Pada masa permulaan faham Islam yang berkembang di indonesia adalah

Oleh Joko Tri Haryanto
Peneliti Bidang Kehidupan Keagamaan

Lahirnya beragam aliran atau sekte di dalam Islam tak lepas dari situasi sosial-politik, di samping dinamika pemikiran dan pencarian spiritualitas. Perbedaan paham antaraliran yang rentan menyulut konflik mestinya tak semata-mata dilihat dari kacamata teologis, tetapi juga sosiologis.

Tahun 2011 lalu, fakta keagamaan di Indonesia ditutup dengan catatan buram. Di penghujung Desember, kompleks madrasah, rumah ibadah dan kediaman pemuka kaum sekte Syi’ah di Sampang Madura dibakar.

Jamak pihak menduga konflik itu berpangkal dari seteru keluarga yang beda paham, yakni kakak beradik yang mengikuti Sunni dan Syi’ah. Masalah pribadi yang disangkutkan perbedaan keyakinan, memang bisa dengan mudah dimanfaatkan untuk memobilisasi kelompok. Mafhum jika taksiran yang muncul adalah adanya pihak ketiga yang sengaja memecah belah Sunni dan Syiah.

Tidak sesederhana itu, sejauh konflik itu berbelitan dengan “prasangka sesat” yang ditujukan kepada sekte Syi’ah di Indonesia selama ini. Mengingat, gesekan antara Sunni dan Syi’ah di Madura sebetulnya cukup panjang. Pada tahun 2006, sekitar 50 Ulama Madura mengeluarkan maklumat atas ajaran Syi’ah yang disebarkan Tajul Muluk Ma’mun di Sampang tersebut. Ajaran yang disebarkan Tajul Muluk Ma’mun dinilai Syi’ah Ghulah [Rifadlah] karena sebagian doktrin yang membenci dan merendahkan Sahabat Nabi atau khulafa’ ar-rasyidin, di samping berlebih-lebihan di dalam ahl al-bait. Jadi, tidak mustahil konflik tersebut adalah akumulasi dari kegirisan masyarakat Madura terhadap sebagian ajaran Syi’ah yang didakwa keliru.

Belum lama ini Sidang Dewan HAM PBB di Jenewa Swiss menyoroti perkara intoleransi agama yang marak terjadi di Indonesia. Pembandingan PBB terkait intoleransi keagamaan di Indonesia dengan negara-negara lain semata-mata mengacu perkara hak asasi manusia bisa jadi memang kurang komprehensif. Mengingat, Indonesia terbangun atas bermacam suku dan tradisi yang turut mewarnai keyakinan atau ekspresi keagamaan. Di banding negara-negara lain, variasi kelompok keagamaan di Indonesia lebih kompleks.

Terkait itu, Menteri Agama Suryadharma Ali justru menyarankan agar negara lain belajar toleransi ke Indonesia. Ia “menantang” negara-negara lain untuk menunjuk negara mana di belahan dunia ini yang memberikan toleransi beragama secara longgar seperti di Indonesia.

Penilaian PBB tersebut juga dibantah oleh mantan Ketua PBNU Hasyim Muzadi. Menurutnya, tuduhan PBB itu tak berdasar. Sebaliknya, Hasyim membandingkan sempitnya toleransi agama di Swiss yang sampai kini tidak memperbolehkan pendirian menara masjid, atau di Prancis yang masih mempermasalahkan jilbab.

Kilas Balik Sejarah

Fenomena keragaman aliran yang rentan meletuskan konflik sosial umat bukan cuma terjadi sekarang ini. Berpuluh abad silam, di zaman klasik ketika perkembangan Islam mulai signifikan, konfrontasi politik maupun perbedaan pemikiran teologi telah sukses membidani kelahiran banyak sekte atau aliran [firqah] dalam Islam.

Ahli sejarah Arab Philip K Hitti [2005] menjelaskan,  pada paruh pertama abad ke-8, yakni masa Dinasti Umayyah, muncul satu gerakan pemikiran filosofis yang lantas kondang dengan sebutan Mu’tazilah. Sekte ini mengedepankan akal dalam berteologi. Selain itu mengusung paham kebebasan berkehendak. Paham itu diikuti kaum Qadariyah yang saat itu bertolakbelakang dengan Jabbariyah dalam memahami takdir.

Sementara itu, muncul sekte politik keagamaan seperti Khawarij, Syi’ah dan Murji’ah. Ketiganya lahir di tengah kegentingan politik kekhalifahan Islam semenjak masa sahabat.

Embrio Syi’ah adalah kelompok politik yang mendukung Ali sebagai pewaris sah kepemimpinan Rasulullah. Syi’ah mengukuhi sistem imamah sebagai landasan politik Islam, yang secara ideologis dipertentangkan dengan khilafah. Dalil politik itu lantas mekar dalam wacana teologi Syi’ah yang meyakini keturunan Ali [ahl al-bait] sebagai imam sejati.

Masih menurut Hitti, di sebelah Syi’ah ada Khawarij. Mulanya adalah pendukung setia Ali yang kemudian keluar dari barisan. Kelompok politik ini berulang kali mengangkat senjata menuntut hak istimewa Bany Quraisy untuk menduduki tahta kekhalifahan. Dalam teologi, khawarij tergolong pendukung utama gerakan puritanisme Islam. Melarang praktik-praktik kultus terhadap orang suci, selain memberangus kelompok-kelompok persaudaraaan para sufi.

Di antara Syi’ah dan Khawarij bercokol kaum Murji’ah yang cenderung netral menyikapi konfrontasi politik dan inklusif dalam berteologi. Murji’ah memandang hanya Allah yang berhak menghukum manusia yang berbuat dosa.

Sunni muncul belakangan, dan lebih di aras pemikiran. Weinata Sairin [2006] mencatat, sekte Sunni muncul sebagai reaksi pemikiran Mu’tazilah yang mengesampingkan al-Qur’an dan as-Sunnah jika tak diterima akal. Lahirnya Sunni yang dipelopori Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi adalah sekaligus buntut pertikaian politik dan akidah yang mengguncang persatuan umat muslim saat itu. Sunni condong kompromistis dalam menyikapi pertikaian politik maupun perdebatan teologis.

Kilas balik sejarah itu menunjukkan, munculnya sebagian aliran dalam Islam berakar dari pergelutan politik. Klaim-klaim teologis banyak direproduksi untuk menopang kepentingan sekte politik. Sementara itu, sebagian sekte juga muncul karena gejolak pemikiran teologi Islam.

Perkembangan sekte-sekte di dalam Islam sekarang ini lebih bervariasi. Kini bermacam mazhab atau paham muncul dalam fiqih, begitu juga dalam tasawuf. Satu sekte pun melahirkan beberapa subsekte yang mempraktikkan ajaran-ajaran berlainan.

Gerakan “Agama Baru”

Fenomena aliran Islam di Indonesia kontemporer bukan terbatas pada penampakan aliran-aliran besar seperti Sunni, Syi’ah, maupun Mu’tazilah. Banyak aliran muncul dengan modus mengawinkan ajaran Islam dengan kepercayaan lokal. Perkawinan ajaran itu memang berbau sinkretik di satu sisi, dan di sisi lain merupakan upaya mengintegrasikan nilai atau tradisi lokal dengan ajaran Islam di dalam sistem religi. Taruhlah Islam Wetu Telu/Islam Sasak, Islam Aboge, atau sejenis Islam Kejawen.

Persinggungan Islam di Indonesia dengan Timur Tengah juga menjadi medium bagi masuknya varian sekte Wahabi atau Salafi sekitar abad ke 19. Di samping agenda puritanisme Islam, sekte tersebut juga menyusupkan ideologi politik yang hendak diperjuangkan. Kini Salafi-Wahabi secara terselubung memekarkan akar-akarnya lewat ormas-ormas keagamaan seperti Hizbut Tahrir Indonesia [HTI] Majelis Mujahidin Indonesia [MMI], Negara Islam Indonesia [NII], Front Pembela Islam dan sejenisnya. Selama ini mereka getol memperjuangkan tegaknya sistem khilafah.

Perbincangan mengenai aliran Islam di Indonesia terkini tidak bisa lepas dari gerakan pencarian spiritualitas yang lantas membentuk atau memunculkan varian baru Islam. Krisis spiritualitas di zaman modern memicu menjamurnya gerakan-gerakan sempalan. Sepanjang abad 20 hingga kini, di Indonesia menjadi “ladang gembur” bagi tumbuhnya sekte-sekte kecil, yang populer di antaranya Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian, DI/TII, Mujahidin Warsidi [Lampung], Syi’ah, Baha’i, Inkarus Sunnah, Darul Arqam, Al-Qiyadah al-Islamiyah, gerakan Usroh, Salamullah/Lia Eden, Brahma Kumar atau aliran tasawuf dan tarekat yang berfaham wahdatul wujud.

Menurut Mukhsin Jamil [2008], seorang pemikir sekaligus peneliti kajian keagamaan, varian-varian Islam itu tergolong sebagai gejala “gerakan agama baru”. Tiga sebab yang melatarinya, pertama, gerakan spiritualitas pencarian, seperti Lia Eden, Al-Qiyadah al-Islamiyah atau Brahma Kumar. Kedua, revitalisasi tradisionalisme seperti tercermin dalam gerakan sufisme kota atau kelompok-kelompok fundamentalis-radikalis. Ketiga, revitalisasi agama lokal, misal Sunda Wiwitan, Budho Tengger atau Samin.

Memahami Islam acap buntu jika melulu dipandang dari sudut teologis yang berujung pada klaim “sesat-menyesatkan”. Bahkan klaim semacam itu kerap dijadikan dalih yang membenarkan aksi-aksi anarkistis yang semakin memperkeruh toleransi beragama.

Fenomena aliran agama di Indonesia kini perlu dilihat pula dengan pendekatan sosiologis. Dalam pendekatan itu, label ortodoks [sesuai ajaran] dan sempalan bukan konsep abadi dan mutlak, tetapi relatif dan dinamis. Martin Van Bruinessen [1992], seorang pemerhati Islam Indonesia menilai, secara politis ortodoksi adalah paham yang didukung penguasa, sedangkan paham yang tidak disetujui dicap “sesat”. Bruinessen juga mensinyalir, gerakan sempalan seringkali lahir sebagai penolakan terhadap paham dominan, sekaligus merupakan  protes sosial-politik.

Sumber : Balai Litbang Agama Semarang

Penulis : Joko Tri Haryanto

Editor :

sastra dan falsafah turut pula diajarkan sebagai sarana penanaman nilai-nilai Islam

Kamis , 13 Dec 2018, 05:01 WIB

dokrep

Ribuan umat Islam melaksanakan Salat Idul Fitri di Lapangan Gasibu, Bandung, Jawa Barat, Kamis [8/8].

Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Prof DR Abdul Hadi WM, Sastrawan dan Guru Besar Universitas Paramadina JakartaAgama Islam telah hadir di Nusantara selambat-lambatnya pada abad ke-8 atau 9 M bersamaan dengan waktu ramainya kegiatan perdagangan internasional yang dilakukan bangsa Aran, Turki, Persia dan Indo-Muslim di Asia Tenggara. Tetapi sampai abad ke-12 M agama ini berkembang lambat dan penganutya terbatas di kota-kota pesisir yang biasa disinggahi kapal-kapal dagang Muslim itu. Karena itu pengaruhnya tidak cukup berarti bagi masyarakat Melayu, penduduk Nusantara pertama yang memeluk agama ini secara massal dan mengembangkan peradaban baru berdasarkan agama ini.Pengaruh kehadiran agama ini mulai tampak pada abad ke-13 – 15 M setelah berdirinya dua kerajaan besar Islam Samudra Pasai [1270-1524] dan Malaka [1400-1511], serta hadirnya para sufi pengembara dan guru-guru agama yang tampil sebagai pendakwah ulung. Kehadiran agama ini pada-abad tersebut, terlebih pada abad-abad berikutnya, ternyata memberi dampak besar dan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan besar dan mendasar dalam kehidupan bangsa Melayu. Perubahan tersebut tidak hanya berlaku dalam sistem kepercayaan dan peribadatan, tetapi juga dalam tatanan sosial, sistem pemerintahan dan kehidupan intelektual.  Tumbuh pesatnya jumlah penganut agama ini di kepulauan Melayu dan berrdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang awal itu memungkinkan lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebar luas. Dengan begitu tradisi baca tulis dan keterpelajaran berkembang luuas diikuti oleh maraknya kegiatan penulisan kitab-kitab keagamaan, keilmuan dan sastra.Karena watak ajarannya yang egaliter dan populis, serta mudah dipahami, membuat semua lapisan masyarakat tertarik untuk memeluk agama ini. Apalagi setelah disampaikan oleh para pendakwah yang piawai melalui bahasa yang sederhana. Diperkuat lagi dengan corak penyebarannya yang mengikuti aktivitas pelayaran dan perdagangan antar pulau, serta pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa penyebarannya [Braginsky 1998]. Sebagai agama kitab, Islam menganjurkan kepada para penganutnya agar belajar membaca dan menulis. Dengan demikian mereka dapat membaca dan memahami isi kitab suci al-Qur’an dan ilmu-ilmu Islam lain yang diturunkan darinya. Dibukanya lembaga-lembaga pendidikan memungkinkan penggunaan huruf Arab berkembang. Sejak masa inilah penulis-penulis Melayu menggunakan aksara Jawi atau Arab Melayu dalam menulis kitab atau risalah di dalam bahasa mereka [M. Naquib al-Atttas 1972; Mohd. Taib Osman 1974; Ismail Hamid 1984].Pusat-pusat penyebaran agama Islam di Nusantara berada di tiga titik sentral yaitu istana, pesantren dan pasar. Di tiga titik sentral penyebaran Islam ini pulalah sastra Melayu baru yang ditulis menggunakan huruf Jawi dilahirkan. Sebagai bagian dari kehidupan intelektual dan keagamaan, karya-karya penulis Melayu itu dengan sendirinya mencerminkan kecenderungan pemikiran dan wawasan budaya yang berkembang pada zaman karya-karya itu ditulis. Karena masing-masing pusat kegiatan penulisan ini memiliki kepentingan, kecenderungan dan wawasan budaya yang berbeda sesuai dengan peran masing-masing dalam penyebaran Islam, maka lahir pulalah dari masing-masing pusat kegiatan penulisan tersebut jenis, bentuk dan ragam sastra yang berbeda-beda. Dengan lahirnya jenis dan ragam sastra yang berbeda-beda itu maka hadirnya Islam menyebabkan sastra tulis Melayu mengalami pengayaan melampaui zaman sebelumnya ketika pusat kegiatan penulisan terbatas di istana dan vihara, sedangkan masyarakat luas di sekitarnya hidup dengan sastra lisan.

 Islam dan Kegiatan Perdagangan

Ada beberapa teori yang berbeda tentang dari negeri mana Islam yang berkembang di kepulauan Nusantara datang dan faktor-faktor apa saja yang mendorong pesatnya agama ini berkembang pada abad ke-13 – 17 M. Teori yang awal sekali muncul berasal dari Moquette [1912]. Menurutnya Islam yang berkembang di kepulauan Nusantara bercorak India karena Islam memang datang dari Gujarat dibawa oleh pedagang-pedagang India. Teori yang diikuti oleh banyak sarjana Barat dan Indonesia di kemudian hari ini didasarkan pada penemuan batu nisan makam Islam abad ke-13 di Pasai yang bentuknya mirip dengan batu nisan sezaman  yang dijumpai di Cambay, Gujarat. Tetapi teori ini dibantah oleh  M. Naquib al-Attas [1972:33-4] yang berpendapat bahwa dasar-dasar teori yang dikemukakan Moquette dan para pendukung teorinya itu sangat lemah.Menurut al-Attas batu-batu nisan itu didatangkan dari Cambay semata-mata karena letak negeri itu lebih dekat ke Sumatra dibanding dibawa dari negeri Arab dan Persia. Batu nisan itu bisa saja dibuat oleh pengrajin Arab atau Persia mengikut model yang telah berkembang di Asia Tengah dan Asia Barat. Yang penting untuk dijadikan dasar pembuktian bukan bentuk nisan itu semata-mata, tetapi corak dari kandungan teks keagamaan yang dinukilkan pada batu nisan itu yang sepenuhnya berciri Islam. Berdasarkan hujahnya ini al-Attas mengemukakan bahwa agama Islam yang hadir di kepulauan Nusantara berasal dari Arab atau Persia, dibawa oleh para pendakwah Islam bersama-sama para saudagar. Gujarat, Koromandel  dan Malabar di India, atau Koromandel dan hanya tempat persinggahan sementara sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Nusantara.Sarjana Melayu itu lebih lanjut mengatakan bahwa  bukti paling kuat berkenaan dari mana Islam datang, dan siapa yang memainkan peranan penting, ialah dengan melihat watak, corak dan ciri umum Islam yang berkembang di Nusantara, bukan bentuk-bentuk artefak. Untuk mengetahuinya seseorang harus meneliti sastra Melayu dan pemikiran keagamaan yang dominan. Bahwa Islam yang dianut sebagian besar penduduk Nusantara adalah madzab Syafii dengan kecenderungan sufistik yang kuat, menunjukkan bahwa Islam yang tiba di Nusantara dari Yaman. Ada pun tradisi sastra yang dikembangkan terutama bersumber dari khazanah sastra Persia.

Ibn Batutah yang berkunjung ke Samudra Pasai pada tahun 1345-6 dalam kitabnya Rihlah melaporkan bahwa sultan yang memerintah negeri adalah seorang yang saleh dan gemar berdiskusi denan para ulama madzab Syafii, ahli-ahli tasawuf dan para cendikiawan dari Persia. Setiap hari Jum’at sultan berjalan kaki ke masjid seperti orang biasan dan disana bertemu serta berbincang dengan orang banyak” [Gibb 1957:273-6].

Minat dan kecenderungan pada tasawuf juga tampak pada inskripsi pada batu nisan makam Islam di Pasai dan Malaka abad ke-13 – 15 M, serta tempat-tempat lain di Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selain menampilkan nukilan-nukilan ayat-ayat sufistik al-Qur’an, nukilan yang banyak ditemui dalam inskripsi Pasai dan Malaka ialah petikan sajak Sayidina Ali. Inskripsi paling tua yang memuat petikan sajak sufistik Sayidina Ali ialah tulisan pada makam Sultan Malik al-Saleh pendiri kerajaan Samudra Pasai yang wafat pada tahun 1297 M.  Inskripsi yang unik terdapat pada batu nisan makam seorang putri saudagar Pasai yaitu Naina Husamuddin yang wafat pada tahun 1420. Di situ tertulis petikan dua sajak Sa`di al-Syirazi, penyair sufi Persia abad ke-13, dalam bahasa Persia [Othman Mohd. Yatim 1990:16; Ibrahim Alfian 1991].Pandangan yang sejalan dengan teori Moquette ialah teori yang mengemukakan bahwa pesatnya perkembangan agama Islam terutama sekali disebabkan faktor-faktor perdagangan.  Teori ini dikemukakan antara lain oleh Windstedy [1935], Kern [1937], Bonsquet [1938], Gonda [1952], dan terutama sekali oleh van Leur [1955:100-6] dan Schrieke [1955]. Dasarnya ialah kenyataan bahwa pesatnya perkembangan Islam di kepulauan Nusantara bersamaan dengan ramainya kegiatan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan orang-orang Arab, Turki, Persia dan Indo-Persia. 

  • kazanah islam
  • islam jawa
  • budaya islam

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề