Relief yang terdapat di dinding gua atau tembok candi termasuk dalam karya cetak

Kata “candi” mengacu pada berbagai macam bentuk dan fungsi bangunan, antara lain tempat beribadah, pusat pengajaran agama, tempat menyimpan abu jenazah para raja, tempat pemujaan atau tempat bersemayam dewa, petirtaan [pemandian], dan gapura. Walaupun fungsinya bermacam-macam, secara umum fungsi candi tidak dapat dilepaskan dari kegiatan keagamaan, khususnya agama Hindu dan Buddha, pada masa yang lalu. Oleh karena itu, sejarah pembangunan candi sangat erat kaitannya dengan sejarah kerajaan-kerajaan dan perkembangan agama Hindu dan Buddha di Indonesia, sejak abad ke-5 sampai dengan abad ke-14.

Karena ajaran Hindu dan Buddha berasal dari negara India, maka bangunan candi banyak mendapat pengaruh India dalam berbagai aspeknya, seperti teknik bangunan, gaya arsitektur, hiasan, dan sebagainya. Walaupun demikian, pengaruh kebudayaan dan kondisi alam setempat sangat kuat, sehingga arsitektur candi Indonesia mempunyai karakter tersendiri, baik dalam penggunaan bahan, teknik kontruksi maupun corak dekorasinya. Dinding candi biasanya diberi hiasan berupa relief yang mengandung ajaran atau cerita tertentu.

Dalam kitab Manasara disebutkan bahwa bentuk candi merupakan pengetahuan dasar seni bangunan gapura, yaitu bangunan yang berada pada jalan masuk ke atau keluar dari suatu tempat, lahan, atau wilayah. Gapura sendiri bisa berfungsi sebagai petunjuk batas wilayah atau sebagai pintu keluar masuk yang terletak pada dinding pembatas sebuah komplek bangunan tertentu. Gapura mempunyai fungsi penting dalam sebuah kompleks bangunan, sehingga gapura juga mencerminkan keagungan dari bangunan yang dibatasinya. Perbedaan kedua bangunan tersebut terletak pada ruangannya. Candi mempunyai ruangan yang tertutup, sedangkan ruangan dalam gapura merupakan lorong yang berfungsi sebagai jalan keluar-masuk.

Beberapa kitab keagamaan di India, misalnya Manasara dan Silpa Prakasa, memuat aturan pembuatan gapura yang dipegang teguh oleh para seniman bangunan di India. Para seniman pada masa itu percaya bahwa ketentuan yang tercantum dalam kitab-kitab keagamaan bersifat suci dan magis. Mereka yakin bahwa pembuatan bangunan yang benar dan indah mempunyai arti tersendiri bagi pembuatnya dan penguasa yang memerintahkan membangun. Bangunan yang dibuat secara benar dan indah akan mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat. Keyakinan tersebut membuat para seniman yang akan membuat gapura melakukan persiapan dan perencanaan yang matang, baik yang bersifat keagamaan maupun teknis.

Salah satu bagian terpenting dalam perencanaan teknis adalah pembuatan sketsa yang benar, karena dengan sketsa yang benar akan dihasilkan bangunan seperti yang diharapkan sang seniman. Pembuatan sketsa bangunan harus didasarkan pada aturan dan persyaratan tertentu, berkaitan dengan bentuk, ukuran, maupun tata letaknya. Apabila dalam pembuatan bangunan terjadi penyimpangan dari ketentuan-ketentuan dalam kitab keagamaan akan berakibat kesengsaraan besar bagi pembuatnya dan masyarakat di sekitarnya. Hal itu berarti bahwa ketentuan-ketentuan dalam kitab keagamaan tidak dapat diubah dengan semaunya. Namun, suatu kebudayaan, termasuk seni bangunan, tidak dapat lepas dari pengaruh keadaan alam dan budaya setempat, serta pengaruh waktu. Di samping itu, setiap seniman mempunyai imajinasi dan kreativitas yang berbeda.

Sampai saat ini candi masih banyak didapati di berbagai wilayah Indonesia, terutama di Sumatera, Jawa, dan Bali. Walaupun sebagian besar di antaranya tinggal reruntuhan, namun tidak sedikit yang masih utuh dan bahkan masih digunakan untuk melaksanakan upacara keagamaan. Sebagai hasil budaya manusia, keindahan dan keanggunan bangunan candi memberikan gambaran mengenai kebesaran kerajaan-kerajaan pada masa lampau.

Candi-candi Hindu di Indonesia umumnya dibangun oleh para raja pada masa hidupnya. Arca dewa, seperti Dewa Wisnu, Dewa Brahma, Dewi Tara, dan Dewi Durga, yang ditempatkan dalam candi banyak yang dibuat sebagai perwujudan leluhurnya. Bahkan kadang-kadang sejarah raja yang bersangkutan dicantumkan dalam prasasti persembahan candi tersebut. Berbeda dengan candi-candi Hindu, candi-candi Buddha umumnya dibangun sebagai bentuk pengabdian kepada agama dan untuk mendapatkan ganjaran. Ajaran Buddha yang tercermin pada candi-candi di Jawa Tengah adalah Buddha Mahayana, yang masih dianut oleh umat Buddha di Indonesia sampai saat ini. Berbeda dengan aliran Buddha Hinayana yang dianut di Myanmar dan Thailand.

Candi di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta, candi di Jawa Timur, candi di Bali, dan candi di Sumatera. Di Kalimantan pernah juga ditemukan candi, namun masih berupa reruntuhan. Walaupun pada masa sekarang Jawa Tengah dan Yogyakarta merupakan dua provinsi yang berbeda, namun dalam sejarahnya kedua wilayah tersebut dapat dikatakan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Hindu, yang sangat besar peranannya dalam pembangunan candi di kedua provinsi tersebut. Pengelompokan candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta berdasarkan wilayah administratifnya saat ini sulit dilakukan, namun berdasarkan ciri-cirinya, candi-candi tersebut dapat dikelompokkan dalam candi-candi di wilayah utara dan candi-candi di wilayah selatan.

Candi-candi yang terletak di wilayah utara, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Sanjaya, merupakan candi Hindu dengan bentuk bangunan yang sederhana, batur tanpa hiasan, dan dibangun dalam kelompok namun masing-masing berdiri sendiri serta tidak beraturan letaknya. Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya Candi Dieng dan Candi Gedongsanga. Candi di wilayah selatan, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Syailendra, merupakan candi Buddha dengan bentuk bangunan yang indah dan sarat dengan hiasan. Candi di wilayah utara ini umumnya dibangun dalam kelompok dengan pola yang sama, yaitu candi induk yang terletak di tengah dikelilingi oleh barisan candi perwara. Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya Candi Prambanan, Candi Mendut, Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Candi Borobudur.

Candi-candi di Jawa Timur umumnya usianya lebih muda dibandingkan yang terdapat di Jawa Tengah dan Yogyakarta, karena pembangunannya dilakukan di bawah pemerintahan kerajaan-kerajaan penerus kerajaan Mataram Hindu, seperti Kerajaan Kahuripan, Singasari, Kediri, dan Majapahit. Bahan dasar, gaya bangunan, corak dan isi cerita relief candi-candi di Jawa Timur sangat beragam, tergantung pada masa pembangunannya. Misalnya, candi-candi yang dibangun pada masa Kerajaan Singasari umumnya dibuat dari batu andesit dan diwarnai oleh ajaran Tantrayana [Hindu-Buddha], sedangkan yang dibangun pada masa Kerajaan Majapahit umumnya dibuat dari bata merah dan lebih diwarnai oleh ajaran Buddha.

Candi-candi di Bali umumnya merupakan candi Hindu dan sebagian besar masih digunakan untuk pelaksanaan upacara keagamaan hingga saat ini. Di Pulau Sumatera terdapat dua candi Buddha yang masih dapat ditemui, yaitu Candi Portibi di Provinsi Sumatra Utara dan Candi Muara Takus di Provinsi Riau.

Sebagian candi di Indonesia ditemukan dan dipugar pada awal abad ke-20. Pada tanggal 14 Juni 1913, pemerintah kolonial Belanda membentuk badan kepurbakalaan yang dinamakan Oudheidkundige Dienst [biasa disingkat OD], sehingga penanganan atas candi-candi di Indonesia menjadi lebih intensif.

[Sumber: candi.pnri.go.id]

Relief kura-kura terbang pada Candi Mendut [Foto-foto: Istimewa]

Masyarakat kuno mempunyai berbagai cara untuk mengajar generasi mudanya. Ajaran yang bersifat mendidik dipandang merupakan tonggak untuk mencapai hidup rukun. Pada masa sekitar seribu tahun lalu, candi merupakan tempat ibadah yang banyak didatangi masyarakat. Maka, agar segala ajaran baik tentang kecerdikan, tingkah laku, dan nasihat mudah diserap oleh masyarakat, dipahatkanlah ajaran-ajaran itu pada dinding candi-candi dalam bentuk panil relief.

Kisah dalam relief dibuat beragam, namun yang paling dikenal dalam bentuk fabel. Kisahnya berupa pengalaman dan petualangan tokoh hewan. Dulu fabel bisa diterima dengan baik oleh anak-anak sampai orang dewasa.

Ajaran moral nenek moyang banyak tergambar dari candi-candi Buddha dan Hindu di Jawa dari berbagai masa. Salah satu kisahnya terdapat pada Candi Mendut. Candi yang bersifat Buddha ini berlokasi tidak jauh dari Candi Borobudur. Kisah fabel pada candi-candi Buddha biasanya bertema ajaran moral, misalnya kebaikan selalu mengalahkan kejahatan, tolong-menolong selalu dibutuhkan, dan kecerdikan mampu menyelesaikan masalah.

Panil batu yang berisi relief memang tidak begitu banyak. Para arkeolog berhasil mengidentifikasinya berdasarkan fungsi candi pada masa dulu. Diketahui bahwa kisah-kisah itu dipahat berdasarkan petikan dari kitab Jataka dan Tantri Kamandaka. Kedua kitab itu dikenal penuh dengan ajaran tamsil ibarat dan falsafah kehidupan yang dalam.

Kisah Kura-kura Terbang
Ada gambar relief yang tampak agak ganjil dan lucu pada Candi Mendut itu. Pada panil berukuran 1,5 meter x 0,75 meter terpahat seekor kura-kura sedang menggigit sepotong kayu, yang dibawa terbang oleh dua ekor angsa dengan cara memegangi kedua ujung kayu menggunakan cakar mereka. Sementara itu di bawahnya dilukiskan beberapa orang sedang berteriak-teriak. Tampak pula dua ekor anjing sedang menengadahkan kepalanya ke atas, mungkin sedang menggonggong. Di bagian lain, masih di dalam bingkai panil yang sama, tampak orang-orang dan anjing sedang memperebutkan kura-kura yang rupanya telah terjatuh ke tanah.

Cerita kura-kura terbang tersebut dipetik dari kitab Tantri Kamandaka, sebuah kitab fabel berbahasa Jawa Kuno. Ceritanya ringan, menarik, penuh amsal, perlambang, dan pendidikan. Dikisahkan, di sebuah danau yang permai dan jernih airnya, tinggal seekor kura-kura. Kura-kura itu bersahabat dengan sepasang angsa suami istri, Cakrangga dan Cakranggi. Persahabatan mereka telah lama terbina. Suatu ketika di musim kemarau saat air danau mulai berkurang, Cakrangga dan Cakranggi minta diri pada sahabatnya itu untuk mengungsi ke sebuah telaga di Gunung Himawan. Ini karena air di telaga tersebut tidak pernah kering walau pada musim kemarau sekali pun. Sang kura-kura rupanya ingin turut mengungsi. Dia pun memohon, “Bawalah aku serta. Di sini aku akan sengsara karena kurang air.”

Masalahnya kemudian adalah bagaimana cara kedua angsa itu membawa si kura-kura. Akhirnya mereka mengusulkan agar kura-kura menggigit sepotong kayu dan kedua angsa itu akan mencengkeram kedua ujung kayu sambil terbang. Sebelum terbang kedua angsa berpesan, “Kami akan membawa terbang dirimu, kura-kura. Ingat kamu harus memagut kuat-kuat batang kayu itu dan jangan berbicara apa pun. Jika ada yang menegur, janganlah dijawab.”

Segeralah mereka terbang. Kura-kura merasa kagum pada keindahan alam yang dilihatnya dari atas. Tak terasa sampailah mereka di atas ladang Wilanggala. Di ladang itu ada dua ekor anjing jantan dan betina sedang bermain. Ketika mereka menengadah, tampaklah sesuatu yang ganjil, yaitu seekor kura-kura yang bergelayutan pada sepotong kayu yang sedang dibawa terbang oleh dua ekor angsa. Maka berkatalah anjing betina, “Hai, lihatlah! Ada kura-kura dibawa terbang oleh dua ekor angsa!”

Menjawablah si anjing jantan, “Aneh, ya! Tampaknya ada kura-kura tolol sedang belajar terbang pada angsa. Mungkin itu bukan kura-kura, tapi kotoran kerbau kering yang berisi cacing untuk makanan anak-anak angsa.”

Mendengar percakapan kedua anjing itu, marahlah si kura-kura. Mulutnya mulai berdenyut-denyut. Karena gusarnya dia tidak ingat lagi pesan angsa sahabatnya. Dia ingin sekali menjawab ejekan itu. Maka dibukalah mulutnya untuk berbicara. Akibatnya tubuh gemuk si kura-kura melayang jatuh berdebam di atas tanah. Kedua anjing itu segera melompat memburu si kura-kura. Keduanya makan besar menikmati daging kura-kura.

Kesimpulan kisah ini dalam kitab Tantri Kamandaka adalah demikian,  “Jika tidak memperhatikan nasihat dari kawan baik dan tidak memahami maksud yang tersirat, hal itu akan membuat celaka. Perlu pula diingat jangan cepat-cepat menerima kata-kata orang begitu saja untuk ditanggapi.”

Muslihat Seekor Kambing
Pada bagian lain tampak relief  seekor harimau yang lari menghindari seekor kambing. Sementara di pinggang harimau melilit seutas tali yang menyambung dan terikat pada pinggang seekor kera. Kera itu terseret berguling-guling terbawa lari harimau. Mimik wajah harimau sangat ketakutan sambil menoleh ke arah kambing. Si kambing digambarkan sedang berdiri dengan tenangnya. Di sekitar hewan-hewan itu digambarkan tanaman sulur-suluran yang berdaun lebat, juga ada burung yang sedang terbang.  Kisah tersebut merupakan cuplikan dari kitab Jataka.

Tersebutlah ada seekor harimau Warani hendak memangsa anak kambing yang sedang merumput bersama ibunya, Maseba. Lalu mendekatlah harimau itu sambil berkata, “Eh, sedang apa kalian berkeliaran di wilayah kekuasaanku? Akan kuhukum kau dan kuantarkan ke kerajaan Sang Yama [Dewa Maut] karena telah sembarangan datang ke tempat ini.” Namun si induk kambing menjawab dengan berani, “Harimau, tak tahukah engkau bahwa telah sepuluh ekor harimau berhasil kucabik-cabik? Aku dapat mengeluarkan api setinggi menara dan membakar matahari terik itu. Apalagi cuma seekor harimau macam kau. Tunggulah, rasakan kesaktianku ini.”

Mendengar bualan kambing itu, harimau merasa ngeri. Akhinya dia buru-buru lari menghindar. Seekor kera melihat harimau itu lari ketakutan, lalu bertanya, “Mengapa kau lari terbirit-birit, Warani?” Diceritakan oleh Warani bahwa ia bertemu seekor kambing sakti, meski tidak sesakti Siwa, dewa tertinggi penguasa alam, tapi cukup membuatnya keder. Tahulah si kera bahwa kambing itu adalah bekas sahabatnya, Maseba. Kera menganjurkan kepada Warani untuk mendatangi Maseba lagi dan membuktikan kesaktian Maseba, tapi harimau menolak. Akhirnya kera berkata, “Jika kau takut, aku akan menemanimu. Ambillah tali untuk mengikat pinggang kita berdua. Dengan demikian segala bahaya akan kita hadapi bersama.”

Mereka berdua segera berjalan ke tempat Maseba.  Anak kambing itu sangat ketakutan, namun sang induk dapat membujuknya agar tetap tenang. “Eh kera, selamat datang! Untunglah engkau masih ingat akan janjimu dahulu ketika kau kalah taruhan denganku. Katamu kau sanggup menyerahkan dua ekor harimau untuk santapanku. Sekarang kau datang hanya membawa seekor. Tak apalah. Bawa kemari biar cepat kukunyah habis!”

Dengan ketakutan harimau berpikir, “Oh, rupanya aku dibawa kemari untuk membayar hutang. Lebih baik aku segera menyelamatkan diri!” Maka larilah harimau itu. Kera yang terikat pinggangnya terbawa terseret-seret. Karena terburu-buru, harimau terperosok ke dalam jurang. Si kera pun turut terbawa masuk jurang sehingga matilah mereka berdua. Maseba segera mengajak anaknya pergi dari tempat itu, takut bersua dengan harimau lain yang lebih ganas dan tidak mudah ditipu. Pesan moral dari kisah ini adalah jangan memandang rendah kaum lemah. Dengan kecerdikan maka kaum kuat pun bisa dikalahkan.

Kisah Kutu dan Kepinding
Ada lagi kisah seekor kutu gemuk bernama Asada. Dia tinggal di tilam seorang raja dan merasa betah di sana, sehingga tidak pernah terpikir untuk meninggalkan tempat itu. Sementara itu di celah-celah dinding kamar tempat raja beristirahat, terdapat seekor kepinding bernama Candila. Candila merasa heran melihat hidup Asada yang tampaknya makmur. Maka didatangilah si Asada, dan katanya, “Wahai Asada, ingin saya bertanya kepadamu, mengapa hidupmu begitu makmur? Tubuhmu gemuk sehat, tampaknya kamu banyak makan. Coba lihat diriku yang kurus kering karena selalu kekurangan makan. Makanan hanya kuperoleh jika ada orang yang bersandar di dinding. Itu pun hanya sekejap. Tolonglah, Asada, beritahukan rahasia kemakmuran hidupmu.”

Menyahutlah kutu Asada, “Hai kepinding, rahasia kemakmuran hidupku sebenarnya tidak ada, hanya aku mencari makan dengan memperhatikan prinsip kaladesa [waktu dan tempat]. Karena aku tinggal di kasur raja, tentunya yang kuhisap adalah darah raja. Tapi dalam mencari makan itu, aku selalu berpegang pada ketentuan tadi. Desa berarti tempat, maksudnya tempatku sekarang ini sudah cukup baik untuk mencari makan dan tidak mau meninggalkan tempatku, yaitu peraduan Sang Raja. Kala artinya waktu, aku akan memilih waktu yang tepat dalam menjalankan aksi mencari makan. Waktu Sang Raja sudah lelap tidur, nah, saat itulah aku mulai beraksi menghisap darahnya sepuasnya. Namun jika kesempatan itu tidak ada, lebih baik aku tidak makan, sampai satu malam, dua malam, bahkan lebih lagi. Aku selalu menunggu kesempatan yang terbaik dan tidak terburu-buru menuruti hawa nafsu.”

Demikianlah uraian hidup makmur si Asada kepada Candila. Akhirnya diperbolehkannya Candila bertempat tinggal di tilam sang raja. Pada suatu hari raja berkesempatan untuk beristirahat pada siang hari. Si kepinding merasa telah mendapat kesempatan yang baik. Dilihatnya paha raja yang keputih-putihan sehingga menimbulkan hasratnya untuk segera menggigit dan menghisap darahnya. Tetapi maksud itu dicegah oleh kutu. “Jangan tergesa-gesa sahabat, bukan kesempatan baik saat ini. Sabarlah sampai nanti malam dan saat itu kau boleh makan sepuasnya.”

Candila tidak mau mengindahkan nasihat sahabatnya. Jiwanya telah dipenuhi nafsu terburu-buru. Ia bersikeras pada kehendaknya, karena sangat lapar. Maka digigitlah paha sang raja. Sang raja terkejut dan terbangun lalu diperintahkannya para pengawal untuk mencari kepinding yang menggigit pahanya. Dicarilah tempat persembunyiannya, tapi tidak ditemukan, karena ia dengan cepat telah menyelinap ke celah-celah anyaman. Malah yang ditemukan adalah kutu Asada, lalu dibunuhlah kutu itu. Si kepinding terus dicari, tak berapa lama ia pun ditemukan dan dibunuh.

Akhir cerita itu dicatat dalam kitab Tantri Kamandaka dalam bahasa Jawa Kuno yang artinya, “ ….barang siapa memberi perlindungan tanpa mengetahui baik buruknya yang dilindungi, pasti menemukan kesusahan…. Tamsil ibarat yang nyata dalam cerita ini adalah prinsip kaladesa tersebut, yaitu dalam mencari rezeki atau mencari kehidupan, hendaknya kita memperhatikan tempat dan waktu yang memungkinkan.

Tak Tahu Membalas Budi
Cerita fabel juga terdapat pada Candi Panataran di Jawa Timur. Berbeda dengan Candi Mendut, Candi Panataran bersifat Hindu.  Berbagai ajaran budi pekerti yang mengandung pembelajaran diselipkan oleh nenek moyang kita di sini, di antara relief-relief cerita lain seperti Ramayana dan Kresnayana.  Misalnya saja cerita tentang buaya yang tak tahu membalas budi.

Relief buaya dan kerbau pada Candi Panataran

Dikisahkan, seekor buaya tiba-tiba tertimpa sebatang pohon. Beruntung, dia jatuh ke tempat yang berlubang  sehingga mampu menyelamatkan diri. Ketika seekor lembu melintas di depannya, buaya meminta pertolongan. Sang lembu yang baik hati itu pun berhasil menyingkirkan pohon yang tumbang.

Sang buaya yang sudah terbebas kemudian meminta pertolongan lagi agar sang lembu bersedia mengantarkannya ke sungai. Setibanya di sungai, sang buaya bukannya berterima kasih malah menggigit sang lembu. Terjadilah perkelahian seru. Namun karena sang buaya terkenal dengan julukan ’raja air’, maka sang lembu pun terdesak.

Sekonyong-konyong datanglah sang kancil bertindak sebagai wasit perkara. Kancil meminta agar buaya dikembalikan ke tempat kejadian semula sewaktu tertimpa pohon dengan alasan untuk memudahkan penilaian siapa yang benar dan siapa yang salah. Di tempat itu buaya ditinggal sendirian sampai menemui ajal.  Relief ini terdapat pada dinding kolam sisi barat dan bagian belakang arca dwarapala yang terletak di sebelah kanan tangga masuk bagian candi induk sisi utara. Pelajaran yang bisa diambil tentu saja adalah persoalan balas budi dan kebaikan yang dibalas dengan kejahatan.

Sebenarnya di Candi Mendut dan Candi Panataran masih banyak terdapat relief fabel. Belum lagi pada candi-candi lain. Ajaran moral ini telah terpahat selama ratusan tahun di dinding-dinding candi, bahkan ada yang lebih dari seribu tahun. Meskipun begitu, ajaran moral demikian tetap relevan dan abadi sampai kapanpun. Kearifan dari masa lampau ini tentu saja patut menjadi perhatian generasi masa kini. [diolah dari berbagai sumber]

Penulis: Djulianto Susantio

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề