Rentang waktu antara tahun 1959 sampai dengan 1966 disebut * 5 poin

Tags [tagged]: unkris, sejarah, indonesia, 1959 1966, kolonialisme, bangsa, eropa, portugis, 1512, 1850, voc, 1602, 18, ekonomi, tersendat, dari, segi, politik, konstituante, pembentukan, mprs, dpas, peranan, pki, partai, komunis, sekali, mengatakan, bahwa, bantuan, as, tentu, saja, bukan, pusat, ilmu, pengetahuan, press, new, york, isbn, 0, 8014, 0825, 3, ricklefs, mc, 1982, a, 1959, 1966, , program, kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, ensiklopedi, bahasa, ensiklopedi

Page 2

Tags [tagged]: unkris, sejarah, indonesia, 1959 1966, kolonialisme, bangsa, eropa, portugis, 1512, 1850, voc, 1602, 18, ekonomi, tersendat, dari, segi, politik, konstituante, pembentukan, mprs, dpas, peranan, pki, partai, komunis, sekali, mengatakan, bahwa, bantuan, as, tentu, saja, bukan, pusat, ilmu, pengetahuan, press, new, york, isbn, 0, 8014, 0825, 3, ricklefs, mc, 1982, a, 1959, 1966, , program, kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, ensiklopedi, bahasa, ensiklopedi

Page 3

Tags [tagged]: unkris, sejarah, indonesia, 1959 1966, 15, kerajaan, islam, kesultanan, samudera, pasai, 1267, 1521, program, dirancang, oleh, kabinet, tidak, dijalankan, kala, itu, antara, ideologi, nasionalisme, ekonomi, mendesak, pendapatan, ekspor, pusat, ilmu, pengetahuan, selat, sungai, tanjung, ujung, teluk, titik, garis, 1959, 1966, , kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, ensiklopedi, bahasa, ensiklopedi

Page 4

Sejarah Indonesia [1959-1966] adalah masa di mana sistem "Demokrasi Terpimpin" sempat berlanjut di Indonesia. Demokrasi terpimpin adalah suatu sistem demokrasi dimana seluruh keputusan serta konsep berpusat pada pemimpin negara, saat itu Presiden Soekarno. Konsep sistem Demokrasi Terpimpin pertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956.

Latar belakang

Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno :

  1. Dari sisi keamanan nasional: Banyaknya gerakan separatis pada masa demokrasi liberal, menyebabkan ketidakstabilan negara.
  2. Dari sisi perekonomian  : Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal menyebabkan program-program yang didesain oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.
  3. Dari sisi politik : Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950.

Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh anjuran Soekarno supaya Undang-Undang yang dipergunakan untuk menggantikan UUDS 1950 adalah UUD 1945. Namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota konstituante. Sbg tindak lanjut usulannya, disediakan pemungutan suara yang diiringi oleh seluruh anggota konstituante . Pemungutan suara ini dipertontonkan dalam rangka mengatasi konflik yang timbul dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.

Hasil pemungutan suara menunjukan bahwa :

  • 269 orang setuju untuk kembali ke UUD 1945
  • 119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD 1945

Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD 1945 tidak dapat direalisasikan. Hal ini dikarenakan oleh jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak mencapai 2/3 bidang, seperti yang telah diambil keputusan pada pasal 137 UUDS 1950.

Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan suatu dekrit yang dikata Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :

  1. Tidak berjalan kembali UUDS 1950
  2. Berjalannya kembali UUD 1945
  3. Dibubarkannya konstituante
  4. Pembentukan MPRS dan DPAS

Peranan PKI

Partai Komunis Indonesia [PKI] menyambut "Demokrasi Terpimpin" Soekarno dengan hangat dan anggapan bahwa PKI mempunyai mandat untuk mengakomodasi persekutuan konsepsi yang masih marak di Indonesia saat itu, adalah selang ideologi nasionalisme, agama [Islam] dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.

Pada tahun 1962, perebutan Irian Barat secara militer oleh Indonesia yang dilangsungkan dalam Operasi Trikora mendapat dukungan penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan terhadap perlawanan masyarakat hukum budaya yang tidak menghendaki integrasi dengan Indonesia.

Keterlibatan Amerika Serikat

Di era Demokrasi Terpimpin, selang tahun 1959 dan tahun 1965, Amerika Serikat memberikan 64 juta dollar dalam bentuk pertolongan militer untuk jenderal-jenderal militer Indonesia. Menurut laporan di media cetak "Suara Pemuda Indonesia": Sebelum kesudahan tahun 1960, Amerika Serikat telah melengkapi 43 batalyon tingkatan bersenjata Indonesia. Tiap tahun AS melatih perwira-perwira militer sayap kanan. Di selang tahun 1956 dan 1959, lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telah dilatih di AS, dan ratusan perwira tingkatan rendah terlatih setiap tahun. Kepala Badan untuk Pembangunan Internasional di Amerika pernah sekali menyebut bahwa pertolongan AS, tentu saja bukan untuk mendukung Soekarno dan bahwa AS telah melatih sejumlah akbar perwira-perwira tingkatan bersenjata dan orang sipil yang bersedia membentuk kesatuan militer untuk menciptakan Indonesia suatu "negara bebas".

Dampak ke situasi politik

Era "Demokrasi Terpimpin" diwarnai kolaborasi selang kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani Indonesia. Kolaborasi ini tetap gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak Indonesia saat itu. Pendapatan ekspor Indonesia menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi kaum birokrat dan militer menjadi wabah sehingga situasi politik Indonesia menjadi sangat labil dan memicu banyaknya demonstrasi di seluruh Indonesia, terutama dari kalangan buruh, petani, dan mahasiswa.

Rujukan

  • Feith, Herbert [2007] The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia Equinox Publishing [Asia] Pte Ltd, ISBN 979-3870-45-2
  • Lev, Daniel S [2009], The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics 1957–1959, Asia: Equinox Publishing, ISBN 978-602-8397-40-7.
  • Mortimer, Rex, [1974] Indonesian Communism Under Sukarno: Ideology and Politics, 1959–1965, Cornell University Press, New York ISBN 0-8014-0825-3
  • Ricklefs, MC [1982], A History of Modern Indonesia [edisi ke-reprint], Southeast Asia: Macmillan, ISBN 0-333-24380-3.
  • Simanjuntak, PHH [2003] Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: Dari Awal Kemerdekaan Mencapai Reformasi [Cabinets of the Republic of Indonesia: From the Start of Independence to the Reform era], Penerbit Djambatan, Jakarta, ISBN 979-428-499-8

edunitas.com

Page 5

Orde Baru adalah sebutan untuk masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk untuk era pemerintahan Soekarno. Orde Baru ada dengan semangat "koreksi total" atas kelainan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.

Orde Baru berlaku dari tahun 1966 sampai 1998. Dalam jangka ketika tersebut, ekonomi Indonesia mengembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan selang rakyat yang kaya dan miskin juga makin melebar.

Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa letak 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara bertubi-tubi pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.

Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada kesudahan masa letaknya.

Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia dibuat menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan dibuat menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.

Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan beberapa dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.

Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melewati pembuatan agak administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET [eks tapol].

Orde Baru menentukan perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melewati bangun administratif yang didominasi militer. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor untuk Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan selang pusat dan kawasan.

Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwi tujuan, dapat tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu membikin sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.

Eksploitasi sumber kekuatan Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber kekuatan dunia secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang agung namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan diturunkan dengan agung pada tahun 1970-an dan 1980-an.

Penataan Kehidupan Politik

Jenderal Agung Soeharto Penguasa Orde Baru

Surat Perintah Sebelas Maret [Supersemar] tahun 1966 merupakan dasar legalitas dimulainya pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Orde Baru merupakan tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara, yang diletakan pada kesucian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dan juga dapat diceritakan bahwa Orde Baru merupakan koreksi terhadap penyelewangan pada masa lampau, dan berupaya untuk menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa. Melewati Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, Letjen Soeharto ditugaskan oleh MPRS untuk membentuk Kabinet Ampera. Akibatnya muncul dualisme kepemimpinan nasional. Berdasarkan Keputrusan Presiden No. 163 tanggal 25 Juli 1966 dibentuklah Kabinet Ampera.Dalam kabinet baru tersebut Soekarno tetap sebagai presiden dan sekaligus menjabat sebagai pimpinan kabinet. Tapi ketika kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966, letak Presiden tetap dipegang Soekarno, dan Letjen Soeharto dinaikkan sebagai perdanamenteri yang memiliki kekuasaan eksekutif dalam kabinet Ampera yang disempurnakan. Sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, menyebabkan kekuasaan pemerintahan di tangan Soeharto makin agung semenjak awal tahun 1967. Pada 10 Januari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan Pelengkap pidato pertanggungjawaban presiden yang disebut PelNawaksara, tidak diterima oleh MPRS berdasarkan Keputusan Pimpinan MPRS No. 13/B/1967. Dan pada tanggal 20 Februari diumumkan tentang penyerahan kekuasaan untuk pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. Sebagai tindak lanjut lembaga paling tinggi Negara ini mengeluarkan Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 tertanggal 12 Maret 1967, yang secara resmi mencabut seluruh kekuasaan pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden Republik Indonesia. Dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS itu, situasi konflik yang telah menyebabkan terjadinya instabilitas politik nasional dapat teratasi. Dan pada tanggal 27 Maret 1968 Soeharto dinaikkan sebagai presiden Republik Indonesia berdasarkan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968, sampai presiden lama. Langkah-langkah yang dilakukan adalah:

Pembentukan Kabinet Pembangunan

Kabinet pertama pada masa peralihan kekuasaan adalah Kabinet Ampera dengan tugasnya Dwi Darma Kabinat Ampera yaitu membikin stabilitas politik dan stabilitasekonomi sebagai persyaratan untuk menerapkan pembangunan nasional. Program Kabinet Ampera terkenal dengan nama Catur Karya Kabinet Ampera yakni

  • Menjadikan semakin adil kehidupan rakyat terutama di anggota sandang dan pangan
  • Menerapkan pemilihan umum dalam batas ketika yang ditentukan, yaitu tanggal 5 Juli 1968
  • Menerapkan politik luar negeri yang lepas giat untuk kebutuhan nasional
  • Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bangun dan manifestasinya
  • Setelah MPRS pada tanggal 27 Maret 1968 menetapkan Soeharto sebagai presiden RI untuk masa letak lima tahun, karenanya dibentuklah

Kabinet Pembangunan dengan tugasnya yang disebut Panca Krida yang meliputi:

  1. Membikin stabilitas politik dan ekonomi
  2. Menyusun dan menerapkan Pemilihan Umum
  3. Mengikis habis sisa-sisa Gerakan 30 September
  4. Membuat supaya bersih aparatur Negara di pusat dan kawasan dari pengaruh PKI.

Pembubaran PKI dan Organisasi massanya

Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto sebagai pengemban Supersemar telah mengeluarkan kebijakan:

  • Membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkeras dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966
  • Menyalakan PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia
  • Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965.

Penyederhanaan Partai Politik

Pada tahun 1973 setelah dilakukan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru pemerintahan pemerintah menerapkan penyederhaan dan penggabungan [fusi] partai- partai politik dibuat menjadi tiga kekuatan social politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak didasarkan pada kecocokan ideology, tapi semakin atas persamaan program. Tigakekuatan social politik itu adalah:

Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam upayamenciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada masa pemerintahan sebelumnya telah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi dimasa Orde Lama, karena hal ada perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman persepsiserta pemahaman Pancasila sebagai sumber hukum paling tinggi di Indonesia.

Pemilihan Umum

Selama masa Orde Baru pemerintah sukses menerapkan enam kali pemilihan umum, yaitu tahun 1971, 1977, 1985, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu mendapat mayoritas suara dan memenangkan Pemilu. Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar mendapat 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR, dan PPP mendapat 5,43 %dengan peroleh 27 kursi. Dan PDI merasakan kemorosotan perolehan suara hanya mendapat11 kursi. Hal disebabkan hal ada konflik intern di tubuh partai berkepala banteng tersebut, dan PDI pecah dibuat menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang dibuat menjadi PDIP .Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan bekas bahwa demokrasi di Indonesia telah berlaku dengan adil. Lebih-lebih Pemilu berlaku dengan asas LUBER [langsung, umum, lepas, dan rahasia]. Namun dalamkenyataannya Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontrestan Pemilu yaituGolkar.Kemenangan Golkar yang selalu mencolok semenjak Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah di mana perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto dibuat menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.

Peran Ganda [Dwi Fungsi] ABRI

Untuk membikin stabilitas politik, pemerintah Orde Baru memberikan peran ganda untuk ABRI, yaitu peran Hankam dan sosial. Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi ABRI. Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena hal ada pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Posisi TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melewati Pemilu. Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI didasarkan pada fungsinya sebagai stabilitator dan dinamisator.Peran dinamisator sebanarnya telah diperankan ABRI semenjak abad Perang Kemerdekaan. Ketika itu Jenderal Soedirman telah menerapkannya dengan meneruskan perjuangan, walaupun pimpinan pemerintahan telah ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukanSoeharto ketika menyelamatkan bangsa dari perpecahan setelah G 30 S PKI, yangmelahirkankan Orde Baru. Boleh diceritakan peran dinamisator telah menaruh ABRI pada posisiyang terhormat dalam percaturan politik bangsa selama ini.

Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila [P4]

Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan pendapat mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan nama Ekaprasatya Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila [P4]. Untuk mendukung pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, karenanya semenjak tahun 1978 pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan warga. Penataran P4 ini ada tujuan membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila, sehingga dengan hal ada pemahaman yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melewati penegasan tersebut opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Dan semenjak tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dan kehidupan berorganisasi. Semua bangun organisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain Pancasila. Menolak Pancasila sebagai sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu bangun indoktrinasi ideologi, dan Pancasila dibuat menjadi anggota dari sistem kepribadian, sistem kebiasaan, dan sistem sosial warga Indonesia. Pancasila merupakan prestasi paling tinggi Orde Baru, dan oleh karenanya karenanya semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi Pancasila, dsb-nya. Dan Pancasila dianggap memiliki kesakralan [kesaktian] yang tidak boleh diperdebatkan.

Penataan Politik Luar Negeri

Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia yang lepas giat kembali dipulihkan. Dan MPR mengeluarkan sebanyak ketetapan yang dibuat menjadi landasan politik luar negeri Indonesia. Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus didasarkan untuk kepentingannasional, seperti pembangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.

Kembali dibuat menjadi anggota PBB

Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali dibuat menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa [PBB]. Keputusan untuk kembali dibuat menjadi anggota PBB disebabkan pemerintah sadar bahwa banyak guna yang diperoleh Indonesia selama dibuat menjadi anggota pada tahun 1955-1964. Kembalinya Indonesia dibuat menjadi anggota PBB disambut adil oleh negara-negara Asia lainnya bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa siding tahun 1974. Dan Indonesia juga memulihkanhubungan dengan sebanyak negara seperti India, Thailand, Australia, dan negara-negara lainnya yang sempat renggang dampak politik konfrontasi Orde Lama.

Normalisasi Hubungan dengan Negara lain

Pemulihan Hubungan dengan Singapura

Dengan perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman, hubungan Indonesia dengan Singapura sukses dipulihkan kembali. Pada tanggal 2 Juni 1966 pemerintah Indonesia menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura untuk Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Dan pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia.

Pemulihan Hubungan dengan Malaysia

Penandatanganan persetujuan normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia

Normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan dipersiapkannya perundingan di Bangkok pada 29 Mei- 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian Bangkok. Isi perjanjian tersebut adalah:

  • Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah merekaambil mengenai posisi mereka dalam Federasi Malaysia.
  • Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
  • Tindakan permusuhan selang kedua belah pihak akan dihentikan.

Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik [Indonesia] dan Tun Abdul Razak [Malaysia].

Pembekuan Hubungan dengan RRC

Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintantah Republik Indonesia membekukan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina [RRC]. Keputusan tersebut dilakukan karena RRC telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan cara memberikan bantuan untuk G 30 S PKI adil untuk persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah terjadinya pemberontakan tersebut. Selain itu pemerintah Indonesia merasa kecewa dengan tindakan teror yang dilakukan orang-orang Cina terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota Keduataan Agung Republik Indonesia di Peking. Pemerintah RRC juga telah memberikan perlindungan untuk tokoh-tokoh G 30 S PKI di luar negeri, serta secara terang-terangan menyokong bangunnya kembali PKI. Melewati media massanya RRC telah menerapkan kampanye menyerang Orde Baru. Dan pada 30 Oktober 1967 Pemerintah Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Agung di Peking.

Penataan Kehidupan Ekonomi

Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi

Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang acak-acakan sebagai peninggalan pemerintah Orde Lama, pemerintah Orde Baru menerapkan langkah-langkah:

  • Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini didasari oleh Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.
  • MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan, program stabilisasi dan rehabilitasi.

Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berfaedah mengendalikan inflasi supaya harga barang-barang tidak melonjak terus. Dan rehabilitasi ekonomi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlakunya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya warga adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Langkah-langkah yang diambil Kabinet Ampera yang mengacu pada Ketetapan MPRS tersebut adalah:

  • Mendobrak kemacetan ekonomi dan menjadikan semakin adil sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan. Adapun yang menyebabkan terjadinya kemacetan ekonomi tersebut adalah:
  1. Rendahnya penerimaan negara.
  2. Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara.
  3. Terlalu banyak dan tidak efisiennya ekspansi kredit bank.
  4. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri.
  5. Penggunaan devisa untuk impor yang sering kurang berpandangan pada kebutuhan prasarana.
  • Debirokrasi untuk memperlancar acara perekonomian
  • Berpandangan pada kebutuhan produsen kecil

Untuk menerapkan langkah-langkah penyelamatan tersebut, karenanya pemerintah Orde Baru menempuh cara-cara :

  • Mengadakan operasi pajak
  • Menerapkan sistem pemungutan pajak baru, adil untuk pendapatan perorangan maupun kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
  • Menghemat pengeluaran pemerintah [pengeluaran konsumtif dan rutin], serta menghapuskan subsidi untuk perusahaan Negara.
  • Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.

Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membentung laju inflasi. Dan pemerintah Orde Baru sukses membendung laju inflasi pada kesudahan tahun 1967-1968, tapi harga bahan kebutuhan pokok naik melonjak. Sesudah dibuat Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968, pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga benda/barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Semenjak ketika itu ekonomi nasional relatif stabil, sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing semenjak tahun 1969 dapat dikelola pemerintah.

Program rehabilitasi dilakukan dengan berupaya memulihkan kemampuan berproduksi. Selama sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia merasakan kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana social dan ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi, dan perbankan disalahgunakan dan dibuat menjadi alat kekuasaan oleh golongan dan kumpulan kebutuhan tertentu. Akibatnya lembaga [negara] tidak dapat menerapkan fungsinya sebagai penyusun perbaikan atur kehidupan rakyat.

Kerjasama Luar Negeri

Selain mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde Lama juga mewariskan utang luar negeri yang sangat agung yakni sampai 2,2-2,7 miliar, sehingga pemerintah Orde Baru menginginkan negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran kembali utang Indonesia. Pada tanggal 19-20 September 1966 pemerintah Indonesia mengadakan perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo. Pemerintah Indonesia akan menerapkan usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan digunakan untuk membayar utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku. Hal ini mendapat tanggapan adil dari negara-negara kreditor. Perundinganpun dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai kesepakatan sebagai berikut

  1. Pembayaran hutang pokok dilakukan selama 30 tahun, dari tahun 1970 sampai dengan 1999.
  2. Pembayaran dilakukan secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang sama agungnya.
  3. Selama ketika pengangsuran tidak dikenakan bunga.
  4. Pembayaran hutang dilakukan atas dasar prinsip nondiskriminatif, adil terhadap negara kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.

Pada tanggal 23-24 Februari 1967 dipersiapkan perundingan di Amsterdam, Belanda yang ada tujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta probabilitas pemberian bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI [Intergovernmental Group for Indonesia]. Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut untuk memenuhi kebutuhannya guna pelaksanaan program-program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta persiapan-persiapan pembangunan. Di samping mengusahakan bantuan luar negeri tersebut, pemerintah juga berupaya dan telah sukses mengadakan penangguhan serta memperingan syarat-syarat pembayaran kembali [rescheduling] hutang-hutang peninggalan Orde Lama. Melewati pertemuan tersebut pemerintah Indonesia sukses mengusahakan bantuan luar negeri.

Pembangunan Nasional

Setelah sukses memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, karenanya langkah selanjutnya yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah menerapkan pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah ketika itu direalisasikan melewati Pembangunan Jangka pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Pambangunan Jangka Pendek dirancang melewati Pembangunan Lima Tahun [Pelita]. Setiap Pelita memiliki misi pembangunan dalam rangka sampai tingkat kesejahteraan warga Indonesia. Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh bidang kehidupan warga, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional dilakukan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu:

  1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia
  2. Meningkatkan kesejahteraan umum
  3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
  4. Ikut menerapkan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian kekal dan keadilan sosial

Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang dilakukan pemerintah Orde Baru berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan untuk semua lapisan warga dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil. Isi Trilogi Pembangunan adalah :

  1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju untuk terciptanya keadilan sosial untuk seluruh rakyat.
  2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
  3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Dan Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah:

  1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan.
  2. Pemerataan mendapat kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
  3. Pemerataan pembagian pendapatan.
  4. Pemerataan kesempatan kerja
  5. Pemerataan kesempatan berupaya
  6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya untuk generasi muda dan kaum wanita.
  7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Cairan
  8. Pemerataan kesempatan mendapat keadilan.
  • Pelaksanaan Pembangunan Nasional

Seperti telah diceritakan di muka bahwa Pembangunan nasional direalisasikan melewati Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan Jangka Pendek dirancang melewati program Pembangunan Lima Tahun [Pelita]. Selama masa Orde Baru, pemerintah telah menerapkan enam Pelita yaitu:

Pelita I dilakukan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan dibuat menjadi landasan awal pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletak dasar-dasar untuk pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik beratnya adalah pembangunan anggota pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melewati proses pembaharuan anggota pertanian, karena mayoritas masyarakat Indonesia sedang hidup dari hasil pertanian.

Pelita II mulai berlaku semenjak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran utama Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup sukses. Pada awal pemerintahan Orde Baru inflasi sampai 60% dan pada kesudahan Pelita I inflasi sukses ditekan dibuat menjadi 47%. Dan pada tahun keempat Pelita II inflasi turun dibuat menjadi 9,5%.

Pelita III dilakukan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984. Pelaksanaan Pelita III sedang berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat pembangunan adalah pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.

Pelita IV dilakukan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat Pelita IV ini adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di tengah berlaku pembangunan pada Pelita IV ini yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi. Untuk mempertahankan kelangsungan pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal. Dan pembangunan nasional dapat berlaku terus.

Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi ekonomi Indonesia berada pada posisi yang adil, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8% per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan cerminan yang menggembirakan. Peningkatan ekspor semakin adil dibanding sebelumnya.

Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada Pelita VI ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian, serta peningkatan kualitas sumber kekuatan manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak pembangunan. Namun pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian telah menyebabkan proses pembangunan terhambat, dan juga menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru.

Warga Tionghoa

Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Semenjak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan posisinya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya dapat ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi sampai ke Mahkamah Agung dan belakangnya Jaksa Agung Indonesia ketika itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.

Satu-satunya surat kabar berkata Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang beberapa artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini diurus dan dikawal oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.

Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu sampai kurang semakin 5 juta dari semuanya rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berucap bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak balik dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.

Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Beberapa lagi menentukan untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.

Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru

Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari kawasan yang padat masyarakatnya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperkirakan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap masyarakat setempat dan kecemburuan terhadap masyarakat pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai kawasan, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.

Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak dibuat menjadi terbuka selang lain dalam bangun konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1] Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber dunianya, juga diperkeras oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.

Keunggulan sistem Pemerintahan Orde Baru

  • Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah sampai semakin dari AS$1.565
  • Sukses transmigrasi
  • Sukses KB
  • Sukses memerangi buta huruf
  • Sukses swasembada pangan
  • Pengangguran minimum
  • Sukses REPELITA [Rencana Pembangunan Lima Tahun]
  • Sukses Gerakan Wajib Berupaya bisa
  • Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
  • Sukses keamanan dalam negeri
  • Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
  • Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri

Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru

  1. Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
  2. Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan selang pusat dan kawasan, beberapa disebabkan karena kekayaan kawasan beberapa agung disedot ke pusat
  3. Munculnya rasa ketidakpuasan di sebanyak kawasan karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
  4. Kecemburuan selang masyarakat setempat dengan para transmigran yang mendapat tunjangan pemerintah yang cukup agung pada tahun-tahun pertamanya
  5. Bertambahnya kesenjangan sosial [perbedaan pendapatan yang tidak merata untuk si kaya dan si miskin]
  6. Pelanggaran HAM untuk warga non pribumi [terutama warga Tionghoa]
  7. Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
  8. Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
  9. Penggunaan kekerasan untuk membikin keamanan, selang lain dengan program "Penembakan Misterius"
  10. Tidak ada rencana suksesi [penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya]
  11. Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
  12. Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
  13. Pelaku ekonomi yang dominan adalah semakin dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh swasta
  14. Dan Lain Sebagainja

Krisis finansial Asia

Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia [untuk semakin jelas lihat: Krisis finansial Asia], didampingi kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang makin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, menginginkan pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian menentukan sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk dibuat menjadi presiden ketiga Indonesia.

Pasca-Orde Baru

Mundurnya Soeharto dari letaknya pada tahun 1998 dapat diceritakan sebagai tanda belakangnya Orde Baru, untuk kemudian dialihkan "Era Reformasi". Sedang hal ada tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membikin beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru sedang belum belakangnya. Oleh karenanya Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".

Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru ke Era Reformasi berlaku relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang sukses meletak pondasi baru yang terbukti semakin kokoh dan kuat menghadapi perubahan abad.

Lihat pula

  • Orde Lama
  • Kerusuhan Mei 1998
  • Tragedi Trisakti

Referensi

  1. ^ Konflik Antar-etnis Kalimantan:Mencegah Semakin Adil daripada Menindak, diakses 24 Mei 2007


edunitas.com

Page 6

Orde Baru adalah sebutan untuk masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk untuk era pemerintahan Soekarno. Orde Baru ada dengan semangat "koreksi total" atas kelainan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.

Orde Baru berlaku dari tahun 1966 sampai 1998. Dalam jangka ketika tersebut, ekonomi Indonesia mengembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan selang rakyat yang kaya dan miskin juga makin melebar.

Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa letak 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara bertubi-tubi pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.

Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada kesudahan masa letaknya.

Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia diproduksi menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan diproduksi menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun sesudah Indonesia diterima pertama kalinya.

Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering dinamakan lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan beberapa dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.

Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melewati pembuatan agak administratif. Instrumen penelitian khusus dilaksanakan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET [eks tapol].

Orde Baru menentukan perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melewati bangun administratif yang didominasi militer. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang tidak jauh dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor untuk Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan selang pusat dan kawasan.

Soeharto siap dengan pemikiran pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan pemikiran akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwi tujuan, mampu tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu membikin sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.

Eksploitasi sumber kekuatan Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber kekuatan dunia secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang agung namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, banyak orang yang kelaparan diturunkan dengan agung pada tahun 1970-an dan 1980-an.

Penataan Kehidupan Politik

Jenderal Agung Soeharto Penguasa Orde Baru

Surat Perintah Sebelas Maret [Supersemar] tahun 1966 merupakan dasar legalitas dimulainya pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Orde Baru merupakan tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara, yang diletakan pada kesucian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dan juga mampu diceritakan bahwa Orde Baru merupakan koreksi terhadap penyelewangan pada masa lampau, dan berupaya untuk menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa. Melewati Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, Letjen Soeharto ditugasi oleh MPRS untuk membentuk Kabinet Ampera. Akibatnya muncul dualisme kepemimpinan nasional. Berdasarkan Keputrusan Presiden No. 163 tanggal 25 Juli 1966 dibentuklah Kabinet Ampera.Dalam kabinet baru tersebut Soekarno tetap sebagai presiden dan sekaligus menjabat sebagai pimpinan kabinet. Tapi ketika kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966, letak Presiden tetap dipegang Soekarno, dan Letjen Soeharto dinaikkan sebagai perdanamenteri yang memiliki kekuasaan eksekutif dalam kabinet Ampera yang disempurnakan. Sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, menyebabkan kekuasaan pemerintahan di tangan Soeharto makin agung semenjak awal tahun 1967. Pada 10 Januari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan Pelengkap pidato pertanggungjawaban presiden yang dinamakan PelNawaksara, tidak diterima oleh MPRS berdasarkan Keputusan Pimpinan MPRS No. 13/B/1967. Dan pada tanggal 20 Februari diumumkan tentang penyerahan kekuasaan untuk pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. Sebagai tindak lanjut lembaga paling tinggi Negara ini mengeluarkan Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 tertanggal 12 Maret 1967, yang secara resmi mencabut seluruh kekuasaan pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden Republik Indonesia. Dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS itu, situasi konflik yang sudah menyebabkan terjadinya instabilitas politik nasional mampu teratasi. Dan pada tanggal 27 Maret 1968 Soeharto dinaikkan sebagai presiden Republik Indonesia berdasarkan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968, sampai presiden lama. Langkah-langkah yang dilakukan adalah:

Pembentukan Kabinet Pembangunan

Kabinet pertama pada masa peralihan kekuasaan adalah Kabinet Ampera dengan tugasnya Dwi Darma Kabinat Ampera yaitu membikin stabilitas politik dan stabilitasekonomi sebagai persyaratan untuk menerapkan pembangunan nasional. Program Kabinet Ampera terkenal dengan nama Catur Karya Kabinet Ampera yakni

  • Menjadikan semakin adil kehidupan rakyat terutama di anggota sandang dan pangan
  • Menerapkan pemilihan umum dalam batas ketika yang ditentukan, yaitu tanggal 5 Juli 1968
  • Menerapkan politik luar negeri yang lepas giat untuk kebutuhan nasional
  • Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bangun dan manifestasinya
  • Sesudah MPRS pada tanggal 27 Maret 1968 menetapkan Soeharto sebagai presiden RI untuk masa letak lima tahun, karenanya dibentuklah

Kabinet Pembangunan dengan tugasnya yang dinamakan Panca Krida yang meliputi:

  1. Membikin stabilitas politik dan ekonomi
  2. Menyusun dan menerapkan Pemilihan Umum
  3. Mengikis habis sisa-sisa Gerakan 30 September
  4. Membuat supaya bersih aparatur Negara di pusat dan kawasan dari pengaruh PKI.

Pembubaran PKI dan Organisasi massanya

Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto sebagai pengemban Supersemar sudah mengeluarkan kebijakan:

  • Menghentikan PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkeras dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966
  • Menyalakan PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia
  • Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965.

Penyederhanaan Partai Politik

Pada tahun 1973 sesudah dilakukan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru pemerintahan pemerintah menerapkan penyederhaan dan penggabungan [fusi] partai- partai politik diproduksi menjadi tiga kekuatan social politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak didasarkan pada kecocokan ideology, tapi semakin atas persamaan program. Tigakekuatan social politik itu adalah:

Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam upayamenciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada masa pemerintahan sebelumnya sudah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi dimasa Orde Lama, karena hal ada perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman persepsiserta pemahaman Pancasila sebagai sumber hukum paling tinggi di Indonesia.

Pemilihan Umum

Selama masa Orde Baru pemerintah sukses menerapkan enam kali pemilihan umum, yaitu tahun 1971, 1977, 1985, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu mendapat mayoritas suara dan memenangkan Pemilu. Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar mendapat 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR, dan PPP mendapat 5,43 %dengan peroleh 27 kursi. Dan PDI merasakan kemorosotan perolehan suara hanya mendapat11 kursi. Hal disebabkan hal ada konflik intern di tubuh partai berkepala banteng tersebut, dan PDI pecah diproduksi menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang diproduksi menjadi PDIP .Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru sudah menimbulkan bekas bahwa demokrasi di Indonesia sudah berlaku dengan adil. Lebih-lebih Pemilu berlaku dengan asas LUBER [langsung, umum, lepas, dan rahasia]. Namun dalamkenyataannya Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontrestan Pemilu yaituGolkar.Kemenangan Golkar yang selalu mencolok semenjak Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah di mana perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi oleh Golkar. Kondisi ini sudah memungkinkan Soeharto diproduksi menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.

Peran Ganda [Dwi Fungsi] ABRI

Untuk membikin stabilitas politik, pemerintah Orde Baru memberikan peran ganda untuk ABRI, yaitu peran Hankam dan sosial. Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi ABRI. Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena hal ada pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Posisi TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melewati Pemilu. Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI didasarkan pada fungsinya sebagai stabilitator dan dinamisator.Peran dinamisator sebanarnya sudah diperankan ABRI semenjak abad Perang Kemerdekaan. Ketika itu Jenderal Soedirman sudah menerapkannya dengan meneruskan perjuangan, walaupun pimpinan pemerintahan sudah ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukanSoeharto ketika menyelamatkan bangsa dari perpecahan sesudah G 30 S PKI, yangmelahirkankan Orde Baru. Boleh diceritakan peran dinamisator sudah menaruh ABRI pada posisiyang terhormat dalam percaturan politik bangsa selama ini.

Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila [P4]

Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan pendapat tentang pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan nama Ekaprasatya Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila [P4]. Untuk mendukung pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, karenanya semenjak tahun 1978 pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan warga. Penataran P4 ini ada tujuan membentuk pemahaman yang sama tentang demokrasi Pancasila, sehingga dengan hal ada pemahaman yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melewati penegasan tersebut opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Dan semenjak tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dan kehidupan berorganisasi. Semua bangun organisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain Pancasila. Menolak Pancasila sebagai sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu bangun indoktrinasi ideologi, dan Pancasila diproduksi menjadi anggota dari sistem kepribadian, sistem kebiasaan, dan sistem sosial warga Indonesia. Pancasila merupakan prestasi paling tinggi Orde Baru, dan oleh karenanya karenanya semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi Pancasila, dsb-nya. Dan Pancasila dianggap memiliki kesakralan [kesaktian] yang tidak boleh diperdebatkan.

Penataan Politik Luar Negeri

Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia yang lepas giat kembali dipulihkan. Dan MPR mengeluarkan sebanyak ketetapan yang diproduksi menjadi landasan politik luar negeri Indonesia. Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus didasarkan untuk kepentingannasional, seperti pembangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.

Kembali diproduksi menjadi anggota PBB

Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali diproduksi menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa [PBB]. Keputusan untuk kembali diproduksi menjadi anggota PBB disebabkan pemerintah sadar bahwa banyak guna yang diperoleh Indonesia selama diproduksi menjadi anggota pada tahun 1955-1964. Kembalinya Indonesia diproduksi menjadi anggota PBB disambut adil oleh negara-negara Asia lainnya bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa siding tahun 1974. Dan Indonesia juga memulihkanhubungan dengan sebanyak negara seperti India, Thailand, Australia, dan negara-negara lainnya yang sempat renggang dampak politik konfrontasi Orde Lama.

Normalisasi Hubungan dengan Negara lain

Pemulihan Hubungan dengan Singapura

Dengan perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman, hubungan Indonesia dengan Singapura sukses dipulihkan kembali. Pada tanggal 2 Juni 1966 pemerintah Indonesia menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura untuk Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Dan pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia.

Pemulihan Hubungan dengan Malaysia

Penandatanganan persetujuan normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia

Normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan dipersiapkannya perundingan di Bangkok pada 29 Mei- 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian Bangkok. Pokok perjanjian tersebut adalah:

  • Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang sudah merekaambil tentang posisi mereka dalam Federasi Malaysia.
  • Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
  • Tindakan permusuhan selang kedua belah pihak akan dihentikan.

Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik [Indonesia] dan Tun Abdul Razak [Malaysia].

Pembekuan Hubungan dengan RRC

Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintantah Republik Indonesia membekukan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina [RRC]. Keputusan tersebut dilakukan karena RRC sudah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan cara memberikan bantuan untuk G 30 S PKI adil untuk persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah terjadinya pemberontakan tersebut. Selain itu pemerintah Indonesia merasa kecewa dengan tindakan teror yang dilakukan orang-orang Cina terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota Keduataan Agung Republik Indonesia di Peking. Pemerintah RRC juga sudah memberikan perlindungan untuk tokoh-tokoh G 30 S PKI di luar negeri, serta secara terang-terangan menyokong bangunnya kembali PKI. Melewati media massanya RRC sudah menerapkan kampanye menyerang Orde Baru. Dan pada 30 Oktober 1967 Pemerintah Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Agung di Peking.

Penataan Kehidupan Ekonomi

Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi

Untuk mengatasi kondisi ekonomi yang acak-acakan sebagai peninggalan pemerintah Orde Lama, pemerintah Orde Baru menerapkan langkah-langkah:

  • Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini didasari oleh Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.
  • MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan, program stabilisasi dan rehabilitasi.

Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berfaedah mengemudikan inflasi supaya harga barang-barang tidak melonjak terus. Dan rehabilitasi ekonomi adalah perbaikan secara fisik fasilitas dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlakunya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya warga adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Langkah-langkah yang diambil Kabinet Ampera yang mengacu pada Ketetapan MPRS tersebut adalah:

  • Mendobrak kemacetan ekonomi dan menjadikan semakin adil sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan. Adapun yang menyebabkan terjadinya kemacetan ekonomi tersebut adalah:
  1. Rendahnya penerimaan negara.
  2. Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara.
  3. Terlalu banyak dan tidak efisiennya ekspansi kredit bank.
  4. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri.
  5. Penggunaan devisa untuk impor yang sering kurang berpandangan pada kebutuhan prasarana.
  • Debirokrasi untuk memperlancar acara perekonomian
  • Berpandangan pada kebutuhan produsen kecil

Untuk menerapkan langkah-langkah penyelamatan tersebut, karenanya pemerintah Orde Baru menempuh cara-cara :

  • Mengadakan operasi pajak
  • Menerapkan sistem pemungutan pajak baru, adil untuk pendapatan perorangan maupun kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
  • Menghemat pengeluaran pemerintah [pengeluaran konsumtif dan rutin], serta mencerai-beraikan subsidi untuk perusahaan Negara.
  • Membatasi kredit bank dan mencerai-beraikan kredit impor.

Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membentung laju inflasi. Dan pemerintah Orde Baru sukses membendung laju inflasi pada kesudahan tahun 1967-1968, tapi harga bahan kebutuhan pokok naik melonjak. Sesudah diproduksi Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968, pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang sempit terhadap gerak harga benda/barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Semenjak ketika itu ekonomi nasional relatif stabil, sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing semenjak tahun 1969 mampu dikelola pemerintah.

Program rehabilitasi dilakukan dengan berupaya memulihkan kemampuan menghasilkan. Selama sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia merasakan kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana social dan ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi, dan perbankan disalahgunakan dan diproduksi menjadi alat kekuasaan oleh golongan dan kumpulan kebutuhan tertentu. Akibatnya lembaga [negara] tidak mampu menerapkan fungsinya sebagai penyusun perbaikan atur kehidupan rakyat.

Kerjasama Luar Negeri

Selain mewariskan kondisi ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde Lama juga mewariskan utang luar negeri yang sangat agung yakni sampai 2,2-2,7 miliar, sehingga pemerintah Orde Baru menginginkan negara-negara kreditor untuk mampu menunda pembayaran kembali utang Indonesia. Pada tanggal 19-20 September 1966 pemerintah Indonesia mengadakan perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo. Pemerintah Indonesia akan menerapkan usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan digunakan untuk membayar utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku. Hal ini mendapat tanggapan adil dari negara-negara kreditor. Perundinganpun dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai kesepakatan sebagai berikut

  1. Pembayaran hutang pokok dilakukan selama 30 tahun, dari tahun 1970 sampai dengan 1999.
  2. Pembayaran dilakukan secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang sama agungnya.
  3. Selama ketika pengangsuran tidak dikenakan bunga.
  4. Pembayaran hutang dilakukan atas dasar prinsip nondiskriminatif, adil terhadap negara kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.

Pada tanggal 23-24 Februari 1967 dipersiapkan perundingan di Amsterdam, Belanda yang ada tujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta probabilitas pemberian bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI [Intergovernmental Group for Indonesia]. Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut untuk memenuhi kebutuhannya guna pelaksanaan program-program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta persiapan-persiapan pembangunan. Di samping mengusahakan bantuan luar negeri tersebut, pemerintah juga berupaya dan sudah sukses mengadakan penangguhan serta memperingan syarat-syarat pembayaran kembali [rescheduling] hutang-hutang peninggalan Orde Lama. Melewati pertemuan tersebut pemerintah Indonesia sukses mengusahakan bantuan luar negeri.

Pembangunan Nasional

Sesudah sukses memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, karenanya langkah selanjutnya yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah menerapkan pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah ketika itu direalisasikan melewati Pembangunan Jangka pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Pambangunan Jangka Pendek dirancang melewati Pembangunan Lima Tahun [Pelita]. Setiap Pelita memiliki misi pembangunan dalam rangka sampai tingkat kesejahteraan warga Indonesia. Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh bidang kehidupan warga, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional dilakukan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu:

  1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia
  2. Meningkatkan kesejahteraan umum
  3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
  4. Ikut menerapkan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian kekal dan keadilan sosial

Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang dilakukan pemerintah Orde Baru berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan untuk semua lapisan warga dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil. Pokok Trilogi Pembangunan adalah :

  1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju untuk terciptanya keadilan sosial untuk seluruh rakyat.
  2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
  3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Dan Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah:

  1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan.
  2. Pemerataan mendapat kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
  3. Pemerataan pembagian pendapatan.
  4. Pemerataan kesempatan kerja
  5. Pemerataan kesempatan berupaya
  6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya untuk generasi muda dan kaum wanita.
  7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Cairan
  8. Pemerataan kesempatan mendapat keadilan.
  • Pelaksanaan Pembangunan Nasional

Seperti sudah diceritakan di muka bahwa Pembangunan nasional direalisasikan melewati Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan Jangka Pendek dirancang melewati program Pembangunan Lima Tahun [Pelita]. Selama masa Orde Baru, pemerintah sudah menerapkan enam Pelita yaitu:

Pelita I dilakukan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan diproduksi menjadi landasan awal pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletak dasar-dasar untuk pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik beratnya adalah pembangunan anggota pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melewati proses pembaharuan anggota pertanian, karena mayoritas masyarakat Indonesia sedang hidup dari hasil pertanian.

Pelita II mulai berlaku semenjak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran utama Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, fasilitas prasarana, mensejahterakan rakyat, dan meluaskan kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup sukses. Pada awal pemerintahan Orde Baru inflasi sampai 60% dan pada kesudahan Pelita I inflasi sukses ditekan diproduksi menjadi 47%. Dan pada tahun keempat Pelita II inflasi turun diproduksi menjadi 9,5%.

Pelita III dilakukan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984. Pelaksanaan Pelita III sedang berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat pembangunan adalah pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.

Pelita IV dilakukan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat Pelita IV ini adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri yang mampu menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di tengah berlaku pembangunan pada Pelita IV ini yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi. Untuk mempertahankan kelangsungan pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal. Dan pembangunan nasional mampu berlaku terus.

Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi ekonomi Indonesia ada pada posisi yang adil, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8% per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan cerminan yang menggembirakan. Peningkatan ekspor semakin adil dibanding sebelumnya.

Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada Pelita VI ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian, serta peningkatan kualitas sumber kekuatan manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak pembangunan. Namun pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian sudah menyebabkan proses pembangunan terhambat, dan juga menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru.

Warga Tionghoa

Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Semenjak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan posisinya ada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya mampu ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi sampai ke Mahkamah Agung dan belakangnya Jaksa Agung Indonesia ketika itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.

Satu-satunya surat kabar berkata Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang beberapa artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini diurus dan dikawal oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.

Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu sampai kurang semakin 5 juta dari semuanya rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berucap bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak balik dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.

Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Beberapa lagi menentukan untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.

Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru

Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari kawasan yang padat masyarakatnya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperkirakan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap masyarakat setempat dan kecemburuan terhadap masyarakat pendatang yang banyak memperoleh bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai kawasan, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.

Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak diproduksi menjadi terbuka selang lain dalam bangun konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1] Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber dunianya, juga diperkeras oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.

Keunggulan sistem Pemerintahan Orde Baru

  • Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 sudah sampai semakin dari AS$1.565
  • Sukses transmigrasi
  • Sukses KB
  • Sukses memerangi buta huruf
  • Sukses swasembada pangan
  • Pengangguran minimum
  • Sukses REPELITA [Rencana Pembangunan Lima Tahun]
  • Sukses Gerakan Wajib Berupaya bisa
  • Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
  • Sukses keamanan dalam negeri
  • Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
  • Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri

Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru

  1. Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
  2. Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan selang pusat dan kawasan, beberapa disebabkan karena kekayaan kawasan beberapa agung disedot ke pusat
  3. Munculnya rasa ketidakpuasan di sebanyak kawasan karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
  4. Kecemburuan selang masyarakat setempat dengan para transmigran yang mendapat tunjangan pemerintah yang cukup agung pada tahun-tahun pertamanya
  5. Lebihnya kesenjangan sosial [perbedaan pendapatan yang tidak merata untuk si kaya dan si miskin]
  6. Pelanggaran HAM untuk warga non pribumi [terutama warga Tionghoa]
  7. Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
  8. Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
  9. Penggunaan kekerasan untuk membikin keamanan, selang lain dengan program "Penembakan Misterius"
  10. Tidak ada rencana suksesi [penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya]
  11. Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kekeliruan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
  12. Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
  13. Pelaku ekonomi yang dominan adalah semakin dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh swasta
  14. Dan Lain Sebagainja

Krisis finansial Asia

Pada menengah 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia [untuk semakin jelas lihat: Krisis finansial Asia], didampingi kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang makin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, menginginkan pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang bertambah luas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan sesudah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian menentukan sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk diproduksi menjadi presiden ketiga Indonesia.

Pasca-Orde Baru

Mundurnya Soeharto dari letaknya pada tahun 1998 mampu diceritakan sebagai tanda belakangnya Orde Baru, untuk kemudian dialihkan "Era Reformasi". Sedang hal ada tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membikin beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru sedang belum belakangnya. Oleh karenanya Era Reformasi atau Orde Reformasi sering dinamakan sebagai "Era Pasca Orde Baru".

Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru ke Era Reformasi berlaku relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang sukses meletak pondasi baru yang terbukti semakin kokoh dan kuat menghadapi perubahan abad.

Lihat pula

  • Orde Lama
  • Kerusuhan Mei 1998
  • Tragedi Trisakti

Referensi

  1. ^ Konflik Antar-etnis Kalimantan:Mencegah Semakin Adil daripada Menindak, diakses 24 Mei 2007


edunitas.com

Page 7

Orde Baru adalah sebutan untuk masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk untuk era pemerintahan Soekarno. Orde Baru ada dengan semangat "koreksi total" atas kelainan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.

Orde Baru berlaku dari tahun 1966 sampai 1998. Dalam jangka ketika tersebut, ekonomi Indonesia mengembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan selang rakyat yang kaya dan miskin juga makin melebar.

Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa letak 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara bertubi-tubi pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.

Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada kesudahan masa letaknya.

Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia diproduksi menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan diproduksi menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun sesudah Indonesia diterima pertama kalinya.

Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering dinamakan lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan beberapa dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.

Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melewati pembuatan agak administratif. Instrumen penelitian khusus dilaksanakan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET [eks tapol].

Orde Baru menentukan perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melewati bangun administratif yang didominasi militer. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang tidak jauh dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor untuk Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan selang pusat dan kawasan.

Soeharto siap dengan pemikiran pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan pemikiran akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwi tujuan, mampu tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu membikin sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.

Eksploitasi sumber kekuatan Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber kekuatan dunia secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang agung namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, banyak orang yang kelaparan diturunkan dengan agung pada tahun 1970-an dan 1980-an.

Penataan Kehidupan Politik

Jenderal Agung Soeharto Penguasa Orde Baru

Surat Perintah Sebelas Maret [Supersemar] tahun 1966 merupakan dasar legalitas dimulainya pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Orde Baru merupakan tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara, yang diletakan pada kesucian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dan juga mampu diceritakan bahwa Orde Baru merupakan koreksi terhadap penyelewangan pada masa lampau, dan berupaya untuk menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa. Melewati Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, Letjen Soeharto ditugasi oleh MPRS untuk membentuk Kabinet Ampera. Akibatnya muncul dualisme kepemimpinan nasional. Berdasarkan Keputrusan Presiden No. 163 tanggal 25 Juli 1966 dibentuklah Kabinet Ampera.Dalam kabinet baru tersebut Soekarno tetap sebagai presiden dan sekaligus menjabat sebagai pimpinan kabinet. Tapi ketika kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966, letak Presiden tetap dipegang Soekarno, dan Letjen Soeharto dinaikkan sebagai perdanamenteri yang memiliki kekuasaan eksekutif dalam kabinet Ampera yang disempurnakan. Sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, menyebabkan kekuasaan pemerintahan di tangan Soeharto makin agung semenjak awal tahun 1967. Pada 10 Januari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan Pelengkap pidato pertanggungjawaban presiden yang dinamakan PelNawaksara, tidak diterima oleh MPRS berdasarkan Keputusan Pimpinan MPRS No. 13/B/1967. Dan pada tanggal 20 Februari diumumkan tentang penyerahan kekuasaan untuk pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. Sebagai tindak lanjut lembaga paling tinggi Negara ini mengeluarkan Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 tertanggal 12 Maret 1967, yang secara resmi mencabut seluruh kekuasaan pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden Republik Indonesia. Dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS itu, situasi konflik yang sudah menyebabkan terjadinya instabilitas politik nasional mampu teratasi. Dan pada tanggal 27 Maret 1968 Soeharto dinaikkan sebagai presiden Republik Indonesia berdasarkan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968, sampai presiden lama. Langkah-langkah yang dilakukan adalah:

Pembentukan Kabinet Pembangunan

Kabinet pertama pada masa peralihan kekuasaan adalah Kabinet Ampera dengan tugasnya Dwi Darma Kabinat Ampera yaitu membikin stabilitas politik dan stabilitasekonomi sebagai persyaratan untuk menerapkan pembangunan nasional. Program Kabinet Ampera terkenal dengan nama Catur Karya Kabinet Ampera yakni

  • Menjadikan semakin adil kehidupan rakyat terutama di anggota sandang dan pangan
  • Menerapkan pemilihan umum dalam batas ketika yang ditentukan, yaitu tanggal 5 Juli 1968
  • Menerapkan politik luar negeri yang lepas giat untuk kebutuhan nasional
  • Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bangun dan manifestasinya
  • Sesudah MPRS pada tanggal 27 Maret 1968 menetapkan Soeharto sebagai presiden RI untuk masa letak lima tahun, karenanya dibentuklah

Kabinet Pembangunan dengan tugasnya yang dinamakan Panca Krida yang meliputi:

  1. Membikin stabilitas politik dan ekonomi
  2. Menyusun dan menerapkan Pemilihan Umum
  3. Mengikis habis sisa-sisa Gerakan 30 September
  4. Membuat supaya bersih aparatur Negara di pusat dan kawasan dari pengaruh PKI.

Pembubaran PKI dan Organisasi massanya

Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto sebagai pengemban Supersemar sudah mengeluarkan kebijakan:

  • Menghentikan PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkeras dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966
  • Menyalakan PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia
  • Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965.

Penyederhanaan Partai Politik

Pada tahun 1973 sesudah dilakukan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru pemerintahan pemerintah menerapkan penyederhaan dan penggabungan [fusi] partai- partai politik diproduksi menjadi tiga kekuatan social politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak didasarkan pada kecocokan ideology, tapi semakin atas persamaan program. Tigakekuatan social politik itu adalah:

Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam upayamenciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada masa pemerintahan sebelumnya sudah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi dimasa Orde Lama, karena hal ada perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman persepsiserta pemahaman Pancasila sebagai sumber hukum paling tinggi di Indonesia.

Pemilihan Umum

Selama masa Orde Baru pemerintah sukses menerapkan enam kali pemilihan umum, yaitu tahun 1971, 1977, 1985, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu mendapat mayoritas suara dan memenangkan Pemilu. Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar mendapat 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR, dan PPP mendapat 5,43 %dengan peroleh 27 kursi. Dan PDI merasakan kemorosotan perolehan suara hanya mendapat11 kursi. Hal disebabkan hal ada konflik intern di tubuh partai berkepala banteng tersebut, dan PDI pecah diproduksi menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang diproduksi menjadi PDIP .Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru sudah menimbulkan bekas bahwa demokrasi di Indonesia sudah berlaku dengan adil. Lebih-lebih Pemilu berlaku dengan asas LUBER [langsung, umum, lepas, dan rahasia]. Namun dalamkenyataannya Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontrestan Pemilu yaituGolkar.Kemenangan Golkar yang selalu mencolok semenjak Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah di mana perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi oleh Golkar. Kondisi ini sudah memungkinkan Soeharto diproduksi menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.

Peran Ganda [Dwi Fungsi] ABRI

Untuk membikin stabilitas politik, pemerintah Orde Baru memberikan peran ganda untuk ABRI, yaitu peran Hankam dan sosial. Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi ABRI. Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena hal ada pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Posisi TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melewati Pemilu. Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI didasarkan pada fungsinya sebagai stabilitator dan dinamisator.Peran dinamisator sebanarnya sudah diperankan ABRI semenjak abad Perang Kemerdekaan. Ketika itu Jenderal Soedirman sudah menerapkannya dengan meneruskan perjuangan, walaupun pimpinan pemerintahan sudah ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukanSoeharto ketika menyelamatkan bangsa dari perpecahan sesudah G 30 S PKI, yangmelahirkankan Orde Baru. Boleh diceritakan peran dinamisator sudah menaruh ABRI pada posisiyang terhormat dalam percaturan politik bangsa selama ini.

Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila [P4]

Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan pendapat tentang pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan nama Ekaprasatya Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila [P4]. Untuk mendukung pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, karenanya semenjak tahun 1978 pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan warga. Penataran P4 ini ada tujuan membentuk pemahaman yang sama tentang demokrasi Pancasila, sehingga dengan hal ada pemahaman yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melewati penegasan tersebut opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Dan semenjak tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dan kehidupan berorganisasi. Semua bangun organisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain Pancasila. Menolak Pancasila sebagai sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu bangun indoktrinasi ideologi, dan Pancasila diproduksi menjadi anggota dari sistem kepribadian, sistem kebiasaan, dan sistem sosial warga Indonesia. Pancasila merupakan prestasi paling tinggi Orde Baru, dan oleh karenanya karenanya semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi Pancasila, dsb-nya. Dan Pancasila dianggap memiliki kesakralan [kesaktian] yang tidak boleh diperdebatkan.

Penataan Politik Luar Negeri

Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia yang lepas giat kembali dipulihkan. Dan MPR mengeluarkan sebanyak ketetapan yang diproduksi menjadi landasan politik luar negeri Indonesia. Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus didasarkan untuk kepentingannasional, seperti pembangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.

Kembali diproduksi menjadi anggota PBB

Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali diproduksi menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa [PBB]. Keputusan untuk kembali diproduksi menjadi anggota PBB disebabkan pemerintah sadar bahwa banyak guna yang diperoleh Indonesia selama diproduksi menjadi anggota pada tahun 1955-1964. Kembalinya Indonesia diproduksi menjadi anggota PBB disambut adil oleh negara-negara Asia lainnya bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa siding tahun 1974. Dan Indonesia juga memulihkanhubungan dengan sebanyak negara seperti India, Thailand, Australia, dan negara-negara lainnya yang sempat renggang dampak politik konfrontasi Orde Lama.

Normalisasi Hubungan dengan Negara lain

Pemulihan Hubungan dengan Singapura

Dengan perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman, hubungan Indonesia dengan Singapura sukses dipulihkan kembali. Pada tanggal 2 Juni 1966 pemerintah Indonesia menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura untuk Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Dan pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia.

Pemulihan Hubungan dengan Malaysia

Penandatanganan persetujuan normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia

Normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan dipersiapkannya perundingan di Bangkok pada 29 Mei- 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian Bangkok. Pokok perjanjian tersebut adalah:

  • Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang sudah merekaambil tentang posisi mereka dalam Federasi Malaysia.
  • Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
  • Tindakan permusuhan selang kedua belah pihak akan dihentikan.

Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik [Indonesia] dan Tun Abdul Razak [Malaysia].

Pembekuan Hubungan dengan RRC

Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintantah Republik Indonesia membekukan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina [RRC]. Keputusan tersebut dilakukan karena RRC sudah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan cara memberikan bantuan untuk G 30 S PKI adil untuk persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah terjadinya pemberontakan tersebut. Selain itu pemerintah Indonesia merasa kecewa dengan tindakan teror yang dilakukan orang-orang Cina terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota Keduataan Agung Republik Indonesia di Peking. Pemerintah RRC juga sudah memberikan perlindungan untuk tokoh-tokoh G 30 S PKI di luar negeri, serta secara terang-terangan menyokong bangunnya kembali PKI. Melewati media massanya RRC sudah menerapkan kampanye menyerang Orde Baru. Dan pada 30 Oktober 1967 Pemerintah Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Agung di Peking.

Penataan Kehidupan Ekonomi

Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi

Untuk mengatasi kondisi ekonomi yang acak-acakan sebagai peninggalan pemerintah Orde Lama, pemerintah Orde Baru menerapkan langkah-langkah:

  • Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini didasari oleh Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.
  • MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan, program stabilisasi dan rehabilitasi.

Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berfaedah mengemudikan inflasi supaya harga barang-barang tidak melonjak terus. Dan rehabilitasi ekonomi adalah perbaikan secara fisik fasilitas dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlakunya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya warga adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Langkah-langkah yang diambil Kabinet Ampera yang mengacu pada Ketetapan MPRS tersebut adalah:

  • Mendobrak kemacetan ekonomi dan menjadikan semakin adil sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan. Adapun yang menyebabkan terjadinya kemacetan ekonomi tersebut adalah:
  1. Rendahnya penerimaan negara.
  2. Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara.
  3. Terlalu banyak dan tidak efisiennya ekspansi kredit bank.
  4. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri.
  5. Penggunaan devisa untuk impor yang sering kurang berpandangan pada kebutuhan prasarana.
  • Debirokrasi untuk memperlancar acara perekonomian
  • Berpandangan pada kebutuhan produsen kecil

Untuk menerapkan langkah-langkah penyelamatan tersebut, karenanya pemerintah Orde Baru menempuh cara-cara :

  • Mengadakan operasi pajak
  • Menerapkan sistem pemungutan pajak baru, adil untuk pendapatan perorangan maupun kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
  • Menghemat pengeluaran pemerintah [pengeluaran konsumtif dan rutin], serta mencerai-beraikan subsidi untuk perusahaan Negara.
  • Membatasi kredit bank dan mencerai-beraikan kredit impor.

Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membentung laju inflasi. Dan pemerintah Orde Baru sukses membendung laju inflasi pada kesudahan tahun 1967-1968, tapi harga bahan kebutuhan pokok naik melonjak. Sesudah diproduksi Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968, pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang sempit terhadap gerak harga benda/barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Semenjak ketika itu ekonomi nasional relatif stabil, sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing semenjak tahun 1969 mampu dikelola pemerintah.

Program rehabilitasi dilakukan dengan berupaya memulihkan kemampuan menghasilkan. Selama sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia merasakan kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana social dan ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi, dan perbankan disalahgunakan dan diproduksi menjadi alat kekuasaan oleh golongan dan kumpulan kebutuhan tertentu. Akibatnya lembaga [negara] tidak mampu menerapkan fungsinya sebagai penyusun perbaikan atur kehidupan rakyat.

Kerjasama Luar Negeri

Selain mewariskan kondisi ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde Lama juga mewariskan utang luar negeri yang sangat agung yakni sampai 2,2-2,7 miliar, sehingga pemerintah Orde Baru menginginkan negara-negara kreditor untuk mampu menunda pembayaran kembali utang Indonesia. Pada tanggal 19-20 September 1966 pemerintah Indonesia mengadakan perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo. Pemerintah Indonesia akan menerapkan usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan digunakan untuk membayar utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku. Hal ini mendapat tanggapan adil dari negara-negara kreditor. Perundinganpun dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai kesepakatan sebagai berikut

  1. Pembayaran hutang pokok dilakukan selama 30 tahun, dari tahun 1970 sampai dengan 1999.
  2. Pembayaran dilakukan secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang sama agungnya.
  3. Selama ketika pengangsuran tidak dikenakan bunga.
  4. Pembayaran hutang dilakukan atas dasar prinsip nondiskriminatif, adil terhadap negara kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.

Pada tanggal 23-24 Februari 1967 dipersiapkan perundingan di Amsterdam, Belanda yang ada tujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta probabilitas pemberian bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI [Intergovernmental Group for Indonesia]. Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut untuk memenuhi kebutuhannya guna pelaksanaan program-program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta persiapan-persiapan pembangunan. Di samping mengusahakan bantuan luar negeri tersebut, pemerintah juga berupaya dan sudah sukses mengadakan penangguhan serta memperingan syarat-syarat pembayaran kembali [rescheduling] hutang-hutang peninggalan Orde Lama. Melewati pertemuan tersebut pemerintah Indonesia sukses mengusahakan bantuan luar negeri.

Pembangunan Nasional

Sesudah sukses memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, karenanya langkah selanjutnya yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah menerapkan pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah ketika itu direalisasikan melewati Pembangunan Jangka pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Pambangunan Jangka Pendek dirancang melewati Pembangunan Lima Tahun [Pelita]. Setiap Pelita memiliki misi pembangunan dalam rangka sampai tingkat kesejahteraan warga Indonesia. Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh bidang kehidupan warga, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional dilakukan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu:

  1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia
  2. Meningkatkan kesejahteraan umum
  3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
  4. Ikut menerapkan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian kekal dan keadilan sosial

Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang dilakukan pemerintah Orde Baru berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan untuk semua lapisan warga dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil. Pokok Trilogi Pembangunan adalah :

  1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju untuk terciptanya keadilan sosial untuk seluruh rakyat.
  2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
  3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Dan Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah:

  1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan.
  2. Pemerataan mendapat kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
  3. Pemerataan pembagian pendapatan.
  4. Pemerataan kesempatan kerja
  5. Pemerataan kesempatan berupaya
  6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya untuk generasi muda dan kaum wanita.
  7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Cairan
  8. Pemerataan kesempatan mendapat keadilan.
  • Pelaksanaan Pembangunan Nasional

Seperti sudah diceritakan di muka bahwa Pembangunan nasional direalisasikan melewati Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan Jangka Pendek dirancang melewati program Pembangunan Lima Tahun [Pelita]. Selama masa Orde Baru, pemerintah sudah menerapkan enam Pelita yaitu:

Pelita I dilakukan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan diproduksi menjadi landasan awal pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletak dasar-dasar untuk pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik beratnya adalah pembangunan anggota pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melewati proses pembaharuan anggota pertanian, karena mayoritas masyarakat Indonesia sedang hidup dari hasil pertanian.

Pelita II mulai berlaku semenjak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran utama Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, fasilitas prasarana, mensejahterakan rakyat, dan meluaskan kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup sukses. Pada awal pemerintahan Orde Baru inflasi sampai 60% dan pada kesudahan Pelita I inflasi sukses ditekan diproduksi menjadi 47%. Dan pada tahun keempat Pelita II inflasi turun diproduksi menjadi 9,5%.

Pelita III dilakukan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984. Pelaksanaan Pelita III sedang berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat pembangunan adalah pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.

Pelita IV dilakukan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat Pelita IV ini adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri yang mampu menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di tengah berlaku pembangunan pada Pelita IV ini yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi. Untuk mempertahankan kelangsungan pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal. Dan pembangunan nasional mampu berlaku terus.

Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi ekonomi Indonesia ada pada posisi yang adil, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8% per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan cerminan yang menggembirakan. Peningkatan ekspor semakin adil dibanding sebelumnya.

Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada Pelita VI ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian, serta peningkatan kualitas sumber kekuatan manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak pembangunan. Namun pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian sudah menyebabkan proses pembangunan terhambat, dan juga menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru.

Warga Tionghoa

Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Semenjak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan posisinya ada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya mampu ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi sampai ke Mahkamah Agung dan belakangnya Jaksa Agung Indonesia ketika itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.

Satu-satunya surat kabar berkata Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang beberapa artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini diurus dan dikawal oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.

Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu sampai kurang semakin 5 juta dari semuanya rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berucap bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak balik dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.

Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Beberapa lagi menentukan untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.

Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru

Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari kawasan yang padat masyarakatnya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperkirakan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap masyarakat setempat dan kecemburuan terhadap masyarakat pendatang yang banyak memperoleh bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai kawasan, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.

Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak diproduksi menjadi terbuka selang lain dalam bangun konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1] Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber dunianya, juga diperkeras oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.

Keunggulan sistem Pemerintahan Orde Baru

  • Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 sudah sampai semakin dari AS$1.565
  • Sukses transmigrasi
  • Sukses KB
  • Sukses memerangi buta huruf
  • Sukses swasembada pangan
  • Pengangguran minimum
  • Sukses REPELITA [Rencana Pembangunan Lima Tahun]
  • Sukses Gerakan Wajib Berupaya bisa
  • Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
  • Sukses keamanan dalam negeri
  • Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
  • Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri

Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru

  1. Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
  2. Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan selang pusat dan kawasan, beberapa disebabkan karena kekayaan kawasan beberapa agung disedot ke pusat
  3. Munculnya rasa ketidakpuasan di sebanyak kawasan karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
  4. Kecemburuan selang masyarakat setempat dengan para transmigran yang mendapat tunjangan pemerintah yang cukup agung pada tahun-tahun pertamanya
  5. Lebihnya kesenjangan sosial [perbedaan pendapatan yang tidak merata untuk si kaya dan si miskin]
  6. Pelanggaran HAM untuk warga non pribumi [terutama warga Tionghoa]
  7. Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
  8. Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
  9. Penggunaan kekerasan untuk membikin keamanan, selang lain dengan program "Penembakan Misterius"
  10. Tidak ada rencana suksesi [penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya]
  11. Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kekeliruan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
  12. Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
  13. Pelaku ekonomi yang dominan adalah semakin dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh swasta
  14. Dan Lain Sebagainja

Krisis finansial Asia

Pada menengah 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia [untuk semakin jelas lihat: Krisis finansial Asia], didampingi kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang makin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, menginginkan pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang bertambah luas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan sesudah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian menentukan sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk diproduksi menjadi presiden ketiga Indonesia.

Pasca-Orde Baru

Mundurnya Soeharto dari letaknya pada tahun 1998 mampu diceritakan sebagai tanda belakangnya Orde Baru, untuk kemudian dialihkan "Era Reformasi". Sedang hal ada tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membikin beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru sedang belum belakangnya. Oleh karenanya Era Reformasi atau Orde Reformasi sering dinamakan sebagai "Era Pasca Orde Baru".

Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru ke Era Reformasi berlaku relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang sukses meletak pondasi baru yang terbukti semakin kokoh dan kuat menghadapi perubahan abad.

Lihat pula

  • Orde Lama
  • Kerusuhan Mei 1998
  • Tragedi Trisakti

Referensi

  1. ^ Konflik Antar-etnis Kalimantan:Mencegah Semakin Adil daripada Menindak, diakses 24 Mei 2007


edunitas.com

Page 8

Orde Baru adalah sebutan untuk masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk untuk era pemerintahan Soekarno. Orde Baru ada dengan semangat "koreksi total" atas kelainan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.

Orde Baru berlaku dari tahun 1966 sampai 1998. Dalam jangka ketika tersebut, ekonomi Indonesia mengembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan selang rakyat yang kaya dan miskin juga makin melebar.

Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa letak 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara bertubi-tubi pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.

Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada kesudahan masa letaknya.

Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia dibuat menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan dibuat menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.

Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan beberapa dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.

Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melewati pembuatan agak administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET [eks tapol].

Orde Baru menentukan perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melewati bangun administratif yang didominasi militer. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor untuk Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan selang pusat dan kawasan.

Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwi tujuan, dapat tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu membikin sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.

Eksploitasi sumber kekuatan Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber kekuatan dunia secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang agung namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan diturunkan dengan agung pada tahun 1970-an dan 1980-an.

Penataan Kehidupan Politik

Jenderal Agung Soeharto Penguasa Orde Baru

Surat Perintah Sebelas Maret [Supersemar] tahun 1966 merupakan dasar legalitas dimulainya pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Orde Baru merupakan tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara, yang diletakan pada kesucian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dan juga dapat diceritakan bahwa Orde Baru merupakan koreksi terhadap penyelewangan pada masa lampau, dan berupaya untuk menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa. Melewati Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, Letjen Soeharto ditugaskan oleh MPRS untuk membentuk Kabinet Ampera. Akibatnya muncul dualisme kepemimpinan nasional. Berdasarkan Keputrusan Presiden No. 163 tanggal 25 Juli 1966 dibentuklah Kabinet Ampera.Dalam kabinet baru tersebut Soekarno tetap sebagai presiden dan sekaligus menjabat sebagai pimpinan kabinet. Tapi ketika kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966, letak Presiden tetap dipegang Soekarno, dan Letjen Soeharto dinaikkan sebagai perdanamenteri yang memiliki kekuasaan eksekutif dalam kabinet Ampera yang disempurnakan. Sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, menyebabkan kekuasaan pemerintahan di tangan Soeharto makin agung semenjak awal tahun 1967. Pada 10 Januari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan Pelengkap pidato pertanggungjawaban presiden yang disebut PelNawaksara, tidak diterima oleh MPRS berdasarkan Keputusan Pimpinan MPRS No. 13/B/1967. Dan pada tanggal 20 Februari diumumkan tentang penyerahan kekuasaan untuk pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. Sebagai tindak lanjut lembaga paling tinggi Negara ini mengeluarkan Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 tertanggal 12 Maret 1967, yang secara resmi mencabut seluruh kekuasaan pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden Republik Indonesia. Dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS itu, situasi konflik yang telah menyebabkan terjadinya instabilitas politik nasional dapat teratasi. Dan pada tanggal 27 Maret 1968 Soeharto dinaikkan sebagai presiden Republik Indonesia berdasarkan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968, sampai presiden lama. Langkah-langkah yang dilakukan adalah:

Pembentukan Kabinet Pembangunan

Kabinet pertama pada masa peralihan kekuasaan adalah Kabinet Ampera dengan tugasnya Dwi Darma Kabinat Ampera yaitu membikin stabilitas politik dan stabilitasekonomi sebagai persyaratan untuk menerapkan pembangunan nasional. Program Kabinet Ampera terkenal dengan nama Catur Karya Kabinet Ampera yakni

  • Menjadikan semakin adil kehidupan rakyat terutama di anggota sandang dan pangan
  • Menerapkan pemilihan umum dalam batas ketika yang ditentukan, yaitu tanggal 5 Juli 1968
  • Menerapkan politik luar negeri yang lepas giat untuk kebutuhan nasional
  • Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bangun dan manifestasinya
  • Setelah MPRS pada tanggal 27 Maret 1968 menetapkan Soeharto sebagai presiden RI untuk masa letak lima tahun, karenanya dibentuklah

Kabinet Pembangunan dengan tugasnya yang disebut Panca Krida yang meliputi:

  1. Membikin stabilitas politik dan ekonomi
  2. Menyusun dan menerapkan Pemilihan Umum
  3. Mengikis habis sisa-sisa Gerakan 30 September
  4. Membuat supaya bersih aparatur Negara di pusat dan kawasan dari pengaruh PKI.

Pembubaran PKI dan Organisasi massanya

Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto sebagai pengemban Supersemar telah mengeluarkan kebijakan:

  • Membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkeras dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966
  • Menyalakan PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia
  • Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965.

Penyederhanaan Partai Politik

Pada tahun 1973 setelah dilakukan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru pemerintahan pemerintah menerapkan penyederhaan dan penggabungan [fusi] partai- partai politik dibuat menjadi tiga kekuatan social politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak didasarkan pada kecocokan ideology, tapi semakin atas persamaan program. Tigakekuatan social politik itu adalah:

Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam upayamenciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada masa pemerintahan sebelumnya telah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi dimasa Orde Lama, karena hal ada perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman persepsiserta pemahaman Pancasila sebagai sumber hukum paling tinggi di Indonesia.

Pemilihan Umum

Selama masa Orde Baru pemerintah sukses menerapkan enam kali pemilihan umum, yaitu tahun 1971, 1977, 1985, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu mendapat mayoritas suara dan memenangkan Pemilu. Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar mendapat 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR, dan PPP mendapat 5,43 %dengan peroleh 27 kursi. Dan PDI merasakan kemorosotan perolehan suara hanya mendapat11 kursi. Hal disebabkan hal ada konflik intern di tubuh partai berkepala banteng tersebut, dan PDI pecah dibuat menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang dibuat menjadi PDIP .Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan bekas bahwa demokrasi di Indonesia telah berlaku dengan adil. Lebih-lebih Pemilu berlaku dengan asas LUBER [langsung, umum, lepas, dan rahasia]. Namun dalamkenyataannya Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontrestan Pemilu yaituGolkar.Kemenangan Golkar yang selalu mencolok semenjak Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah di mana perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto dibuat menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.

Peran Ganda [Dwi Fungsi] ABRI

Untuk membikin stabilitas politik, pemerintah Orde Baru memberikan peran ganda untuk ABRI, yaitu peran Hankam dan sosial. Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi ABRI. Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena hal ada pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Posisi TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melewati Pemilu. Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI didasarkan pada fungsinya sebagai stabilitator dan dinamisator.Peran dinamisator sebanarnya telah diperankan ABRI semenjak abad Perang Kemerdekaan. Ketika itu Jenderal Soedirman telah menerapkannya dengan meneruskan perjuangan, walaupun pimpinan pemerintahan telah ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukanSoeharto ketika menyelamatkan bangsa dari perpecahan setelah G 30 S PKI, yangmelahirkankan Orde Baru. Boleh diceritakan peran dinamisator telah menaruh ABRI pada posisiyang terhormat dalam percaturan politik bangsa selama ini.

Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila [P4]

Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan pendapat mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan nama Ekaprasatya Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila [P4]. Untuk mendukung pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, karenanya semenjak tahun 1978 pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan warga. Penataran P4 ini ada tujuan membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila, sehingga dengan hal ada pemahaman yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melewati penegasan tersebut opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Dan semenjak tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dan kehidupan berorganisasi. Semua bangun organisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain Pancasila. Menolak Pancasila sebagai sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu bangun indoktrinasi ideologi, dan Pancasila dibuat menjadi anggota dari sistem kepribadian, sistem kebiasaan, dan sistem sosial warga Indonesia. Pancasila merupakan prestasi paling tinggi Orde Baru, dan oleh karenanya karenanya semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi Pancasila, dsb-nya. Dan Pancasila dianggap memiliki kesakralan [kesaktian] yang tidak boleh diperdebatkan.

Penataan Politik Luar Negeri

Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia yang lepas giat kembali dipulihkan. Dan MPR mengeluarkan sebanyak ketetapan yang dibuat menjadi landasan politik luar negeri Indonesia. Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus didasarkan untuk kepentingannasional, seperti pembangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.

Kembali dibuat menjadi anggota PBB

Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali dibuat menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa [PBB]. Keputusan untuk kembali dibuat menjadi anggota PBB disebabkan pemerintah sadar bahwa banyak guna yang diperoleh Indonesia selama dibuat menjadi anggota pada tahun 1955-1964. Kembalinya Indonesia dibuat menjadi anggota PBB disambut adil oleh negara-negara Asia lainnya bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa siding tahun 1974. Dan Indonesia juga memulihkanhubungan dengan sebanyak negara seperti India, Thailand, Australia, dan negara-negara lainnya yang sempat renggang dampak politik konfrontasi Orde Lama.

Normalisasi Hubungan dengan Negara lain

Pemulihan Hubungan dengan Singapura

Dengan perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman, hubungan Indonesia dengan Singapura sukses dipulihkan kembali. Pada tanggal 2 Juni 1966 pemerintah Indonesia menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura untuk Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Dan pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia.

Pemulihan Hubungan dengan Malaysia

Penandatanganan persetujuan normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia

Normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan dipersiapkannya perundingan di Bangkok pada 29 Mei- 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian Bangkok. Isi perjanjian tersebut adalah:

  • Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah merekaambil mengenai posisi mereka dalam Federasi Malaysia.
  • Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
  • Tindakan permusuhan selang kedua belah pihak akan dihentikan.

Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik [Indonesia] dan Tun Abdul Razak [Malaysia].

Pembekuan Hubungan dengan RRC

Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintantah Republik Indonesia membekukan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina [RRC]. Keputusan tersebut dilakukan karena RRC telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan cara memberikan bantuan untuk G 30 S PKI adil untuk persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah terjadinya pemberontakan tersebut. Selain itu pemerintah Indonesia merasa kecewa dengan tindakan teror yang dilakukan orang-orang Cina terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota Keduataan Agung Republik Indonesia di Peking. Pemerintah RRC juga telah memberikan perlindungan untuk tokoh-tokoh G 30 S PKI di luar negeri, serta secara terang-terangan menyokong bangunnya kembali PKI. Melewati media massanya RRC telah menerapkan kampanye menyerang Orde Baru. Dan pada 30 Oktober 1967 Pemerintah Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Agung di Peking.

Penataan Kehidupan Ekonomi

Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi

Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang acak-acakan sebagai peninggalan pemerintah Orde Lama, pemerintah Orde Baru menerapkan langkah-langkah:

  • Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini didasari oleh Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.
  • MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan, program stabilisasi dan rehabilitasi.

Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berfaedah mengendalikan inflasi supaya harga barang-barang tidak melonjak terus. Dan rehabilitasi ekonomi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlakunya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya warga adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Langkah-langkah yang diambil Kabinet Ampera yang mengacu pada Ketetapan MPRS tersebut adalah:

  • Mendobrak kemacetan ekonomi dan menjadikan semakin adil sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan. Adapun yang menyebabkan terjadinya kemacetan ekonomi tersebut adalah:
  1. Rendahnya penerimaan negara.
  2. Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara.
  3. Terlalu banyak dan tidak efisiennya ekspansi kredit bank.
  4. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri.
  5. Penggunaan devisa untuk impor yang sering kurang berpandangan pada kebutuhan prasarana.
  • Debirokrasi untuk memperlancar acara perekonomian
  • Berpandangan pada kebutuhan produsen kecil

Untuk menerapkan langkah-langkah penyelamatan tersebut, karenanya pemerintah Orde Baru menempuh cara-cara :

  • Mengadakan operasi pajak
  • Menerapkan sistem pemungutan pajak baru, adil untuk pendapatan perorangan maupun kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
  • Menghemat pengeluaran pemerintah [pengeluaran konsumtif dan rutin], serta menghapuskan subsidi untuk perusahaan Negara.
  • Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.

Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membentung laju inflasi. Dan pemerintah Orde Baru sukses membendung laju inflasi pada kesudahan tahun 1967-1968, tapi harga bahan kebutuhan pokok naik melonjak. Sesudah dibuat Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968, pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga benda/barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Semenjak ketika itu ekonomi nasional relatif stabil, sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing semenjak tahun 1969 dapat dikelola pemerintah.

Program rehabilitasi dilakukan dengan berupaya memulihkan kemampuan berproduksi. Selama sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia merasakan kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana social dan ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi, dan perbankan disalahgunakan dan dibuat menjadi alat kekuasaan oleh golongan dan kumpulan kebutuhan tertentu. Akibatnya lembaga [negara] tidak dapat menerapkan fungsinya sebagai penyusun perbaikan atur kehidupan rakyat.

Kerjasama Luar Negeri

Selain mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde Lama juga mewariskan utang luar negeri yang sangat agung yakni sampai 2,2-2,7 miliar, sehingga pemerintah Orde Baru menginginkan negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran kembali utang Indonesia. Pada tanggal 19-20 September 1966 pemerintah Indonesia mengadakan perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo. Pemerintah Indonesia akan menerapkan usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan digunakan untuk membayar utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku. Hal ini mendapat tanggapan adil dari negara-negara kreditor. Perundinganpun dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai kesepakatan sebagai berikut

  1. Pembayaran hutang pokok dilakukan selama 30 tahun, dari tahun 1970 sampai dengan 1999.
  2. Pembayaran dilakukan secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang sama agungnya.
  3. Selama ketika pengangsuran tidak dikenakan bunga.
  4. Pembayaran hutang dilakukan atas dasar prinsip nondiskriminatif, adil terhadap negara kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.

Pada tanggal 23-24 Februari 1967 dipersiapkan perundingan di Amsterdam, Belanda yang ada tujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta probabilitas pemberian bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI [Intergovernmental Group for Indonesia]. Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut untuk memenuhi kebutuhannya guna pelaksanaan program-program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta persiapan-persiapan pembangunan. Di samping mengusahakan bantuan luar negeri tersebut, pemerintah juga berupaya dan telah sukses mengadakan penangguhan serta memperingan syarat-syarat pembayaran kembali [rescheduling] hutang-hutang peninggalan Orde Lama. Melewati pertemuan tersebut pemerintah Indonesia sukses mengusahakan bantuan luar negeri.

Pembangunan Nasional

Setelah sukses memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, karenanya langkah selanjutnya yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah menerapkan pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah ketika itu direalisasikan melewati Pembangunan Jangka pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Pambangunan Jangka Pendek dirancang melewati Pembangunan Lima Tahun [Pelita]. Setiap Pelita memiliki misi pembangunan dalam rangka sampai tingkat kesejahteraan warga Indonesia. Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh bidang kehidupan warga, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional dilakukan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu:

  1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia
  2. Meningkatkan kesejahteraan umum
  3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
  4. Ikut menerapkan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian kekal dan keadilan sosial

Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang dilakukan pemerintah Orde Baru berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan untuk semua lapisan warga dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil. Isi Trilogi Pembangunan adalah :

  1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju untuk terciptanya keadilan sosial untuk seluruh rakyat.
  2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
  3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Dan Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah:

  1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan.
  2. Pemerataan mendapat kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
  3. Pemerataan pembagian pendapatan.
  4. Pemerataan kesempatan kerja
  5. Pemerataan kesempatan berupaya
  6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya untuk generasi muda dan kaum wanita.
  7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Cairan
  8. Pemerataan kesempatan mendapat keadilan.
  • Pelaksanaan Pembangunan Nasional

Seperti telah diceritakan di muka bahwa Pembangunan nasional direalisasikan melewati Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan Jangka Pendek dirancang melewati program Pembangunan Lima Tahun [Pelita]. Selama masa Orde Baru, pemerintah telah menerapkan enam Pelita yaitu:

Pelita I dilakukan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan dibuat menjadi landasan awal pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletak dasar-dasar untuk pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik beratnya adalah pembangunan anggota pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melewati proses pembaharuan anggota pertanian, karena mayoritas masyarakat Indonesia sedang hidup dari hasil pertanian.

Pelita II mulai berlaku semenjak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran utama Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup sukses. Pada awal pemerintahan Orde Baru inflasi sampai 60% dan pada kesudahan Pelita I inflasi sukses ditekan dibuat menjadi 47%. Dan pada tahun keempat Pelita II inflasi turun dibuat menjadi 9,5%.

Pelita III dilakukan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984. Pelaksanaan Pelita III sedang berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat pembangunan adalah pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.

Pelita IV dilakukan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat Pelita IV ini adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di tengah berlaku pembangunan pada Pelita IV ini yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi. Untuk mempertahankan kelangsungan pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal. Dan pembangunan nasional dapat berlaku terus.

Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi ekonomi Indonesia berada pada posisi yang adil, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8% per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan cerminan yang menggembirakan. Peningkatan ekspor semakin adil dibanding sebelumnya.

Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada Pelita VI ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian, serta peningkatan kualitas sumber kekuatan manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak pembangunan. Namun pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian telah menyebabkan proses pembangunan terhambat, dan juga menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru.

Warga Tionghoa

Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Semenjak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan posisinya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya dapat ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi sampai ke Mahkamah Agung dan belakangnya Jaksa Agung Indonesia ketika itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.

Satu-satunya surat kabar berkata Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang beberapa artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini diurus dan dikawal oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.

Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu sampai kurang semakin 5 juta dari semuanya rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berucap bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak balik dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.

Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Beberapa lagi menentukan untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.

Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru

Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari kawasan yang padat masyarakatnya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperkirakan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap masyarakat setempat dan kecemburuan terhadap masyarakat pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai kawasan, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.

Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak dibuat menjadi terbuka selang lain dalam bangun konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1] Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber dunianya, juga diperkeras oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.

Keunggulan sistem Pemerintahan Orde Baru

  • Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah sampai semakin dari AS$1.565
  • Sukses transmigrasi
  • Sukses KB
  • Sukses memerangi buta huruf
  • Sukses swasembada pangan
  • Pengangguran minimum
  • Sukses REPELITA [Rencana Pembangunan Lima Tahun]
  • Sukses Gerakan Wajib Berupaya bisa
  • Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
  • Sukses keamanan dalam negeri
  • Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
  • Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri

Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru

  1. Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
  2. Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan selang pusat dan kawasan, beberapa disebabkan karena kekayaan kawasan beberapa agung disedot ke pusat
  3. Munculnya rasa ketidakpuasan di sebanyak kawasan karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
  4. Kecemburuan selang masyarakat setempat dengan para transmigran yang mendapat tunjangan pemerintah yang cukup agung pada tahun-tahun pertamanya
  5. Bertambahnya kesenjangan sosial [perbedaan pendapatan yang tidak merata untuk si kaya dan si miskin]
  6. Pelanggaran HAM untuk warga non pribumi [terutama warga Tionghoa]
  7. Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
  8. Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
  9. Penggunaan kekerasan untuk membikin keamanan, selang lain dengan program "Penembakan Misterius"
  10. Tidak ada rencana suksesi [penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya]
  11. Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
  12. Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
  13. Pelaku ekonomi yang dominan adalah semakin dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh swasta
  14. Dan Lain Sebagainja

Krisis finansial Asia

Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia [untuk semakin jelas lihat: Krisis finansial Asia], didampingi kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang makin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, menginginkan pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian menentukan sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk dibuat menjadi presiden ketiga Indonesia.

Pasca-Orde Baru

Mundurnya Soeharto dari letaknya pada tahun 1998 dapat diceritakan sebagai tanda belakangnya Orde Baru, untuk kemudian dialihkan "Era Reformasi". Sedang hal ada tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membikin beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru sedang belum belakangnya. Oleh karenanya Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".

Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru ke Era Reformasi berlaku relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang sukses meletak pondasi baru yang terbukti semakin kokoh dan kuat menghadapi perubahan abad.

Lihat pula

  • Orde Lama
  • Kerusuhan Mei 1998
  • Tragedi Trisakti

Referensi

  1. ^ Konflik Antar-etnis Kalimantan:Mencegah Semakin Adil daripada Menindak, diakses 24 Mei 2007


edunitas.com

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề