Partai politik yang dibentuk pada masa reformasi adalah

Presiden Republik Indonesia ketiga, Prof. Ing. B.J. Habibie menerima penghargaan dari Ketua Komisi Pemilihan Umum [KPU], Husni Kamil Manik [kanan] didampingi Komisioner KPU, HadarNafis Gumay [kiri] di kediamannya, di Jakarta, 29 Desember 2014. Habibie menerima penghargaan Lifetime Achievement atas jasanya memastikan adanya percepatan Pemilu 1999. TEMPO/Dhemas Reviyanto

TEMPO.CO, Jakarta - BJ Habibie diangkat sebagai Presiden Ke-3 RI setelah mendapatkan mandat dari Soeharto ditandai dengan pengunduran diri dari jabatannya kepresidenan pada 21 Mei 1998. Kemudian Habibie melakukan percepatan Pemilu untuk kali pertama di Era Reformasi setelah runtuhnya rezim Orde Baru. Pemilu ini dilaksanakan pada 7 Juni 1999.

Dilansir dari situs kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kemdikbud, sebelum mengadakan Pemilu, pada Mei 1999, BJ Habibie menerima kedatangan sejumlah ulama di Istana Negara, dalam pertemuan tersebut, B.J. Habibie secara mengatakan secara lisan bahwa diperlukan pembentukan partai baru.

Hasil Pemilu yang dilakukan sebelumnya, yakni Pemilu 1997 yang dimenangkan Partai Golkar, di mata rakyat Indonesia Pemilu tersebut tidak memiliki legitimasi setelah lengsernya Soeharto. BJ Habibie lantas memerintahkan agar diadakan Pemilu untuk melegitimasi kekuasaannya agar dapat mengubah situasi krisis yang dialami Indonesia saat itu.

Pemilu tersebut seharusnya diselenggarakan pada 2002, tetapi atas desakan publik untuk mengadakan reformasi serta mengganti anggota-anggota parlemen yang berkaitan dengan pemerintahan sebelumnya yang dianggap tidak memiliki legitimasi, maka Pemilu dipercepat dari 2002 ke tahun 1999.

Pada 25 Mei 1998, BJ Habibie melakukan pertemuan dengan pimpinan DPR/MPR untuk melakukan konsultasi sekaligus membahas diadakannya Pemilu dan bersepakat melaksanakannya lebih cepat. Kemudian Pemilu diputuskan akan dilaksanakan pada 7 Juni 1999, keputusan tersebut dicetuskan dalam Sidang Istimewa MPR 10 sampai 13 November 1998.

Pemilu ini merupakan yang pertama kali diselenggarakan setelah runtuhnya Orde Baru dan juga merupakan Pemilu terakhir kali yang diikuti oleh Provinsi Timor Timur, sebelum memisahkan diri dari Indonesia.

Masa transisi pemerintahan Orde Baru ke Era Reformasi juga melahirkan Undang-Undang baru yang berkaitan dengan Pemilu, yaitu UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, dan UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Dengan diterbitkannya UU baru tentang partai politik, bagai jamur di musim hujan, terbentuk sebanyak 171 partai baru dari berbagai macam asas. Dari jumlah tersebut, sebanyak 141 partai yang terdaftar dan 48 partai lolos untuk mengikuti Pemilu 7 Juni 1999.

Kemudian dibentuklah Komisi Pemilihan Umum atau KPU dengan tujuan menghindari campur tangan pemerintah serta menjaga objektivitas pemilihan umum dalam pelaksanaan Pemilu 1999 tersebut. KPU 1999 diketuai oleh Jend [Purn] Rudini didampingi Wakil Ketua Harun Al Rasyid dan beranggotakan sebanyak 48 orang yang mewakili 48 partai yang berpartisipasi dalam Pemilu 1999, dan ditambah empat wakil dari pemerintah.

Pemilu 7 Juni 1999 digelar dengan sistem perwakilan berimbang dengan stelsel daftar, menghabiskan dana Rp 1,3 triliun, dengan jumlah peserta 48 partai dan 462 kursi. Pemilu 1999 dimenangi PDI Perjuangan dengan total suara 35.689.073 atau 33.74 persen dengan peraihan sebanyak 154 kursi, disusul Golkar di posisi kedua dengan jumlah suara 23.741.749 atau 22.44 persen dengan perolehan kursi sebanyak 120.

Kemudian posisi ketiga dalam Pemilu pertama era reformasi ini diraih PPP dengan total suara 11.329.905, dengan 59 kursi. PKB berada di posisi keempat meski mendapat suara lebih banyak ketimbang PPP yakni 13.336.98 2 suara, namun jumlah kursi yang didapat lebih banyak PPP, yaitu sebanyak 51 kursi. Posisi kelima dimenangkan oleh PAN dengan jumlah suara 7.528.956 dan 35 kursi.

HENDRIK KHOIRUL MUHID

Baca: KPI Sebut Jadwal Pemilu 2024 Belum Pasti Maju

Petugas memeriksa kotak suara yang telah dirakit di Gudang Logistik KPU, Depok, Jawa Barat, Jumat 13 November 2020. Komisi Pemilihan Umum [KPU] Kota Depok telah merakit sebanyak 4.049 kotak suara yang akan digunakan untuk pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah [Pilkada] Kota Depok pada 9 Desember 2020. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha

TEMPO.CO, Jakarta - Pemilihan Umum atau Pemilu diselenggarakan sekali dalam lima tahun. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 22 E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 [UUD 1945].

Sejarah pemilihan umum di Indonesia terbagi dalam tiga era, yaitu masa parlementer, Orde Baru, dan Reformasi, seperti dikutip dari Komisi Pemilihan Umum.

Bagaimana sejarah pemilu di Indonesia?

Pemilu di masa Parlementer diadakan pada 1955. Saat itu pertama kali pemilu di Indonesia setelah merdeka. Pemilu 1995 diadakan pada masa demokrasi parlementer kabinet Burhanuddin Harahap. Pemungutan suara dilakukan dua kali, yaitu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] pada 29 September. Adapun pemilihan anggota konstituante pada 15 Desember.

Pemilu kedua baru diadakan 16 tahun setelah itu, pada 1971. Pemilu 1971, Orde Baru meredam persaingan dan pluralisme politik. Hasil Pemilu 1971 menempatkan partai Golkar sebagai mayoritas tunggal dengan perolehan suara 62,82 persen, diikuti Nahdlatul Ulama [NU] sebanyak 18,68 persen, Partai Nasional Indonesia sebanyak 6,93 persen, dan Parmusi 5,36 persen.

Pemilu berikutnya tahun 1977, melalui penyederhanaan atau penggabungan partai [fusi] 1973 peserta pemilu yang semula sepuluh partai politik menjadi tiga. Partai Persatuan Pembangunan [PPP] gabungan NU, Parmusi, Perti dan PSII. Partai Demokrasi Indonesia [PDI], gabungan dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI dan Partai Murba, dan Golkar. Tiga partai ini, PPP, PDI, Golkar terus dipertahankan hingga Pemilu 1997. Golkar sebagai mayoritas tunggal terus berlanjut pada pemilu 1982,1987, 1992 dan 1997.

Setelah runtuh Orde Baru, pemilu diadakan pada 7 Juni 1999 untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pemilu serentak di seluruh Indonesia ini diikuti sebanyak 48 partai politik. Abdurrahman Wahid [Gusdur] dan Megawati Soekarnoputri dipilih juga ditetapkan MPR RI sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Setelah Gusdur mundur, berdasarkan Sidang Istimewa MPR RI, 23 Juli 2001, melalui Ketetapan MPR RI No. II/MPR/2001, Megawati Soekarnoputri diangkat menjadi presiden dengan wakilnya Hamzah Haz.

Pertama kali rakyat berpartisipasi dalam pemilu pada 2004 setelah adanya perubahan amendemen UUD 1945. Adapun isi amendemen itu, presiden dipilih secara langsung, dibentuk Dewan Perwakilan Daerah [DPD], hadirnya penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri [Komisi Pemilihan Umum]. Pemilu 2004 diadakan pada 5 April, diikuti peserta dari 24 Partai Politik untuk memilih DPR, DPD, dan DPRD.

Pertama kalinya juga rakyat berpatisipasi langsung dalam pemilihan presiden. Pemilu ini diselenggarakan dalam dua putaran, pertama pada 5 Juli 2004, kedua pada 20 September. Ada lima pasangan calon. Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2004 hingga 2009.

Pemilu legislatif diselenggarakan pada 9 April. Adapun jumlah peserta sebanyak 44 partai politik. Sedangkan pemilihan presiden dilaksanakan hanya satu putaran pada 8 Juli 2009. Pesertanya terdiri atas 3 pasangan calon. Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2009 hingga 2014.

Pemilu legislatif diadakan pada 9 April 2014 untuk pemilih dalam negeri. Pada 30 Maret hingga 9 April untuk pemilih di luar negeri. Peserta sebanyak 15 partai politik, tiga di antaranya dari partai lokal Aceh.

Pemilihan presiden dan wakilnya pada Pemilu 2014 dilangsungkan pada 9 Juli 2014. Ada dua pasangan calon waktu itu. Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2014 hingga 2019.

Pemilu legislatif 2019 diselenggarakan pada 17 April serentak dengan pemilihan presiden. Pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2019 hingga 2024.

HENDRIK KHOIRUL MUHID

Baca: Asal-usul Mencelupkan Jari dalam Tinta Menandakan Sudah Memilih Pemilu

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik //t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Rahawarin, Zainal Abidin [2011] PARTAI POLITIK ISLAM ERA REFORMASI [Studi Tentang Politik Pragmatis PPP, PBB, dan PKS]. Doctoral thesis, UIN SUNAN KALIJAGA.

Abstract

Secara politik, perjuangan atas nama Ideologi Islam di Indonesia dimulai sejak masa revolusi. Sebelum proklamasi 17 Agustus 1945, pembahaan dasar negara dilakukan oleh BPUPKI dan PPKI. Ini karena semasa perjuangan kemerdekaan, telah terbetuk dua aliran atau paham tentang Ideologi, yakni nasionalis dan Islam. Dengan berbagai kompromi antara kelompok Islam dan Nasionalis, lahirlah Piagam Jakarta atau The Jacarta Charter. Piagam Jakarta ini menjadi black histories bagi umat Islam hingga kini, karena sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, secara hukum masih legal. Partai Islam pada mesa Orde lama tetap berkomitnem untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, hingga pada Sidang Majelis Konstituante pada pemilu 1955, yang pada akhirnya memicu Dekrit. Pada masa Orde Barn, Partai Islam masih terns berupaya melegalisasi Syariat Islam. PPP yang dibentuk atas fusi empat Partai Islam, yakni NU, Parmusi, PSII, dan Perti, masih menggunakan Islam sebagai asas. PPP pada awal terbentuk mengalami dilema ideologi karena selalu dihubungkan dengan partai Islam pada masa lalu. Pada akhimya PPP terjerumus dalam nasionalisasi [deologi yang dikenal dengan nama asas tunggal, sehingga hilang suara-suara legalisasi syariat Islam. Pada Era reformasi, Islam politik memperoleh momentum perjuangan melalui jalur politik. Tercatat pada tahun 1998-1999, sebanyak 140 partai lahir. Dari jumlah ini, lebih dari 28 partai berasaskan Islam dan berbasis masa Islam. Pemilu 1999, jumlah partai sebanyak 47. Dari jumlah tersebut, 19 mengidentifikasi diri sebagai partai Islam. Pemilu 2004, jumlahnya tinggal 5, dan pada pemilu 2009, sebanyak 6. Artikulasi politik Islam atas banyaknya partai Islam merupakan masalah tersendiri bagi keberadaan politik Islam. Sehingga menimbulkan banyak asumsi, diantaranya adanya syahwat kekuasaan diantara elit Islam, munculnya politik aliran dan fragmentasi politik muslirn, serta menguatnya politik kepentingan, sehingga muncul kesimpulan bahwa partai yang mengidentifikasi diri sebagai partai Islam pada era reformasi, adalah hanya bersifat simbolis saja. Pendekatan yang digunakan adalah sosiologi politik dan sejarah. Berdasarkan teori yang digunakan, tipologi partai Islam adalah doktriner dan kepentingan. Dengan demikian, PPP, PBB dan PKS identik dengan partai doktriner dan kepentingan, karena mengidentifikasi diri sebagai partai Islam. Nanun kenyataannya adalah hanya merepresentasikan tipologi partai pragmatis, sehingga ketiganya bukan partai Islam. Dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa Ideologi PKS bila ditinjau dari sisi normatif visi-misi awal sebagai partai dakwah, cenderung membangun sistem politik Islam, namun dalam perkembanga selanjutnya menjadikan asas Islam hanya sebagai bagian dari nilai kehidupan berbangsa dan bemegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sehinggajauh dari mengembangkan sistem Islam. PPP, dan PBB sejak awal tidak dalam membangun sistem politik Islam, melainkan menjadikan Syariat Islam sebagai isu politik dan bagian dari sistem hukum positif, yaitu bagian dari ideologi Pancasila. Dalam praktek politik pragmatis, ketiga partai sama saja, yakni hanya mengejar dukungan suara melalui tawar menawar kepentingan, dengan membuangjauh-jauh ideologi Islam dan politik amar ma'ruf nahi munkar

Actions [login required]

View Item

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề