetapi, sebagian dari ahlul 'ilmi meragukan perihal kekuatan hafalannya. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Imam At-Tirmidzi dalam bab ini. Di dalam Kitabul Haj ia mengatakan bahwa hadits ini hasan, tidak diragukan bahwa sanad ini para perawinya semua terdiri atas orang-orang yang Siqah selain Al-Jauzi. Mereka membicarakan perihalnya demi hadits ini, tetapi ternyata jejaknya itu diikuti oleh orang lain. Untuk itu Ibnu Abu Hatim mengatakan: telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Abdullah Al-Amiri, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair Al-Laisi, dari Muhammad ibnu Abbad ibnu Ja'far yang menceritakan bahwa ia duduk di majelis Abdullah Ibnu Umar, lalu Ibnu Umar menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya kepadanya, "Apakah arti sabil itu?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Bekal dan kendaraan. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih melalui riwayat Muhammad ibnu Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair dengan lafal yang sama. Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Anas, Al-Hasan, Mujahid, ‘Atha’, Sa'id ibnu Jubair, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Qatadah hal yang semisal dengan hadits di atas. Hadits ini diriwayatkan melalui berbagai jalur lain dari hadits Anas, Abdullah ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, dan Siti Aisyah yang semuanya berpredikat marfu. Akan tetapi, di dalam sanadnya terdapat perbedaan pendapat, seperti yang ditetapkan di dalam Kitabul Ahkam. Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih mempunyai perhatian khusus terhadap hadits ini dengan mengumpulkan semua jalur periwayatannya. Imam Hakim meriwayatkan melalui hadits Qatadah, dari Hammad ibnu Salamah, dari Qatadah, dari Anas , bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: yaitu [bagi] orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. [Ali Imran: 97] Lalu ditanyakan, "Apakah makna sabil itu?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Bekal dan kendaraan. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa predikat hadits ini shahih dengan syarat Imam Muslim, tetapi keduanya [Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim] tidak mengetengahkannya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Yunus, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman-Nya: mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu [bagi] orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. [Ali Imran: 97] Lalu mereka [para sahabat] bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan sabil itu?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Bekal dan kendaraan. Waki' meriwayatkan hadits ini di dalam kitab tafsirnya melalui Sufyan dan Yunus dengan lafal yang sama. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ats-Tsauri, dari Ismail [yaitu Abu Israil Al-Mala-i], dari Fudail [yakni Ibnu Amr], dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Bersegeralah kalian mengerjakan haji yakni haji fardu karena sesungguhnya seseorang di antara kalian tidak mengetahui aral yang akan menghalang-halanginya [di masa mendatang]. Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Amr Al-Faqimi, dari Mahran ibnu Abu Safwan, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Barang siapa yang niat hendak melakukan haji, maka kerjakanlah dengan segera. Abu Dawud meriwayatkannya dari Musaddad, dari Abu Mu'awiyah Ad-Darir dengan lafal yang sama. Waki' meriwayatkan begitu pula Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: yaitu [bagi] orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. [Ali Imran: 97] Ibnu Abbas mengatakan, "Barang siapa yang memiliki harta sejumlah tiga ratus dirham, berarti dia sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah." Telah diriwayatkan dari maulanya [yaitu Ikrimah] bahwa ia pernah mengatakan, "Yang dimaksud dengan sabil ialah sehat." Waki' ibnul Jarrah meriwayatkan dari Abu Janab [yakni Al-Kalbi], dari Adh-Dhahhak ibnu Muzahim, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: yaitu [bagi] orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. [Ali Imran: 97], Yang dimaksud dengan sabil ialah bekal dan kendaraan unta. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Barang siapa mengingkari [kewajiban haji], maka sesungguhnya Allah Mahakaya dari semesta alam. [Ali Imran: 97] Ibnu Abbas mengatakan begitu pula Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang bahwa barang siapa yang ingkar terhadap kefarduan ibadah haji, maka sesungguhnya ia telah kafir, dan Allah Mahakaya [tidak memerlukan sesuatu] darinya. Sa'id ibnu Mansur meriwayatkan dari Sufyan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa ketika firman Allah subhanahu wa ta’ala ini diturunkan, yaitu: Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima [agama itu] darinya. [Ali Imran: 85]; Maka orang-orang Yahudi berkata, "Kami adalah orang-orang muslim." Tetapi Allah membantah pengakuan mereka dan mematahkan alasan mereka, yakni melalui sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kaum muslim berhaji ke Baitullah, yaitu [bagi] orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Orang-orang Yahudi menjawab, "Belum pernah diwajibkan atas kami," dan mereka menolak, tidak mau melakukan haji. Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Barang siapa mengingkari [kewajiban haji], maka sesungguhnya Allah Mahakaya [tidak memerlukan sesuatu] dari semesta alam. [Ali Imran: 97] Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan hal yang sama dari Mujahid. Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abdullah ibnu Mas'ud, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim dan Syaz ibnu Fayyad; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hilal Abu Hasyim Al-Khurrasani, telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq Al-Hamdani, dari Al-Haris, dari Ali yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Barang siapa yang memiliki bekal dan kendaraan, lalu tidak juga melakukan haji ke Baitullah, maka haji tidak dirugikan olehnya bilamana ia mati sebagai seorang Yahudi atau Nasrani. Demikian itu karena Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu [bagi] orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari [kewajiban haji], maka sesungguhnya Allah Mahakaya [tidak memerlukan sesuatu] dari semesta alam" [Ali Imran: 97]. Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadits Muslim ibnu Ibrahim dengan lafal yang sama. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Abu Dzar'ah Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Hilal ibnul Fayyad, telah menceritakan kepada kami Hilal Abu Hasyim Al-Khurrasani, lalu ia menuturkan hadits ini dengan sanad yang semisal. Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Ali Al-Qat'i, dari Muslim ibnu Ibrahim, dari Hilal ibnu Abdullah maula Rabi'ah ibnu Amr ibnu Muslim Al-Bahili dengan lafal yang sama, dan ia mengatakan bahwa hadits ini garib, kami tidak mengenalnya kecuali dari segi ini. Di dalam sanadnya terdapat perbedaan pendapat: Hilal orangnya tidak dikenal, sedangkan Al-Haris dha’if dalam periwayatan hadits. Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa Hilal yang ini hadisnya dinilai munkar [tidak dapat dipakai]. Ibnu Addi mengatakan bahwa hadits ini tidak dipelihara [dihafal]. Abu Bakar Al-Isma'ili Al-Hafidzh meriwayatkan melalui hadits Abu Amr Al-Auza'i, telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Abdullah ibnu Abul Muhajir, telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnu Ganam, bahwa ia pernah mendengar Khalifah Umar ibnul Khattab mengatakan, "Barang siapa yang mampu melakukan ibadah haji, lalu ia tidak berhaji, maka sama saja baginya bilamana dia mati sebagai seorang Yahudi atau seorang Nasrani." Sanad atsar ini memang shahih sampai kepada Umar Sa'id ibnu Mansur di dalam kitab sunannya meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri yang mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab pernah mengatakan, "Sesungguhnya aku berniat mengirim banyak lelaki ke berbagai kota besar untuk menginspeksi setiap orang yang mempunyai kemampuan, lalu ia tidak melakukan ibadah haji, maka hendaklah mereka memungut jizyah darinya. Mereka [yang berkemampuan, lalu tidak haji] bukanlah orang muslim, mereka bukan orang muslim.""

Di sana, di Masjidilharam, terdapat tanda-tanda yang jelas tentang keutamaan dan kemuliaannya diantaranya maqam Ibrahim, yaitu bekas telapak kaki Nabi Ibrahim tempat beliau berdiri waktu membangun Kakbah; hajar aswad, hijir Ismail dan yang lainnya [Lihat: Surah alBaqarah/2: 125]. Barang siapa memasukinya, menjadi amanlah dia dari gangguan-gangguan. Dan di antara kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang Islam yang sudah akil balig yang mampu mengadakan perjalanan ke sana, mempunyai bekal yang cukup untuk dirinya dan keluarga yang ditinggalkan, kemampuan fisik, ada sarana pengangkutan dan aman dalam perjalanan. Barang siapa mengingkari kewajiban haji, maka dia adalah kafir, karena tidak percaya pada ajaran Islam. Ketahuilah bahwa Allah Mahakaya [tidak memerlukan sesuatu] apapun dari seluruh alam, baik yang taat dan menjalankan ibadah haji, yang durhaka, maupun yang kafir. Setelah jelas dalil dan penjelasan yang diberikan kepada Ahli Kitab atas kebohongan mereka, tetapi mereka tetap ingkar, maka Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad, katakanlah Wahai Ahli Kitab! Mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah, mendustakan Al-Qur'an dan mengingkari kerasulanku, padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan' Tidak ada kedustaan dan perbuatan kalian yang samar bagi Allah walaupun kalian berusaha menyembunyikannya. Dia akan membalas keburukan perbuatan kalian kelak di hari kiamat.

Suatu bukti lainnya bahwa Nabi Ibrahim-lah yang mendirikan kembali Kabah, adanya maqam Ibrahim di samping Baitullah, yaitu sebuah batu yang dipergunakan sebagai tempat berdiri oleh Nabi Ibrahim a.s. ketika mendirikan Kabah bersama-sama dengan putranya Ismail a.s. Bekas telapak kakinya itu tetap ada dan dapat disaksikan sampai sekarang. Barang siapa masuk ke tanah Mekah [daerah haram] terjamin keamanan dirinya dari bahaya musuh dan keamanan itu tidak hanya bagi manusia saja, tetapi juga binatang-binatangnya, tidak boleh diganggu dan pohon-pohonnya tidak boleh ditebang. Setelah Nabi Ibrahim mendirikan kembali Kabah lalu beliau disuruh Allah menyeru seluruh umat manusia agar mereka berziarah ke Baitullah untuk menunaikan ibadah haji. Ibadah haji ini dianjurkan oleh Nabi Ibrahim dan tetap dilaksanakan umat Islam sampai sekarang sebagai rukun Islam yang kelima. Setiap Muslim yang mampu diwajibkan menunaikan ibadah haji sekali seumur hidup. Barang siapa yang mengingkari kewajiban ibadah haji, maka ia termasuk golongan orang kafir.

MAKANAN YANG HARAM BAGI BANI ISRAIL

Setelah banyak pertukaran pikiran dengan utusan-utusan Nasrani dari Najran, kaum Yahudi yang ada di Madinah masih saja menyanggah dan mengemukakan berbagai bantahan. Terutama soal makanan. Banyak makanan yang oleh Bani Israil tidak boleh dimakan, antaranya ialah unta.

Bantahan mereka kepada Nabi Muhammad saw. pun datang dari segi ini, “Engkau mengatakan membenarkan isi Taurat sekarang unta diharamkan dalam Taurat, mengapa dia engkau halalkan?"

Bantahan mereka yang kedua, “Engkau mengatakan menegakkan agama Ibrahim, padahal antara putra Ibrahim, keturunan Bani Ishaq, Bani Israiliah yang dipilih dan dimuliakan Allah, berpuluh nabi diutus dalam ka-langan mereka, dan Baitul Maqdislah pusat kegiatan mereka. Sekarang engkau alihkan kiblat ke Ka'bah, engkau pesongkan [serong/ putar, peny.] dari pusat kegiatan nabi-nabi.

Kedua sanggahan inilah yang dibantah.


Ayat 93

“Segala makanan dahulunya adalah halal bagi …."

Tidak ada makanan yang dilarang memakannya, termasuk unta sekalipun. “Kecuali yang diharamkan oleh Israil atas dirinya sebelum Taurat diturunkan."

Israil di sini ialah kaum Israil, ataupun nama pribadi Nabi Ya'qub karena dalam kitab-kitab mereka pun ada tersebut juga bahwa Ya'qub memang pernah melarang anak cucunya memakan berbagai rupa makanan.

Menurut setengah tafsir lagi, Bani Israillah yang pada mulanya membuat sendiri pantangan-pantangan makanan dengan semau-maunya sendiri sehingga menjadi haram bagi mereka. Itu semuanya terjadi sebelum Taurat memberikan ketentuan makanan. Dalam catatan kitab-kitab yang mereka akui sebagai Taurat itu dikatakan, bahwa Nabi pernah bergumul [bertinju] dengan Tuhan! [kitab Kejadian, pasal 32 ayat 25 sampai ayat 28] Dalam pergumulan itu terkilir pangkal paha Ya'qub. Sejak itu dia bersumpah selama-lamanya tidak akan memakan urat kerukut pangkal paha.

Beginilah mereka menggambarkan Allah yang bisa turun ke dunia dan berkelahi dengan Ya'qub. Bagi kita orang Islam, catatan ini tidak dapat dipercaya sebab tidak terang siapa yang menulisnya. Ini adalah cerita turun-temurun, seperti kitab-kitab Tambo, dicampuri dongeng, lalu dijadikan kitab suci untuk anak cucu.

Demikianlah soal makanan yang mula-mula halal, lalu diharamkan, kian lama kian banyak yang haram. Ini telah terjadi sejak dahulu, sebelum datang Taurat. Yang dimaksudkan Taurat ialah pokok hukum yang sepuluh, tetapi catatan-catatan yang lain mereka masukkan menjadi Taurat pula.2

“Katakanlah, kalau begitu." Artinya kalau kamu tidak mau percaya kepada keterangan dari Rasul saw. ini.

“Bawalah Tamat itu? ‘kemari,' dan bacalah, jika memang kamu orang-orang yang benar."

Dengan tangkisan seperti ini diberikanlah penjelasan bahwasanya banyak makanan yang mula-mula halal, menjadi haram karena

Lihat kembali keterangan tentang Taurat menurut kepercayaan Ahlul Kitab dan perbedaannya dengan kepercayaan Muslimin di permulaan tafsir surah Aali ‘Imraan ini.


kamu sendiri mempersulit dirimu, hai Bani Israil. Adat kebiasaan kamu jadikan peraturan agama lalu kamu bangsakan kepada Taurat. Maka, kedatangan Muhammad saw. sekarang ini tidaklah hendak menuruti kebiasaan dan adat istiadat kamu itu yang kamu jadikan peraturan agama.

Sebelum Muhammad saw., Isa al-Masih pun telah menghalalkan pula kembali makanan-makanan itu beberapa macam banyaknya [lihat kembali ayat 50] Namun demikian, kamu pun tetap menyanggahnya.


Ayat 94

“Maka barangsiapa yang mengarang-ngarangkan dusta atas Allah sesudah demikian itu"

Yaitu, masih saja mengatakan bahwa makanan-makanan itu larangan Taurat, padahal tak ada dalam Taurat, atau mengarang-ngarang cerita bahwa Ya'qub melarang anak cucunya memakan semacam makanan, padahal tidak.

“Maka mereka itulah orang-orang yang zalim."

Mereka menjadi zalim karena adat istiadat dan pantangan-pantangan yang mereka perbuat sendiri, lalu mereka dakwakan bahwa itu wahyu dari Allah.


Ayat 95

“Katakanlah; Benarlah Allah!"

Apa yang diwahyukan Allah, itulah yang benar; dan segala pengakuan kamu itu yang kamu karang-karangkan itu, peraturan yang kamu perbuat sendiri untuk memberatkan diri kamu, sehingga yang mula-mula tidak haram, menjadi haram, semuanya itu tidak benar.

“Lantaran itu turutlah agama Ibrahim yang lurus; dan bukanlah dia dari orang-orang yang musyrikin."

Janganlah soal makanan halal atau haram itu yang kamu jadikan alasan untuk membantah kebenaran dan kenyataan. Agama Ibrahim yang lurus adalah agama yang asli, rumpun pegangan kita semuanya, kamu Yahudi dan Nasrani dan kami. Ibrahim tidak mempersekutukan Allah dengan yang lain, mari ke sana kita kembali semuanya. Adapun soal makanan haram dahulu karena adat istiadat yang kamu buat, sekarang bisa berubah, karena dia bukan pokok aqidah.

Kalau seruan sudah sampai ke sana, dengan sendirinya bantahan mereka jatuh. Sebab, yang ditegaskan terlebih dahulu ialah pokok, atau yang zaman sekarang disebut prinsip, dasar. Maka, kalau dasar pokok sudah diterima, janganlah yang ranting dijadikan pokok pula untuk membantah yang dasar.

Oleh karena sudah tersebut nama Ibrahim dan agama Ibrahim, firman Allah pun dilan-jutlah untuk membantah sanggahan yang kedua tadi, tuduhan Bani lsrail atau Yahudi itu, bahwa Nabi Muhammad saw. mendakwakan menjunjung tinggi ajaran Ibrahim, padahal Ibrahim menurunkan Ishaq dan Ya'qub. Dan Ya'qub menurunkan berpuluh nabi, berpusat di Baitul Maqdis. Sekarang Muhammad mengalihkan kiblat ke Mekah.


Ayat 96

“Sesungguhnya rumah yang pertama sekali didirikan untuk manusia, ialah yang di Bakkah itu."

Yang dahulu sekali didirikan buat manusia beribadah kepada Allah Yang Maha Esa sebagai lambang tauhid ialah yang di Bakkah. Bakkah adalah nama yang lain dari negeri Mekah. Antara huruf ba dengan huruf mim adalah berdekatan makhraj [tempat keluar] hurufnya, huruf bibir. Sebab itu, pada zaman dahulu di samping orang Arab menyebutkan Mekah ada pula yang menyebutnya Bakkah. Rumah itu ialah Ka'bah, yang disebut pula Baitullah [Rumah Allah], bukan karena Allah bertempat di situ, melainkan karena didirikan semata-mata untuk menyembah Allah yang Tunggal,

“Sebagai [rumah] yang diberi berkat dan petunjuk bagi isi alam."

Rumah itu dan jiran sekelilingnya diberi berkat oleh Allah. Karena meskipun dia terletak di satu wadi [lembah] yang tidak ada tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan, tetapi penduduknya tidak kekurangan makanan. Dari mana-mana, baik pada zaman dahulu maupun sampai sekarang, penduduk Mekah selalu mendapat makanan dan buah-buahan yang subur dari tempat-tempat sekelilingnya. Dan setiap waktu pula, kalau tidak naik haji orang pun datang berumrah, negeri itu ramai dengan orang yang datang beribadah.

Telah datang zaman modern seperti sekarang, maka hampir pula setiap hari kapal terbang datang membawa orang-orang yang berumrah, dari Turki atau dari tempat-tempat lain di seluruh dunia Islam. Apabila datang musim mengerjakan haji, sampai bilangan juta orang yang datang ke tanah suci itu; itu semuanya adalah berkat. Sebagai dasar semua itu, tidaklah ada satu saat pun yang sunyi manusia daripada shalat lima waktu menghadapkan mukanya ke tempat mulia itu. Di setiap saat orang mengerjakan shalat lima waktu sebab bumi ini selalu beredar keliling matahari. Selama masih ada manusia yang shalat menghadapkan muka ke sana, selama itu pula dia akan tetap mengalirkan hudan atau petunjuk di seluruh alam ini.


Ayat 97

“Di sana ada tanda-tanda yang nyata."

Di sekeliling rumah pertama itu akan kamu dapati tanda-tanda yang nyata yang dapat kamu lihat dengan mata kepala sendiri. Di sana kamu akan mendapati sumur zamzam; yang telah diceritakan sejak zaman purbakala, bahwa sumur itu yang dikurniakan Allah kepada Hajar, ibu Isma'il. Itu pulalah yang menyebabkan kabilah-kabilah Jurhum sudi mendiami tempat itu, sehingga Hajar tidak sepi sendirian. Dari perkawinan Isma'il dengan anak perempuan kabilah Jurhum, timbul bangsa Arab Musta'ribah yang menurunkan Quraisy dan menurunkan Muhammad saw..

Di sana pun akan kita dapati tanda yang lain pula, yaitu Bukti Shafa dan Marwah tempat Hajar berlari-lari kecemasan sebelum zamzam diberikan Allah—karena ingin mencari air untuk memberi minum anaknya yang baru lahir—dan banyak lagi tanda-tanda yang lain, antaranya lagi yang paling penting ialah tempat berdiri Ibrahim. Yaitu tempat berdiri Nabi Ibrahim ketika mengerjakan shalat dan ibadah lainnya, menurut syari'at yang ditentukan Allah untuknya pada zamannya. Berita ini diterima turun-temurun oleh bangsa Arab sejak zaman purbakala sehingga telah menjadi mu-tawatir, mustahil orang akan bersepakat berbuat dusta.

Ada perbedaan penafsiran ahli-ahli tafsir tentang di mana letak yang sebenarnya maqam atau tempat berdiri Ibrahim itu. Kata setengah ahli tafsir, Maqam Ibrahim ialah yang terletak di sebelah Ka'bah telah menjadi sunnah Rasulullah saw.. Kita sunnah shalat dua rakaat di tempat itu setelah selesai mengerjakan thawaf, sebab di sana itulah pada zaman purbakala Nabi Ibrahim shalat sehabis thawaf. Sebab, thawaf itu pun beliau pula yang memulainya dan seluruh pekarangan Masjidil Haram itu adalah Maqam Ibrahim.

Perselisihan ahli tafsir inilah yang menyebabkan timbul pula perselisihan pada tahun 1957 antara ahli-ahli bangunan dengan ulama-ulama di Mekah, sebab sekarang Masjidil Haram telah dibangun kembali secara baru dan modern, mempunyai dua tingkat. Maka, menurut simetris bangunan yang baru itu, baru kelihatan indah kalau Maqam Ibrahim yang sekarang ini diganti dan diundurkan ke belakang sedikit. Karena kalau masih menurut bangunan dan letak yang sekarang juga, tidak sesuai dan sejalan lagi dengan susunan baru itu.

Tetapi maksud memindahkan atau meruntuhkan bangunan Maqam Ibrahim yang lama itu dihalangi dengan keras oleh ulama-ulama Mekah, sebab menurut mereka bila digeser tempatnya, tidaklah kena lagi dengan Maqam Ibrahim yang sebenarnya.

Dengan menonjolkan beberapa tanda yang mengkhususkan kepada maqam tempat berdiri Ibrahim, dengan sendirinya tertolaklah dakwaan orang-orang Yahudi yang mengatakan bahwa Baitul Maqdis lebih besar dan lebih agung daripada Ka'bah.

Ibnul Mundzir dan al-Azraqi meriwayatkan dari Ibnu juraij. Dan berkata, telah sampai kepada kami suatu berita bahwasanya beberapa orang Yahudi berkata, Baitul Maqdis lebih agung daripada Ka'bah, karena Baitul Maqdis-lah tempat berpindah nabi-nabi dan karena dia terletak di bumi yang suci.

Mendengar itu menjawablah beberapa orang Muslimin bahwa Ka'bahlah yang lebih agung. Pertengkaran ini terdengar oleh Rasulullah saw.. Lalu turunlah ayat yang tengah kita tafsirkan ini sebagai jawab pemutus per-tengkaran itu, “Sesungguhnya rumah yang mula-mula diletakkan buat manusia, ialah yang di Bakkah itu," bukan yang di Baitul Maqdis. Di sana ada tanda-tanda yang nyata, yaitu antaranya Maqam Ibrahim dan tanda-tanda demikian tidak terdapat di Baitul Maqdis. Dan barangsiapa yang masuk ke dalamnya mendapat selamat, dengan jaminan tertentu, yang dipegang dan dipertahankan oleh orang Arab, turunan demi turunan, tidak berhenti-henti, dan yang demikian itu tidak ada pada Baitul Maqdis.

“Dan barangsiapa yang masuk ke dalamnya, amanlah dia." Di sinilah kelebihan Ka'bah yang tidak terdapat pada Baitul Maqdis sendiri, masuk ke pekarangan rumah suci pertama itu diberi jaminan keamanan, saja itu tanah yang qudus [suci], bahkan itu pun tanah yang haram, artinya tanah larangan. Sejak peraturan ini ditegakkan oleh Nabi Ibrahim pada zaman dahulu kala, jaminan keamanan di dalam tempat ini telah dipelihara sebaik-baiknya. Walaupun telah banyak bid'ah dan tambahan-tambahan yang dibuat kemudian, sehingga agama hanif ajaran Nabi Ibrahim telah banyak diselewengkan dalam zaman jahiliyyah, tetapi di dalam hal memelihara kesucian tanah haram itu, masih tetap dipertahankan dengan setia. Sehingga bangsa Arab yang amat terkenal mengandung dendam ke-matian ayah atau teman satu kabilah karena dibunuh orang, belum mau berhenti mencari orang yang membunuh itu, sampai darah yang mati ditebus, kalau sekiranya si pembunuh itu terjumpa sedang di Masjidil Haram, atau dalam lingkungan tanah haram, tidaklah mereka mau membalaskan dendam waktu itu. Demikian kerasnya mereka memegang aturan sehingga seorang yang membunuh musuhnya di tanah haram itu akan dicela, dibuang, dikucilkan dari kabilahnya karena dia telah melanggar satu peraturan yang dipegang teguh turun-temurun oleh segala kabilah.

Yang dikecualikan sampai sekarang ini hanyalah melakukan hukuman tindak pidana, yaitu memotong tangan pencuri, merajam penzina, dan menghukum bunuh orang yang bersalah membunuh yang dilakukan hukum-annya oleh hakim.

Bukan saja bersalah melanggar kesucian larangan tanah haram itu terhadap manusia, bahkan berburu binatang buruan pun tidak boleh dalam lingkungan tanah haram itu. Didenda siapa yang melanggarnya, sebagai-mana tersebut peraturannya dalam surah al-Maa'idah kelak.

PERINTAH HAJI

“Dan karena Allah, wajiblah atas manusia pergi haji ke rumah itu, yaitu siapa yang sanggup menuju ke sana."

Tadi sudah dinyatakan bahwa itu adalah rumah yang pertama didirikan untuk manusia beribadah kepada Allah Yang Maha Esa di tempat itu. Ibrahim diperintahkan Allah mendirikannya dengan dibantu oleh putranya, Isma'il. Dipelihara kesucian rumah pertama itu dan dijadikan daerah terlarang untuk membuat huru hara dan keonaran, supaya tetaplah dia menjadi tempat beribadah, sebagai disaksikan oleh syiar terbesar, yaitu maqam tempat Ibrahim shalat. Sekarang datanglah Nabi Muhammad saw. yang dengan tegas mengatakan bahwasanya kedatangannya adalah hendak membangkitkan kembali ajaran asli Ibrahim, ajaran hanif dan Muslim. Lurus menuju Allah dan berserah diri kepada-Nya. Maka, kedatangan Muhammad adalah memperkuat kembali ajaran Ibrahim itu, menghidupkan kembali sendi pokok ajaran beliau.

Oleh sebab itu, Ka'bah bukanlah semata-mata sebuah rumah yang akan ditinjau oleh kaum turis pengembara, sebagaimana orang yang datang ke reruntuhan Persepolis atau reruntuhan gedung di Athena atau di Balbek [Libanon] Bahkan itulah rumah ibadah tauhid pertama yang didirikan di dunia ini, supaya terus hidup sebagai pusat tempat beribadah umat sepahaman di dunia ini. Oleh sebab itu. Nabi Muhammad meneruskan perintah, agar segala manusia datang ke tempat itu, berhaji, berwuquf di Arafah, bermabit di Muzdalifah, berhenti di Mina, berthawaf di Ka'bah, dan bersa'i di antara Shafa dan Marwah.

Oleh karena perintah agama itu dikerjakan menurut kesanggupan yang ada, diberilah syarat utama, yaitu kesanggupan orang yang bersangkutan sendiri. Baik berkenaan dengan cukupnya perbelanjaan maupun tidak sulit perjalanan karena sulitnya hubungan, atau dalam keadaan badan sehat wal afiat. Maka, dengan ayat inilah datang perintah resmi kepada kita manusia Muslim supaya naik haji ke Ka'bah, rumah pertama itu, sekurang-kurangnya sekali seumur hidup.

Asal arti haj ialah qashad, yaitu sengaja menuju sesuatu. Dengan demikian dapatlah dipahamkan bahwasanya ibadah haji hendak diniatkan benar-benar, disediakan benar-benar diri untuknya, bukan main-main. Lagi pula di pangkal tadi telah dikatakan, yaitu karena hendak menuju karena Allah semata-mata.

Sebelum negeri Mekah ditaklukkan oleh Rasulullah dan kaum Muslimin pada tahun ke-8 Hijriah, maka pada tahun ke-7 sudah berlaku juga umratul qadha, pengganti umrah yang tidak jadi pada tahun ke-6. Padahal di Mekah masih ada berhala, di Ka'bah masih terdapat 360 berhala. Bahkan di Bukit Shafa, masih tertegak berhala al-Lata menghalangi orang Islam yang datang sa'i [berjalan cepat antara Shafa dan Marwah] Maka, ada sahabat Rasulullah yang ragu-ragu tentang sa'i di antara Shafa dan Marwah itu, melihat berhala berdiri. Lalu datanglah ayat bahwa sa'i di antara Shafa dan Marwah itu tidak ada halangan diteruskan sebab kita melakukan sa'i itu adalah semata-mata ibadah karena Allah. Dan Shafa dan Marwah adalah satu syiar antara berbagai syiar Allah dan kita, tidak ada sangkut paut dengan berhala itu [tengok kembali tafsir ayat 105 surah al-Baqarah].

Dengan ayat ini jadi sangat j elaslah bahwa kita naik haji adalah karena Allah semata-mata, beribadah tulus kepada-Nya. Dan jika kita wuquf di Arafah, bermalam di Muzdalifah, berhenti tiga hari di Mina, thawaf keliling Ka'bah, sa'i di antara Shafa dan Marwah, semuanya itu bukanlah karena menyembah sua-tu tempat, bahkan jika satu waktu kita sempat mencium Batu Hitam [al-Hajarul Aswad]; itu semuanya hanyalah upacara, dan yang disembah hanyalah Allah.

Oleh sebab itu, hendaklah kita kaum Muslimin terus memasang niat bahwa agar sekali seumur hidup dapatlah hendaknya kita naik haji. Haji adalah puncak tertinggi, tanda bahwa kita orang Islam.

Nabi Muhammad saw. bersabda,

“Barangsiapa yang telah mati, padahal dia belum haji, maka biarlah dia mati, [boleh pilih] jika dia suka, jadi Yahudi atau jadi Nasrani." [HR Ibnu Adi dari Abu Hurairah]

Hadits ini adalah sebagai tarhib [ancaman] supaya kita jangan menyia-nyiakan keislaman kita dan jangan memperlemah iman dan cita-cita kita agar satu waktu kita dapat hendaknya naik haji.

Seketika Sayyidina Umar bin Khaththab telah jadi khalifah, pernah pula beliau menyampaikan satu ancaman bagi orang-orang yang melalaikan kewajiban haji, beliau berkata,

“Sesungguhnya ada maksudku hendak mengutus beberapa orang ke negeri-negeri besar itu, supaya mereka selidiki tiap-tiap orang yang mempunyai kemampuan, padahal dia tidak juga pergi haji. Untuk orang-orang ini supaya dikenakan saja jizyah. Sebab, mereka bukan Islam. Mereka bukan Islam."

Jizyah adalah pajak terhadap warga negara yang bukan Islam.

Pasanglah niat dan berikhtiarlah dengan segala tenaga, walaupun meninggal sebelum niat tercapai. Lebih-lebih bagi kita yang bertanah air jauh di ujung timur jauh ini.

“Dan barangsiapa yang kufur, maka sesungguhnya Allah adalah Mahakaya dari sekalian makhluk."

Kufur artinya ialah menolak kebenaran dengan tidak ada alasan yang jitu; yang kebanyakan hanya karena hawa nafsu belaka. Misalnya awak mengaku Islam, badan sehat, harta cukup bahkan melimpah, perhubungan zaman modern ke Mekah pun sudah sangat mudah, tidak sesulit zaman dahulu lagi, tetapi tidak juga mau menunaikan haji. Orang ini adalah kufur, sekurang-kurangnya kufur nikmat.

Dan ada pula orang yang ditimpa penyakit kebangsaan berkata bahwa naik haji itu hanya pergi memperkaya orang Arab. Padahal, dia sendiri melawat juga ke Eropa atau Amerika. Apakah pergi ke sana tidak memperkaya orang Barat? Tiap-tiap negeri yang maju di dunia ini mengadakan kantor turisme, untuk menarik hati orang luar negeri ziarah ke negerinya, apakah ini tidak memperkaya negeri itu pula? Apakah di zaman modern tidak dipergiat kemajuan hubungan antarnegara? Mengapa untuk naik haji ke Mekah saja, buat beribadah kepada Allah dikatakan “memperkaya orang Arab" sedang buat yang lain tidak?

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề