Sebutkan 3 tantangan yang dihadapi dalam pengembangan energi terbarukan nasional

Pemerintah Indonesia terus terlibat aktif dalam memenuhi Paris Agreement melalui pelaksanaan berbagai kebijakan seputar Energi Baru Terbarukan [EBT]. Kebijakan ini merupakan bentuk tanggung jawab dalam mengontrol konsumsi energi masyarakat, sehingga menciptakan pembangunan yang berkelanjutan.

Dalam mencapai target bauran energi 23% pada tahun 2025 yang telah dicanangkan, perlu ada koordinasi dan sinergi antar institusi dan pemerintah agar dapat mendorong pengembangan energi terbarukan. Untuk itu, roadmap energi terbarukan harus jelas serta perlu mengidentifikasi peluang dan tantangan kedepan terutama dalam memasuki fase implementasi NDC 2020 ini.

Materi dapat diunduh pada tautan berikut.

Sabtu, 5 Maret 2016 | 17:39 WIB
Oleh : Rangga Prakoso / FER

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] Sudirman Said [tengah] didampingi Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto [kanan] dan Direktur Perencanaan Korporat PLN Nicke Widyawati [kiri] memberi paparan saat jumpa pers Forum Pemimpin Energi Baru Terbarukan dan Konvensi Energi [EBTKE] di Bandung, Jawa Barat, Sabtu [5/3].

Bandung - Sejumlah tantangan menghadang dalam pengembangan energi baru terbarukan dan konservasi energi [EBTKE]. Demikian salah satu pembahasan dalam Forum Pemimpin EBTKE yang berlangsung di Bandung, Jawa Barat.

"Diskusi berlangsung hangat, cair, komprehensif hingga tak sedikit menuai gagasan solutif dan konkret, siapa melakukan apa dan kapan," kata Direktur Jenderal EBTKE Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM], Rida Mulyana, di Bandung, Sabtu [5/3].

Rida mengungkapkan, tantangan yang dihadapi pemerintah antara lain, belum tercapainya komitmen nasional terkait EBTKE. Kemudian, lanjut dia, dana investasi dalam jumlah besar masih dibutuhkan, tingginya harga teknologi EBT, hingga masih maraknya isu sosial terkait penolakan masyarakat.

"Ini [komitmen terhadap EBTKE] harus terus disuarakan, diarusutamakan. Kami mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk mulai menggeser pandangan miopik ke pandangan yang lebih luas, berjangka panjang, berkesinambungan, dan berkeadilan, untuk semaksinal mungkin menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat," ujarnya.

Forum Pemimpin ini dihadir pula oleh Direksi PT Perusahaan Listrik Negara [Persero], PT Pertamina [Persero], dan PT Energy Management Indonesia. Hadir pula representasi dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, serta Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini

Sumber: BeritaSatu.com


Selasa, 9 Februari 2021 | 10:10 WIB | Humas EBTKE

JAKARTA – Porsi bauran energi baru terbarukan [EBT] dalam bauran energi nasional tahun 2020 baru mencapai 11,31%, atau baru separuh dari target 23% di tahun 2025. Untuk itu, diperlukan strategi dan dukungan seluruh pihak untuk dapat mewujudkan target ini.

“Tidak mudah untuk merealisasi target kita di tahun 2025 sebesar 23%, saya dengan DPR dan berbagai keterbatasan terus mengupayakan agar EBT benar-benar menjadi prioritas utama. Ini tercermin pada program legislasi, prioritas Undang-Undang [UU] yang akan kita tuntaskan tahun ini adalah UU EBT”, kata Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI membuka kegiatan Diskusi Rintangan Bauran EBT dalam Mencapai Bauran Energi Nasional 2025 kemarin [8/2], yang digelar secara virtual.

Ketua Komisi VII dari Fraksi Nasdem ini mengungkapkan bahwa sudah ada pemahaman bersama bahwa Indonesia tidak bisa lagi berbalik dan harus masuk dalam era pemanfaatan EBT secara masif. Sugeng menyambut senang gelaran diskusi ini untuk membahas poin-poin penting pembahasan pengembangan EBT dan tantangan nya di Indonesia.

Direktur Jenderal EBTKE, Dadan Kusdiana yang hadir sebagai salah satu narasumber, menguraikan bahwa sekarang adalah momentum yang paling tepat untuk pengembangan EBT, bahwa Indonesia harus melakukan transisi energi ke energi baru terbarukan. Didukung oleh tren global, dari sisi teknologi dan keekonomian untuk EBT semakin murah.

Ini saatnya untuk bertransisi energi ke EBT dan ini yang kami lakukan di Kementerian ESDM, melakukan secara smooth proses-prosesnya terhadap penyediaan energi khususnya listrik ke masyarakat terus berjalan, kemudian investasinya terus berkembang dan target EBT serta penurusan emisi GRK nya secara cepat bisa kita kejar targetnya”, ujar Dadan.

Angka capaian bauran EBT di 2020 kurang lebih 11%, dibanding 2015 yang baru mencapai 5%, maka dalam 6 tahun, capaian bauran ini naik dua kali lipat, kira-kira 1% per tahun. Masih tersisa lima tahun mendatang untuk mengejar target bauran ke 23%. Dadan mengungkapkan, yang ia pelajari dari sisi peningkatan bauran, pencapaiannya lebih banyak didukung oleh Bahan Bakar Nabati [BBN] di tahun 2016, semakin bertambah ketika program mandatori B30. Untuk pembangkit EBT sendiri tidak terlalu mendominasi, di tahun 2015 kapasitas pembangkit EBT 8500 mw, dan di tahun 2020 terdapat penambahan kapasitas 2.000 MW dari EBT.

“Malah tahun kemarin hanya nambah 106 MW, tahun kemarin memang bisa dikecualikan karena ada pandemi, kalau ingin mencapai 23% di 2025 jadi minimal setiap tahun harus tambah 2000 MW untuk yang listrik dan nambah juga untuk biofuelnya dan juga cofiring pencampur batubara dengan biomassa yang lain”, kata Dadan.

Langkah yang diambil agar pemanfaatan EBT meningkat, pertama dengan cara substitusi, melalui peningkatan bahan bakar nabati di sektor-sekor yang masih belum menggunakan B30, dan dengan dorongan Presiden, B30 akan dinaikkan menjadi B40 atau B50. Substitusi lain juga melalui program cofiring biomassa di PLTU batubara. Melalui program ini, pembangkit tidak perlu menambah kapasitas, dan tetap menggunakan mesin yang sama, tidak perlu menggunakan teknologi baru, bahan bakarnya yang ditambah dengan energi yang terbarukan seperti limbah dan sampah.

Yang kedua, konversi energi primer fosil khususnya diesel atau termasuk batubara ke PLT EBT, yang paling dekat yaitu konversi PLTD ke PLT EBT dan ini sudah masuk di dalam program di Kementerian ESDM maupun di PLN. Terdapat 5200 unit PLTD tersebar di 2000an lokasi secara nasional dengan total sekitar 2 GW. Tahap pertama tahun 2021 ini akan dilakukan konversi untuk 225 MW dan sudah dimulai oleh PLN dan Ditjen EBTKE sudah melakukan persiapan untuk tahap kedua. Selain meningkatkan porsi EBT, untuk PLN akan semakin lebih hijau dan secara ekonomi akan membuat lebih baik. Yang ketiga, pembangkit baru berbasis EBT akan ditambah setelah terjadi demmand baru, setelah keekonomiannya kembali normal, fokusnya pada penyediaan listrik yang murah dan bersih seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya [PLTS]. Sebagai tambahan didorong juga pemanfaatan EBT yang sifatnya non listrik dan bukan juga untuk yang non BBN. Pemanfaatan energi di pertanian misalnya untuk pengeringan tembakau, jadi tidak hanya dimanfaatkan untuk listrik tapi memanfaatkan energi terbarukan untuk proses yang lebih sederhana.

“Untuk PLTS skala besar secara keekonomiannya paling dekat yaitu PLTS Terapung dan 2 hal ini dalam penglihatan kami dalam urusan teknologi yang kaitannya dengan keekonomiannya bisa bersaing head to head dengan BPP di Jawa”, terang Dadan.

Ia pun menjelaskan upaya lainnya dengan mencari hal-hal yang bisa dilakukan di tengah kondisi excess supply, yaitu dengan mendorong pemanfaatan cofiring kepada PLTU. Selain dapat menghidupkan kegiatan ekonomi di masyarakat, karena nantinya akan berurusan dengan tanam menanam yang akan dilakukan oleh para petani masyarakat langsung, tidak terbatas di pengusaha atau badan usaha.

“Jadi semua bisa terlibat dan jumlahnya juga besar, tersebar di nasional, secara teknologi sudah terbukti jadi kami mendorong hal ini, upaya yang sedang kami lakukan adalah memastikan bahwa supply nya ada, contohnya sudah dilakukan kerjasama antara PLN dan Perhutani”, tutup Dadan mengakhiri sesi nya. [DLP]

Senin, 15 Juni 2020 | 10:05 WIB | Humas EBTKE

JAKARTA – Indonesia kini mulai memasuki era new normal atau tatanan kenormalan baru yang menuntut masyarakat untuk mengubah kebiasaan dan perilaku yang baru berbasis pada adaptasi untuk membudayakan perilaku hidup bersih sesuai protokol kesehatan untuk tetap menjalankan aktivitas normal guna mencegah terjadinya penularan Covid-19. Pandemi Covid-19 dan perubahan tatanan tersebut tentu berdampak luas bagi banyak sektor. Pasalnya berubahnya aktivitas masyarakat tersebut membuat dunia usaha sepi, seperti bidang pariwisata, transportasi online, penjuaan retail dan tentu di sektor energi.

Pandemi Covid-19 memberikan dampak yang cukup signifikan bagi kondisi keenergian tanah air termasuk energi baru dan terbarukan [EBT], tak hanya terjadi di indonesia tetapi juga terjadi secara mengglobal. Merujuk pada studi internasional, saat ini terjadi penurunan konsumsi listrik 3 - 10% bahkan ada yang lebih. Khusus di Indonesia, informasi yang diperoleh dari PT. PLN khusus untuk Pulau Jawa hampir 10% tingkat penurunannya.

“Kita harus memahami kondisi ini dan tentu nya perlu kita sikapi secara bijak, semua orang perlu memahami kondisi tidak normal meskipun kita harus belajar dalam kondisi new normal karena banyak hal yang berubah. Pemerintah sedang upayakan menggali demand EBT untuk pengembangan klaster ekonomi maritim. Lebih baik melihat peluang kedepan [untuk ketahanan energi nasional], daripada selalu terbelenggu dengan tantangan yang lama. Cukuplah tantangan tersebut menjadi bahan belajar kita bersama, untuk bisa bangkit dari berlari lebih cepat lagi,” ujar Harris Yahya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Kementerian ESDM ketika menjadi narasumber pada gelaran webinar yang diselenggarakan Energy Academy Indonesia [ECADIN] bersama GIZ Energy Programme Indonesia Kamis lalu [11/6].

Dalam dialog interaktif online tersebut, Harris menyoroti upaya Kementerian ESDM saat ini dalam mengurangi subsidi jangka panjang, menurunkan biaya listrik dan meningkatkan peran energi terbarukan. Ia mengungkapkan bahwa saat ini bauran energi baru sampai di angka 9,15%, namun tren nya naik dalam 10 tahun ini cukup tinggi. Bahwa ada progress yang terlihat, walau capaian 23% masih jauh. Di sektor pembangkit juga mengalami kenaikan cukup signifikan, dari sekitar 5.800 MW di tahun 2008 menjadi sekitar 10.300 MW di tahun 2019.

“Kita berharap di tahun-tahun ke depan, akselerasi bisa lebih dipercepat, sehingga target 9.000 MW di tahun 2024 akan kita capai dengan penekanan di hidro 3.900 MW, bioenergi 1.200 MW, panas bumi 1.000 MW dan panel surya 2.000 MW menjadi mungkin. Satu kondisi yang memperlihatkan bahwa kita saat ini fokus mengembangkan EBT termasuk yang intermiten. Solar PV atau panel surya kita lihat secara global harganya semakin turun, biaya implementasi nya juga semakin murah”, kata Harris.

Untuk mengembangkan EBT di indonesia dilakukan melalui komersial dan non komersial. Untuk yang komersial, kaitannya dengan bagaimana berkontrak dengan PLN, kaitannya dengan pelaku usaha untuk bisa berproduksi. Dan yang non-komersial bagaimana Pemerintah memberikan pilot project agar EBT bisa dicontoh kemudian bisa dikomersialkan secara baik. Harris mengatakan saat ini Kementerian ESDM, khususnya Direktorat Jenderal EBTKE sedang berproses untuk restructure dan refocusing karena selama ini perkembangan memang belum begitu drastis untuk EBT. Meskipun naik tetapi masih ada usaha yang harus lebih gigih lagi khususnya terkait dengan implementasi penganekaregaman.

“Kalau selama ini kan kita fokus RUPTL PLN, sementara kita punya peluang besar dan mungkin bisa sebesar yang sekarang dikembangkan oleh PLN yaitu potensi demand yang bisa dioptimalkan. Maksudnya diluar dari apa yang sudah direncanakan PLN, harus dicermati pula ada potensi yang bisa dikembangkan. Contohnya di Kalimantan Utara ada potensi EBT yang sangat besar jika dikembangkan bisa mencapai 9.000 MW hanya dengan mengimplementasikan PLTA secara cash cap didalam satu aliran sungai, dan problemnya di Kaltara belum cukup demand untuk menyerap energi itu, jadi perlu ada program yang bisa mengintegrasikan demand dan supply, ini yang coba kita pikirkan bagaimana untuk mengimpelentasikannya”, ujar Harris.

Lebih lanjut Harris mengungkapkan bahwa pihaknya saat ini sedang berdiskusi tapi serius, dengan tim dari Australia, yang sedang menjelajah kemungkinan pembangunan pembangkit PLTA di daerah Papua dengan total kapasitas 20.000 MW. Juga sedang berproses untuk membuat pilot project dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan [KKP] untuk mendukung PLTS cold storage yang ada di KKP, yang selama ini masih mengandalkan pasokan listrik dari PLN. Hal ini berpeluang penghematan melalui pemanfaatan EBT.

“Jadi bisa dibayangkan saat ini, jika dikumpulkan pembangkit hydro kita itu belum sampai 10.000 MW. Ini adalah peluang-peluang yang bisa diakselerasi dengan semakin besarnya perhatian kita kepada energi bersih termasuk air, surya, angin, dan bioenergi. Hal itu akan memberikan manfaat yang luar biasa kepada bangsa dan negara, tentunya perlu dukungan kita bersama” pungkas Harris. [RWS]

*Webinar dengan topik "From Islands to Corporate Boardrooms: How Renewable Energy Can Boost Indonesia's Businesses and Drive Economic Growth", dapt disaksikan kembali di kanal YouTube ECADIN melalui link berikut ini : tiny.cc/Webinar_11 Juni

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề