Penyelesaian pelanggaran ham masa lalu yang dapat di selesaikan dengan asas retroaktif adalah

Pada tanggal 15 September 1999 Dewan Keamanan Perserikatan BangsaBangsa [DK PBB] mengeluarkan Resolusi 1264. Resolusi ini mengutuk tindakan kekerasan pasca jajak pendapat di Timor Timur. Atas resolusi PBB tersebut ada dua pilihan yang dapat ditempuh Indonesia, yaitu menyerahkan permasalahan ini pada Mahkamah Internasional [merupakan organ utama peradilan PBB yang berkedudukan di Peace Palace, Den Haag] atau mengadili sendiri di dalam negeri. Berbagai macam tekanan dan ancaman memperkuat kecurigaan bahwa pengadilan Hak Asasi Manusia [HAM] Internasional memang sarat dengan muatan politis. Hal ini menimbulkan keprihatinan dan kekhawatiran terhadap objektivitas sistem peradilan Internasional yang ada pada lembaga pengadilan yang dibentuk di bawah naungan PBB. Untuk menghindari diadilinya pelaku pelanggaran HAM ditingkat internasional, kemudian Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 39 Tentang Hak Asasi Manusia Tahun 1999 [UU HAM 1999] dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia [UU PHAM 2000] untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM, khususnya penyikapan mengenai resolusi 1264 PBB. UU HAM 1999 merupakan undang-undang yang merupakan landasan hukum untuk melindungi HAM baik HAM di bidang ekonomi, sosial maupun HAM bidang politik. Sedangkan UU PHAM 2000 merupakan undang-undang yang menjadi landasan hukum bagi penegakan HAM terhadap kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Lahirnya UU HAM 1999 dan UU PHAM 2000 lebih banyak karena pertimbangan politis. Masih jauh dari niatan penegakan supremasi hukum yang sebenar-benarnya. Undang-undang ini lahir terlalu tergesa-gesa, mengingat begitu kerasnya tekanan dunia internasional atas pelanggaran HAM berat di Timor Timur, bahkan Komisi HAM PBB pada waktu itu mendesak dibentuknya tim internasional pencari fakta atas kerusuhan Timor Timur. Pemerintah sangat kewalahan menghadapi tekanan Internasional tersebut. UU PHAM 2000 dibentuk dengan tujuan membentuk Pengadilan HAM [PHAM] yang bertugas memelihara dan mempertahankan perlindungan HAM di Indonesia dan merupakan lembaga peradilan satu-satunya untuk memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Undang-undang ini juga meletakkan dasar hukum untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum diberlakukannya undang-undang ini [tanggal 23 Nopember 2000] atau di masa lampau dengan mekanisme melalui PHAM Ad Hoc, sedangkan untuk kasus pelanggaran HAM setelah undang-undang ini diberlakukan, melalui mekanisme PHAM permanen. Polemik penyelesaian pelanggaran HAM masa lampau berdasarkan undang-undang ini terletak pada prosedurnya di mana pembentukan PHAM Ad Hoc harus diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia [DPR RI] kepada Pemerintah dengan sekaligus menetapkan untuk kasus yang terjadi dimana [locus delicti] dan untuk waktu kejadian yang mana [tempus delicti]. Pertimbangan penetapan PHAM Ad Hoc melalui prosedur politik tersebut ialah bahwa, pemberlakuan hukum untuk masa lampau bertentangan dengan asas universal yaitu Non-Retroactivity Principle [asas legalitas] dan pemberlakuan berlaku surut tersebut memerlukan dukungan politis dari DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat Indonesia di tingkat Pusat. Namun keikutsertaan lembaga tersebut bukan untuk menetapkan ada atau tidak adanya dugaan pelanggaran HAM berat akan tetapi untuk menetapkan pembentukan PHAM Ad Hoc untuk locus delicti tertentu dan tempus delicti tertentu. Penerapan asas retroaktif bertentangan dengan asas legalitas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 I ayat [1] UUD 1945 yang menyatakan ”...hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” dan Pasal 1 ayat [1] KUHP yang menyatakan “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Salah satu konsekuensi dari ketentuan tersebut adalah larangan memberlakukan surut suatu perundang-undangan pidana. Ketentuan UU HAM 1999 dan UU PHAM 2000 yang mengatur mengenai asas retroaktif tertuang dalam Penjelasan Pasal 4 UU HAM 1999 dan Pasal 43 UU PHAM 2000. Sehubungan dengan itu, penelitian mengenai penerapan asas retroaktif dalam UU HAM 1999 dan UU PHAM 2000 bertujuan untuk mengetahui dasar diterapkannya asas retroaktif dalam UU HAM 1999 dan UU PHAM 2000 serta menganalisa asas retroaktif tersebut yang dikaitkan dengan sistem hukum Indonesia. Dalam sistem hukum Indonesia penerapan asas retroaktif tidak diperkenankan oleh UUD 1945 yang tercantum dalam pasal 28I ayat [1], tetapi sampai saat ini asas retroaktif bisa diterapkan dengan mengacu pada UU HAM 1999 dan UU PHAM 2000. Penuangan asas retroaktif dalam penjelasan pasal 4 UU HAM 1999 yang bertentangan dengan dengan materi muatan dalam pasal 4 UU HAM 1999 juga tidak sesuai dengan UU No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sedangkan penjelasan pasal 4 UU HAM 1999 merupakan dasar diaturnya pengadilan HAM Ad Hoc untuk mengadili kasus-kasus yang terjadi sebelum lahirnya UU PHAM 2000, hal ini tertuang dalam pasal 43 UU PHAM 2000. Jadi selain bertentangan dengan UUD 1945 penerapan asas retroaktif dalam UU HAM 1999 dan UU PHAM 2000 tidaklah sesuai dengan tekhnik pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU 10 Tahun 2004. Untuk itu penerapan Asas retroaktif pada UU HAM 1999 dan UU PHAM 2000 hendaknya segera direvisi oleh lembaga-lembaga negara yang mempunyai fungsi legislasi [membentuk undang-undang] yaitu DPR bersama Presiden.

 Oleh : Junaedi Saibih

Penuntutan Pelanggaran HAM Masa Lampau

Beberapa berita online pada kamis 21 Oktober 2021 telah mewartakan soal tuntutan BEM SI terhadap Pemerintahan Joko Widodo, salah satunya adalah penyelesaian pelanggaran HAM masa lampau. Dalam hal mana, kelompok mahasiswa menuntut agar Jaksa Agung ST Burhanudin untuk diberhentikan karena gagal dalam menyelesaiakan kasus pelanggaran HAM masa lampau dengan mengadili pelakunya melalui pengadilan HAM secara adil dan transparan. Sebelum lebih jauh membahas tentang “anggapan” kegagalan Jaksa Agung maka pertama tama perlu dipahami dulu tentang pelanggaran Berat HAM masa Lampau.

Pelanggaran HAM berat masa lampau yang masuk dalam lingkup kewenangan Pengadilan HAM [UU 26 tahun 2000] adalah kualifikasi tindak pidana bagi berbagai peristiwa pelanggaran berat HAM [kejahatan kemanusian dan genosida, pasal 6 red] yang terjadi sebelum tanggal 23 Nopember 2000. Dalam hal ini, tempus delictie atau waktu terjadinya kejahatan adalah sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM. Dalam kaitannya dengan penyelesaian pelanggaran berat HAM masa lampau maka sesuai dengan pasal 43 hanya dapat diselesaikan dengan Pengadilan HAM Adhoc. Yang memang dibedakan dengan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi setelah diberlakukannya UU Pengadilan HAM, dimana pembedanya adalah dari cara pembentukannya. Khusus untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lampau, hanya dapat diselesaikan dengan pengadilan HAM ad hoc yaitu pembentukannya dengan Keputusan Presiden atas rekomendasi DPR.

Tentang wewenang pengadilan HAM adhoc untuk mengadili perkara pelanggaran HAM berat masa lampau pernah dilakukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi namun MK dalam putusan tetap berpendapat bahwa pengadilan ham adhoc tetap konstitusional, meskipun melakukan pemberlakuan asas retroaktif. Alasan lain diberlakukannya asas retroaktif atas pelanggaran HAM masa lalu adalah berdasarkan pertimbangan moralitas, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis atas nama keadilan. Pemberlakuan asas retroaktif dalam rangka penegakan hukum pada kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu lebih didasarkan pada pertimbangan politik. Situasi ini terjadi selama proses transisi dari pemerintahan otoriter menuju pemerintahan demokratis – dibutuhkan jalan tengah untuk menyelesaikan krisis nasional, dan demi stabilitas politik.

Alasan politik di atas tidak berarti ditinggalkannya prosedur yuridis, karena dengan adanya UU HAM berarti prosedur yuridis menjadi sangat penting. Pertimbangan masalah politik terjadi karena pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di masa lalu tidak lepas dari ruang lingkup kebijakan politik pemerintah sebelumnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pelanggaran HAM yang terjadi di berbagai belahan dunia tidak terlepas dari politik di balik tindakan tersebut.

Jadi dengan lain perkataan penuntutan terhadap perkara pelanggaran HAM berat masa lampau hanya dapat diselesaian dengan Pengadilan HAM adhoc yang pembentukannya harus secara khusus melalui Keppres atas dasar rekomendasi DPR. Pertimbangan politis DPR menjadi dasar yuridis atas pembentukan pengadilan HAM Adhoc yang harus secara spesifik menyebutkan peritiwa pelanggaran HAMnya serta juga menyebutkan rentang waktu terjadinya kejahatan.

Pengadilan HAM Adhoc di Indonesia

Sepanjang sejarah semenjak berdirinya Republik Indonesia hingga kini hanya dua pengadilan HAM adhoc yang pernah dibentuk oleh Keppres, yang pertama, Peristiwa Jajak Pendapat serta kejadian pasca Jajak Pendapat yang terjadi di Timor Timur [Timor Leste] pada tahun 1999. Sedangkan, yang kedua yaitu peristiwa Tanjung Priok pada bulan September 1984. Praktis jika merujuk pada perjalanan sejarah semenjak terbentuknya Pengadilan HAM hanya ada satu peristiwa pada masa orde baru yang dikualifikasi sebagai pelanggaran HAM berat masa lampau yaitu Peristiwa Tanjung Priok 1984. Sedangkan satu lagi yaitu peristiwa pasca orde baru yaitu peristiwa jajak pendapat di Timor Timur.

Dari kedua pengadilan HAM Adhoc tersebut, jika merujuk pada pada pengadilan HAM Adhoc Tanjung Priuk, maka tak ada satupun pelaku yang diajukan ke pengadilan pada akhirnya diputus bersalah. Padahal dalam salah satu tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terdapat penggabungan perkara pidana dengan perdata, dimana tanggung jawab negara dimintakan untuk mereparasi korban dengan memberikan kompensasi kepada korban. Namun pada tingkat Mahkamah Agung karena pelakunya dinyatakan tidak bersalah atau tidak terbukti bersalah sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum sehingga kompensasi yang telah diperjuangan team Jaksa Penuntut Umum tidak dapat dilaksanakan.

Lalu timbul pertanyaan saya, kenapa mahasiswa masih memaksakan untuk pelaku pelanggaran HAM berat masa lampau untuk diajukan ke pengadilan HAM Adhoc? Apakah mahasiswa telah melakukan kajian secara mendalam tentang hal tersebut? Padahal bagian terpenting dari penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lampau itu bukan pelaku akan tetapi korban. Jika dalam dua Pengadilan HAM Adhoc yang telah gagal mengadili pelaku pelanggaran HAM berat, menurut hemat saya jika mahasaiswa menuntut untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lampau dengan membawa pelaku ke pengadilan HAM, bukankah justru hal tersebut melanggengkan impunity? Jadi apakah mahasiswa benar-benar membela kepentingan korban pelanggaran HAM berat masa lampau?

Berbagai pertanyaan diatas terus menggelitik pikiran saya hingga kini, apakah justru aksi moral mahasiswa yang menuntut pemnyelesaian perkara pelanggaran HAM berat dengan hanya meminta pelaku diadili akan tetapi tanpa menyebutkan pentingnya korban malah jadi berbalik bahwa tuntutan tersebut adalah upaya melanggengkan impunity dan sama sekali tidak memikirkan korban pelanggaran Ham berat masa lampau. Seharusnya terlebih dituntut adalah penyempurnaan mekanisme yudisial dalam Undang-undang pengadilan HAM, semisalnya pemyempurnaan mekanisme pembentukan pengadilan HAM adhoc, mengedepankan kepentingan korban kejahatan diatas kepentingan pencarian pelaku serta penyempurnaan mekanisme hukum acara seperti pemberian restitusi, kompensasi dan rehabilitasi yang tidak dipentingkan pada pernyataan bersalah dari pelaku yang diajukan ke persidangan pengadilan HAM.

Mekanisme Extra Yudisial dan Peraturan Jaksa Agung

Penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat masa lampau melalui mekanisme yudisial penting untuk terlebih dahulu dilakukan berbagai perubahan berkaitan dengan mekanisme hukum acara dalam pengedailan HAM adhoc termasuk penyempurnaan mekanisme pembentukan pengadilan HAM Adhoc, dimana wewenang DPR untuk merekomendasikan tidak saja atas dasar sub poena DPR akan tetapi mempertimbangkan teknis penuntutan suatu perkra serta pertimbangan hasil penyelidikan team adhoc pelanggaran ham berat. Jadi kalua pengadilan HAM adhoc nya sendiri tak pernah dibentuk dengan keppres setelah ada rekomendasi dari DPR, tuntutan aksi mahasiswa meminta penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat masa lampau kepada Jaksa Agung untuk membawa pelaku ke pengadilan adalah hal yang absurd. Karena bagaimana wewenang penuntutan dapat dilakukan Ketika pengadilan ham adhocnya belum dibentuk Presiden. Jika memang proses penuntututan sudah dilakukan Jaksa Agung, dengan meningkatkan prosesnya ke penyidikan maka kemudia timbul pertanyaan “ke pengadilan mana berkas perkera penuntutan tersebut akan dilimpahkan Ketika pengadilan ham adhoc saja belum terbentuk. Mau dilimpahkan kemana berkas dan tersangkanya? Maka dari itu saya dapat katakana tuntutan itu adalah tuntutan yang absurd.

Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lampau tidak saja dengan mekanisme yudiusial akan tetapi juga ekstra yudisial, yaitu melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Namun jauh sebelum dijalankan kewenangan komisi kebenaran dan Rekonsiliasi [KKR], namun pada tahun 2006 undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi [KKR] dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai inkonstitutional. Semenjak dinyatakan inskonstitusional hingga kini tidak ada langkah berarti untuk Kembali menetapkan UU KKR dan membentuk KKR. Jadi dalam hal ini penyelesaian pelanggaran HAM berat tidak bisa disimplikasi hanya dengan meminta Jaksa Agung melimpahkan perkara pelanggaran HAM berat masa lampau dengan didahului meningkatkan hasil penyelidikan komnas HAM ke tingkat penyidikan. Akan tetapi penyelesaian pelanggaran ham berat masa lampau adalah permasalahan yang multi-dimensional yang tidak saja tanggung jawab ada pada Pundak Jaksa Agung akan tetapi juga multi-sektoral.

Dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Universitas Jenderal Soedirman [Unsoed], Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan tentang kebijakan penegakan hukum berdasarkan keadilan restorative. Dalam pidatonya, Jaksa Agung mengharapkan bahwa Peraturan Kejaksaan Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restorative dapat menjadi model untuk revisi KUHAP. Namun menurut hemat saya lebih dekat lagi jika Jaksa Agung juga dapat mengambil terobosan untuk penyelesaian perkara pelanggaran HAM Berat masa lampau juga terpusat pada korban [victims centered prosecutorial discretion]. Hal ini sejatinya disampaikan dalam pidato beliau tentang prinsip dasar dilakukannya diskresi penuntutan yaitu memperhatikan dan menyeimbangkan antara aturan yang berrlaku dengan asas kemanfaatan. Dalam hal ini langkah besar untuk pengkajian penyelesaian extra yudisial menjadi sangat penting, dimana sebagai pengendali perkara tertinggi, Jaksa Agung dapat membuat terobosan juga perihal penerapan restorative justice untuk penyelesaian perkara pelanggaran HAM. Pemikiran dasarnya sudah ada dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 tahun 2020 tinggal pengemabngan lebih lanjut untuk kepentingan penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat masa lampau yang terpusat pada korban.

Penutup

Sebagai penutup dari artikel ini, maka dapatlah saya sampaikan sebaiknya mahasiswa dalam melakukan tuntutan aksi perlu lebih jeli dan teliti dalam Menyusun tuntutan aksi, jangan sampai tuntutan aksi tersebut malah terkesan terdapat titipan dari “calon terdakwa” unyuk melanggengkan impunity. Berbagai tuntutan itu memiliki implikasi akan tetapi jika tuntutan disusun tanpa pertimbangan yang berrsifat multi-dimensional malah menjadi boomerang bagi teman teman mahasiswa. Penting bagi kalian tidak saja demo dan menuntut sesuatu akan tertapi juga sekaligus mempertimbangkan implementasinya.

Kesan tak kunjung selesainya perkara pelanggaran HAM berat masa lampau tidak serta merta menjadi tanggung jawab Jaksa Agung yang tak juga melimpahkan perkara dengan terlebih meningkatkan status penyidikan atas hasil penyelidikan komnas HAM. Akan tetapi terdapat permasalahan yang lebih esensial yaitu kemana berkas perkara tersebut harus dilimpahkan Ketika pengadilan HAM Adhoc atas perkara tersebut tidak juga dibentuk melalui Keppres yang didasarkan atas rekomendasi DPR.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề