Negara kreditor yang memberikan pinjaman kepada Indonesia pada Masa Orde Baru adalah

ABSTRAK

Zuraida, Riska. 2013. Perkembangan Utang Luar Negeri Indonesia pada Masa Orde Baru. Skripsi. Jurusan Sejarah. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Malang. Pembimbing:  [I] Drs. Kasimanuddin Ismain, M.Pd., [II] Aditya Nugroho Widiadi, S.Pd., M.Pd.

Kata kunci: Utang Luar Negeri, Orde Baru, Indonesia.

Pembangunan ekonomi suatu negara harus didukung oleh ketersediaan sumberdaya ekonomi yang produktif. Menjadi masalah apabila sumber daya ekonomi terbatas, khususnya permodalan. Begitu juga Indonesia khususnya masa Orde Baru, maka diperlukan investasi yang besar. Berawal dari itu, dibutuhkan bantuan dari negara lain, yakni berupa pinjaman atau utang luar negeri. Fenomena tersebut mampu mengatasi kemerosotan perekonomian Indonesia, namun bisa terjadi ketergantungan karena cenderung meningkat tiap tahunnya yang semakin bertambahnya utang luar negeri, maka pelunasan pinjaman juga membesar. Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan pembahasan mengenai perkembangan Utang Luar Negeri [ULN] Indonesia pada masa Orde Baru.

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menganalisis faktor pendorong pemerintah Indonesia dalam menetapkan kebijakan utang luar negeri, mengetahui sejarah perkembangan, dan dampak utang luar negeri terhadap pembangunan pada masa Orde Baru.

Rancangan penelitian ini menggunakan studi kepustakaan [library research] dengan pendekatan sejarah dalam menjabarkan hasil kajian. Sumber data yang digunakan berupa data sekunder yaitu literatur yang sesuai dengan kajian mengenai perkembangan Utang Luar Negeri [ULN] Indonesia masa Orde Baru. Prosedur penelitian ini meliputi: pengumpulan data, analisis data, sintesis data, dan penarikan kesimpulan.

Berdasarkan hasil analisis tersebut, diperoleh tiga simpulan hasil penelitian sebagai berikut. Pertama, faktor pendorong Utang Luar Negeri [ULN]  pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru dilandasi oleh dua faktor yaitu 1] faktor internal meliputi pertumbuhan ekspor Indonesia, defisit tabungan dan investasi yang semakin besar, defisit anggaran pemerintah yang semakin membengkak, strategi pembangunan, dan perubahan rezim. 2] Faktor eksternal meliputi: adanya kesamaan ideologi dengan negara pendonor, pembentukan lembaga bantuan internasional untuk negara berkembang, menguatnya globalisasi [kebutuhan investasi], adanya krisis minyak dunia [oil boom], dan krisis nilai tukar mata uang yang mengakibatkan peningkatan utang luar negeri. Kedua, ULN pada masa Orde Baru berkuasa sebesar Rp1.500 triliun atau sekitar US$171,8 miliar yang jika dirata-ratakan selama 32 tahun utang negara bertambah sekitar Rp. 46,88 triliun tiap tahun, hanya sekitar 73% yang dapat disalurkan ke dalam bentuk proyek dan program, sedangkan sisanya [27%] menjadi pinjaman yang tidak efektif. Ketiga, ULN menyebabkan dua dampak yaitu positif  dan negatif. Dampak positif yaitu: swasembada beras, kesejahteraan penduduk, perubahan sektor ekonomi & struktur lapangan kerja, perkembangan investasi & ekspor, laju pertumbuhan ekonomi, Indonesia kembali menjadi anggota PBB, dan proyek yang dihasilkan dari ULN. Sedangkan dampak negatif meliputi: peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari [Malari], operasi Petrus, munculnya korporasi asing dan krisis ekonomi 1998.

Total pengunjung hari ini: 1588, akses halaman: 2051,
pengunjung online: 83, waktu akses: 0,016 detik.

Page 2

Total pengunjung hari ini: 1589, akses halaman: 2053,
pengunjung online: 84, waktu akses: 0,063 detik.

Page 3

Total pengunjung hari ini: 1589, akses halaman: 2054,
pengunjung online: 84, waktu akses: 0,016 detik.

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia [BI] mencatat utang luar negeri [ULN] Indonesia pada bulan Mei mengalami kenaikan lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya. Negara-negara yang memberi pinjaman ke pemerintah dan swasta RI paling banyak berasal dari negara-negara kreditor global.

ULN Indonesia tercatat sebesar 404,7 miliar dolar AS pada akhir Mei 2020, terdiri dari ULN sektor publik [Pemerintah dan Bank Sentral] sebesar US$ 194,9 miliar dan ULN sektor swasta [termasuk BUMN] sebesar US$ 209,9 miliar.

ULN Indonesia tersebut tumbuh 4,8% [yoy], lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada April 2020 sebesar 2,9% [yoy], dipengaruhi oleh transaksi penarikan neto ULN, baik ULN Pemerintah maupun swasta. Selain itu, penguatan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS juga berkontribusi pada peningkatan ULN berdenominasi Rupiah.


Rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto [PDB] pada akhir Mei 2020 sebesar 36,6%, sedikit meningkat dibandingkan rasio pada bulan sebelumnya sebesar 36,2%. 

Dari ULN sebanyak itu, Singapura menjadi negara kreditor terbesar bagi Indonesia dengan nilai utang mencapai US$ 72,4 miliar. Negeri Singa banyak memberikan utang ke sektor swasta. Sebanyak 99% dari total ULN RI ke Singapura merupakan ULN milik swasta.

Negara kedua kreditor terbesar RI adalah Negeri Sakura. Total ULN Indonesia ke Jepang hingga bulan Mei tercatat mencapai US$ 28,9 miliar. Berbeda dengan Singapura, ULN Indonesia ke Jepang cukup merata. 

Pemerintah berutang ke Jepang sebanyak US$ 12,1 miliar sedangkan perusahaan swasta berutang sedikit lebih banyak dengan nilai sebesar US$ 16,8 miliar. 

Di bawah Jepang ada Negeri Paman Sam yang juga menjadi kreditor terbesar RI. Nilai ULN Indonesia ke AS mencapai US$ 26,6 miliar dengan ULN terbanyak disumbang oleh swasta mencapai 97% dari total.

Tak mau ketinggalan, China juga ikut menjadi negara pemberi utang terbanyak untuk Indonesia. ULN pemerintah Indonesia ke China mencapai US$ 1,78 miliar, sementara ULN untuk sektor swastanya mencapai US$ 18,3 miliar. Sehingga secara total ULN RI ke Negeri Tirai Bambu mencapai US$ 20,1 miliar. 

Itulah keempat negara kreditor terbesar bagi Indonesia. Jika ditotal ULN RI ke empat negara tersebut baik pemerintah maupun swasta mencapai US$ 148,1 miliar atau setara dengan 36% dari total ULN pada Mei. 

Dari empat kreditor terbesar RI, dua negara Asia yakni Jepang dan China sebenarnya juga memberikan utang ke negara lain. Saking besarnya utang yang diberikan Negeri Sakura dan Negeri Panda ke negara lain, kedua negara tersebut sampai dijuluki sebagai negara kreditor dunia. 

Mengutip media lokal Jepang [Manichi Japan], hingga akhir tahun lalu, pemerintah, korporasi hingga investor individu asal Negeri Matahari Terbit memegang total aset global mencapai US$ 3,4 triliun. Nilainya tiga kali lebih besar dari output perekonomian Indonesia. 

Beralih ke China, menurut Harvard Business Review yang dipublikasikan pada 26 Februari lalu, Negeri yang dipimpin Xi Jinping itu telah menjadi pemberi utang global dengan klaim mencapai 5% dari output global. 

Sebenarnya selain keempat negara itu, ada banyak negara lain yang juga berperan sebagai kreditor RI. Berikut ini adalah daftar dan besaran ULN Indonesia ke negara selain Singapura, Jepang, AS dan China. 

Tak hanya berutang ke negara lain, Indonesia juga memiliki utang ke organisasi atau lembaga keuangan dunia seperti Asian Development Bank [ADB], Bank Dunia hingga Dana Moneter Internasional [IMF]. 

ULN Indonesia ke International Bank for Reconstruction and Development [IBRD] tercatat mencapai US$ 17,7 miliar. ULN ke ADB mencapai US$ 10,2 miliar dan ke IMF sebanyak US$ 2,7 miliar.

TIM RISET CNBC INDONESIA


[Gambas:Video CNBC]

[twg/twg]

tirto.id - Usai mengambil alih kekuasaan dari Sukarno pada 1967, Soeharto dihadapkan kondisi serba tak stabil, terutama di bidang ekonomi. Masalah paling pelik yang dihadapi pemerintahan Soeharto adalah hiperinflasi [mencapai 650 persen] yang menyebabkan melonjaknya harga barang-barang, termasuk kebutuhan pokok. Faktor utama penyebab hiperinflasi adalah rezim Sukarno hanya mencetak uang untuk membayar utang dan mendanai proyek-proyek mercusuar sejak awal 1960-an.

Hiperinflasi hanya satu dari sekian masalah ekonomi yang harus dihadapi Soeharto. Indonesia Investments, lembaga pemerhati ekonomi Indonesia dari Belanda, dalam laporan berjudul “History of Indonesia: Politics and the Economy Under Sukarno" menyebutkan, pada masa itu Indonesia juga terbebani utang besar sementara di waktu bersamaan ekspor melemah dan pendapatan per kapita menurun secara signifikan.

Pada 1960, melalui Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, Sukarno sempat mengeluarkan Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahun 1961-1969 yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam negeri. Tetapi, pada 1964, strategi itu ditinggalkan sebab situasi ekonomi makin memburuk: inflasi masih tinggi, basis pajak mengikis, arus pemindahan aset finansial ke riil begitu besar, hingga konfrontasi dengan Malaysia yang menyerap sebagian besar anggaran pemerintah.

Sukarno boleh saja mahir dalam bahasa dan retorika, tapi ia gagal mengurus ekonomi. Alih-alih peduli pada masalah ekonomi, ia malah mencurahkan waktunya untuk berpetualang dalam demagogi politik. Reportase majalah The New Yorker [23 November 1968] menyatakan bahwa akibat Sukarno salah urus, Indonesia dihadapkan pada posisi kebangkrutan dan diprediksi akan sangat bergantung pada bantuan luar negeri.

Baca juga: Jika Supersemar Palsu, Apakah Orde Baru Tidak Sah?

Soeharto menyiapkan beberapa langkah untuk membebaskan Indonesia dari belitan krisis ekonomi. Mengutip Guy Fauker dalam makalahnya, “The Indonesian Economic and Political Miracle" [1973], langkah pertama yang dilakukan Soeharto adalah mengubah arah haluan ekonomi: dari pro-Timur menjadi pro-Barat.

Soeharto lantas membentuk Tim Ahli di Bidang Ekonomi dan Keuangan yang berisikan ekonom dari Universitas Indonesia. Tim ini dipimpin Widjojo Nitisastro. Kelak, kelompok tersebut dikenal dengan nama “Mafia Barkeley" dengan kebijakan-kebijakannya yang berlandaskan liberalisasi ekonomi serta pasar bebas.

Heinz Wolfgang Arndt dalam The Indonesian Economy: Collected Papers [1984] menjelaskan, rencana pemulihan ekonomi Indonesia dibagi menjadi tiga tahapan: stabilisasi, rehabilitasi, dan pembangunan. Tiga tahapan tersebut lalu diwujudkan ke dalam beberapa langkah seperti penghentian hiperinflasi dan memulihkan stabilitas makroekonomi, penjadwalan utang luar negeri, hingga membuka pintu bagi penanaman modal asing.

Pembentukan IGGI

Setelah keran investasi asing dibuka, langkah berikutnya ialah mencari bantuan luar negeri. Namun, Indonesia mendapat halangan. Beban neraca pembayaran luar negeri sebagai akibat utang yang diwariskan Orde Lama membuat Indonesia sulit memperoleh kreditur maupun pendonor.

Dalam “Survey of Recent Developments" [1966] yang diterbitkan Bulletin of Indonesian Economics Studies, Arndt dan J. Panglaykim menjelaskan, Indonesia tidak mampu membayar cicilan maupun bunga utang luar negeri. Bank Indonesia, terang mereka, bahkan tidak mampu membayar letters of credit serta terpaksa menunda pembayaran kredit perdagangan luar negeri yang totalnya mencapai 177 juta dolar AS.

Dengan kondisi seperti itu, catat Radius Prawiro dalam Indonesia’s Struggle for Economic Development-Pragmatism in Action [1998], Indonesia tidak memiliki kualifikasi cukup untuk memperoleh bantuan kredit luar negeri. Sebagai solusinya, Soeharto kemudian mengirimkan delegasi ke berbagai negara kreditor guna membahas moratorium utang luar negeri. Yang dituju: London dan Paris Club—kelompok informal kreditur di pentas internasional.

Melalui diplomasi yang intensif dalam forum London dan Paris Club, masih menurut Radius, pemerintah Indonesia mengajukan gagasan pembentuk konsorsium negara-negara kreditur untuk Indonesia. Pertemuan dengan Paris Club merupakan peluang pertama bagi pemerintah untuk menjelaskan kebijakan ekonomi macam apa yang bakal ditempuh guna keluar dari krisis.

Setelah berdiskusi panjang-lebar, forum tersebut akhirnya menyetujui adanya moratorium bagi Indonesia. Forum juga sepakat membentuk konsorsium bernama IGGI [Inter-Governmental Group on Indonesia] yang beranggotakan Australia, Belgia, Jerman, Itali, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika, Austria, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Bank Dunia, IMF, Bank Pembangunan Asia [ADB], UNDP, serta OECD pada 1967. Tujuan pembentukan konsorsium ini ialah untuk memberikan pinjaman ke Indonesia.

Baca juga: Hantu Itu Bernama Neolib

Arndt menerangkan, IGGI memberi bantuan dalam wujud program untuk memperkuat neraca pembayaran, baik berupa kredit valuta asing maupun bantuan pangan. Selebihnya, bantuan disalurkan dalam bentuk proyek. Pertemuan pertama IGGI dilakukan pada 20 Februari 1967, tepat hari ini 51 tahun silam, di Amsterdam. Indonesia diwakili Sri Sultan Hamengkubuwana IX.

Sejak diberlakukannya moratorium utang luar negeri dan pembentukan IGGI, catat John Bresnan dalam Managing Indonesia: The Modern Political Economy [1993], kucuran pinjaman terus berdatangan. Pada 1967, misalnya, Indonesia memperoleh pinjaman 200 juta dolar AS.

Dalam rentang 1967-1969, bantuan luar negeri menyumbang 28% pembiayaan pemerintah. Data USAID 1972 menyebutkan, dari 1967-1969, Belanda memberikan bantuan paling besar yakni 140 juta dolar AS. Kemudian disusul Jerman [$84,5 juta], Amerika Serikat [$41,1 juta], dan Jepang [$10,6 juta]. Uang tersebut lalu digunakan untuk memperbaiki perekonomian hingga menggiatkan pembangunan.

Selain itu, saat Pertamina terlilit utang 40 juta dolar AS kepada The Republic National Bank of Dallas pada 1976, IGGI, seperti ditulis Bresnan, berjanji memberikan bantuan pembiayaan darurat sebanyak 1 miliar dolar AS. Uang itu digunakan untuk melunasi utang sekaligus menutup biaya proyek Pertamina seperti pabrik baja Krakatau Steel dan proyek LNG.

Baca juga: Sumitro Djojohadikusumo Pernah "Menghilang" karena Dituduh Korupsi

Cyrillus Harinowo dalam Utang Pemerintah: Perkembangan, Prospek, dan Pengelolaannya [2002] menyebut, IGGI berfungsi sebagai kasir pemerintah Indonesia sekaligus penasihat dalam pelaksanaan pembangunan. Lembaga ini mengadakan pertemuan rutin tiap tahun untuk membahas serta mengevaluasi kinerja pemerintah di bidang ekonomi maupun pembangunan.

Setelah mengalami masa kemesraan yang lama, Indonesia dan IGGI pecah kongsi pada 1992. Thomas Lindblad dalam Indonesia: A Country Study [2011] mengatakan, pemicu putusnya hubungan IGGI dan Indonesia adalah tragedi Santa Cruz di Timor Timur pada November 1991. Kala itu, tentara menembaki warga saat berlangsung upacara pemakaman aktivis pro-kemerdekaan bernama Sebastiao Gomez. Korban tewas dalam tragedi itu, menurut versi pemerintah Indonesia, “hanya" 50 warga sipil. Sementara versi laporan lainnya, warga sipil yang tewas mencapai 273.

Baca juga: Mengenang 25 Tahun Kejahatan Indonesia di Santa Cruz

Imbasnya, Belanda yang saat itu jadi koordinator IGGI menangguhkan bantuan ke Indonesia. Aksi Belanda lalu disusul Denmark dan Kanada sebagai wujud kecaman. Soeharto yang melihat aksi cabut bantuan tersebut lantas berang. Ia merasa tersinggung. Pada Maret 1992, Soeharto menegaskan sikap bakal menolak semua bantuan ekonomi, terutama dari Belanda.

Akan tetapi, sikap tegas pemerintah tak berlangsung lama. Prawiro menyebutkan, Indonesia masih membutuhkan bantuan luar negeri. Maka dari itu, dibentuklah CGI [Consultative Group on Indonesia] yang diprakarsai Bank Dunia dan diketuai Jepang.

Anggota CGI, jelas Pranowo, merupakan bekas anggota IGGI kecuali Belanda. Fungsi utama CGI adalah sebagai forum bagi Indonesia untuk bernegosiasi dengan lembaga internasional dan negara-negara pendonor.

Sepak terjang CGI terlihat menonjol saat krisis ekonomi 1998. Sebagaimana ditulis Lindblad, CGI berperan penting dalam memfasilitasi restrukturisasi utang internasional selama krisis Asia dengan pinjaman sebesar 8 miliar dolar AS.

Kiprah CGI berhenti pada 2007 ketika presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, meminta CGI dibubarkan. Alasannya, mengutip Thee Kian Wie dalam Pembangunan, Kebebasan, dan ‘Mukjizat’ Orde Baru: Esai-Esai, ialah waktunya bagi Indonesia untuk mampu merancang dan menjalankan sendiri program ekonomi secara mandiri.

Ketergantungan dan Kepentingan

Relasi antara Indonesia dan IGGI menandakan dua hal. Pertama, ada kepentingan IGGI di balik bantuan yang diberikan. Kedua, relasi dengan IGGI membuat Indonesia terjebak dalam ketergantungan utang kepada negara-negara Barat.

Andrew Mack dalam tesisnya di University of Sydney berjudul Rethinking the Dynamics of Capital Accumulation in Colonial and Post-Colonial Indonesia: Production Regulation [2001] menjelaskan, terdapat tujuan tertentu di balik dukungan negara-negara donor kepada Indonesia. Frasa “tujuan tertentu" yang dimaksud Mack ialah negara-negara pendonor tersebut meminta timbal balik kepada Indonesia berupa penguasaan sektor-sektor industri penting.

Mack menjelaskan, jatah yang diminta negara-negara pendonor berdampak pada tidak diberikannya ruang bagi perusahaan lokal untuk mengelola industri ekstraktif dengan produksi keuntungan yang tinggi. Kepentingan asing di Indonesia telah memaksa perusahaan lokal tunduk pada status perusahaan asing sebagai produsen-korporat di Indonesia serta agen pemasaran produk.

Baca juga: Ketika Indonesia Bertekuk Lutut kepada IMF

Selama masa pembangunan Orde Baru, tambah Mack, hubungan antara pemodal internasional, pendonor, dan pemerintah telah menutup kemungkinan bagi pengusaha atau perusahaan lokal menguasai sektor-sektor ekonomi penting.

Efek buruk ketergantungan terhadap utang luar negeri juga terasa ketika krisis ekonomi melanda. Pada 15 Januari 1998, Indonesia meminta bantuan IMF untuk menyelamatkan kondisi perekonomian. IMF pun setuju memberikan paket bantuan keuangan multilateral yang diberikan secara bertahap dalam jangka waktu 3 tahun senilai 43 miliar dolar AS. Namun, sejumlah syarat harus dipenuhi, di antaranya keharusan pemerintah Indonesia melikuidasi 16 bank yang "sakit".

Kenyataannya, likuidasi bank malah memicu penarikan dana besar-besaran [rush] oleh nasabah yang panik dan menciptakan situasi di mana tingkat kepercayaan investor menurun. Hasilnya: utang domestik Indonesia membumbung sampai angka 80 miliar dolar AS saat itu.

Baca juga: Kilas Balik Indonesia-IMF Selama Krisis Ekonomi Asia

Semenjak kejatuhan Orde Baru, pemerintah masih terus bergantung pada IMF. Setidaknya, sepanjang periode 1997-2003, Indonesia sudah meneken 26 kali kesepakatan dengan IMF. Berselang tiga tahun, saat pemerintahan SBY, utang Indonesia kepada IMF dilunasi.

Lunasnya utang Indonesia kepada IMF bukan berarti menghentikan ketergantungan Indonesia akan pinjaman dari negara donor. Ketergantungan tersebut diteruskan pemerintahan Jokowi.

Berdasarkan data dari Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, pada Juni 2017, Indonesia memiliki utang kepada pihak-pihak terkait seperti Islamic Development Bank [Rp9,95 triliun], Jerman [Rp24,3 triliun], Perancis [Rp24,3 triliun], Jepang [Rp196,98 triliun], Amerika [Rp8,26 triliun], sampai Bank Dunia [Rp234,68 triliun].

Pada akhir 2016, jumlah total utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar 317,08 miliar dolar AS. Jumlah ini 2,04 persen lebih besar dari tahun sebelumnya [310,73 miliar].

Mengapa pemerintah terus berutang? Kementerian Keuangan dalam paparannya pernah menjelaskan, utang merupakan konsekuensi dari APBN yang terus menerus mengalami defisit. Angka defisit sendiri merupakan kesepakatan antara pemerintah dan DPR. Defisit muncul karena pembiayaan tidak sebanding dengan pengeluaran.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya M Faisal
[tirto.id - fri/ivn]

Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề