Pernyataan menyerahnya Jepang tanpa syarat terhadap Sekutu yang disampaikan oleh Kaisar Jepang disiarkan melalui radio apa?

Jakarta -

Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu memiliki keterkaitan dengan kemerdekaan Indonesia. Untuk itu, detikers perlu tahu Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada tanggal berapa dan latar belakangnya.

Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Peristiwa Jepang menyerah kepada Sekutu terjadi setelah jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, seperti dikutip dari Encyclopedia Britannica.

Sebelumnya, Jepang telah menderita kekalahan perang seperti Perang Laut Karang pada 4 Mei 1942, disusul perang di Guadacanal pada 6 November 1942, dan pertempuran laut di dekat Kepulauan Bismarck pada 1 Maret 1943.

Pada 26 Juli, sejumlah pemimpin di pihak Sekutu bertemu di Postdam, Jerman. Sebab, kendati konflik di Eropa sudah diakhiri, Jepang masih menyatakan perang di wilayah Pasifik.

Untuk itu, Presiden AS Harry S. Truman, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, dan pemimpin Nasionalis China Chiang Kai-shek menyusun Deklarasi Postdam yang berisi persyaratan penyerahan Jepang.

Deklarasi tersebut mengklaim bahwa "perhitungan yang tidak cerdas" oleh penasihat militer Jepang telah membawa negara itu ke "ambang kehancuran." Pihak Sekutu menguraikan persyaratan penyerahan kekuasaan yang mencakup pelucutan senjata total, pendudukan daerah-daerah tertentu, dan pembentukan "pemerintah yang bertanggung jawab."

Deklarasi Postdam juga menjanjikan bahwa Jepang tidak akan "diperbudak sebagai ras atau dihancurkan sebagai sebuah bangsa."

Isi rancangan Deklarasi Postdam juga mencakup ultimatum "kehancuran segera dan total" bagi Jepang jika Jepang tidak setuju untuk menyerah tanpa syarat. Ultimatum ini yang kemudian dilakukan Sekutu dengan pengeboman Hiroshima dan Nagasaki.

Sebelum pengeboman terjadi, Perdana Menteri Jepang Minister Suzuki Kantarō merespons ultimatum tersebut pada jumpa pers dengan "mokusatsu" dan tidak memberi pernyataan lebih lanjut. Mokusatsu secara kasar diartikan sebagai "no comment."

Amerika Serikat lalu menjatuhkan bom atom di Kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan Kota Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Di tengah peristiwa pengeboman, Uni Soviet juga mendeklarasikan perang terhadap Jepang.

Pada 12 Agustus 1945, Soekarno, Moh. Hatta, dan dr. Radjiman Wedyodiningrat bertemu Jenderal Terauchi di markas besar Panglima Tertinggi Militer Jepang di Dalat, Vietnam Selatan.

Jenderal Terauchi menyampaikan pernyataan Pemerintah Jepang bahwa bangsa Indonesia akan segera diberi kemerdekaan, seperti dikutip dari buku Pasti Bisa Ilmu Pengetahuan Sosial untuk SMP/MTs Kelas IX oleh Tim Ganesha Operation.

Pada 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito mengumumkan bahwa Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Berita kekalahan Jepang telah diketahui Soetan Sjahrir dan golongan pemuda melalui siaran radio. Soetan Sjahrir lalu menemui Moh. Hatta dan mendesak agar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia segera dilaksanakan tanpa menunggu janji Jepang.

Dari berita Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 kemudian berlanjut pada peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945, perumusan teks Proklamasi, dan pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Selamat belajar, detikers!

Simak Video "Isi Kuliah Subuh, Anies Cerita Upaya Bung Karno Berantas Buta Huruf"



[twu/lus]

Menyerahnya Jepang pada bulan Agustus 1945 menandai penghabisan Perang Dunia II. Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah tidak berada sejak Agustus 1945, sementara invasi Sekutu ke Jepang hanya tinggal waktu. Walaupun hasrat kepada melawan hingga titik penghabisan dinyatakan secara buka, pemimpin Jepang dari Dewan Penasihat Militer Jepang secara pribadi memohon Uni Soviet kepada berperan kepada mediator dalam akad damai dengan syarat-syarat yang menguntungkan Jepang. Sementara itu, Uni Soviet juga berjaga-jaga kepada menyerang Jepang dalam usaha memenuhi akad kepada Amerika Serikat dan Inggris di Konferensi Yalta.

Pada 6 Agustus dan 9 Agustus, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Pada 9 Agustus, Uni Soviet melancarkan penyerbuan mendadak ke koloni Jepang di Manchuria [Manchukuo] yang melanggar Pakta Netralitas Soviet–Jepang. Kaisar Hirohito campur tangan setelah terjadi dua peristiwa mengejutkan tersebut, dan memerintahkan Dewan Penasihat Militer kepada menerima syarat-syarat yang ditawarkan Sekutu dalam Deklarasi Potsdam. Setelah berlangsung perundingan di balik layar selama sebagian hari, dan kudeta yang gagal, Kaisar Hirohito menyampaikan pidato radio di hadapan rakyat pada 15 Agustus 1945. Dalam pidato radio yang dikata Gyokuon-hōsō [Siaran Suara Kaisar], Hirohito membacakan Perintah Kekaisaran tentang kapitulasi, sekaligus mengumumkan kepada rakyat bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.

Pendudukan Jepang oleh Komandan Tertinggi Sekutu dimulai pada 28 Agustus. Upacara kapitulasi diselenggarakan pada 2 September 1945 di atas kapal tempur Amerika Serikat Missouri. Dokumen Kapitulasi Jepang yang ditandatangani hari itu oleh pejabat pemerintah Jepang secara resmi mengakhiri Perang Dunia II. Masyarakat sipil dan anggota militer di negara-negara Sekutu merayakan Hari Kemenangan atas Jepang [V-J Day]. Walaupun demikian, sebagian pos komando terpencil dan personel militer dari kesatuan di pelosok-pelosok Asia menolak kepada menyerah selama berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun setelah Jepang menyerah. Sejak kapitulasi Jepang, sejarawan terus berargumen tentang etika penggunaan bom atom. Perang selang Jepang dan Sekutu secara resmi akhir-akhirnya saat Akad San Francisco mulai berlangsung pada tanggal 28 April 1952. Empat tahun belakang Jepang dan Uni Soviet menandatangani Deklarasi Bersama Soviet–Jepang 1956 yang secara resmi mengakhiri perang selang kedua negara tersebut.

Kekalahan Jepang

Pendaratan Sekutu di Area Perang Operasi Lautan Pasifik, Agustus 1942 hingga Agustus 1945.

Pada tahun 1945, Jepang telah hampir dua tahun bertali-tali merasakan kekalahan berkepanjangan di Pasifik Barat Daya, kampanye militer Mariana, dan kampanye militer Filipina. Pada Juli 1944 setelah Saipan jatuh, Jenderal Hideki Tōjō dinaikkan kepada perdana menteri oleh Jenderal Kuniaki Koiso yang menyatakan Filipina kepada tempat pertempuran berikutnya yang menentukan.[1] Setelah Filipina jatuh, giliran Koiso yang diwakili oleh Admiral Kantarō Suzuki. Pada paruh pertama tahun 1945, Sekutu sukses merebut Iwo Jima dan Okinawa. Setelah ditempati Sekutu, Okinawa menjadi daerah singgahan kepada menyerbu ke pulau-pulau utama di Jepang.[2] Setelah kekalahan Jerman, Uni Soviet diam-diam mulai mengerahkan kembali pasukan tempur Eropa-nya ke Timur Jauh, di samping sekitar empat puluh divisi yang telah ditempatkan di sana sejak tahun 1941, kepada penyeimbang kekuataan jutaan Tentara Kwantung.[3]

Operasi kapal-kapal selam Sekutu dan penyebaran ranjau di bebas pantai Jepang telah menghancurkan sebagian luhur armada dagang Jepang. Kepada negara dengan sedikit sumber daya dunia, Jepang bergantung kepada bahan mentah yang diimpor dari daratan Asia dan dari wilayah pendudukan Jepang di Hindia Belanda, terutama minyak bumi.[4] Penghancuran armada dagang Jepang, ditambah dengan pengeboman strategis daerah industri di Jepang telah meruntuhkan ekonomi perang Jepang. Produksi batu bara, besi, besi baja, karet, dan pasokan bahan mentah lainnya hanya tersedia dalam banyak kecil dibandingkan pasokan sebelum perang.[5][6]

Kapal tempur Jepang Haruna karam di tempat bersandarnya di pangkalan tingkatan laut Kure pada peristiwa Pengeboman Kure 24 Juli 1945.

Kepada belakang suatu peristiwa kerugian yang dialami, daya Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah habis. Setelah serangkaian pengeboman Sekutu di galangan kapal Jepang di Kure, Prefektur Hiroshima, kapal-kapal perang Jepang yang tersisa hanyalah enam kapal induk, empat kapal penjelajah, dan satu kapal tempur. Namun, semua kapal tersebut tidak mempunyai bahan bakar yang cukup. Walaupun sedang berada 19 kapal perusak dan 38 kapal selam yang sedang operasional, pengoperasian mereka menjadi terbatas belakang suatu peristiwa kekurangan bahan bakar.[7][8]

Persiapan pertahanan

Menghadapi kemungkinan penyerbuan Sekutu ke pulau-pulau utama Jepang, dimulai dari Kyushu, Jurnal Perang Markas Luhur Kekaisaran menyimpulkan,

Kami tidak bisa lagi memimpin perang dengan berada sedikit pun keinginan kepada menang. Satu-satunya jalan yang tersisa adalah mengorbankan nyawa seratus juta rakyat Jepang kepada bom hidup supaya musuh kehilangan semangat bertempur.[9]

Kepada usaha darurat yang terakhir kepada menghentikan gerak maju Sekutu, Komando Tertinggi Kekaisaran Jepang merencanakan pertahanan Kyushu secara habis-habisan. Usaha yang dinamakan dengan sandi Operasi Ketsu-Go [10] ini dimaksudkan kepada perubahan strategi yang radikal. Berbeda dari sistem pertahanan berikat seperti yang dipakai sewaktu menginvasi Peleliu, Iwo Jima, dan Okinawa, kali ini keseluruhan dipertaruhkan di pantai. Sebelum pasukan dan perlengkapan didaratkan transpor amfibi di pantai, mereka akan diserang oleh 3.000 pesawat kamikaze.[8]

Jika strategi ini tidak mengusir Sekutu, Jepang akan mengerahkan 3.500 pesawat kamikaze tambahan berikut 5.000 kapal bunuh diri Shin'yō didampingi kapal-kapal perusak dan kapal-kapal selam yang sedang tersisa--hingga kapal terakhir yang operasional--untuk menghancurkan Sekutu. Jika Sekutu menang dalam pertempuran di pantai dan sukses mendarat di Kyushu, hanya akan tersisa 3.000 pesawat kepada mempertahankan pulau-pulau Jepang lainnya. Walaupun demikian, Kyushu akan dipertahankan "hingga titik darah penghabisan".[8] Strategi membuat pertahanan terakhir di Kyushu didasarkan pada asumsi bahwa Uni Soviet akan tetap mempertahankan netralitas.[11]

Serangkaian gua digali dekat Nagano di Honshu. Gua-gua yang dikata Markas Luhur Kekaisaran Bawah Tanah Matsushiro tersebut akan menjadi Markas Tingkatan Darat pada masa terjadinya invasi Sekutu serta rumah perlindungan bagi Kaisar Jepang dan keluarganya.[12]

Dewan Penasihat Militer

Pengambilan keputusan perang Jepang berpusat di Dewan Penasihat Militer yang beranggota enam pejabat tinggi: perdana menteri, menteri luar negeri, menteri tingkatan darat, menteri tingkatan laut, kepala staf umum tingkatan darat, dan kepala staf umum tingkatan laut.[13] Masa kabinet pemerintah Suzuki terbentu pada April 1945, keanggotaan dewan terdiri dari:

Kabinet Suzuki, Juni 1945

  • Perdana Menteri Admiral Kantarō Suzuki
  • Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō
  • Menteri Tingkatan Darat Jenderal Korechika Anami
  • Menteri Tingkatan Laut Admiral Mitsumasa Yonai
  • Kepala Staf Umum Tingkatan Darat Jenderal Yoshijirō Umezu
  • Kepala Staf Umum Tingkatan Laut Admiral Koshirō Oikawa [kemudian diwakili oleh Admiral Soemu Toyoda]

Secara hukum, Tingkatan Darat dan Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang mempunyai hak kepada mencalonkan [atau menolak pencalonan] masing-masing menteri. Kepada hasilnya, Jepang bisa menghindari pembentukan pemerintahan yang tidak diingini, atau terjadinya pengunduran diri yang bisa menjatuhkan pemerintah yang sedang berlangsung.[14][15]

Kaisar Hirohito dan Penjaga Cap Pribadi Kaisar Kōichi Kido juga benar di sebagian pertemuan, setelah dimohon Kaisar.[16] Seperti yang dilaporkan Iris Chang, "Jepang sengaja menghancurkan, menyembunyikan, atau memalsukan sebagian dari dokumen rahasia perang mereka"[17][18]

Perbedaan gagasan di kalangan pemimpin Jepang

Kabinet Suzuki, dalam bermacam anggota, lebih memilih meneruskan perang. Bagi Jepang, kapitulasi hampir tidak terpikirkan. Dalam 2000 tahun sejarahnya, Jepang tidak pernah diinvasi bangsa asing atau kalah dalam perang.[19] Hanya Menteri Tingkatan Laut Mitsumasa Yonai yang dikenali mempunyai hasrat kepada mengakhiri perang.[20] Menurut sejarawan Richard B. Frank:

Walaupun Suzuki pastinya melihat perdamaian kepada sasaran jangka panjang, beliau tidak mempunyai rencana kepada mewujudkannya dalam jangka waktu dekat atau dengan syarat-syarat yang bisa diterima Sekutu. Komentarnya dalam konferensi negarawan senior tidak memberikan tanda-tanda dirinya menginginkan akhir-akhirnyanya perang lebih awal ... . ; Pilihan Suzuki kepada pos-pos kabinet yang sangat penting, dengan pengecualian satu orang, bukanlah juga tokoh pendukung perdamaian.[21]

Seusai perang, Perdana Menteri Suzuki dan pejabat lain dari pemerintahannya mengaku mereka secara rahasia merundingkan perdamaian, tapi secara buka tidak bisa mengumumkannya. Mereka mengutip konsep Jepang tentang haragei [seni mengadakan komunikasi dengan sikap dan daya kepribadian dan bukan melalui kata-kata] kepada membenarkan ketidakselarasan selang gerakan di muka umum dan cara di balik layar. Namun, sebagian sejarawan menolak interpretasi ini. Robert J. C. Butow menulis:

Berdasarkan argumen yang sangat ambigu, pembelaan soal haragei menimbulkan kecurigaan bahwa dalam masalah politik dan diplomasi, secara sadar menggantungkan diri pada seni menggertak mungkin bisa dianggap kepada pengelabuan disengaja yang diperkirakan didasarkan hasrat mengadu domba kepada keuntungan sendiri. Walaupun keputusan ini tidak sesuai dengan kepribadian Admiral Suzuki yang banyak dipuji, pada kenyataannya dari masa beliau dinaikkan kepada perdana menteri hingga hari beliau mengundurkan diri, tidak berada seorang pun yang bisa memastikan apa yang berikutnya akan diistilahkan atau dilaksanakan Suzuki.[22]

Pemimpin Jepang selalu menginginkan penyelesaian perang dengan negosiasi. Perencanaan praperang mereka mengharapkan perluasan wilayah secara cepat, konsolidasi, konflik yang tidak terhindarkan dengan Amerika Serikat, dan penyelesaian perang yang memungkinkan Jepang mempertahankan sangat tidak sebagian wilayah baru yang telah mereka duduki.[23] Pada tahun 1945, pemimpin-pemimpin Jepang sepakat bahwa perang tidak berlangsung dengan lancar, tetapi mereka tidak sepakat tentang cara-cara terbaik dalam bernegosiasi kepada mengakhiri perang. Kalangan pemimpin Jepang terbelah menjadi dua kubu. Faksi "damai" menginginkan inisiatif diplomatik dengan membujuk pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin supaya bertindak kepada mediator penyelesaian perang selang Jepang dan Amerika Serikat beserta sekutunya. Sebaliknya, faksi garis keras lebih memilih bertempur dalam satu pertempuran terakhir yang "menentukan" hingga jatuh korban begitu banyak di pihak Sekutu yang mengakibatkan mereka akan menawarkan syarat-syarat yang lebih lunak.[24] Kedua kubu terbentuk berdasarkan pengalaman Jepang dalam Perang Rusia-Jepang empat puluh tahun sebelumnya. Dalam perang tersebut terjadi serangkaian pertempuran yang memakan kerugian luhur yang tidak menentukan pemenang, tetapi diakhiri oleh Pertempuran Tsushima yang dimenangkan Jepang.[25]

Admiral Kantarō Suzuki menjabat Perdana Menteri Jepang dalam bulan-bulan sebelum perang akhir-akhirnya.

Pada penghabisan Januari 1945, sebagian pejabat Jepang yang dekat dengan Kaisar mempertimbangkan syarat-syarat kapitulasi yang akan melindungi kedudukan Kaisar Jepang. Proposal-proposal yang dikirim melalui saluran Amerika Serikat dan Inggris tersebut disusun oleh Jenderal Douglas MacArthur menjadi dokumen 40 halaman, dan belakang, pada 2 Februari, dua hari sebelum Konferensi Yalta, diberikan kepada Presiden Franklin D. Roosevelt. Menurut laporan, dokumen tersebut didorong oleh Roosevelt tanpa pertimbangan apa pun. Semua proposal mencakup syarat bahwa kedudukan kaisar tetap dipertahankan, walaupun mungkin kepada penguasa boneka. Namun pada masa itu, kebijakan Sekutu hanyalah menerima penyerahan tanpa syarat.[26] Selain itu, proposal-proposal ini didorong keras oleh pejabat pemerintahan Jepang yang berpengaruh, dan oleh sebab itu tidak bisa diistilahkan mewakili hasrat Jepang yang sebenarnya kepada menyerah pada waktu itu.[27]

Pada Februari 1945, Pangeran Fumimaro Konoe memberi Kaisar Hirohito suatu memorandum yang menganalisis situasi dan menyampaikan kepada Hirohito bahwa jika perang diteruskan, kekaisaran akan menghadapi revolusi internal yang lebih berbahaya daripada kalah dalam perang.[28] Menurut buku harian Pengurus Rumah Tangga Kaisar Hisanori Fujita, Kaisar yang menunggu pertempuran menentukan [tennōzan] menjawab bahwa sedang terlalu dini menawarkan perdamaian, "Kecuali kita membuat satu lagi kemenangan militer."[29] Sedang pada bulan Februari tahun yang sama, divisi akad Jepang menulis tentang kebijakan Sekutu terhadap Jepang tentang "penyerahan tanpa syarat, pendudukan, perlucutan senjata, penghapuskan militerisme, reformasi demokrasi, hukuman bagi penjahat perang, dan status kaisar."[30] Pelucutan senjata oleh Sekutu, penjatuhan hukuman bagi penjahat perang Jepang, dan khususnya pendudukan dan penghapusan kedudukan kaisar tidak diterima oleh pemimpin Jepang.[31][32]

Pada 5 April, Uni Soviet mengumumkan tidak akan memperbarui Pakta Netralitas Soviet-Jepang[33] yang ditandatangani tahun 1941 setelah terjadinya Peristiwa Nomonhan.[34] Pada Konferensi Yalta Februari 1945, negara-negara Barat yang tergabung dalam Sekutu telah menyepakati konsesi yang substansial dengan Soviet kepada mengamankan akad dari Soviet kepada menyatakan perang terhadap Jepang tidak lebih dari tiga bulan setelah Jerman menyerah. Walaupun secara hukum Pakta Netralitas tetap berlangsung hingga setahun setelah Uni Soviet membatalkannya [hingga 5 April 1946], pembatalan sepihak ini secara jelas tetapi terselubung menunjukkan niat perang Uni Soviet.[35] Menteri Luar Negeri Rusia Vyacheslav Molotov, di Moskow, dan Yakov Malik, duta luhur Soviet di Tokyo, sungguh-sungguh mencoba meyakinkan Jepang bahwa "masa berlangsung Pakta tersebut belum berakhir".[36]

Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō

Pada serangkaian rapat tingkat tinggi pada bulan Mei 1965, keenam anggota Dewan Penasihat Militer dengan serius membahas metode mengakhiri perang. Namun tidak seorang pun dari mereka setuju dengan syarat-syarat yang diajukan Sekutu. Mengingat siapa pun yang secara buka mendukung kapitulasi Jepang terancam bahaya pembunuhan oleh perwira tingkatan darat yang sangat setia, rapat-rapat tersebut tertutup bagi siapa pun kecuali keenam anggota Dewan Penasihat Militer, Kaisar, dan penjaga cap pribadi kaisar. Tidak berada perwira eselon dua atau eselon tiga yang diizinkan benar.[37] Pada rapat-rapat tersebut, hanya Menteri Luar Negeri Tōgō yang menyadari kemungkinan sekutu negara-negara Barat sudah membuat konsesi dengan Soviet kepada mengajak mereka bertempur melawan Jepang.[38] Kepada hasil rapat-rapat tersebut, Tōgō diberi wewenang kepada mendekati Uni Soviet, berkeinginan mereka kepada tetap mempertahankan netralitas, atau lebih fantastis lagi, akan membentuk aliansi.[39]

Sejalan dengan tradisi pemerintahan baru mengumumkan tujuan-tujuan mereka, setelah rapat bulan Mei habis, staf Tingkatan Darat mengeluarkan dokumen berjudul "Kebijakan Fundamental kepada Diiringi Berikutnya dalam Melaksanakan Perang" yang menyatakan rakyat Jepang akan berjuang hingga punah daripada menyerah. Kebijakan ini diadopsi oleh Dewan Penasihat Militer pada 6 Juni [Tōgō menentangnya, sementara kelima anggota lain mendukung].[40] Dokumen-dokumen yang diajukan Suzuki pada pertemuan yang sama menyarankan bahwa dalam usaha awal diplomatik dengan Uni Soviet, Jepang mengambil pendekatan kepada berikut:

Rusia harus diberi tahu dengan jelas bahwa kemenangannya atas Jerman adalah berkat Jepang, sebab kita tetap netral, dan Soviet akan diuntungkan jika membantu Jepang mempertahankan posisinya di dunia internasional, sebab musuh mereka di masa hadapan adalah Amerika Serikat.[41]

Pada 9 Juni, orang keyakinan kaisar Kōichi Kido menulis "Rancangan Rencana Pengendalian Situasi Krisis" yang memperingatkan bahwa pada penghabisan tahun kemampuan Jepang kepada melaksanakan perang modern akan habis dan pemerintah akan tidak mampu mengendalikan kerusuhan sipil. "....... Kita tidak tahu pasti apakah kita akan bernasib sama seperti Jerman dan terjatuh dalam kondisi yang sulit hingga kita tidak bisa mencapai sasaran tertinggi menjaga Rumah Tangga Kekaisaran dan mempertahankan kelola negara nasional."[42] Kido mengusulkan Kaisar sendiri ikut ambil anggota, dengan menawarkan kepada mengakhiri perang dengan "syarat-syarat yang sangat murah hati". Kido mengusulkan Jepang melepaskan wilayah taklukan Eropa, asalkan mereka diberi kemerdekaan, dan negara kita dilucuti, serta kepada sementara harus "puas dengan pertahanan minimum". Berbekal penugasan Kaisar, Kido mendekati sebagian anggota Dewan Penasihat Militer. Tōgō sangat mendukung. Suzuki dan Menteri Tingkatan Laut Admiral Mitsumasa Yonai keduanya sangat berhati-hati mendukung; masing-masing meminta keterangan dalam hati, apa yang dipikirkan satu sama lain. Menteri Tingkatan Darat Jenderal Korechika Anami bersikap ambivalen, bersikeras diplomasi harus menunggu "hingga Amerika Serikat menderita kerugian besar" dalam Operasi Ketsu-Go.[43]

Pada bulan Juni 1845, Kaisar sudah kehilangan keyakinan terhadap kesempatan mencapai kemenangan militer. Jepang sudah kalah dalam Pertempuran Okinawa. Kaisar juga sudah memperoleh kabar tentang kelemahan tingkatan darat di Cina, begitu pula soal tingkatan laut dan tingkatan darat yang mempertahankan pulau-pulau utama Jepang. Kaisar menerima laporan dari Pangeran Higashikuni; darinya Kaisar mengambil kesimpulan bahwa "bukan saja pertahanan bebas pantai, divisi yang tersedia kepada diterjunkan di pertempuran yang menentukan juga tidak mempunyai banyak senjata yang memadai."[44] Menurut Kaisar:

Kita sudah diberi tahu besi asal bom yang dijatuhkan musuh sudah digunakan kepada membuat sekop. Hal ini berarti kita tidak berada dalam posisi melanjutkan perang.[44]

Pada 22 Juni, kaisar memanggil keenam anggota Dewan Penasihat Militer kepada rapat. Tidak seperti pada umumnya, Kaisar membuka pembicaraan: "Kita menginginkan rencana konkrit kepada mengakhiri perang, tanpa dirintangi kebijakan yang berada, akan dipelajari dengan cepat dan usaha-usaha dilaksanakan kepada mengimplementasikannya."[45] Pertemuan menyetujui kepada mengundang bantuan Soviet dalam mengakhiri perang. Negara-negara netral lain seperti Swiss, Swedia, dan Vatikan diketahui berniat memainkan peranan dalam menciptakan perdamaian, tapi mereka terlalu kecil hingga mereka tidak bisa melaksanakan lebih dari sekadar menyampaikan syarat-syarat kapitulasi Sekutu serta penerimaan atau penolakan dari Jepang. Uni Soviet diharapkan bisa dibujuk kepada bertindak kepada kaki tangan Jepang dalam bernegosiasi dengan Sekutu Barat.[46]

Usaha berurusan dengan Uni Soviet

Naotake Satō

Pada 30 Juni, Tōgō memerintahkan Duta Luhur Jepang kepada Moskwa Naotake Satō kepada berusaha menciptakan "hubungan persahabatan yang akrab dan tidak berkesudahan." Satō bermaksud membicarakan status Manchuria dan "masalah apa saja yang akan dinaikkan Rusia."[47] Satō akhir-akhirnya berjumpa dengan Menteri Luar Negeri Soviet Vyacheslav Molotov pada 11 Juli, namun pertemuan tidak memproduksi apa-apa. Pada 12 Juli, Tōgō memerintahkan Satō kepada menyampaikan kepada Soviet bahwa,

Yang Luhur Kaisar mempertimbangkan fakta bahwa perang yang kini dari hari ke hari membawa kemalangan dan pengorbanan bagi rakyat dari semua pihak-pihak yang bertempur, hasrat dari dalam hati supaya bisa segera dihentikan. Namun selama Inggris dan Amerika Serikat bersikeras soal penyerahan tanpa syarat, Kekaisaran Jepang tidak punya pilihan lain kecuali bertempur dengan segenap tenaga kepada kehormatan dan keberlangsungan tanah cairan.[48]

Kaisar mengusulkan kepada mengirim Pangeran Konoe kepada Utusan Luar Biasa, walaupun beliau tidak bisa tiba di Moskwa sebelum dimulainya Konferensi Potsdam.

Satō memberi tahu Tōgō bahwa dalam kenyataan, Jepang hanya bisa mengharapkan "penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang hampir setara ke situ". Lebih jauh lagi Satō mengatakan bahwa pesan-pesan Tōgō "tidak jelas soal pandangan pemerintah dan militer dalam hal penghentian perang," serta mempertanyakan apakah inisiatif Tōgō didukung oleh unsur-unsur kunci dalam struktur kekuasaan Jepang.[49]

Pada 17 Juli, Tōgō menjawab,

Walaupun para penguasa, dan juga pemerintah yakin bahwa daya perang kita sedang bisa menimbulkan pukulan berarti terhadap musuh, kami tidak bisa merasakan kedamaian hati yang betul-betul pasti. ... .. Namun, mohon betul-betul diingat, bahwa kita tidak berkeinginan mediasi Rusia kepada hal-hal seperti penyerahan tanpa syarat.[50]

Dalam jawabannya, Satō memperjelas,

Sudah barang tentu dalam pesan diri sendiri sebelumnya mengatakan penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang hampir setara, diri sendiri membuat pengecualian soal mempertahankan [Rumah Tangga Kekaisaran].[51]

Pada 21 Juli, bercakap atas nama kabinet, Tōgō mengulangi,

Tentang soal penyerahan tanpa syarat kami tidak bisa menyetujuinya berdasarkan kondisi bagaimana pun. ... .. Dalam usaha menghindari kondisi seperti itu kita sedang mencari damai, ... .. melalui jasa aci Rusia. ... .. Ditinjau dari sudut pandang dalam negeri dan luar negeri, membuat pernyataan segera tentang syarat-syarat tertentu adalah merugikan dan tidak mungkin.[52]

Berbakat kriptografi Amerika Serikat yang bergabung dalam Proyek Magic telah memecahkan sebagian luhur sandi Jepang, termasuk kode Purple yang dipakai oleh kantor-kantor perwakilan Jepang kepada menyandikan koresponden diplomatik. Kepada belakang suatu peristiwanya, pesan selang Tokyo dan kedutaan-kedutaan Jepang tiris ke pemimpin Sekutu hampir sama cepatnya dengan penerima di alamat sasaran.[53]

Maksud-maksud Soviet

Urusan keamanan mendominasi keputusan Soviet soal Timur Jauh.[54] Di selang hasrat yang sangat utama adalah mendapatkan akses tidak terbatas ke Lautan Pasifik. Daerah bebas pantai Soviet di Pasifik yang bebas sama sekali es sepanjang tahun, khususnya Vladivostok, bisa diblokade melalui udara dan laut dari Sakhalin dan Kepulauan Kuril. Jika keduanya didapatkan berarti Rusia mendapatkan akses bebas sama sekali ke Selat Soya yang memang menjadi sasaran utama.[55][56] Sasaran kedua adalah akad kontrak Jalur Kereta Api Timur Jauh Cina, Jalur Kereta Api Manchuria Selatan, Dairen, dan Lushun.[57]

Kepada mencapai sasarannya, Stalin and Molotov dengan semangat bernegosiasi dengan Jepang, memberikan Jepang keinginan palsu akan perdamaian dengan Uni Soviet kepada mediator.[58] Pada masa yang bersamaan, dalam transaksi Soviet dengan Amerika Serikat dan Inggris, Soviet bersikeras kepada secara sempit menaati Deklarasi Kairo, ditegaskan kembali di Konferensi Yalta bahwa Sekutu tidak akan menerima perdamaian bersyarat atau perdamaian sendiri-sendiri dengan Jepang. Kepada semua negara-negara Sekutu, Jepang harus menyerah tanpa syarat. Kepada memperpanjang perang, Uni Soviet menentang semua upaya yang dilaksanakan kepada memperlunak syarat-syarat kapitulasi.[58] Jika perang tidak segera habis, Uni Soviet sedang punya cukup waktu kepada memindahkan pasukan-pasukan mereka ke area perang Pasifik, kepada berikutnya merebut Sakhalin, Kepulauan Kuril, dan kemungkinan Hokkaido[59] [invasi dimulai dengan pendaratan di Rumoi, Hokkaido].[60]

Proyek Manhattan

Pada 1939, Albert Einstein dan Leó Szilárd menulis sepucuk surat kepada Presiden Roosevelt yang mendesaknya kepada mendanai penelitian dan pengembangan bom atom. Roosevelt setuju dan hasilnya adalah proyek riset sangat rahasia yang dikata Proyek Manhattan. Proyek ini dipimpin Jenderal Leslie Groves dengan J. Robert Oppenheimer kepada direktur pengarah aspek ilmiah. Bom atom pertama dengan sukses diledakkan dalam percobaan Trinity 16 Juli 1945.

Sementara proyek hampir akhir-akhirnya, pemimpin perang Amerika mulai mempertimbangkan kepada menggunakan bom atom terhadap Jepang. Groves membentuk komite pencari sasaran yang berjumpa pada bulan April dan Mei 1945. Komite ini menyusun daftar sasaran bom atom. Mereka memilih 18 kota-kota di Jepang. Masuk dalam daftar di urutan sangat atas adalah Kyoto, Hiroshima,[61] Yokohama, Kokura, dan Niigata.[62][63] Pada akhir-akhirnya Kyoto dihapus dari daftar atas desakan Menteri Perang Henry L. Stimson yang pernah mengunjungi Kyoto sewaktu bulan madu, dan mengetahui kota ini sangat penting dalam anggota budaya dan sejarah.[64]

Pada bulan Mei, Harry S. Truman dinaikkan kepada Presiden Amerika Serikat yang baru setelah Franklin Roosevelt wafat pada 16 April 1945. Truman menyetujui pembentukan komite Interim, suatu golongan penasihat yang melapor tentang bom atom.[63] Komite Interim terdiri dari George L. Harrison, Vannevar Bush, James Bryant Conant, Karl Taylor Compton, William L. Clayton, dan Ralph Austin Bard, serta ditolong dewan penasihat yang terdiri dari ilmuwan Oppenheimer, Enrico Fermi, Ernest Lawrence, dan Arthur Compton. Dalam laporan tanggal 1 Juni 1945, komite berkesimpulan bom atom harus digunakan secepat mungkin terhadap instalasi-instalasi perang berikut rumah-rumah pekerja di sekelilingnya, dan tidak perlu memberi peringatan atau peragaan sebelumnya.[65]

Mandat yang diberikan kepada komite tidak termasuk penggunaan bom atom, walaupun penggunaannya sudah diperkirakan jika sudah habis.[66] Komite mengkaji kembali penggunaan bom atom setelah berada protes dalam wujud Laporan Franck dari ilmuwan Proyek Manhattan. Pada rapat 21 Juni, komite menegaskan kembali bahwa tidak berada alternatif lain selain menggunakan bom atom.[67]

Acara-acara di Potsdam

Pemimpin daya utama Sekutu berjumpa dalam Konferensi Potsdam 16 Juli-2 Agustus 1945. Uni Soviet, Kerajaan Bersatu, dan Amerika Serikat, masing-masing diwakili oleh Stalin, Winston Churchill [kemudian Clement Attlee], dan Truman.

Negosiasi

Perang melawan Jepang merupakan salah satu dari bermacam isu yang diceritakan di Potsdam. Truman memperoleh berita tentang suksesnya percobaan Trinity pada awal konferensi, dan menyampaikan informasi tersebut ke delegasi Inggris. Kesuksesan percobaan bom atom menyebabkan delegasi Amerika Serikat mempertimbangkan kembali tentang perlunya partisipasi Soviet [seperti dijanjikan di Yalta].[68] Prioritas teratas Sekutu adalah mempersingkat perang dan mengurangi korban di pihak Amerika Serikat. Kedua hal tersebut mungkin bisa ditolong dengan beradanya campur tangan Uni Soviet, namun kemungkinan harus dibayar dengan membolehkan Soviet mencaplok wilayah-wilayah di luar wilayah yang dijanjikan kepada mereka di Yalta, dan mungkin Jepang akan terbagi dua seperti Jerman.[69]

Dalam kesepakatan dengan Stalin, Truman memutuskan kepada memberikan pemimpin Soviet kabar tentang keberadaan senjata baru yang kuat tanpa memberitahukan rinciannya. Namun, Sekutu lainnya tidak menyadari bahwa intelijen Soviet telah menyusup dalam Proyek Manhattan pada tahap awal, sehingga saat Stalin mengetahui keberadaan bom atom, beliau tidak terkesan dengan potensinya.[70]

Deklarasi Potsdam

Pemimpin negara-negara utama Sekutu memutuskan kepada mengeluarkan pernyataan yang dikata Deklarasi Potsdam yang menetapkan "penyerahan tanpa syarat" dan memperjelas guna kapitulasi Jepang bagi kedudukan kaisar dan bagi Hirohito secara pribadi. Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris saling bertentangan tentang butir terakhir. Amerika Serikat akan menghapus posisi kaisar dan kemungkinan mengadilinya kepada penjahat perang. Sebaliknya, Inggris akan mempertahankan posisi kaisar, mungkin dengan Hirohito yang tetap bertahta. Pernyataan-pernyataan dalam rancangan Deklarasi Potsdam merasakan bermacam revisi sebelum versi yang diterima kedua belah pihak habis.[71]

Pada 26 Juli 1945, Amerika Serikat, Inggris, dan Cina merilis Deklarasi Potsdam yang mempunyai isinya syarat-syarat kapitulasi Jepang dengan peringatan, "Kami tidak akan menyimpang dari ketentuan-ketentuan ini. Tidak berada alternatif. Kami tidak membolehkan beradanya penundaan." Bagi Jepang, deklarasi menetapkan syarat-syarat kepada berikut:

  • Penghapusan "selama-lamanya dari kekuasaan dan pengaruh tokoh-tokoh yang telah menipu dan menyesatkan rakyat Jepang ke arah dimulainya penaklukan dunia"
  • Pendudukan "titik-titik dalam wilayah Jepang yang akan ditetapkan oleh Sekutu"
  • "Kedaulatan Jepang akan dibatasi pada pulau-pulau Honshu, Hokkaido, Kyushu, dan Shikoku, serta pulau-pulau kecil seperti yang kami tetapkan." Seperti telah diumumkan dalam Deklarasi Kairo 1943, wilayah-wilayah Jepang akan disita hingga wilayah sebelum perang, termasuk Korea dan Taiwan, begitu pula wilayah-wilayah taklukannya baru-baru ini.
  • "Daya militer Jepang harus sepenuhnya dilucuti"
  • "Keadilan yang keras harus dijatuhkan kepada semua penjahat perang, termasuk semua yang telah melaksanakan kekejaman terhadap orang kita yang ditawan".

Di lain pihak, deklarasi menegaskan bahwa:

  • "Kami tidak bermaksud memperbudak Jepang kepada suatu ras atau menghancurkannya kepada suatu bangsa, ... .. Pemerintah Jepang harus menghapus semua penghalang bagi kebangkitan dan makin menguatnya kecenderungan demokrasi di selang rakyat Jepang. Kebebasan bercakap, beragama, dan berpikir, begitu pula peghormatan bagi hak asasi manusia yang fundamental harus ditegakkan."
  • "Jepang harus dibolehkan mempunyai industri-industri yang akan menunjang ekonomi dan memungkinkan kepada membayar tuntutan pampasan yang serupa dan sama berat, ... .. Partisipasi Jepang dalam hubungan dagang internasional harus dibolehkan."
  • "Kesatuan pendudukan Sekutu akan ditarik dari Jepang segera setelah tujuan-tujuan tersebut dicapai dan telah berdirinya suatu pemerintahan yang bertanggung jawab dan berhaluan damai sesuai dengan hasrat rakyat Jepang yang diungkapkan secara bebas sama sekali."

Satu-satunya pasal yang mengatakan tentang "penyerahan tanpa syarat" dicantumkan pada penghabisan deklarasi:

  • "Kami mengimbau pemerintah Jepang kepada menyatakan kini juga kapitulasi tanpa syarat dari semua tingkatan bersenjata Jepang, dan kepada memperlihatkan jaminan yang cukup dan layak atas maksud aci mereka terhadap hal tersebut. Pilihan lain bagi Jepang adalah "penghancuran sepenuhnya dan segera."

Tidak diistilahkan tentang Kaisar Hirohito apakah termasuk ke dalam salah satu dari tokoh yang "menyesatkan rakyat Jepang", atau juga seorang penjahat perang, bahkan sebaliknya anggota dari "pemerintah yang bertanggung jawab dan mempunyai keinginan damai". Pasal "penghancuran sepenuhnya dan segera" kemungkinan adalah peringatan terselubung soal kepemilikan bom atom oleh Amerika Serikat [yang telah dicobakan dengan sukses pada hari pertama konferensi].[72]

Reaksi Jepang

Pada 27 Juli, pemerintah Jepang menimbang-nimbang metode menanggapi Deklarasi Potsdam. Empat tokoh militer dari Dewan Penasihat Militer bermaksud menolaknya, tapi Tōgō membujuk kabinet kepada tidak melaksanakannya hingga beliau memperoleh reaksi dari Uni Soviet. Dalam suatu telegram, Duta Luhur Jepang kepada Swiss Shunichi Kase berpendapat bahwa penyerahan tanpa syarat hanya berlangsung kepada militer dan bukan kepada pemerintah atau rakyat, dan beliau minta supaya difahami bahwa pemilihan bahasa yang hati-hati dalam Deklarasi Potsdam sepertinya "telah merasakan pemikiran yang mendalam" dari pihak pemerintah-pemerintah yang menandatanganinya--"mereka kelihatannya telah bersusah payah berusaha menyelamatkan muka kita pada bermacam pasal-pasal."[73] Pada hari berikutnya, surat-surat kabar Jepang melaporkan bahwa Jepang telah menolak inti Deklarasi Potsdam yang sebelumnya telah disiarkan dan dijatuhkan kepada selebaran udara di atas Jepang. Dalam usaha mengatasi persepsi publik, Perdana Menteri Suzuki berjumpa dengan pers, dan memberi pernyataan,

Diri sendiri menganggap Proklamasi Bersama kepada pengulangan kembali Deklarasi di Konferensi Kairo. Tentang hal tersebut, Pemerintah tidak menganggapnya mempunyai nilai penting sama sekali. Salah satu hal yang bisa dilaksanakan adalah mengabaikannya [mokusatsu]. Kami tidak akan melaksanakan apa-apa kecuali menanggungnya hingga penghabisan kepada mendatangkan penghabisan perang yang sukses.[74]

Guna kata mokusatsu adalah mengabaikan atau tidak menanggapi.[74] Walaupun demikian, pernyataan Suzuki, terutama kalimat terakhir hanya menyisakan sedikit ruang kepada interpretasi yang salah. Pers Jepang dan pers luar negeri mengartikannya kepada penolakan, dan tidak berada pernyataan lebih lanjut yang disampaikan ke muka umum atau saluran diplomatik kepada mengubah kesalahpahaman ini.

Pada 30 Juli, Duta Luhur Satō menulis bahwa Stalin kemungkinan sedang bercakap dengan Sekutu Barat tentang transaksinya dengan Jepang. Menurut Satō, "Tidak berada alternatif selain penyerahan tanpa syarat dengan segera jika kita akan mencegah partisipasi Rusia dalam perang."[75] Pada 2 Agustus, Tōgō menulis kepada Satō, "Sulit bagi Anda kepada mewujudkan hal itu ... .. terbatas waktu kita kepada berlanjut ke persiapan mengakhiri perang sebelum musuh mendarat di pulau-pulau utama Jepang, di lain pihak sulit kepada memutuskan syarat-syarat damai yang nyata di tanah cairan secara sekaligus."[76]

Hiroshima, Manchuria, dan Nagasaki

Hiroshima: 6 Agustus

Page 2

Menyerahnya Jepang pada bulan Agustus 1945 menandai penghabisan Perang Dunia II. Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah tidak berada sejak Agustus 1945, sementara invasi Sekutu ke Jepang hanya tinggal waktu. Walaupun hasrat bagi melawan hingga titik penghabisan dinyatakan secara buka, pemimpin Jepang dari Dewan Penasihat Militer Jepang secara pribadi memohon Uni Soviet bagi bertindak bagi mediator dalam akad damai dengan syarat-syarat yang menguntungkan Jepang. Sementara itu, Uni Soviet juga berjaga-jaga bagi menyerang Jepang dalam usaha memenuhi akad kepada Amerika Serikat dan Inggris di Konferensi Yalta.

Pada 6 Agustus dan 9 Agustus, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Pada 9 Agustus, Uni Soviet melancarkan penyerbuan mendadak ke koloni Jepang di Manchuria [Manchukuo] yang melanggar Pakta Netralitas Soviet–Jepang. Kaisar Hirohito campur tangan setelah terjadi dua peristiwa mengejutkan tersebut, dan memerintahkan Dewan Penasihat Militer bagi menerima syarat-syarat yang dinegosiasikan Sekutu dalam Deklarasi Potsdam. Setelah berlangsung perundingan di balik layar selama sebagian hari, dan kudeta yang gagal, Kaisar Hirohito menyampaikan pidato radio di hadapan rakyat pada 15 Agustus 1945. Dalam pidato radio yang dikata Gyokuon-hōsō [Siaran Suara Kaisar], Hirohito membacakan Perintah Kekaisaran tentang kapitulasi, sekaligus mengumumkan kepada rakyat bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.

Pendudukan Jepang oleh Komandan Tertinggi Sekutu dimulai pada 28 Agustus. Upacara kapitulasi diselenggarakan pada 2 September 1945 di atas kapal tempur Amerika Serikat Missouri. Dokumen Kapitulasi Jepang yang ditandatangani hari itu oleh pejabat pemerintah Jepang secara resmi mengakhiri Perang Dunia II. Masyarakat sipil dan anggota militer di negara-negara Sekutu merayakan Hari Kemenangan atas Jepang [V-J Day]. Walaupun demikian, sebagian pos komando terpencil dan personel militer dari kesatuan di pelosok-pelosok Asia menolak bagi menyerah selama berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun setelah Jepang menyerah. Sejak kapitulasi Jepang, sejarawan terus berargumen tentang etika penggunaan bom atom. Perang selang Jepang dan Sekutu secara resmi berkesudahan ketika Akad San Francisco mulai berlangsung pada tanggal 28 April 1952. Empat tahun belakang Jepang dan Uni Soviet menandatangani Deklarasi Bersama Soviet–Jepang 1956 yang secara resmi mengakhiri perang selang kedua negara tersebut.

Kekalahan Jepang

Pendaratan Sekutu di Area Perang Operasi Samudra Pasifik, Agustus 1942 hingga Agustus 1945.

Pada tahun 1945, Jepang telah hampir dua tahun bertali-tali mengalami kekalahan berkepanjangan di Pasifik Barat Daya, kampanye militer Mariana, dan kampanye militer Filipina. Pada Juli 1944 setelah Saipan jatuh, Jenderal Hideki Tōjō dinaikkan bagi perdana menteri oleh Jenderal Kuniaki Koiso yang menyatakan Filipina bagi tempat pertempuran berikutnya yang memilihkan.[1] Setelah Filipina jatuh, giliran Koiso yang diwakili oleh Admiral Kantarō Suzuki. Pada paruh pertama tahun 1945, Sekutu sukses merebut Iwo Jima dan Okinawa. Setelah ditempati Sekutu, Okinawa menjadi daerah singgahan bagi menyerbu ke pulau-pulau utama di Jepang.[2] Setelah kekalahan Jerman, Uni Soviet diam-diam mulai mengerahkan kembali pasukan tempur Eropa-nya ke Timur Jauh, di samping semakin kurang empat puluh divisi yang telah diselesaikan di sana sejak tahun 1941, bagi penyeimbang kekuataan jutaan Tentara Kwantung.[3]

Operasi kapal-kapal selam Sekutu dan penyebaran ranjau di bebas pantai Jepang telah menghancurkan sebagian luhur armada dagang Jepang. Bagi negara dengan sedikit sumber daya dunia, Jepang bergantung kepada bahan mentah yang diimpor dari daratan Asia dan dari wilayah pendudukan Jepang di Hindia Belanda, terutama minyak bumi.[4] Penghancuran armada dagang Jepang, ditambah dengan pengeboman strategis daerah industri di Jepang telah meruntuhkan ekonomi perang Jepang. Produksi batu bara, besi, besi baja, karet, dan pasokan bahan mentah lainnya hanya tersedia dalam banyak kecil dibandingkan pasokan sebelum perang.[5][6]

Kapal tempur Jepang Haruna karam di tempat bersandarnya di pangkalan tingkatan laut Kure pada peristiwa Pengeboman Kure 24 Juli 1945.

Bagi belakang suatu peristiwa kerugian yang dialami, daya Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah habis. Setelah serangkaian pengeboman Sekutu di galangan kapal Jepang di Kure, Prefektur Hiroshima, kapal-kapal perang Jepang yang tersisa hanyalah enam kapal induk, empat kapal penjelajah, dan satu kapal tempur. Namun, semua kapal tersebut tidak memiliki bahan bakar yang cukup. Walaupun sedang berada 19 kapal perusak dan 38 kapal selam yang sedang operasional, pengoperasian mereka menjadi terbatas belakang suatu peristiwa kekurangan bahan bakar.[7][8]

Persiapan pertahanan

Menghadapi kemungkinan penyerbuan Sekutu ke pulau-pulau utama Jepang, dimulai dari Kyushu, Jurnal Perang Markas Luhur Kekaisaran menyimpulkan,

Kami tidak bisa lagi memimpin perang dengan berada sedikit pun keinginan bagi menang. Satu-satunya jalan yang tersisa adalah mengorbankan nyawa seratus juta rakyat Jepang bagi bom hidup supaya musuh kehilangan semangat bertempur.[9]

Bagi usaha darurat yang terakhir bagi menghentikan gerak maju Sekutu, Komando Tertinggi Kekaisaran Jepang merencanakan pertahanan Kyushu secara habis-habisan. Usaha yang dinamakan dengan sandi Operasi Ketsu-Go [10] ini dimaksudkan bagi perubahan strategi yang radikal. Berbeda dari sistem pertahanan berikat seperti yang dipakai sewaktu menginvasi Peleliu, Iwo Jima, dan Okinawa, kali ini keseluruhan dipertaruhkan di pantai. Sebelum pasukan dan perlengkapan didaratkan transpor amfibi di pantai, mereka akan diserang oleh 3.000 pesawat kamikaze.[8]

Bila strategi ini tidak mengusir Sekutu, Jepang akan mengerahkan 3.500 pesawat kamikaze tambahan berikut 5.000 kapal bunuh diri Shin'yō didampingi kapal-kapal perusak dan kapal-kapal selam yang sedang tersisa--hingga kapal terakhir yang operasional--untuk menghancurkan Sekutu. Bila Sekutu menang dalam pertempuran di pantai dan sukses mendarat di Kyushu, hanya akan tersisa 3.000 pesawat bagi mempertahankan pulau-pulau Jepang lainnya. Walaupun demikian, Kyushu akan dipertahankan "hingga titik darah penghabisan".[8] Strategi membuat pertahanan terakhir di Kyushu didasarkan pada asumsi bahwa Uni Soviet akan tetap mempertahankan netralitas.[11]

Serangkaian gua digali dekat Nagano di Honshu. Gua-gua yang dikata Markas Luhur Kekaisaran Bawah Tanah Matsushiro tersebut akan menjadi Markas Tingkatan Darat pada saat terjadinya invasi Sekutu serta rumah perlindungan bagi Kaisar Jepang dan keluarganya.[12]

Dewan Penasihat Militer

Pengambilan keputusan perang Jepang berpusat di Dewan Penasihat Militer yang beranggota enam pejabat tinggi: perdana menteri, menteri luar negeri, menteri tingkatan darat, menteri tingkatan laut, kepala staf umum tingkatan darat, dan kepala staf umum tingkatan laut.[13] Saat kabinet pemerintah Suzuki terbentu pada April 1945, keanggotaan dewan terdiri dari:

Kabinet Suzuki, Juni 1945

  • Perdana Menteri Admiral Kantarō Suzuki
  • Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō
  • Menteri Tingkatan Darat Jenderal Korechika Anami
  • Menteri Tingkatan Laut Admiral Mitsumasa Yonai
  • Kepala Staf Umum Tingkatan Darat Jenderal Yoshijirō Umezu
  • Kepala Staf Umum Tingkatan Laut Admiral Koshirō Oikawa [kemudian diwakili oleh Admiral Soemu Toyoda]

Secara hukum, Tingkatan Darat dan Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang memiliki hak bagi mencalonkan [atau menolak pencalonan] masing-masing menteri. Bagi hasilnya, Jepang bisa menghindari pembentukan pemerintahan yang tidak diingini, atau terjadinya pengunduran diri yang bisa menjatuhkan pemerintah yang sedang berlangsung.[14][15]

Kaisar Hirohito dan Penjaga Cap Pribadi Kaisar Kōichi Kido juga benar di sebagian pertemuan, setelah dimohon Kaisar.[16] Seperti yang dilaporkan Iris Chang, "Jepang sengaja menghancurkan, menyembunyikan, atau memalsukan sebagian dari dokumen rahasia perang mereka"[17][18]

Perbedaan gagasan di kalangan pemimpin Jepang

Kabinet Suzuki, dalam bermacam anggota, bertambah memilih meneruskan perang. Bagi Jepang, kapitulasi hampir tidak terpikirkan. Dalam 2000 tahun sejarahnya, Jepang tidak pernah diinvasi bangsa asing atau kalah dalam perang.[19] Hanya Menteri Tingkatan Laut Mitsumasa Yonai yang dikenali memiliki hasrat bagi mengakhiri perang.[20] Menurut sejarawan Richard B. Frank:

Walaupun Suzuki pastinya melihat perdamaian bagi sasaran jangka panjang, beliau tidak memiliki rencana bagi mewujudkannya dalam jangka waktu dekat atau dengan syarat-syarat yang bisa diterima Sekutu. Komentarnya dalam konferensi negarawan senior tidak memberikan tanda-tanda dirinya menginginkan berkesudahannya perang bertambah awal ... . ; Pilihan Suzuki bagi pos-pos kabinet yang paling penting, dengan pengecualian satu orang, bukanlah juga tokoh pendukung perdamaian.[21]

Seusai perang, Perdana Menteri Suzuki dan pejabat lain dari pemerintahannya mengaku mereka secara rahasia merundingkan perdamaian, tapi secara buka tidak bisa mengumumkannya. Mereka mengutip konsep Jepang tentang haragei [seni mengadakan komunikasi dengan sikap dan daya kepribadian dan bukan melalui kata-kata] bagi membenarkan ketidakselarasan selang gerakan di muka umum dan cara di balik layar. Namun, sebagian sejarawan menolak interpretasi ini. Robert J. C. Butow menulis:

Berdasarkan argumen yang sangat ambigu, pembelaan soal haragei menimbulkan kecurigaan bahwa dalam masalah politik dan diplomasi, secara sadar menggantungkan diri pada seni menggertak mungkin bisa dianggap bagi pengelabuan disengaja yang diperkirakan didasarkan hasrat mengadu domba bagi keuntungan sendiri. Walaupun keputusan ini tidak sesuai dengan kepribadian Admiral Suzuki yang banyak dipuji, pada kenyataannya dari saat beliau dinaikkan bagi perdana menteri hingga hari beliau mengundurkan diri, tidak berada seorang pun yang bisa memastikan apa yang berikutnya akan diistilahkan atau dilaksanakan Suzuki.[22]

Pemimpin Jepang selalu menginginkan penyelesaian perang dengan negosiasi. Perencanaan praperang mereka mengharapkan perluasan wilayah secara cepat, konsolidasi, konflik yang tidak terhindarkan dengan Amerika Serikat, dan penyelesaian perang yang memungkinkan Jepang mempertahankan paling tidak sebagian wilayah baru yang telah mereka duduki.[23] Pada tahun 1945, pemimpin-pemimpin Jepang sepakat bahwa perang tidak berlangsung dengan lancar, tetapi mereka tidak sepakat tentang cara-cara terbaik dalam bernegosiasi bagi mengakhiri perang. Kalangan pemimpin Jepang terbelah menjadi dua kubu. Faksi "damai" menginginkan inisiatif diplomatik dengan membujuk pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin supaya bertindak bagi mediator penyelesaian perang selang Jepang dan Amerika Serikat beserta sekutunya. Sebaliknya, faksi garis keras bertambah memilih bertempur dalam satu pertempuran terakhir yang "menentukan" hingga jatuh korban begitu banyak di pihak Sekutu yang mengakibatkan mereka akan menawarkan syarat-syarat yang bertambah lunak.[24] Kedua kubu terbentuk berdasarkan pengalaman Jepang dalam Perang Rusia-Jepang empat puluh tahun sebelumnya. Dalam perang tersebut terjadi serangkaian pertempuran yang memakan kerugian luhur yang tidak memilihkan pemenang, tetapi diakhiri oleh Pertempuran Tsushima yang dimenangkan Jepang.[25]

Admiral Kantarō Suzuki menjabat Perdana Menteri Jepang dalam bulan-bulan sebelum perang berkesudahan.

Pada penghabisan Januari 1945, sebagian pejabat Jepang yang dekat dengan Kaisar mempertimbangkan syarat-syarat kapitulasi yang akan melindungi kedudukan Kaisar Jepang. Proposal-proposal yang dikirim melalui saluran Amerika Serikat dan Inggris tersebut disusun oleh Jenderal Douglas MacArthur menjadi dokumen 40 halaman, dan belakang, pada 2 Februari, dua hari sebelum Konferensi Yalta, diberikan kepada Presiden Franklin D. Roosevelt. Menurut laporan, dokumen tersebut didorong oleh Roosevelt tanpa pertimbangan apa pun. Semua proposal mencakup syarat bahwa kedudukan kaisar tetap dipertahankan, walaupun mungkin bagi penguasa boneka. Namun pada saat itu, kebijakan Sekutu hanyalah menerima penyerahan tanpa syarat.[26] Selain itu, proposal-proposal ini didorong keras oleh pejabat pemerintahan Jepang yang berpengaruh, dan oleh sebab itu tidak bisa diistilahkan mewakili hasrat Jepang yang sebenarnya bagi menyerah pada waktu itu.[27]

Pada Februari 1945, Pangeran Fumimaro Konoe memberi Kaisar Hirohito sebuah memorandum yang menganalisis situasi dan menyampaikan kepada Hirohito bahwa bila perang diteruskan, kekaisaran akan menghadapi revolusi internal yang bertambah berbahaya daripada kalah dalam perang.[28] Menurut buku harian Pengurus Rumah Tangga Kaisar Hisanori Fujita, Kaisar yang menunggu pertempuran memilihkan [tennōzan] menjawab bahwa sedang terlalu dini menawarkan perdamaian, "Kecuali kita membuat satu lagi kemenangan militer."[29] Sedang pada bulan Februari tahun yang sama, divisi akad Jepang menulis tentang kebijakan Sekutu terhadap Jepang tentang "penyerahan tanpa syarat, pendudukan, perlucutan senjata, penghapuskan militerisme, reformasi demokrasi, hukuman bagi penjahat perang, dan status kaisar."[30] Pelucutan senjata oleh Sekutu, penjatuhan hukuman bagi penjahat perang Jepang, dan khususnya pendudukan dan penghapusan kedudukan kaisar tidak diterima oleh pemimpin Jepang.[31][32]

Pada 5 April, Uni Soviet mengumumkan tidak akan memperbarui Pakta Netralitas Soviet-Jepang[33] yang ditandatangani tahun 1941 setelah terjadinya Peristiwa Nomonhan.[34] Pada Konferensi Yalta Februari 1945, negara-negara Barat yang tergabung dalam Sekutu telah menyepakati konsesi yang substansial dengan Soviet bagi mengamankan akad dari Soviet bagi menyatakan perang terhadap Jepang tidak bertambah dari tiga bulan setelah Jerman menyerah. Walaupun secara hukum Pakta Netralitas tetap berlangsung hingga setahun setelah Uni Soviet membatalkannya [hingga 5 April 1946], pembatalan sepihak ini secara jelas tetapi terselubung menunjukkan niat perang Uni Soviet.[35] Menteri Luar Negeri Rusia Vyacheslav Molotov, di Moskow, dan Yakov Malik, duta luhur Soviet di Tokyo, sungguh-sungguh mencoba meyakinkan Jepang bahwa "masa berlangsung Pakta tersebut belum berakhir".[36]

Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō

Pada serangkaian rapat tingkat tinggi pada bulan Mei 1965, keenam anggota Dewan Penasihat Militer dengan serius membahas metode mengakhiri perang. Namun tidak seorang pun dari mereka setuju dengan syarat-syarat yang diajukan Sekutu. Mengingat siapa pun yang secara buka mendukung kapitulasi Jepang terancam bahaya pembunuhan oleh perwira tingkatan darat yang sangat setia, rapat-rapat tersebut tertutup bagi siapa pun kecuali keenam anggota Dewan Penasihat Militer, Kaisar, dan penjaga cap pribadi kaisar. Tidak berada perwira eselon dua atau eselon tiga yang diizinkan benar.[37] Pada rapat-rapat tersebut, hanya Menteri Luar Negeri Tōgō yang menyadari kemungkinan sekutu negara-negara Barat sudah membuat konsesi dengan Soviet bagi mengajak mereka bertempur melawan Jepang.[38] Bagi hasil rapat-rapat tersebut, Tōgō diberi wewenang bagi mendekati Uni Soviet, berkeinginan mereka bagi tetap mempertahankan netralitas, atau bertambah fantastis lagi, akan membentuk aliansi.[39]

Sejalan dengan tradisi pemerintahan baru mengumumkan tujuan-tujuan mereka, setelah rapat bulan Mei habis, staf Tingkatan Darat mengeluarkan dokumen berjudul "Kebijakan Fundamental bagi Diiringi Berikutnya dalam Melaksanakan Perang" yang menyatakan rakyat Jepang akan berjuang hingga punah daripada menyerah. Kebijakan ini diadopsi oleh Dewan Penasihat Militer pada 6 Juni [Tōgō menentangnya, sementara kelima anggota lain mendukung].[40] Dokumen-dokumen yang diajukan Suzuki pada pertemuan yang sama menyarankan bahwa dalam usaha awal diplomatik dengan Uni Soviet, Jepang mengambil pendekatan bagi berikut:

Rusia harus diberi tahu dengan jelas bahwa kemenangannya atas Jerman adalah berkat Jepang, sebab kita tetap netral, dan Soviet akan diuntungkan bila membantu Jepang mempertahankan kedudukannya di dunia internasional, sebab musuh mereka di masa hadapan adalah Amerika Serikat.[41]

Pada 9 Juni, orang keyakinan kaisar Kōichi Kido menulis "Rancangan Rencana Pengendalian Situasi Krisis" yang memperingatkan bahwa pada penghabisan tahun kemampuan Jepang bagi melaksanakan perang modern akan habis dan pemerintah akan tidak mampu mengendalikan kerusuhan sipil. ".... Kita tidak tahu pasti apakah kita akan bernasib sama seperti Jerman dan terjatuh dalam keadaan yang sulit hingga kita tidak bisa mencapai sasaran tertinggi menjaga Rumah Tangga Kekaisaran dan mempertahankan kelola negara nasional."[42] Kido mengusulkan Kaisar sendiri ikut ambil anggota, dengan menawarkan bagi mengakhiri perang dengan "syarat-syarat yang sangat murah hati". Kido mengusulkan Jepang memerdekakan wilayah taklukan Eropa, asalkan mereka diberi kemerdekaan, dan negara kita dilucuti, serta bagi sementara harus "puas dengan pertahanan minimum". Berbekal penugasan Kaisar, Kido mendekati sebagian anggota Dewan Penasihat Militer. Tōgō sangat mendukung. Suzuki dan Menteri Tingkatan Laut Admiral Mitsumasa Yonai keduanya sangat berhati-hati mendukung; masing-masing meminta keterangan dalam hati, apa yang dipikirkan satu sama lain. Menteri Tingkatan Darat Jenderal Korechika Anami bersikap ambivalen, bersikeras diplomasi harus menunggu "hingga Amerika Serikat menderita kerugian besar" dalam Operasi Ketsu-Go.[43]

Pada bulan Juni 1845, Kaisar sudah kehilangan keyakinan terhadap kesempatan mencapai kemenangan militer. Jepang sudah kalah dalam Pertempuran Okinawa. Kaisar juga sudah mendapat kabar tentang kelemahan tingkatan darat di Cina, begitu pula soal tingkatan laut dan tingkatan darat yang mempertahankan pulau-pulau utama Jepang. Kaisar menerima laporan dari Pangeran Higashikuni; darinya Kaisar mengambil kesimpulan bahwa "bukan saja pertahanan bebas pantai, divisi yang tersedia bagi diterjunkan di pertempuran yang memilihkan juga tidak memiliki banyak senjata yang memadai."[44] Menurut Kaisar:

Kita sudah diberi tahu besi asal bom yang dijatuhkan musuh sudah digunakan bagi membuat sekop. Hal ini berarti kita tidak berada dalam kedudukan melanjutkan perang.[44]

Pada 22 Juni, kaisar memanggil keenam anggota Dewan Penasihat Militer bagi rapat. Tidak seperti pada umumnya, Kaisar membuka pembicaraan: "Kita menginginkan rencana konkrit bagi mengakhiri perang, tanpa dirintangi kebijakan yang berada, akan dipelajari dengan cepat dan usaha-usaha dilaksanakan bagi mengimplementasikannya."[45] Pertemuan menyetujui bagi mengundang bantuan Soviet dalam mengakhiri perang. Negara-negara netral lain seperti Swiss, Swedia, dan Vatikan diketahui berniat memainkan peranan dalam menciptakan perdamaian, tapi mereka terlalu kecil hingga mereka tidak bisa melaksanakan bertambah dari sekadar menyampaikan syarat-syarat kapitulasi Sekutu serta penerimaan atau penolakan dari Jepang. Uni Soviet diharapkan bisa dibujuk bagi bertindak bagi kaki tangan Jepang dalam bernegosiasi dengan Sekutu Barat.[46]

Usaha berurusan dengan Uni Soviet

Naotake Satō

Pada 30 Juni, Tōgō memerintahkan Duta Luhur Jepang bagi Moskwa Naotake Satō bagi berusaha menciptakan "hubungan persahabatan yang ketat dan tidak berkesudahan." Satō bermaksud membicarakan status Manchuria dan "masalah apa saja yang akan dinaikkan Rusia."[47] Satō akhir-akhirnya berjumpa dengan Menteri Luar Negeri Soviet Vyacheslav Molotov pada 11 Juli, namun pertemuan tidak memproduksi apa-apa. Pada 12 Juli, Tōgō memerintahkan Satō bagi menyampaikan kepada Soviet bahwa,

Yang Luhur Kaisar mempertimbangkan fakta bahwa perang yang kini dari hari ke hari membawa kemalangan dan pengorbanan bagi rakyat dari semua pihak-pihak yang bertempur, hasrat dari dalam hati supaya bisa segera dicerai-beraikan. Namun selama Inggris dan Amerika Serikat bersikeras soal penyerahan tanpa syarat, Kekaisaran Jepang tidak punya pilihan lain kecuali bertempur dengan segenap tenaga bagi kehormatan dan keberlangsungan tanah cairan.[48]

Kaisar mengusulkan bagi mengirim Pangeran Konoe bagi Utusan Luar Biasa, walaupun beliau tidak bisa tiba di Moskwa sebelum dimulainya Konferensi Potsdam.

Satō memberi tahu Tōgō bahwa dalam kenyataan, Jepang hanya bisa mengharapkan "penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang hampir setara ke situ". Bertambah jauh lagi Satō mengatakan bahwa pesan-pesan Tōgō "tidak jelas soal pandangan pemerintah dan militer dalam hal penghentian perang," serta mempertanyakan apakah inisiatif Tōgō didukung oleh unsur-unsur kunci dalam struktur kekuasaan Jepang.[49]

Pada 17 Juli, Tōgō menjawab,

Walaupun para penguasa, dan juga pemerintah yakin bahwa daya perang kita sedang bisa menimbulkan pukulan berarti terhadap musuh, kami tidak bisa merasakan kedamaian hati yang betul-betul pasti. ... .. Namun, mohon betul-betul diingat, bahwa kita tidak berkeinginan mediasi Rusia bagi hal-hal seperti penyerahan tanpa syarat.[50]

Dalam jawabannya, Satō memperjelas,

Sudah benda/barang tentu dalam pesan diri sendiri sebelumnya menyebut penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang hampir setara, diri sendiri membuat pengecualian soal mempertahankan [Rumah Tangga Kekaisaran].[51]

Pada 21 Juli, bercakap atas nama kabinet, Tōgō mengulangi,

Tentang soal penyerahan tanpa syarat kami tidak bisa menyetujuinya berdasarkan keadaan bagaimana pun. ... .. Dalam usaha menghindari keadaan seperti itu kita sedang mencari damai, ... .. melalui afal baik aci Rusia. ... .. Ditinjau dari sudut pandang dalam negeri dan luar negeri, membuat pernyataan segera tentang syarat-syarat tertentu adalah merugikan dan tidak mungkin.[52]

Berbakat kriptografi Amerika Serikat yang bergabung dalam Proyek Magic telah memecahkan sebagian luhur sandi Jepang, termasuk kode Purple yang dipakai oleh kantor-kantor perwakilan Jepang bagi menyandikan koresponden diplomatik. Bagi belakang suatu peristiwanya, pesan selang Tokyo dan kedutaan-kedutaan Jepang tiris ke pemimpin Sekutu hampir sama cepatnya dengan penerima di alamat sasaran.[53]

Maksud-maksud Soviet

Urusan keamanan mendominasi keputusan Soviet soal Timur Jauh.[54] Di selang hasrat yang paling utama adalah memperoleh akses tidak terbatas ke Samudra Pasifik. Daerah bebas pantai Soviet di Pasifik yang bebas sama sekali es sepanjang tahun, khususnya Vladivostok, bisa diblokade melalui udara dan laut dari Sakhalin dan Kepulauan Kuril. Bila keduanya didapatkan berarti Rusia memperoleh akses bebas sama sekali ke Selat Soya yang memang menjadi sasaran utama.[55][56] Sasaran kedua adalah akad kontrak Jalur Kereta Api Timur Jauh Cina, Jalur Kereta Api Manchuria Selatan, Dairen, dan Lushun.[57]

Bagi mencapai sasarannya, Stalin and Molotov dengan semangat bernegosiasi dengan Jepang, memberikan Jepang keinginan palsu akan perdamaian dengan Uni Soviet bagi mediator.[58] Pada saat yang bersamaan, dalam transaksi Soviet dengan Amerika Serikat dan Inggris, Soviet bersikeras bagi secara sempit menaati Deklarasi Kairo, ditegaskan kembali di Konferensi Yalta bahwa Sekutu tidak akan menerima perdamaian bersyarat atau perdamaian sendiri-sendiri dengan Jepang. Kepada semua negara-negara Sekutu, Jepang harus menyerah tanpa syarat. Bagi memperpanjang perang, Uni Soviet menentang semua upaya yang dilaksanakan bagi memperlunak syarat-syarat kapitulasi.[58] Bila perang tidak segera habis, Uni Soviet sedang punya cukup waktu bagi memindahkan pasukan-pasukan mereka ke area perang Pasifik, bagi berikutnya merebut Sakhalin, Kepulauan Kuril, dan kemungkinan Hokkaido[59] [invasi dimulai dengan pendaratan di Rumoi, Hokkaido].[60]

Proyek Manhattan

Pada 1939, Albert Einstein dan Leó Szilárd menulis sepucuk surat kepada Presiden Roosevelt yang mendesaknya bagi mendanai penelitian dan pengembangan bom atom. Roosevelt setuju dan hasilnya adalah proyek riset sangat rahasia yang dikata Proyek Manhattan. Proyek ini dipimpin Jenderal Leslie Groves dengan J. Robert Oppenheimer bagi direktur pengarah aspek ilmiah. Bom atom pertama dengan sukses diledakkan dalam percobaan Trinity 16 Juli 1945.

Sementara proyek hampir berkesudahan, pemimpin perang Amerika mulai mempertimbangkan bagi menggunakan bom atom terhadap Jepang. Groves membentuk komite pencari sasaran yang berjumpa pada bulan April dan Mei 1945. Komite ini menyusun daftar sasaran bom atom. Mereka memilih 18 kota-kota di Jepang. Masuk dalam daftar di urutan paling atas adalah Kyoto, Hiroshima,[61] Yokohama, Kokura, dan Niigata.[62][63] Pada akhir-akhirnya Kyoto dihapus dari daftar atas desakan Menteri Perang Henry L. Stimson yang pernah mengunjungi Kyoto sewaktu bulan madu, dan mengetahui kota ini sangat penting dalam anggota kebudayaan dan sejarah.[64]

Pada bulan Mei, Harry S. Truman dinaikkan bagi Presiden Amerika Serikat yang baru setelah Franklin Roosevelt wafat pada 16 April 1945. Truman menyetujui pembentukan komite Interim, sebuah golongan penasihat yang melapor tentang bom atom.[63] Komite Interim terdiri dari George L. Harrison, Vannevar Bush, James Bryant Conant, Karl Taylor Compton, William L. Clayton, dan Ralph Austin Bard, serta dibantu dewan penasihat yang terdiri dari ilmuwan Oppenheimer, Enrico Fermi, Ernest Lawrence, dan Arthur Compton. Dalam laporan tanggal 1 Juni 1945, komite berkesimpulan bom atom harus digunakan secepat mungkin terhadap instalasi-instalasi perang berikut rumah-rumah pekerja di sekelilingnya, dan tidak perlu memberi peringatan atau peragaan sebelumnya.[65]

Mandat yang diberikan kepada komite tidak termasuk penggunaan bom atom, walaupun penggunaannya sudah diperkirakan bila sudah habis.[66] Komite mengkaji kembali penggunaan bom atom setelah berada protes dalam wujud Laporan Franck dari ilmuwan Proyek Manhattan. Pada rapat 21 Juni, komite menegaskan kembali bahwa tidak berada alternatif lain selain menggunakan bom atom.[67]

Acara-acara di Potsdam

Pemimpin daya utama Sekutu berjumpa dalam Konferensi Potsdam 16 Juli-2 Agustus 1945. Uni Soviet, Kerajaan Bersatu, dan Amerika Serikat, masing-masing diwakili oleh Stalin, Winston Churchill [kemudian Clement Attlee], dan Truman.

Negosiasi

Perang melawan Jepang merupakan salah satu dari bermacam isu yang diceritakan di Potsdam. Truman mendapat berita tentang suksesnya percobaan Trinity pada awal konferensi, dan menyampaikan informasi tersebut ke delegasi Inggris. Kesuksesan percobaan bom atom menyebabkan delegasi Amerika Serikat mempertimbangkan kembali tentang perlunya partisipasi Soviet [seperti dijanjikan di Yalta].[68] Prioritas teratas Sekutu adalah mempersingkat perang dan mengurangi korban di pihak Amerika Serikat. Kedua hal tersebut mungkin bisa dibantu dengan beradanya campur tangan Uni Soviet, namun kemungkinan harus dibayar dengan membolehkan Soviet mencaplok wilayah-wilayah di luar wilayah yang dijanjikan bagi mereka di Yalta, dan mungkin Jepang akan terbagi dua seperti Jerman.[69]

Dalam kesepakatan dengan Stalin, Truman memutuskan bagi memberikan pemimpin Soviet kabar tentang keberadaan senjata baru yang kuat tanpa memberitahukan rinciannya. Namun, Sekutu lainnya tidak menyadari bahwa intelijen Soviet telah menyusup dalam Proyek Manhattan pada tahap awal, sehingga ketika Stalin mengetahui keberadaan bom atom, beliau tidak terkesan dengan potensinya.[70]

Deklarasi Potsdam

Pemimpin negara-negara utama Sekutu memutuskan bagi mengeluarkan pernyataan yang dikata Deklarasi Potsdam yang menetapkan "penyerahan tanpa syarat" dan memperjelas guna kapitulasi Jepang bagi kedudukan kaisar dan bagi Hirohito secara pribadi. Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris saling bertentangan tentang butir terakhir. Amerika Serikat akan menghapus kedudukan kaisar dan kemungkinan mengadilinya bagi penjahat perang. Sebaliknya, Inggris akan mempertahankan kedudukan kaisar, mungkin dengan Hirohito yang tetap bertahta. Pernyataan-pernyataan dalam rancangan Deklarasi Potsdam mengalami bermacam revisi sebelum versi yang diterima kedua belah pihak habis.[71]

Pada 26 Juli 1945, Amerika Serikat, Inggris, dan Cina merilis Deklarasi Potsdam yang mempunyai kontennya syarat-syarat kapitulasi Jepang dengan peringatan, "Kami tidak akan menyimpang dari ketentuan-ketentuan ini. Tidak berada alternatif. Kami tidak membolehkan beradanya penundaan." Bagi Jepang, deklarasi menetapkan syarat-syarat bagi berikut:

  • Penghapusan "selama-lamanya dari kekuasaan dan pengaruh tokoh-tokoh yang telah menipu dan menyesatkan rakyat Jepang ke arah dimulainya penaklukan dunia"
  • Pendudukan "titik-titik dalam wilayah Jepang yang akan ditetapkan oleh Sekutu"
  • "Kedaulatan Jepang akan dibatasi pada pulau-pulau Honshu, Hokkaido, Kyushu, dan Shikoku, serta pulau-pulau kecil seperti yang kami tetapkan." Seperti telah diumumkan dalam Deklarasi Kairo 1943, wilayah-wilayah Jepang akan disita hingga wilayah sebelum perang, termasuk Korea dan Taiwan, begitu pula wilayah-wilayah taklukannya baru-baru ini.
  • "Daya militer Jepang harus sepenuhnya dilucuti"
  • "Keadilan yang keras harus dijatuhkan kepada semua penjahat perang, termasuk semua yang telah melaksanakan kekejaman terhadap orang kita yang ditawan".

Di lain pihak, deklarasi menegaskan bahwa:

  • "Kami tidak bermaksud memperbudak Jepang bagi suatu ras atau menghancurkannya bagi suatu bangsa, ... .. Pemerintah Jepang harus menghapus semua penghalang bagi kebangkitan dan makin menguatnya kecenderungan demokrasi di selang rakyat Jepang. Kebebasan bercakap, beragama, dan berpikir, begitu pula peghormatan bagi hak asasi manusia yang fundamental harus ditegakkan."
  • "Jepang harus dibolehkan memiliki industri-industri yang akan menunjang ekonomi dan memungkinkan bagi membayar tuntutan pampasan yang serupa dan sama berat, ... .. Partisipasi Jepang dalam hubungan dagang internasional harus dibolehkan."
  • "Kesatuan pendudukan Sekutu akan ditarik dari Jepang segera setelah tujuan-tujuan tersebut dicapai dan telah berdirinya sebuah pemerintahan yang bertanggung jawab dan berhaluan damai sesuai dengan hasrat rakyat Jepang yang diungkapkan secara bebas sama sekali."

Satu-satunya pasal yang menyebut tentang "penyerahan tanpa syarat" dicantumkan pada penghabisan deklarasi:

  • "Kami mengimbau pemerintah Jepang bagi menyatakan kini juga kapitulasi tanpa syarat dari semua tingkatan bersenjata Jepang, dan bagi memperlihatkan jaminan yang cukup dan layak atas maksud aci mereka terhadap hal tersebut. Pilihan lain bagi Jepang adalah "penghancuran sepenuhnya dan segera."

Tidak diistilahkan tentang Kaisar Hirohito apakah termasuk ke dalam salah satu dari tokoh yang "menyesatkan rakyat Jepang", atau juga seorang penjahat perang, bahkan sebaliknya anggota dari "pemerintah yang bertanggung jawab dan mempunyai keinginan damai". Pasal "penghancuran sepenuhnya dan segera" kemungkinan adalah peringatan terselubung soal kepemilikan bom atom oleh Amerika Serikat [yang telah dicobakan dengan sukses pada hari pertama konferensi].[72]

Reaksi Jepang

Pada 27 Juli, pemerintah Jepang menimbang-nimbang metode menanggapi Deklarasi Potsdam. Empat tokoh militer dari Dewan Penasihat Militer bermaksud menolaknya, tapi Tōgō membujuk kabinet bagi tidak melaksanakannya hingga beliau mendapat reaksi dari Uni Soviet. Dalam sebuah telegram, Duta Luhur Jepang bagi Swiss Shunichi Kase berpendapat bahwa penyerahan tanpa syarat hanya berlangsung bagi militer dan bukan bagi pemerintah atau rakyat, dan beliau minta supaya difahami bahwa pemilihan bahasa yang hati-hati dalam Deklarasi Potsdam sepertinya "telah mengalami konsep yang mendalam" dari pihak pemerintah-pemerintah yang menandatanganinya--"mereka kelihatannya telah bersusah payah berusaha menyelamatkan muka kita pada bermacam pasal-pasal."[73] Pada hari berikutnya, surat-surat kabar Jepang melaporkan bahwa Jepang telah menolak inti Deklarasi Potsdam yang sebelumnya telah disiarkan dan dijatuhkan bagi selebaran udara di atas Jepang. Dalam usaha mengatasi persepsi publik, Perdana Menteri Suzuki berjumpa dengan pers, dan memberi pernyataan,

Diri sendiri menganggap Proklamasi Bersama bagi pengulangan kembali Deklarasi di Konferensi Kairo. Tentang hal tersebut, Pemerintah tidak menganggapnya memiliki nilai penting sama sekali. Salah satu hal yang bisa dilaksanakan adalah mengabaikannya [mokusatsu]. Kami tidak akan melaksanakan apa-apa kecuali menanggungnya hingga penghabisan bagi mendatangkan penghabisan perang yang sukses.[74]

Guna kata mokusatsu adalah mengabaikan atau tidak menanggapi.[74] Walaupun demikian, pernyataan Suzuki, terutama kalimat terakhir hanya menyisakan sedikit ruang bagi interpretasi yang salah. Pers Jepang dan pers luar negeri mengartikannya bagi penolakan, dan tidak berada pernyataan bertambah lanjut yang disampaikan ke muka umum atau saluran diplomatik bagi mengubah kesalahpahaman ini.

Pada 30 Juli, Duta Luhur Satō menulis bahwa Stalin kemungkinan sedang bercakap dengan Sekutu Barat tentang transaksinya dengan Jepang. Menurut Satō, "Tidak berada alternatif selain penyerahan tanpa syarat dengan segera bila kita akan mencegah partisipasi Rusia dalam perang."[75] Pada 2 Agustus, Tōgō menulis kepada Satō, "Sulit bagi Anda bagi mewujudkan hal itu ... .. terbatas waktu kita bagi berlanjut ke persiapan mengakhiri perang sebelum musuh mendarat di pulau-pulau utama Jepang, di lain pihak sulit bagi memutuskan syarat-syarat damai yang nyata di tanah cairan secara sekaligus."[76]

Hiroshima, Manchuria, dan Nagasaki

Hiroshima: 6 Agustus

Page 3

Menyerahnya Jepang pada bulan Agustus 1945 menandai penghabisan Perang Dunia II. Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah tidak berada sejak Agustus 1945, sementara invasi Sekutu ke Jepang hanya tinggal waktu. Walaupun hasrat bagi melawan hingga titik penghabisan dinyatakan secara buka, pemimpin Jepang dari Dewan Penasihat Militer Jepang secara pribadi memohon Uni Soviet bagi berperan bagi mediator dalam akad damai dengan syarat-syarat yang menguntungkan Jepang. Sementara itu, Uni Soviet juga berjaga-jaga bagi menyerang Jepang dalam usaha memenuhi akad kepada Amerika Serikat dan Inggris di Konferensi Yalta.

Pada 6 Agustus dan 9 Agustus, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Pada 9 Agustus, Uni Soviet melancarkan penyerbuan mendadak ke koloni Jepang di Manchuria [Manchukuo] yang melanggar Pakta Netralitas Soviet–Jepang. Kaisar Hirohito campur tangan setelah terjadi dua peristiwa mengejutkan tersebut, dan memerintahkan Dewan Penasihat Militer bagi menerima syarat-syarat yang ditawarkan Sekutu dalam Deklarasi Potsdam. Setelah berlangsung perundingan di balik layar selama sebagian hari, dan kudeta yang gagal, Kaisar Hirohito menyampaikan pidato radio di hadapan rakyat pada 15 Agustus 1945. Dalam pidato radio yang dikata Gyokuon-hōsō [Siaran Suara Kaisar], Hirohito membacakan Perintah Kekaisaran tentang kapitulasi, sekaligus mengumumkan kepada rakyat bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.

Pendudukan Jepang oleh Komandan Tertinggi Sekutu dimulai pada 28 Agustus. Upacara kapitulasi diselenggarakan pada 2 September 1945 di atas kapal tempur Amerika Serikat Missouri. Dokumen Kapitulasi Jepang yang ditandatangani hari itu oleh pejabat pemerintah Jepang secara resmi mengakhiri Perang Dunia II. Masyarakat sipil dan anggota militer di negara-negara Sekutu merayakan Hari Kemenangan atas Jepang [V-J Day]. Walaupun demikian, sebagian pos komando terpencil dan personel militer dari kesatuan di pelosok-pelosok Asia menolak bagi menyerah selama berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun setelah Jepang menyerah. Sejak kapitulasi Jepang, sejarawan terus berargumen tentang etika penggunaan bom atom. Perang selang Jepang dan Sekutu secara resmi akhir-akhirnya ketika Akad San Francisco mulai berlangsung pada tanggal 28 April 1952. Empat tahun belakang Jepang dan Uni Soviet menandatangani Deklarasi Bersama Soviet–Jepang 1956 yang secara resmi mengakhiri perang selang kedua negara tersebut.

Kekalahan Jepang

Pendaratan Sekutu di Area Perang Operasi Lautan Pasifik, Agustus 1942 hingga Agustus 1945.

Pada tahun 1945, Jepang telah hampir dua tahun bertali-tali mengalami kekalahan berkepanjangan di Pasifik Barat Daya, kampanye militer Mariana, dan kampanye militer Filipina. Pada Juli 1944 setelah Saipan jatuh, Jenderal Hideki Tōjō dinaikkan bagi perdana menteri oleh Jenderal Kuniaki Koiso yang menyatakan Filipina bagi tempat pertempuran berikutnya yang menentukan.[1] Setelah Filipina jatuh, giliran Koiso yang diwakili oleh Admiral Kantarō Suzuki. Pada paruh pertama tahun 1945, Sekutu sukses merebut Iwo Jima dan Okinawa. Setelah ditempati Sekutu, Okinawa menjadi daerah singgahan bagi menyerbu ke pulau-pulau utama di Jepang.[2] Setelah kekalahan Jerman, Uni Soviet diam-diam mulai mengerahkan kembali pasukan tempur Eropa-nya ke Timur Jauh, di samping sekitar empat puluh divisi yang telah ditempatkan di sana sejak tahun 1941, bagi penyeimbang kekuataan jutaan Tentara Kwantung.[3]

Operasi kapal-kapal selam Sekutu dan penyebaran ranjau di bebas pantai Jepang telah menghancurkan sebagian luhur armada dagang Jepang. Bagi negara dengan sedikit sumber daya dunia, Jepang bergantung kepada bahan mentah yang diimpor dari daratan Asia dan dari wilayah pendudukan Jepang di Hindia Belanda, terutama minyak bumi.[4] Penghancuran armada dagang Jepang, ditambah dengan pengeboman strategis daerah industri di Jepang telah meruntuhkan ekonomi perang Jepang. Produksi batu bara, besi, besi baja, karet, dan pasokan bahan mentah lainnya hanya tersedia dalam banyak kecil dibandingkan pasokan sebelum perang.[5][6]

Kapal tempur Jepang Haruna karam di tempat bersandarnya di pangkalan tingkatan laut Kure pada peristiwa Pengeboman Kure 24 Juli 1945.

Bagi belakang suatu peristiwa kerugian yang dialami, daya Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah habis. Setelah serangkaian pengeboman Sekutu di galangan kapal Jepang di Kure, Prefektur Hiroshima, kapal-kapal perang Jepang yang tersisa hanyalah enam kapal induk, empat kapal penjelajah, dan satu kapal tempur. Namun, semua kapal tersebut tidak mempunyai bahan bakar yang cukup. Walaupun sedang berada 19 kapal perusak dan 38 kapal selam yang sedang operasional, pengoperasian mereka menjadi terbatas belakang suatu peristiwa kekurangan bahan bakar.[7][8]

Persiapan pertahanan

Menghadapi kemungkinan penyerbuan Sekutu ke pulau-pulau utama Jepang, dimulai dari Kyushu, Jurnal Perang Markas Luhur Kekaisaran menyimpulkan,

Kami tidak bisa lagi memimpin perang dengan berada sedikit pun keinginan bagi menang. Satu-satunya jalan yang tersisa adalah mengorbankan nyawa seratus juta rakyat Jepang bagi bom hidup supaya musuh kehilangan semangat bertempur.[9]

Bagi usaha darurat yang terakhir bagi menghentikan gerak maju Sekutu, Komando Tertinggi Kekaisaran Jepang merencanakan pertahanan Kyushu secara habis-habisan. Usaha yang dinamakan dengan sandi Operasi Ketsu-Go [10] ini dimaksudkan bagi perubahan strategi yang radikal. Berbeda dari sistem pertahanan berikat seperti yang dipakai sewaktu menginvasi Peleliu, Iwo Jima, dan Okinawa, kali ini keseluruhan dipertaruhkan di pantai. Sebelum pasukan dan perlengkapan didaratkan transpor amfibi di pantai, mereka akan diserang oleh 3.000 pesawat kamikaze.[8]

Bila strategi ini tidak mengusir Sekutu, Jepang akan mengerahkan 3.500 pesawat kamikaze tambahan berikut 5.000 kapal bunuh diri Shin'yō didampingi kapal-kapal perusak dan kapal-kapal selam yang sedang tersisa--hingga kapal terakhir yang operasional--untuk menghancurkan Sekutu. Bila Sekutu menang dalam pertempuran di pantai dan sukses mendarat di Kyushu, hanya akan tersisa 3.000 pesawat bagi mempertahankan pulau-pulau Jepang lainnya. Walaupun demikian, Kyushu akan dipertahankan "hingga titik darah penghabisan".[8] Strategi membuat pertahanan terakhir di Kyushu didasarkan pada asumsi bahwa Uni Soviet akan tetap mempertahankan netralitas.[11]

Serangkaian gua digali dekat Nagano di Honshu. Gua-gua yang dikata Markas Luhur Kekaisaran Bawah Tanah Matsushiro tersebut akan menjadi Markas Tingkatan Darat pada masa terjadinya invasi Sekutu serta rumah perlindungan bagi Kaisar Jepang dan keluarganya.[12]

Dewan Penasihat Militer

Pengambilan keputusan perang Jepang berpusat di Dewan Penasihat Militer yang beranggota enam pejabat tinggi: perdana menteri, menteri luar negeri, menteri tingkatan darat, menteri tingkatan laut, kepala staf umum tingkatan darat, dan kepala staf umum tingkatan laut.[13] Masa kabinet pemerintah Suzuki terbentu pada April 1945, keanggotaan dewan terdiri dari:

Kabinet Suzuki, Juni 1945

  • Perdana Menteri Admiral Kantarō Suzuki
  • Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō
  • Menteri Tingkatan Darat Jenderal Korechika Anami
  • Menteri Tingkatan Laut Admiral Mitsumasa Yonai
  • Kepala Staf Umum Tingkatan Darat Jenderal Yoshijirō Umezu
  • Kepala Staf Umum Tingkatan Laut Admiral Koshirō Oikawa [kemudian diwakili oleh Admiral Soemu Toyoda]

Secara hukum, Tingkatan Darat dan Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang mempunyai hak bagi mencalonkan [atau menolak pencalonan] masing-masing menteri. Bagi hasilnya, Jepang bisa menghindari pembentukan pemerintahan yang tidak diingini, atau terjadinya pengunduran diri yang bisa menjatuhkan pemerintah yang sedang berlangsung.[14][15]

Kaisar Hirohito dan Penjaga Cap Pribadi Kaisar Kōichi Kido juga benar di sebagian pertemuan, setelah dimohon Kaisar.[16] Seperti yang dilaporkan Iris Chang, "Jepang sengaja menghancurkan, menyembunyikan, atau memalsukan sebagian dari dokumen rahasia perang mereka"[17][18]

Perbedaan gagasan di kalangan pemimpin Jepang

Kabinet Suzuki, dalam bermacam anggota, lebih memilih meneruskan perang. Bagi Jepang, kapitulasi hampir tidak terpikirkan. Dalam 2000 tahun sejarahnya, Jepang tidak pernah diinvasi bangsa asing atau kalah dalam perang.[19] Hanya Menteri Tingkatan Laut Mitsumasa Yonai yang dikenali mempunyai hasrat bagi mengakhiri perang.[20] Menurut sejarawan Richard B. Frank:

Walaupun Suzuki pastinya melihat perdamaian bagi sasaran jangka panjang, beliau tidak mempunyai rencana bagi mewujudkannya dalam jangka waktu dekat atau dengan syarat-syarat yang bisa diterima Sekutu. Komentarnya dalam konferensi negarawan senior tidak memberikan tanda-tanda dirinya menginginkan akhir-akhirnyanya perang lebih awal ... . ; Pilihan Suzuki bagi pos-pos kabinet yang sangat penting, dengan pengecualian satu orang, bukanlah juga tokoh pendukung perdamaian.[21]

Seusai perang, Perdana Menteri Suzuki dan pejabat lain dari pemerintahannya mengaku mereka secara rahasia merundingkan perdamaian, tapi secara buka tidak bisa mengumumkannya. Mereka mengutip konsep Jepang tentang haragei [seni mengadakan komunikasi dengan sikap dan daya kepribadian dan bukan melalui kata-kata] bagi membenarkan ketidakselarasan selang gerakan di muka umum dan cara di balik layar. Namun, sebagian sejarawan menolak interpretasi ini. Robert J. C. Butow menulis:

Berdasarkan argumen yang sangat ambigu, pembelaan soal haragei menimbulkan kecurigaan bahwa dalam masalah politik dan diplomasi, secara sadar menggantungkan diri pada seni menggertak mungkin bisa dianggap bagi pengelabuan disengaja yang diperkirakan didasarkan hasrat mengadu domba bagi keuntungan sendiri. Walaupun keputusan ini tidak sesuai dengan kepribadian Admiral Suzuki yang banyak dipuji, pada kenyataannya dari masa beliau dinaikkan bagi perdana menteri hingga hari beliau mengundurkan diri, tidak berada seorang pun yang bisa memastikan apa yang berikutnya akan diistilahkan atau dilaksanakan Suzuki.[22]

Pemimpin Jepang selalu menginginkan penyelesaian perang dengan negosiasi. Perencanaan praperang mereka mengharapkan perluasan wilayah secara cepat, konsolidasi, konflik yang tidak terhindarkan dengan Amerika Serikat, dan penyelesaian perang yang memungkinkan Jepang mempertahankan sangat tidak sebagian wilayah baru yang telah mereka duduki.[23] Pada tahun 1945, pemimpin-pemimpin Jepang sepakat bahwa perang tidak berlangsung dengan lancar, tetapi mereka tidak sepakat tentang cara-cara terbaik dalam bernegosiasi bagi mengakhiri perang. Kalangan pemimpin Jepang terbelah menjadi dua kubu. Faksi "damai" menginginkan inisiatif diplomatik dengan membujuk pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin supaya bertindak bagi mediator penyelesaian perang selang Jepang dan Amerika Serikat beserta sekutunya. Sebaliknya, faksi garis keras lebih memilih bertempur dalam satu pertempuran terakhir yang "menentukan" hingga jatuh korban begitu banyak di pihak Sekutu yang mengakibatkan mereka akan menawarkan syarat-syarat yang lebih lunak.[24] Kedua kubu terbentuk berdasarkan pengalaman Jepang dalam Perang Rusia-Jepang empat puluh tahun sebelumnya. Dalam perang tersebut terjadi serangkaian pertempuran yang memakan kerugian luhur yang tidak menentukan pemenang, tetapi diakhiri oleh Pertempuran Tsushima yang dimenangkan Jepang.[25]

Admiral Kantarō Suzuki menjabat Perdana Menteri Jepang dalam bulan-bulan sebelum perang akhir-akhirnya.

Pada penghabisan Januari 1945, sebagian pejabat Jepang yang dekat dengan Kaisar mempertimbangkan syarat-syarat kapitulasi yang akan melindungi kedudukan Kaisar Jepang. Proposal-proposal yang dikirim melalui saluran Amerika Serikat dan Inggris tersebut disusun oleh Jenderal Douglas MacArthur menjadi dokumen 40 halaman, dan belakang, pada 2 Februari, dua hari sebelum Konferensi Yalta, diberikan kepada Presiden Franklin D. Roosevelt. Menurut laporan, dokumen tersebut didorong oleh Roosevelt tanpa pertimbangan apa pun. Semua proposal mencakup syarat bahwa kedudukan kaisar tetap dipertahankan, walaupun mungkin bagi penguasa boneka. Namun pada masa itu, kebijakan Sekutu hanyalah menerima penyerahan tanpa syarat.[26] Selain itu, proposal-proposal ini didorong keras oleh pejabat pemerintahan Jepang yang berpengaruh, dan oleh sebab itu tidak bisa diistilahkan mewakili hasrat Jepang yang sebenarnya bagi menyerah pada waktu itu.[27]

Pada Februari 1945, Pangeran Fumimaro Konoe memberi Kaisar Hirohito suatu memorandum yang menganalisis situasi dan menyampaikan kepada Hirohito bahwa bila perang diteruskan, kekaisaran akan menghadapi revolusi internal yang lebih berbahaya daripada kalah dalam perang.[28] Menurut buku harian Pengurus Rumah Tangga Kaisar Hisanori Fujita, Kaisar yang menunggu pertempuran menentukan [tennōzan] menjawab bahwa sedang terlalu dini menawarkan perdamaian, "Kecuali kita membuat satu lagi kemenangan militer."[29] Sedang pada bulan Februari tahun yang sama, divisi akad Jepang menulis tentang kebijakan Sekutu terhadap Jepang tentang "penyerahan tanpa syarat, pendudukan, perlucutan senjata, penghapuskan militerisme, reformasi demokrasi, hukuman bagi penjahat perang, dan status kaisar."[30] Pelucutan senjata oleh Sekutu, penjatuhan hukuman bagi penjahat perang Jepang, dan khususnya pendudukan dan penghapusan kedudukan kaisar tidak diterima oleh pemimpin Jepang.[31][32]

Pada 5 April, Uni Soviet mengumumkan tidak akan memperbarui Pakta Netralitas Soviet-Jepang[33] yang ditandatangani tahun 1941 setelah terjadinya Peristiwa Nomonhan.[34] Pada Konferensi Yalta Februari 1945, negara-negara Barat yang tergabung dalam Sekutu telah menyepakati konsesi yang substansial dengan Soviet bagi mengamankan akad dari Soviet bagi menyatakan perang terhadap Jepang tidak lebih dari tiga bulan setelah Jerman menyerah. Walaupun secara hukum Pakta Netralitas tetap berlangsung hingga setahun setelah Uni Soviet membatalkannya [hingga 5 April 1946], pembatalan sepihak ini secara jelas tetapi terselubung menunjukkan niat perang Uni Soviet.[35] Menteri Luar Negeri Rusia Vyacheslav Molotov, di Moskow, dan Yakov Malik, duta luhur Soviet di Tokyo, sungguh-sungguh mencoba meyakinkan Jepang bahwa "masa berlangsung Pakta tersebut belum berakhir".[36]

Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō

Pada serangkaian rapat tingkat tinggi pada bulan Mei 1965, keenam anggota Dewan Penasihat Militer dengan serius membahas metode mengakhiri perang. Namun tidak seorang pun dari mereka setuju dengan syarat-syarat yang diajukan Sekutu. Mengingat siapa pun yang secara buka mendukung kapitulasi Jepang terancam bahaya pembunuhan oleh perwira tingkatan darat yang sangat setia, rapat-rapat tersebut tertutup bagi siapa pun kecuali keenam anggota Dewan Penasihat Militer, Kaisar, dan penjaga cap pribadi kaisar. Tidak berada perwira eselon dua atau eselon tiga yang diizinkan benar.[37] Pada rapat-rapat tersebut, hanya Menteri Luar Negeri Tōgō yang menyadari kemungkinan sekutu negara-negara Barat sudah membuat konsesi dengan Soviet bagi mengajak mereka bertempur melawan Jepang.[38] Bagi hasil rapat-rapat tersebut, Tōgō diberi wewenang bagi mendekati Uni Soviet, berkeinginan mereka bagi tetap mempertahankan netralitas, atau lebih fantastis lagi, akan membentuk aliansi.[39]

Sejalan dengan tradisi pemerintahan baru mengumumkan tujuan-tujuan mereka, setelah rapat bulan Mei habis, staf Tingkatan Darat mengeluarkan dokumen berjudul "Kebijakan Fundamental bagi Diiringi Berikutnya dalam Melaksanakan Perang" yang menyatakan rakyat Jepang akan berjuang hingga punah daripada menyerah. Kebijakan ini diadopsi oleh Dewan Penasihat Militer pada 6 Juni [Tōgō menentangnya, sementara kelima anggota lain mendukung].[40] Dokumen-dokumen yang diajukan Suzuki pada pertemuan yang sama menyarankan bahwa dalam usaha awal diplomatik dengan Uni Soviet, Jepang mengambil pendekatan bagi berikut:

Rusia harus diberi tahu dengan jelas bahwa kemenangannya atas Jerman adalah berkat Jepang, sebab kita tetap netral, dan Soviet akan diuntungkan bila membantu Jepang mempertahankan posisinya di dunia internasional, sebab musuh mereka di masa hadapan adalah Amerika Serikat.[41]

Pada 9 Juni, orang keyakinan kaisar Kōichi Kido menulis "Rancangan Rencana Pengendalian Situasi Krisis" yang memperingatkan bahwa pada penghabisan tahun kemampuan Jepang bagi melaksanakan perang modern akan habis dan pemerintah akan tidak mampu mengendalikan kerusuhan sipil. "....... Kita tidak tahu pasti apakah kita akan bernasib sama seperti Jerman dan terjatuh dalam kondisi yang sulit hingga kita tidak bisa mencapai sasaran tertinggi menjaga Rumah Tangga Kekaisaran dan mempertahankan kelola negara nasional."[42] Kido mengusulkan Kaisar sendiri ikut ambil anggota, dengan menawarkan bagi mengakhiri perang dengan "syarat-syarat yang sangat murah hati". Kido mengusulkan Jepang melepaskan wilayah taklukan Eropa, asalkan mereka diberi kemerdekaan, dan negara kita dilucuti, serta bagi sementara harus "puas dengan pertahanan minimum". Berbekal penugasan Kaisar, Kido mendekati sebagian anggota Dewan Penasihat Militer. Tōgō sangat mendukung. Suzuki dan Menteri Tingkatan Laut Admiral Mitsumasa Yonai keduanya sangat berhati-hati mendukung; masing-masing meminta keterangan dalam hati, apa yang dipikirkan satu sama lain. Menteri Tingkatan Darat Jenderal Korechika Anami bersikap ambivalen, bersikeras diplomasi harus menunggu "hingga Amerika Serikat menderita kerugian besar" dalam Operasi Ketsu-Go.[43]

Pada bulan Juni 1845, Kaisar sudah kehilangan keyakinan terhadap kesempatan mencapai kemenangan militer. Jepang sudah kalah dalam Pertempuran Okinawa. Kaisar juga sudah mendapat kabar tentang kelemahan tingkatan darat di Cina, begitu pula soal tingkatan laut dan tingkatan darat yang mempertahankan pulau-pulau utama Jepang. Kaisar menerima laporan dari Pangeran Higashikuni; darinya Kaisar mengambil kesimpulan bahwa "bukan saja pertahanan bebas pantai, divisi yang tersedia bagi diterjunkan di pertempuran yang menentukan juga tidak mempunyai banyak senjata yang memadai."[44] Menurut Kaisar:

Kita sudah diberi tahu besi asal bom yang dijatuhkan musuh sudah digunakan bagi membuat sekop. Hal ini berarti kita tidak berada dalam posisi melanjutkan perang.[44]

Pada 22 Juni, kaisar memanggil keenam anggota Dewan Penasihat Militer bagi rapat. Tidak seperti pada umumnya, Kaisar membuka pembicaraan: "Kita menginginkan rencana konkrit bagi mengakhiri perang, tanpa dirintangi kebijakan yang berada, akan dipelajari dengan cepat dan usaha-usaha dilaksanakan bagi mengimplementasikannya."[45] Pertemuan menyetujui bagi mengundang bantuan Soviet dalam mengakhiri perang. Negara-negara netral lain seperti Swiss, Swedia, dan Vatikan diketahui berniat memainkan peranan dalam menciptakan perdamaian, tapi mereka terlalu kecil hingga mereka tidak bisa melaksanakan lebih dari sekadar menyampaikan syarat-syarat kapitulasi Sekutu serta penerimaan atau penolakan dari Jepang. Uni Soviet diharapkan bisa dibujuk bagi bertindak bagi kaki tangan Jepang dalam bernegosiasi dengan Sekutu Barat.[46]

Usaha berurusan dengan Uni Soviet

Naotake Satō

Pada 30 Juni, Tōgō memerintahkan Duta Luhur Jepang bagi Moskwa Naotake Satō bagi berusaha menciptakan "hubungan persahabatan yang akrab dan tidak berkesudahan." Satō bermaksud membicarakan status Manchuria dan "masalah apa saja yang akan dinaikkan Rusia."[47] Satō akhir-akhirnya berjumpa dengan Menteri Luar Negeri Soviet Vyacheslav Molotov pada 11 Juli, namun pertemuan tidak memproduksi apa-apa. Pada 12 Juli, Tōgō memerintahkan Satō bagi menyampaikan kepada Soviet bahwa,

Yang Luhur Kaisar mempertimbangkan fakta bahwa perang yang kini dari hari ke hari membawa kemalangan dan pengorbanan bagi rakyat dari semua pihak-pihak yang bertempur, hasrat dari dalam hati supaya bisa segera dihentikan. Namun selama Inggris dan Amerika Serikat bersikeras soal penyerahan tanpa syarat, Kekaisaran Jepang tidak punya pilihan lain kecuali bertempur dengan segenap tenaga bagi kehormatan dan keberlangsungan tanah cairan.[48]

Kaisar mengusulkan bagi mengirim Pangeran Konoe bagi Utusan Luar Biasa, walaupun beliau tidak bisa tiba di Moskwa sebelum dimulainya Konferensi Potsdam.

Satō memberi tahu Tōgō bahwa dalam kenyataan, Jepang hanya bisa mengharapkan "penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang hampir setara ke situ". Lebih jauh lagi Satō mengatakan bahwa pesan-pesan Tōgō "tidak jelas soal pandangan pemerintah dan militer dalam hal penghentian perang," serta mempertanyakan apakah inisiatif Tōgō didukung oleh unsur-unsur kunci dalam struktur kekuasaan Jepang.[49]

Pada 17 Juli, Tōgō menjawab,

Walaupun para penguasa, dan juga pemerintah yakin bahwa daya perang kita sedang bisa menimbulkan pukulan berarti terhadap musuh, kami tidak bisa merasakan kedamaian hati yang betul-betul pasti. ... .. Namun, mohon betul-betul diingat, bahwa kita tidak berkeinginan mediasi Rusia bagi hal-hal seperti penyerahan tanpa syarat.[50]

Dalam jawabannya, Satō memperjelas,

Sudah barang tentu dalam pesan diri sendiri sebelumnya mengatakan penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang hampir setara, diri sendiri membuat pengecualian soal mempertahankan [Rumah Tangga Kekaisaran].[51]

Pada 21 Juli, bercakap atas nama kabinet, Tōgō mengulangi,

Tentang soal penyerahan tanpa syarat kami tidak bisa menyetujuinya berdasarkan kondisi bagaimana pun. ... .. Dalam usaha menghindari kondisi seperti itu kita sedang mencari damai, ... .. melalui jasa aci Rusia. ... .. Ditinjau dari sudut pandang dalam negeri dan luar negeri, membuat pernyataan segera tentang syarat-syarat tertentu adalah merugikan dan tidak mungkin.[52]

Berbakat kriptografi Amerika Serikat yang bergabung dalam Proyek Magic telah memecahkan sebagian luhur sandi Jepang, termasuk kode Purple yang dipakai oleh kantor-kantor perwakilan Jepang bagi menyandikan koresponden diplomatik. Bagi belakang suatu peristiwanya, pesan selang Tokyo dan kedutaan-kedutaan Jepang tiris ke pemimpin Sekutu hampir sama cepatnya dengan penerima di alamat sasaran.[53]

Maksud-maksud Soviet

Urusan keamanan mendominasi keputusan Soviet soal Timur Jauh.[54] Di selang hasrat yang sangat utama adalah mendapatkan akses tidak terbatas ke Lautan Pasifik. Daerah bebas pantai Soviet di Pasifik yang bebas sama sekali es sepanjang tahun, khususnya Vladivostok, bisa diblokade melalui udara dan laut dari Sakhalin dan Kepulauan Kuril. Bila keduanya didapatkan berarti Rusia mendapatkan akses bebas sama sekali ke Selat Soya yang memang menjadi sasaran utama.[55][56] Sasaran kedua adalah akad kontrak Jalur Kereta Api Timur Jauh Cina, Jalur Kereta Api Manchuria Selatan, Dairen, dan Lushun.[57]

Bagi mencapai sasarannya, Stalin and Molotov dengan semangat bernegosiasi dengan Jepang, memberikan Jepang keinginan palsu akan perdamaian dengan Uni Soviet bagi mediator.[58] Pada masa yang bersamaan, dalam transaksi Soviet dengan Amerika Serikat dan Inggris, Soviet bersikeras bagi secara sempit menaati Deklarasi Kairo, ditegaskan kembali di Konferensi Yalta bahwa Sekutu tidak akan menerima perdamaian bersyarat atau perdamaian sendiri-sendiri dengan Jepang. Kepada semua negara-negara Sekutu, Jepang harus menyerah tanpa syarat. Bagi memperpanjang perang, Uni Soviet menentang semua upaya yang dilaksanakan bagi memperlunak syarat-syarat kapitulasi.[58] Bila perang tidak segera habis, Uni Soviet sedang punya cukup waktu bagi memindahkan pasukan-pasukan mereka ke area perang Pasifik, bagi berikutnya merebut Sakhalin, Kepulauan Kuril, dan kemungkinan Hokkaido[59] [invasi dimulai dengan pendaratan di Rumoi, Hokkaido].[60]

Proyek Manhattan

Pada 1939, Albert Einstein dan Leó Szilárd menulis sepucuk surat kepada Presiden Roosevelt yang mendesaknya bagi mendanai penelitian dan pengembangan bom atom. Roosevelt setuju dan hasilnya adalah proyek riset sangat rahasia yang dikata Proyek Manhattan. Proyek ini dipimpin Jenderal Leslie Groves dengan J. Robert Oppenheimer bagi direktur pengarah aspek ilmiah. Bom atom pertama dengan sukses diledakkan dalam percobaan Trinity 16 Juli 1945.

Sementara proyek hampir akhir-akhirnya, pemimpin perang Amerika mulai mempertimbangkan bagi menggunakan bom atom terhadap Jepang. Groves membentuk komite pencari sasaran yang berjumpa pada bulan April dan Mei 1945. Komite ini menyusun daftar sasaran bom atom. Mereka memilih 18 kota-kota di Jepang. Masuk dalam daftar di urutan sangat atas adalah Kyoto, Hiroshima,[61] Yokohama, Kokura, dan Niigata.[62][63] Pada akhir-akhirnya Kyoto dihapus dari daftar atas desakan Menteri Perang Henry L. Stimson yang pernah mengunjungi Kyoto sewaktu bulan madu, dan mengetahui kota ini sangat penting dalam anggota budaya dan sejarah.[64]

Pada bulan Mei, Harry S. Truman dinaikkan bagi Presiden Amerika Serikat yang baru setelah Franklin Roosevelt wafat pada 16 April 1945. Truman menyetujui pembentukan komite Interim, suatu golongan penasihat yang melapor tentang bom atom.[63] Komite Interim terdiri dari George L. Harrison, Vannevar Bush, James Bryant Conant, Karl Taylor Compton, William L. Clayton, dan Ralph Austin Bard, serta dibantu dewan penasihat yang terdiri dari ilmuwan Oppenheimer, Enrico Fermi, Ernest Lawrence, dan Arthur Compton. Dalam laporan tanggal 1 Juni 1945, komite berkesimpulan bom atom harus digunakan secepat mungkin terhadap instalasi-instalasi perang berikut rumah-rumah pekerja di sekelilingnya, dan tidak perlu memberi peringatan atau peragaan sebelumnya.[65]

Mandat yang diberikan kepada komite tidak termasuk penggunaan bom atom, walaupun penggunaannya sudah diperkirakan bila sudah habis.[66] Komite mengkaji kembali penggunaan bom atom setelah berada protes dalam wujud Laporan Franck dari ilmuwan Proyek Manhattan. Pada rapat 21 Juni, komite menegaskan kembali bahwa tidak berada alternatif lain selain menggunakan bom atom.[67]

Acara-acara di Potsdam

Pemimpin daya utama Sekutu berjumpa dalam Konferensi Potsdam 16 Juli-2 Agustus 1945. Uni Soviet, Kerajaan Bersatu, dan Amerika Serikat, masing-masing diwakili oleh Stalin, Winston Churchill [kemudian Clement Attlee], dan Truman.

Negosiasi

Perang melawan Jepang merupakan salah satu dari bermacam isu yang diceritakan di Potsdam. Truman mendapat berita tentang suksesnya percobaan Trinity pada awal konferensi, dan menyampaikan informasi tersebut ke delegasi Inggris. Kesuksesan percobaan bom atom menyebabkan delegasi Amerika Serikat mempertimbangkan kembali tentang perlunya partisipasi Soviet [seperti dijanjikan di Yalta].[68] Prioritas teratas Sekutu adalah mempersingkat perang dan mengurangi korban di pihak Amerika Serikat. Kedua hal tersebut mungkin bisa dibantu dengan beradanya campur tangan Uni Soviet, namun kemungkinan harus dibayar dengan membolehkan Soviet mencaplok wilayah-wilayah di luar wilayah yang dijanjikan bagi mereka di Yalta, dan mungkin Jepang akan terbagi dua seperti Jerman.[69]

Dalam kesepakatan dengan Stalin, Truman memutuskan bagi memberikan pemimpin Soviet kabar tentang keberadaan senjata baru yang kuat tanpa memberitahukan rinciannya. Namun, Sekutu lainnya tidak menyadari bahwa intelijen Soviet telah menyusup dalam Proyek Manhattan pada tahap awal, sehingga ketika Stalin mengetahui keberadaan bom atom, beliau tidak terkesan dengan potensinya.[70]

Deklarasi Potsdam

Pemimpin negara-negara utama Sekutu memutuskan bagi mengeluarkan pernyataan yang dikata Deklarasi Potsdam yang menetapkan "penyerahan tanpa syarat" dan memperjelas guna kapitulasi Jepang bagi kedudukan kaisar dan bagi Hirohito secara pribadi. Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris saling bertentangan tentang butir terakhir. Amerika Serikat akan menghapus posisi kaisar dan kemungkinan mengadilinya bagi penjahat perang. Sebaliknya, Inggris akan mempertahankan posisi kaisar, mungkin dengan Hirohito yang tetap bertahta. Pernyataan-pernyataan dalam rancangan Deklarasi Potsdam mengalami bermacam revisi sebelum versi yang diterima kedua belah pihak habis.[71]

Pada 26 Juli 1945, Amerika Serikat, Inggris, dan Cina merilis Deklarasi Potsdam yang mempunyai isinya syarat-syarat kapitulasi Jepang dengan peringatan, "Kami tidak akan menyimpang dari ketentuan-ketentuan ini. Tidak berada alternatif. Kami tidak membolehkan beradanya penundaan." Bagi Jepang, deklarasi menetapkan syarat-syarat bagi berikut:

  • Penghapusan "selama-lamanya dari kekuasaan dan pengaruh tokoh-tokoh yang telah menipu dan menyesatkan rakyat Jepang ke arah dimulainya penaklukan dunia"
  • Pendudukan "titik-titik dalam wilayah Jepang yang akan ditetapkan oleh Sekutu"
  • "Kedaulatan Jepang akan dibatasi pada pulau-pulau Honshu, Hokkaido, Kyushu, dan Shikoku, serta pulau-pulau kecil seperti yang kami tetapkan." Seperti telah diumumkan dalam Deklarasi Kairo 1943, wilayah-wilayah Jepang akan disita hingga wilayah sebelum perang, termasuk Korea dan Taiwan, begitu pula wilayah-wilayah taklukannya baru-baru ini.
  • "Daya militer Jepang harus sepenuhnya dilucuti"
  • "Keadilan yang keras harus dijatuhkan kepada semua penjahat perang, termasuk semua yang telah melaksanakan kekejaman terhadap orang kita yang ditawan".

Di lain pihak, deklarasi menegaskan bahwa:

  • "Kami tidak bermaksud memperbudak Jepang bagi suatu ras atau menghancurkannya bagi suatu bangsa, ... .. Pemerintah Jepang harus menghapus semua penghalang bagi kebangkitan dan makin menguatnya kecenderungan demokrasi di selang rakyat Jepang. Kebebasan bercakap, beragama, dan berpikir, begitu pula peghormatan bagi hak asasi manusia yang fundamental harus ditegakkan."
  • "Jepang harus dibolehkan mempunyai industri-industri yang akan menunjang ekonomi dan memungkinkan bagi membayar tuntutan pampasan yang serupa dan sama berat, ... .. Partisipasi Jepang dalam hubungan dagang internasional harus dibolehkan."
  • "Kesatuan pendudukan Sekutu akan ditarik dari Jepang segera setelah tujuan-tujuan tersebut dicapai dan telah berdirinya suatu pemerintahan yang bertanggung jawab dan berhaluan damai sesuai dengan hasrat rakyat Jepang yang diungkapkan secara bebas sama sekali."

Satu-satunya pasal yang mengatakan tentang "penyerahan tanpa syarat" dicantumkan pada penghabisan deklarasi:

  • "Kami mengimbau pemerintah Jepang bagi menyatakan kini juga kapitulasi tanpa syarat dari semua tingkatan bersenjata Jepang, dan bagi memperlihatkan jaminan yang cukup dan layak atas maksud aci mereka terhadap hal tersebut. Pilihan lain bagi Jepang adalah "penghancuran sepenuhnya dan segera."

Tidak diistilahkan tentang Kaisar Hirohito apakah termasuk ke dalam salah satu dari tokoh yang "menyesatkan rakyat Jepang", atau juga seorang penjahat perang, bahkan sebaliknya anggota dari "pemerintah yang bertanggung jawab dan mempunyai keinginan damai". Pasal "penghancuran sepenuhnya dan segera" kemungkinan adalah peringatan terselubung soal kepemilikan bom atom oleh Amerika Serikat [yang telah dicobakan dengan sukses pada hari pertama konferensi].[72]

Reaksi Jepang

Pada 27 Juli, pemerintah Jepang menimbang-nimbang metode menanggapi Deklarasi Potsdam. Empat tokoh militer dari Dewan Penasihat Militer bermaksud menolaknya, tapi Tōgō membujuk kabinet bagi tidak melaksanakannya hingga beliau mendapat reaksi dari Uni Soviet. Dalam suatu telegram, Duta Luhur Jepang bagi Swiss Shunichi Kase berpendapat bahwa penyerahan tanpa syarat hanya berlangsung bagi militer dan bukan bagi pemerintah atau rakyat, dan beliau minta supaya difahami bahwa pemilihan bahasa yang hati-hati dalam Deklarasi Potsdam sepertinya "telah mengalami pemikiran yang mendalam" dari pihak pemerintah-pemerintah yang menandatanganinya--"mereka kelihatannya telah bersusah payah berusaha menyelamatkan muka kita pada bermacam pasal-pasal."[73] Pada hari berikutnya, surat-surat kabar Jepang melaporkan bahwa Jepang telah menolak inti Deklarasi Potsdam yang sebelumnya telah disiarkan dan dijatuhkan bagi selebaran udara di atas Jepang. Dalam usaha mengatasi persepsi publik, Perdana Menteri Suzuki berjumpa dengan pers, dan memberi pernyataan,

Diri sendiri menganggap Proklamasi Bersama bagi pengulangan kembali Deklarasi di Konferensi Kairo. Tentang hal tersebut, Pemerintah tidak menganggapnya mempunyai nilai penting sama sekali. Salah satu hal yang bisa dilaksanakan adalah mengabaikannya [mokusatsu]. Kami tidak akan melaksanakan apa-apa kecuali menanggungnya hingga penghabisan bagi mendatangkan penghabisan perang yang sukses.[74]

Guna kata mokusatsu adalah mengabaikan atau tidak menanggapi.[74] Walaupun demikian, pernyataan Suzuki, terutama kalimat terakhir hanya menyisakan sedikit ruang bagi interpretasi yang salah. Pers Jepang dan pers luar negeri mengartikannya bagi penolakan, dan tidak berada pernyataan lebih lanjut yang disampaikan ke muka umum atau saluran diplomatik bagi mengubah kesalahpahaman ini.

Pada 30 Juli, Duta Luhur Satō menulis bahwa Stalin kemungkinan sedang bercakap dengan Sekutu Barat tentang transaksinya dengan Jepang. Menurut Satō, "Tidak berada alternatif selain penyerahan tanpa syarat dengan segera bila kita akan mencegah partisipasi Rusia dalam perang."[75] Pada 2 Agustus, Tōgō menulis kepada Satō, "Sulit bagi Anda bagi mewujudkan hal itu ... .. terbatas waktu kita bagi berlanjut ke persiapan mengakhiri perang sebelum musuh mendarat di pulau-pulau utama Jepang, di lain pihak sulit bagi memutuskan syarat-syarat damai yang nyata di tanah cairan secara sekaligus."[76]

Hiroshima, Manchuria, dan Nagasaki

Hiroshima: 6 Agustus

Page 4

Menyerahnya Jepang pada bulan Agustus 1945 menandai penghabisan Perang Dunia II. Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah tidak berada sejak Agustus 1945, sementara invasi Sekutu ke Jepang hanya tinggal waktu. Walaupun hasrat bagi melawan hingga titik penghabisan dinyatakan secara buka, pemimpin Jepang dari Dewan Penasihat Militer Jepang secara pribadi memohon Uni Soviet bagi bertindak bagi mediator dalam akad damai dengan syarat-syarat yang menguntungkan Jepang. Sementara itu, Uni Soviet juga berjaga-jaga bagi menyerang Jepang dalam usaha memenuhi akad kepada Amerika Serikat dan Inggris di Konferensi Yalta.

Pada 6 Agustus dan 9 Agustus, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Pada 9 Agustus, Uni Soviet melancarkan penyerbuan mendadak ke koloni Jepang di Manchuria [Manchukuo] yang melanggar Pakta Netralitas Soviet–Jepang. Kaisar Hirohito campur tangan setelah terjadi dua peristiwa mengejutkan tersebut, dan memerintahkan Dewan Penasihat Militer bagi menerima syarat-syarat yang dinegosiasikan Sekutu dalam Deklarasi Potsdam. Setelah berlangsung perundingan di balik layar selama beberapa hari, dan kudeta yang gagal, Kaisar Hirohito menyampaikan pidato radio di hadapan rakyat pada 15 Agustus 1945. Dalam pidato radio yang dikata Gyokuon-hōsō [Siaran Suara Kaisar], Hirohito membacakan Perintah Kekaisaran tentang kapitulasi, sekaligus mengumumkan kepada rakyat bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.

Pendudukan Jepang oleh Komandan Tertinggi Sekutu dimulai pada 28 Agustus. Upacara kapitulasi diselenggarakan pada 2 September 1945 di atas kapal tempur Amerika Serikat Missouri. Dokumen Kapitulasi Jepang yang ditandatangani hari itu oleh pejabat pemerintah Jepang secara resmi mengakhiri Perang Dunia II. Masyarakat sipil dan anggota militer di negara-negara Sekutu merayakan Hari Kemenangan atas Jepang [V-J Day]. Walaupun demikian, sebagian pos komando terpencil dan personel militer dari kesatuan di pelosok-pelosok Asia menolak bagi menyerah selama berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun setelah Jepang menyerah. Sejak kapitulasi Jepang, sejarawan terus berargumen tentang etika penggunaan bom atom. Perang selang Jepang dan Sekutu secara resmi berkesudahan ketika Akad San Francisco mulai berlangsung pada tanggal 28 April 1952. Empat tahun belakang Jepang dan Uni Soviet menandatangani Deklarasi Bersama Soviet–Jepang 1956 yang secara resmi mengakhiri perang selang kedua negara tersebut.

Kekalahan Jepang

Pendaratan Sekutu di Area Perang Operasi Samudra Pasifik, Agustus 1942 hingga Agustus 1945.

Pada tahun 1945, Jepang telah hampir dua tahun bertali-tali mengalami kekalahan berkepanjangan di Pasifik Barat Daya, kampanye militer Mariana, dan kampanye militer Filipina. Pada Juli 1944 setelah Saipan jatuh, Jenderal Hideki Tōjō dinaikkan bagi perdana menteri oleh Jenderal Kuniaki Koiso yang menyatakan Filipina bagi tempat pertempuran berikutnya yang memilihkan.[1] Setelah Filipina jatuh, giliran Koiso yang diwakili oleh Admiral Kantarō Suzuki. Pada paruh pertama tahun 1945, Sekutu sukses merebut Iwo Jima dan Okinawa. Setelah ditempati Sekutu, Okinawa menjadi daerah singgahan bagi menyerbu ke pulau-pulau utama di Jepang.[2] Setelah kekalahan Jerman, Uni Soviet diam-diam mulai mengerahkan kembali pasukan tempur Eropa-nya ke Timur Jauh, di samping semakin kurang empat puluh divisi yang telah diselesaikan di sana sejak tahun 1941, bagi penyeimbang kekuataan jutaan Tentara Kwantung.[3]

Operasi kapal-kapal selam Sekutu dan penyebaran ranjau di bebas pantai Jepang telah menghancurkan sebagian luhur armada dagang Jepang. Bagi negara dengan sedikit sumber daya dunia, Jepang bergantung kepada bahan mentah yang diimpor dari daratan Asia dan dari wilayah pendudukan Jepang di Hindia Belanda, terutama minyak bumi.[4] Penghancuran armada dagang Jepang, ditambah dengan pengeboman strategis daerah industri di Jepang telah meruntuhkan ekonomi perang Jepang. Produksi batu bara, besi, besi baja, karet, dan pasokan bahan mentah lainnya hanya tersedia dalam banyak kecil dibandingkan pasokan sebelum perang.[5][6]

Kapal tempur Jepang Haruna karam di tempat bersandarnya di pangkalan tingkatan laut Kure pada peristiwa Pengeboman Kure 24 Juli 1945.

Bagi belakang suatu peristiwa kerugian yang dialami, daya Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah habis. Setelah serangkaian pengeboman Sekutu di galangan kapal Jepang di Kure, Prefektur Hiroshima, kapal-kapal perang Jepang yang tersisa hanyalah enam kapal induk, empat kapal penjelajah, dan satu kapal tempur. Namun, semua kapal tersebut tidak memiliki bahan bakar yang cukup. Walaupun sedang berada 19 kapal perusak dan 38 kapal selam yang sedang operasional, pengoperasian mereka menjadi terbatas belakang suatu peristiwa kekurangan bahan bakar.[7][8]

Persiapan pertahanan

Menghadapi kemungkinan penyerbuan Sekutu ke pulau-pulau utama Jepang, dimulai dari Kyushu, Jurnal Perang Markas Luhur Kekaisaran menyimpulkan,

Kami tidak bisa lagi memimpin perang dengan berada sedikit pun keinginan bagi menang. Satu-satunya jalan yang tersisa adalah mengorbankan nyawa seratus juta rakyat Jepang bagi bom hidup supaya musuh kehilangan semangat bertempur.[9]

Bagi usaha darurat yang terakhir bagi menghentikan gerak maju Sekutu, Komando Tertinggi Kekaisaran Jepang merencanakan pertahanan Kyushu secara habis-habisan. Usaha yang dinamakan dengan sandi Operasi Ketsu-Go [10] ini dimaksudkan bagi perubahan strategi yang radikal. Berbeda dari sistem pertahanan berikat seperti yang dipakai sewaktu menginvasi Peleliu, Iwo Jima, dan Okinawa, kali ini keseluruhan dipertaruhkan di pantai. Sebelum pasukan dan perlengkapan didaratkan transpor amfibi di pantai, mereka akan diserang oleh 3.000 pesawat kamikaze.[8]

Bila strategi ini tidak mengusir Sekutu, Jepang akan mengerahkan 3.500 pesawat kamikaze tambahan berikut 5.000 kapal bunuh diri Shin'yō didampingi kapal-kapal perusak dan kapal-kapal selam yang sedang tersisa--hingga kapal terakhir yang operasional--untuk menghancurkan Sekutu. Bila Sekutu menang dalam pertempuran di pantai dan sukses mendarat di Kyushu, hanya akan tersisa 3.000 pesawat bagi mempertahankan pulau-pulau Jepang lainnya. Walaupun demikian, Kyushu akan dipertahankan "hingga titik darah penghabisan".[8] Strategi membuat pertahanan terakhir di Kyushu didasarkan pada asumsi bahwa Uni Soviet akan tetap mempertahankan netralitas.[11]

Serangkaian gua digali dekat Nagano di Honshu. Gua-gua yang dikata Markas Luhur Kekaisaran Bawah Tanah Matsushiro tersebut akan menjadi Markas Tingkatan Darat pada saat terjadinya invasi Sekutu serta rumah perlindungan bagi Kaisar Jepang dan keluarganya.[12]

Dewan Penasihat Militer

Pengambilan keputusan perang Jepang berpusat di Dewan Penasihat Militer yang beranggota enam pejabat tinggi: perdana menteri, menteri luar negeri, menteri tingkatan darat, menteri tingkatan laut, kepala staf umum tingkatan darat, dan kepala staf umum tingkatan laut.[13] Saat kabinet pemerintah Suzuki terbentu pada April 1945, keanggotaan dewan terdiri dari:

Kabinet Suzuki, Juni 1945

  • Perdana Menteri Admiral Kantarō Suzuki
  • Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō
  • Menteri Tingkatan Darat Jenderal Korechika Anami
  • Menteri Tingkatan Laut Admiral Mitsumasa Yonai
  • Kepala Staf Umum Tingkatan Darat Jenderal Yoshijirō Umezu
  • Kepala Staf Umum Tingkatan Laut Admiral Koshirō Oikawa [kemudian diwakili oleh Admiral Soemu Toyoda]

Secara hukum, Tingkatan Darat dan Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang memiliki hak bagi mencalonkan [atau menolak pencalonan] masing-masing menteri. Bagi hasilnya, Jepang bisa menghindari pembentukan pemerintahan yang tidak diingini, atau terjadinya pengunduran diri yang bisa menjatuhkan pemerintah yang sedang berlangsung.[14][15]

Kaisar Hirohito dan Penjaga Cap Pribadi Kaisar Kōichi Kido juga benar di beberapa pertemuan, setelah dimohon Kaisar.[16] Seperti yang dilaporkan Iris Chang, "Jepang sengaja menghancurkan, menyembunyikan, atau memalsukan sebagian dari dokumen rahasia perang mereka"[17][18]

Perbedaan gagasan di kalangan pemimpin Jepang

Kabinet Suzuki, dalam berbagai anggota, bertambah memilih meneruskan perang. Bagi Jepang, kapitulasi hampir tidak terpikirkan. Dalam 2000 tahun sejarahnya, Jepang tidak pernah diinvasi bangsa asing atau kalah dalam perang.[19] Hanya Menteri Tingkatan Laut Mitsumasa Yonai yang dikenali memiliki hasrat bagi mengakhiri perang.[20] Menurut sejarawan Richard B. Frank:

Walaupun Suzuki pastinya melihat perdamaian bagi sasaran jangka panjang, beliau tidak memiliki rencana bagi mewujudkannya dalam jangka waktu dekat atau dengan syarat-syarat yang bisa diterima Sekutu. Komentarnya dalam konferensi negarawan senior tidak memberikan tanda-tanda dirinya menginginkan berkesudahannya perang bertambah awal ... . ; Pilihan Suzuki bagi pos-pos kabinet yang paling penting, dengan pengecualian satu orang, bukanlah juga tokoh pendukung perdamaian.[21]

Seusai perang, Perdana Menteri Suzuki dan pejabat lain dari pemerintahannya mengaku mereka secara rahasia merundingkan perdamaian, tapi secara buka tidak bisa mengumumkannya. Mereka mengutip konsep Jepang tentang haragei [seni mengadakan komunikasi dengan sikap dan daya kepribadian dan bukan melalui kata-kata] bagi membenarkan ketidakselarasan selang gerakan di muka umum dan cara di balik layar. Namun, sebagian sejarawan menolak interpretasi ini. Robert J. C. Butow menulis:

Berdasarkan argumen yang sangat ambigu, pembelaan soal haragei menimbulkan kecurigaan bahwa dalam masalah politik dan diplomasi, secara sadar menggantungkan diri pada seni menggertak mungkin bisa dianggap bagi pengelabuan disengaja yang diperkirakan didasarkan hasrat mengadu domba bagi keuntungan sendiri. Walaupun keputusan ini tidak sesuai dengan kepribadian Admiral Suzuki yang banyak dipuji, pada kenyataannya dari saat beliau dinaikkan bagi perdana menteri hingga hari beliau mengundurkan diri, tidak berada seorang pun yang bisa memastikan apa yang berikutnya akan diistilahkan atau dilakukan Suzuki.[22]

Pemimpin Jepang selalu menginginkan penyelesaian perang dengan negosiasi. Perencanaan praperang mereka mengharapkan perluasan wilayah secara cepat, konsolidasi, konflik yang tidak terhindarkan dengan Amerika Serikat, dan penyelesaian perang yang memungkinkan Jepang mempertahankan paling tidak beberapa wilayah baru yang telah mereka duduki.[23] Pada tahun 1945, pemimpin-pemimpin Jepang sepakat bahwa perang tidak berlangsung dengan lancar, tetapi mereka tidak sepakat tentang cara-cara terbaik dalam bernegosiasi bagi mengakhiri perang. Kalangan pemimpin Jepang terbelah menjadi dua kubu. Faksi "damai" menginginkan inisiatif diplomatik dengan membujuk pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin supaya bertindak bagi mediator penyelesaian perang selang Jepang dan Amerika Serikat beserta sekutunya. Sebaliknya, faksi garis keras bertambah memilih bertempur dalam satu pertempuran terakhir yang "menentukan" hingga jatuh korban begitu banyak di pihak Sekutu yang mengakibatkan mereka akan menawarkan syarat-syarat yang bertambah lunak.[24] Kedua kubu terbentuk berdasarkan pengalaman Jepang dalam Perang Rusia-Jepang empat puluh tahun sebelumnya. Dalam perang tersebut terjadi serangkaian pertempuran yang memakan kerugian luhur yang tidak memilihkan pemenang, tetapi diakhiri oleh Pertempuran Tsushima yang dimenangkan Jepang.[25]

Admiral Kantarō Suzuki menjabat Perdana Menteri Jepang dalam bulan-bulan sebelum perang berkesudahan.

Pada penghabisan Januari 1945, beberapa pejabat Jepang yang dekat dengan Kaisar mempertimbangkan syarat-syarat kapitulasi yang akan melindungi kedudukan Kaisar Jepang. Proposal-proposal yang dikirim melalui saluran Amerika Serikat dan Inggris tersebut disusun oleh Jenderal Douglas MacArthur menjadi dokumen 40 halaman, dan belakang, pada 2 Februari, dua hari sebelum Konferensi Yalta, diberikan kepada Presiden Franklin D. Roosevelt. Menurut laporan, dokumen tersebut didorong oleh Roosevelt tanpa pertimbangan apa pun. Semua proposal mencakup syarat bahwa kedudukan kaisar tetap dipertahankan, walaupun mungkin bagi penguasa boneka. Namun pada saat itu, kebijakan Sekutu hanyalah menerima penyerahan tanpa syarat.[26] Selain itu, proposal-proposal ini didorong keras oleh pejabat pemerintahan Jepang yang berpengaruh, dan oleh sebab itu tidak bisa diistilahkan mewakili hasrat Jepang yang sebenarnya bagi menyerah pada waktu itu.[27]

Pada Februari 1945, Pangeran Fumimaro Konoe memberi Kaisar Hirohito sebuah memorandum yang menganalisis situasi dan menyampaikan kepada Hirohito bahwa bila perang diteruskan, kekaisaran akan menghadapi revolusi internal yang bertambah berbahaya daripada kalah dalam perang.[28] Menurut buku harian Pengurus Rumah Tangga Kaisar Hisanori Fujita, Kaisar yang menunggu pertempuran memilihkan [tennōzan] menjawab bahwa sedang terlalu dini menawarkan perdamaian, "Kecuali kita membuat satu lagi kemenangan militer."[29] Sedang pada bulan Februari tahun yang sama, divisi akad Jepang menulis tentang kebijakan Sekutu terhadap Jepang tentang "penyerahan tanpa syarat, pendudukan, perlucutan senjata, penghapuskan militerisme, reformasi demokrasi, hukuman bagi penjahat perang, dan status kaisar."[30] Pelucutan senjata oleh Sekutu, penjatuhan hukuman bagi penjahat perang Jepang, dan khususnya pendudukan dan penghapusan kedudukan kaisar tidak diterima oleh pemimpin Jepang.[31][32]

Pada 5 April, Uni Soviet mengumumkan tidak akan memperbarui Pakta Netralitas Soviet-Jepang[33] yang ditandatangani tahun 1941 setelah terjadinya Peristiwa Nomonhan.[34] Pada Konferensi Yalta Februari 1945, negara-negara Barat yang tergabung dalam Sekutu telah menyepakati konsesi yang substansial dengan Soviet bagi mengamankan akad dari Soviet bagi menyatakan perang terhadap Jepang tidak bertambah dari tiga bulan setelah Jerman menyerah. Walaupun secara hukum Pakta Netralitas tetap berlangsung hingga setahun setelah Uni Soviet membatalkannya [hingga 5 April 1946], pembatalan sepihak ini secara jelas tetapi terselubung menunjukkan niat perang Uni Soviet.[35] Menteri Luar Negeri Rusia Vyacheslav Molotov, di Moskow, dan Yakov Malik, duta luhur Soviet di Tokyo, sungguh-sungguh mencoba meyakinkan Jepang bahwa "masa berlangsung Pakta tersebut belum berakhir".[36]

Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō

Pada serangkaian rapat tingkat tinggi pada bulan Mei 1965, keenam anggota Dewan Penasihat Militer dengan serius membahas metode mengakhiri perang. Namun tidak seorang pun dari mereka setuju dengan syarat-syarat yang diajukan Sekutu. Mengingat siapa pun yang secara buka mendukung kapitulasi Jepang terancam bahaya pembunuhan oleh perwira tingkatan darat yang sangat setia, rapat-rapat tersebut tertutup bagi siapa pun kecuali keenam anggota Dewan Penasihat Militer, Kaisar, dan penjaga cap pribadi kaisar. Tidak berada perwira eselon dua atau eselon tiga yang diizinkan benar.[37] Pada rapat-rapat tersebut, hanya Menteri Luar Negeri Tōgō yang menyadari kemungkinan sekutu negara-negara Barat sudah membuat konsesi dengan Soviet bagi mengajak mereka bertempur melawan Jepang.[38] Bagi hasil rapat-rapat tersebut, Tōgō diberi wewenang bagi mendekati Uni Soviet, berkeinginan mereka bagi tetap mempertahankan netralitas, atau bertambah fantastis lagi, akan membentuk aliansi.[39]

Sejalan dengan tradisi pemerintahan baru mengumumkan tujuan-tujuan mereka, setelah rapat bulan Mei habis, staf Tingkatan Darat mengeluarkan dokumen berjudul "Kebijakan Fundamental bagi Diiringi Berikutnya dalam Melaksanakan Perang" yang menyatakan rakyat Jepang akan berjuang hingga punah daripada menyerah. Kebijakan ini diadopsi oleh Dewan Penasihat Militer pada 6 Juni [Tōgō menentangnya, sementara kelima anggota lain mendukung].[40] Dokumen-dokumen yang diajukan Suzuki pada pertemuan yang sama menyarankan bahwa dalam usaha awal diplomatik dengan Uni Soviet, Jepang mengambil pendekatan bagi berikut:

Rusia harus diberi tahu dengan jelas bahwa kemenangannya atas Jerman adalah berkat Jepang, sebab kita tetap netral, dan Soviet akan diuntungkan bila membantu Jepang mempertahankan kedudukannya di dunia internasional, sebab musuh mereka di masa hadapan adalah Amerika Serikat.[41]

Pada 9 Juni, orang keyakinan kaisar Kōichi Kido menulis "Rancangan Rencana Pengendalian Situasi Krisis" yang memperingatkan bahwa pada penghabisan tahun kemampuan Jepang bagi melaksanakan perang modern akan habis dan pemerintah akan tidak mampu mengendalikan kerusuhan sipil. "....... Kita tidak tahu pasti apakah kita akan bernasib sama seperti Jerman dan terjatuh dalam keadaan yang sulit hingga kita tidak bisa mencapai sasaran tertinggi menjaga Rumah Tangga Kekaisaran dan mempertahankan kelola negara nasional."[42] Kido mengusulkan Kaisar sendiri ikut ambil anggota, dengan menawarkan bagi mengakhiri perang dengan "syarat-syarat yang sangat murah hati". Kido mengusulkan Jepang melepaskan wilayah taklukan Eropa, asalkan mereka diberi kemerdekaan, dan negara kita dilucuti, serta bagi sementara harus "puas dengan pertahanan minimum". Berbekal penugasan Kaisar, Kido mendekati beberapa anggota Dewan Penasihat Militer. Tōgō sangat mendukung. Suzuki dan Menteri Tingkatan Laut Admiral Mitsumasa Yonai keduanya sangat berhati-hati mendukung; masing-masing meminta keterangan dalam hati, apa yang dipikirkan satu sama lain. Menteri Tingkatan Darat Jenderal Korechika Anami bersikap ambivalen, bersikeras diplomasi harus menunggu "hingga Amerika Serikat menderita kerugian besar" dalam Operasi Ketsu-Go.[43]

Pada bulan Juni 1845, Kaisar sudah kehilangan keyakinan terhadap kesempatan mencapai kemenangan militer. Jepang sudah kalah dalam Pertempuran Okinawa. Kaisar juga sudah mendapat kabar tentang kelemahan tingkatan darat di Cina, begitu pula soal tingkatan laut dan tingkatan darat yang mempertahankan pulau-pulau utama Jepang. Kaisar menerima laporan dari Pangeran Higashikuni; darinya Kaisar mengambil kesimpulan bahwa "bukan saja pertahanan bebas pantai, divisi yang tersedia bagi diterjunkan di pertempuran yang memilihkan juga tidak memiliki banyak senjata yang memadai."[44] Menurut Kaisar:

Kita sudah diberi tahu besi asal bom yang dijatuhkan musuh sudah digunakan bagi membuat sekop. Hal ini berarti kita tidak berada dalam kedudukan melanjutkan perang.[44]

Pada 22 Juni, kaisar memanggil keenam anggota Dewan Penasihat Militer bagi rapat. Tidak seperti banyakan, Kaisar membuka pembicaraan: "Kita menginginkan rencana konkrit bagi mengakhiri perang, tanpa dirintangi kebijakan yang berada, akan dipelajari dengan cepat dan usaha-usaha dilakukan bagi mengimplementasikannya."[45] Pertemuan menyetujui bagi mengundang bantuan Soviet dalam mengakhiri perang. Negara-negara netral lain seperti Swiss, Swedia, dan Vatikan diketahui berniat memainkan peranan dalam menciptakan perdamaian, tapi mereka terlalu kecil hingga mereka tidak bisa melaksanakan bertambah dari sekadar menyampaikan syarat-syarat kapitulasi Sekutu serta penerimaan atau penolakan dari Jepang. Uni Soviet diharapkan bisa dibujuk bagi bertindak bagi kaki tangan Jepang dalam bernegosiasi dengan Sekutu Barat.[46]

Usaha berurusan dengan Uni Soviet

Naotake Satō

Pada 30 Juni, Tōgō memerintahkan Duta Luhur Jepang bagi Moskwa Naotake Satō bagi berusaha menciptakan "hubungan persahabatan yang ketat dan tidak berkesudahan." Satō bermaksud membicarakan status Manchuria dan "masalah apa saja yang akan dinaikkan Rusia."[47] Satō akhir-akhirnya berjumpa dengan Menteri Luar Negeri Soviet Vyacheslav Molotov pada 11 Juli, namun pertemuan tidak memproduksi apa-apa. Pada 12 Juli, Tōgō memerintahkan Satō bagi menyampaikan kepada Soviet bahwa,

Yang Luhur Kaisar mempertimbangkan fakta bahwa perang yang kini dari hari ke hari membawa kemalangan dan pengorbanan bagi rakyat dari semua pihak-pihak yang bertempur, hasrat dari dalam hati supaya bisa segera dicerai-beraikan. Namun selama Inggris dan Amerika Serikat bersikeras soal penyerahan tanpa syarat, Kekaisaran Jepang tidak punya pilihan lain kecuali bertempur dengan segenap tenaga bagi kehormatan dan keberlangsungan tanah cairan.[48]

Kaisar mengusulkan bagi mengirim Pangeran Konoe bagi Utusan Luar Biasa, walaupun beliau tidak bisa tiba di Moskwa sebelum dimulainya Konferensi Potsdam.

Satō memberi tahu Tōgō bahwa dalam kenyataan, Jepang hanya bisa mengharapkan "penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang hampir setara ke situ". Bertambah jauh lagi Satō mengatakan bahwa pesan-pesan Tōgō "tidak jelas soal pandangan pemerintah dan militer dalam hal penghentian perang," serta mempertanyakan apakah inisiatif Tōgō didukung oleh unsur-unsur kunci dalam struktur kekuasaan Jepang.[49]

Pada 17 Juli, Tōgō menjawab,

Walaupun para penguasa, dan juga pemerintah yakin bahwa daya perang kita sedang bisa menimbulkan pukulan berarti terhadap musuh, kami tidak bisa merasakan kedamaian hati yang betul-betul pasti. ... .. Namun, mohon betul-betul diingat, bahwa kita tidak berkeinginan mediasi Rusia bagi hal-hal seperti penyerahan tanpa syarat.[50]

Dalam jawabannya, Satō memperjelas,

Sudah benda/barang tentu dalam pesan diri sendiri sebelumnya menyebut penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang hampir setara, diri sendiri membuat pengecualian soal mempertahankan [Rumah Tangga Kekaisaran].[51]

Pada 21 Juli, bercakap atas nama kabinet, Tōgō mengulangi,

Tentang soal penyerahan tanpa syarat kami tidak bisa menyetujuinya berdasarkan keadaan bagaimana pun. ... .. Dalam usaha menghindari keadaan seperti itu kita sedang mencari damai, ... .. melalui jasa aci Rusia. ... .. Ditinjau dari sudut pandang dalam negeri dan luar negeri, membuat pernyataan segera tentang syarat-syarat tertentu adalah merugikan dan tidak mungkin.[52]

Berbakat kriptografi Amerika Serikat yang bergabung dalam Proyek Magic telah memecahkan sebagian luhur sandi Jepang, termasuk kode Purple yang dipakai oleh kantor-kantor perwakilan Jepang bagi menyandikan koresponden diplomatik. Bagi belakang suatu peristiwanya, pesan selang Tokyo dan kedutaan-kedutaan Jepang tiris ke pemimpin Sekutu hampir sama cepatnya dengan penerima di alamat sasaran.[53]

Maksud-maksud Soviet

Urusan keamanan mendominasi keputusan Soviet soal Timur Jauh.[54] Di selang hasrat yang paling utama adalah memperoleh akses tidak terbatas ke Samudra Pasifik. Daerah bebas pantai Soviet di Pasifik yang bebas sama sekali es sepanjang tahun, khususnya Vladivostok, bisa diblokade melalui udara dan laut dari Sakhalin dan Kepulauan Kuril. Bila keduanya didapatkan berarti Rusia memperoleh akses bebas sama sekali ke Selat Soya yang memang menjadi sasaran utama.[55][56] Sasaran kedua adalah akad kontrak Jalur Kereta Api Timur Jauh Cina, Jalur Kereta Api Manchuria Selatan, Dairen, dan Lushun.[57]

Bagi mencapai sasarannya, Stalin and Molotov dengan semangat bernegosiasi dengan Jepang, memberikan Jepang keinginan palsu akan perdamaian dengan Uni Soviet bagi mediator.[58] Pada saat yang bersamaan, dalam transaksi Soviet dengan Amerika Serikat dan Inggris, Soviet bersikeras bagi secara sempit menaati Deklarasi Kairo, ditegaskan kembali di Konferensi Yalta bahwa Sekutu tidak akan menerima perdamaian bersyarat atau perdamaian sendiri-sendiri dengan Jepang. Kepada semua negara-negara Sekutu, Jepang harus menyerah tanpa syarat. Bagi memperpanjang perang, Uni Soviet menentang semua upaya yang dilakukan bagi memperlunak syarat-syarat kapitulasi.[58] Bila perang tidak segera habis, Uni Soviet sedang punya cukup waktu bagi memindahkan pasukan-pasukan mereka ke area perang Pasifik, bagi berikutnya merebut Sakhalin, Kepulauan Kuril, dan kemungkinan Hokkaido[59] [invasi dimulai dengan pendaratan di Rumoi, Hokkaido].[60]

Proyek Manhattan

Pada 1939, Albert Einstein dan Leó Szilárd menulis sepucuk surat kepada Presiden Roosevelt yang mendesaknya bagi mendanai penelitian dan pengembangan bom atom. Roosevelt setuju dan hasilnya adalah proyek riset sangat rahasia yang dikata Proyek Manhattan. Proyek ini dipimpin Jenderal Leslie Groves dengan J. Robert Oppenheimer bagi direktur pengarah aspek ilmiah. Bom atom pertama dengan sukses diledakkan dalam percobaan Trinity 16 Juli 1945.

Sementara proyek hampir berkesudahan, pemimpin perang Amerika mulai mempertimbangkan bagi menggunakan bom atom terhadap Jepang. Groves membentuk komite pencari sasaran yang berjumpa pada bulan April dan Mei 1945. Komite ini menyusun daftar sasaran bom atom. Mereka memilih 18 kota-kota di Jepang. Masuk dalam daftar di urutan paling atas adalah Kyoto, Hiroshima,[61] Yokohama, Kokura, dan Niigata.[62][63] Pada akhir-akhirnya Kyoto dihapus dari daftar atas desakan Menteri Perang Henry L. Stimson yang pernah mengunjungi Kyoto sewaktu bulan madu, dan mengetahui kota ini sangat penting dalam anggota norma budaya istiadat dan sejarah.[64]

Pada bulan Mei, Harry S. Truman dinaikkan bagi Presiden Amerika Serikat yang baru setelah Franklin Roosevelt wafat pada 16 April 1945. Truman menyetujui pembentukan komite Interim, sebuah golongan penasihat yang melapor tentang bom atom.[63] Komite Interim terdiri dari George L. Harrison, Vannevar Bush, James Bryant Conant, Karl Taylor Compton, William L. Clayton, dan Ralph Austin Bard, serta dibantu dewan penasihat yang terdiri dari ilmuwan Oppenheimer, Enrico Fermi, Ernest Lawrence, dan Arthur Compton. Dalam laporan tanggal 1 Juni 1945, komite berkesimpulan bom atom harus digunakan secepat mungkin terhadap instalasi-instalasi perang berikut rumah-rumah pekerja di sekelilingnya, dan tidak perlu memberi peringatan atau peragaan sebelumnya.[65]

Mandat yang diberikan kepada komite tidak termasuk penggunaan bom atom, walaupun penggunaannya sudah diperkirakan bila sudah habis.[66] Komite mengkaji kembali penggunaan bom atom setelah berada protes dalam wujud Laporan Franck dari ilmuwan Proyek Manhattan. Pada rapat 21 Juni, komite menegaskan kembali bahwa tidak berada alternatif lain selain menggunakan bom atom.[67]

Acara-acara di Potsdam

Pemimpin daya utama Sekutu berjumpa dalam Konferensi Potsdam 16 Juli-2 Agustus 1945. Uni Soviet, Kerajaan Bersatu, dan Amerika Serikat, masing-masing diwakili oleh Stalin, Winston Churchill [kemudian Clement Attlee], dan Truman.

Negosiasi

Perang melawan Jepang merupakan salah satu dari berbagai isu yang diceritakan di Potsdam. Truman mendapat berita tentang suksesnya percobaan Trinity pada awal konferensi, dan menyampaikan informasi tersebut ke delegasi Inggris. Kesuksesan percobaan bom atom menyebabkan delegasi Amerika Serikat mempertimbangkan kembali tentang perlunya partisipasi Soviet [seperti dijanjikan di Yalta].[68] Prioritas teratas Sekutu adalah mempersingkat perang dan mengurangi korban di pihak Amerika Serikat. Kedua hal tersebut mungkin bisa dibantu dengan beradanya campur tangan Uni Soviet, namun kemungkinan harus dibayar dengan membolehkan Soviet mencaplok wilayah-wilayah di luar wilayah yang dijanjikan bagi mereka di Yalta, dan mungkin Jepang akan terbagi dua seperti Jerman.[69]

Dalam kesepakatan dengan Stalin, Truman memutuskan bagi memberikan pemimpin Soviet kabar tentang keberadaan senjata baru yang kuat tanpa memberitahukan rinciannya. Namun, Sekutu lainnya tidak menyadari bahwa intelijen Soviet telah menyusup dalam Proyek Manhattan pada tahap awal, sehingga ketika Stalin mengetahui keberadaan bom atom, beliau tidak terkesan dengan potensinya.[70]

Deklarasi Potsdam

Pemimpin negara-negara utama Sekutu memutuskan bagi mengeluarkan pernyataan yang dikata Deklarasi Potsdam yang menetapkan "penyerahan tanpa syarat" dan memperjelas guna kapitulasi Jepang bagi kedudukan kaisar dan bagi Hirohito secara pribadi. Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris saling bertentangan tentang butir terakhir. Amerika Serikat akan menghapus kedudukan kaisar dan kemungkinan mengadilinya bagi penjahat perang. Sebaliknya, Inggris akan mempertahankan kedudukan kaisar, mungkin dengan Hirohito yang tetap bertahta. Pernyataan-pernyataan dalam rancangan Deklarasi Potsdam mengalami berbagai revisi sebelum versi yang diterima kedua belah pihak habis.[71]

Pada 26 Juli 1945, Amerika Serikat, Inggris, dan Cina merilis Deklarasi Potsdam yang mempunyai kontennya syarat-syarat kapitulasi Jepang dengan peringatan, "Kami tidak akan menyimpang dari ketentuan-ketentuan ini. Tidak berada alternatif. Kami tidak membolehkan beradanya penundaan." Bagi Jepang, deklarasi menetapkan syarat-syarat bagi berikut:

  • Penghapusan "selama-lamanya dari kekuasaan dan pengaruh tokoh-tokoh yang telah menipu dan menyesatkan rakyat Jepang ke arah dimulainya penaklukan dunia"
  • Pendudukan "titik-titik dalam wilayah Jepang yang akan ditetapkan oleh Sekutu"
  • "Kedaulatan Jepang akan dibatasi pada pulau-pulau Honshu, Hokkaido, Kyushu, dan Shikoku, serta pulau-pulau kecil seperti yang kami tetapkan." Seperti telah diumumkan dalam Deklarasi Kairo 1943, wilayah-wilayah Jepang akan disita hingga wilayah sebelum perang, termasuk Korea dan Taiwan, begitu pula wilayah-wilayah taklukannya baru-baru ini.
  • "Daya militer Jepang harus sepenuhnya dilucuti"
  • "Keadilan yang keras harus dijatuhkan kepada semua penjahat perang, termasuk semua yang telah melaksanakan kekejaman terhadap orang kita yang ditawan".

Di lain pihak, deklarasi menegaskan bahwa:

  • "Kami tidak bermaksud memperbudak Jepang bagi suatu ras atau menghancurkannya bagi suatu bangsa, ... .. Pemerintah Jepang harus menghapus semua penghalang bagi kebangkitan dan makin menguatnya kecenderungan demokrasi di selang rakyat Jepang. Kebebasan bercakap, beragama, dan berpikir, begitu pula peghormatan bagi hak asasi manusia yang fundamental harus ditegakkan."
  • "Jepang harus dibolehkan memiliki industri-industri yang akan menunjang ekonomi dan memungkinkan bagi membayar tuntutan pampasan yang serupa dan sama berat, ... .. Partisipasi Jepang dalam hubungan dagang internasional harus dibolehkan."
  • "Kesatuan pendudukan Sekutu akan ditarik dari Jepang segera setelah tujuan-tujuan tersebut dicapai dan telah berdirinya sebuah pemerintahan yang bertanggung jawab dan berhaluan damai sesuai dengan hasrat rakyat Jepang yang diungkapkan secara bebas sama sekali."

Satu-satunya pasal yang menyebut tentang "penyerahan tanpa syarat" dicantumkan pada penghabisan deklarasi:

  • "Kami mengimbau pemerintah Jepang bagi menyatakan kini juga kapitulasi tanpa syarat dari semua tingkatan bersenjata Jepang, dan bagi memperlihatkan jaminan yang cukup dan layak atas maksud aci mereka terhadap hal tersebut. Pilihan lain bagi Jepang adalah "penghancuran sepenuhnya dan segera."

Tidak diistilahkan tentang Kaisar Hirohito apakah termasuk ke dalam salah satu dari tokoh yang "menyesatkan rakyat Jepang", atau juga seorang penjahat perang, bahkan sebaliknya anggota dari "pemerintah yang bertanggung jawab dan mempunyai keinginan damai". Pasal "penghancuran sepenuhnya dan segera" kemungkinan adalah peringatan terselubung soal kepemilikan bom atom oleh Amerika Serikat [yang telah dicobakan dengan sukses pada hari pertama konferensi].[72]

Reaksi Jepang

Pada 27 Juli, pemerintah Jepang menimbang-nimbang metode menanggapi Deklarasi Potsdam. Empat tokoh militer dari Dewan Penasihat Militer bermaksud menolaknya, tapi Tōgō membujuk kabinet bagi tidak melaksanakannya hingga beliau mendapat reaksi dari Uni Soviet. Dalam sebuah telegram, Duta Luhur Jepang bagi Swiss Shunichi Kase berpendapat bahwa penyerahan tanpa syarat hanya berlangsung bagi militer dan bukan bagi pemerintah atau rakyat, dan beliau minta supaya difahami bahwa pemilihan bahasa yang hati-hati dalam Deklarasi Potsdam sepertinya "telah mengalami konsep yang mendalam" dari pihak pemerintah-pemerintah yang menandatanganinya--"mereka kelihatannya telah bersusah payah berusaha menyelamatkan muka kita pada berbagai pasal-pasal."[73] Pada hari berikutnya, surat-surat kabar Jepang melaporkan bahwa Jepang telah menolak inti Deklarasi Potsdam yang sebelumnya telah disiarkan dan dijatuhkan bagi selebaran udara di atas Jepang. Dalam usaha mengatasi persepsi publik, Perdana Menteri Suzuki berjumpa dengan pers, dan memberi pernyataan,

Diri sendiri menganggap Proklamasi Bersama bagi pengulangan kembali Deklarasi di Konferensi Kairo. Tentang hal tersebut, Pemerintah tidak menganggapnya memiliki nilai penting sama sekali. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah mengabaikannya [mokusatsu]. Kami tidak akan melaksanakan apa-apa kecuali menanggungnya hingga penghabisan bagi mendatangkan penghabisan perang yang sukses.[74]

Guna kata mokusatsu adalah mengabaikan atau tidak menanggapi.[74] Walaupun demikian, pernyataan Suzuki, terutama kalimat terakhir hanya menyisakan sedikit ruang bagi interpretasi yang salah. Pers Jepang dan pers luar negeri mengartikannya bagi penolakan, dan tidak berada pernyataan bertambah lanjut yang disampaikan ke muka umum atau saluran diplomatik bagi mengubah kesalahpahaman ini.

Pada 30 Juli, Duta Luhur Satō menulis bahwa Stalin kemungkinan sedang bercakap dengan Sekutu Barat tentang transaksinya dengan Jepang. Menurut Satō, "Tidak berada alternatif selain penyerahan tanpa syarat dengan segera bila kita akan mencegah partisipasi Rusia dalam perang."[75] Pada 2 Agustus, Tōgō menulis kepada Satō, "Sulit bagi Anda bagi mewujudkan hal itu ... .. terbatas waktu kita bagi berlanjut ke persiapan mengakhiri perang sebelum musuh mendarat di pulau-pulau utama Jepang, di lain pihak sulit bagi memutuskan syarat-syarat damai yang nyata di tanah cairan secara sekaligus."[76]

Hiroshima, Manchuria, dan Nagasaki

Hiroshima: 6 Agustus

Page 5

Tags [tagged]: flag of japan, flag of, japan, jepang memaparkan, cakra, besar berwarna merah, bagian, shogun, mempunyai, upaya mematahkan serangan, abad ke, 15, abad ke 16, keshogunan tokugawa, 1603, 1867, meiji pada, tahun 1868, bendera, dianggap sebagai, set, of indonesian, cyclopedia, bersenjata jepang sehingga, akhir perang, dunia, ii bendera flag, of japan, flag, program, kuliah pegawai, kelas, weekend, p2k, itbu, ac, id, kelas eksekutif, indonesian, encyclopedia

Page 6

Tags [tagged]: flag of japan, flag of, japan, jepang memaparkan, cakra, besar berwarna merah, bagian, shogun, mempunyai, upaya mematahkan serangan, abad ke, 15, abad ke 16, keshogunan tokugawa, 1603, 1867, meiji pada, tahun 1868, bendera, dianggap sebagai, set, of indonesian, cyclopedia, bersenjata jepang sehingga, akhir perang, dunia, ii bendera flag, of japan, flag, program, kuliah pegawai, kelas, weekend, p2k, itbu, ac, id, kelas eksekutif, indonesian, encyclopedia

Page 7

Tags [tagged]: bendera jepang, bendera, jepang, jepang memaparkan cakra, besar berwarna, merah, bagian, shogun mempunyai, upaya mematahkan, serangan, abad ke 15, abad ke, 16, keshogunan tokugawa 1603, 1867, meiji, pada, tahun 1868 bendera, dianggap sebagai, ensiklopedia, dunia bersenjata jepang, sehingga akhir, perang, dunia ii bendera, program, kuliah pegawai, kelas, weekend, p2k, itbu, ac, id, dunia, kelas eksekutif, ensiklopedi, bahasa indonesia

Page 8

Tags [tagged]: bendera jepang, bendera, jepang, jepang memaparkan cakra, besar berwarna, merah, bagian, shogun mempunyai, upaya mematahkan, serangan, abad ke 15, abad ke, 16, keshogunan tokugawa 1603, 1867, meiji, pada, tahun 1868 bendera, dianggap sebagai, ensiklopedia, dunia bersenjata jepang, sehingga akhir, perang, dunia ii bendera, program, kuliah pegawai, kelas, weekend, p2k, itbu, ac, id, dunia, kelas eksekutif, ensiklopedi, bahasa indonesia

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề