Sebutkan dan jelaskan tingkatan-tingkatan al maqamat

Oleh 

Adi Putra Bunda 

Tasawuf memiliki inti kesadaran adanya hubungan kedekatan dengan Allah, yang selanjutnya bentuk rasa kedekatan dengan Allah sebagai bagian dari pengalaman Dzauqiyah Manusia dengan Allah. Kedekatan dengan Allah tersebut menumbuhkan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah kepunyaan-Nya. Segala eksistensi yang relatif dan nisbi tidak ada artinya dihadapan enksistensi Allah yang absolut. Ilmu tasawuf dinamakan juga dengan ilmu batin sebagaimana syaikh al-Manawi dalam kitab Faed al-Qodir dalam menjelaskan hadist Nabi saw ilmu itu dua macam, ilmu yang ada di dalam kalbu itulah ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang diucapkan oleh lidah adalah ilmu hujjah/ hukum, atas anak cucu Adam. Ilmu batin yang keluar dari qalbu adalah tasawuf, yang dikerjakan dan diamalkan oleh qalbu atau hati, dan ilmu yang dhahir yang keluar dari lidah adalah ilmu yang diucapkan oleh lidah dan diamalkan oleh jasad yang disebut juga ilmu Syari’ah. Sebagaimana yang telah dijalani oleh beberapa tokoh besar sufi yang menjalani hidupnya penuh dengan ketaqwaan serta manjalankan beberapa maqam dan dikaruniai berbagai hal sehingga menjadikan hidupnya penuh dengan kebahagiaan baik didunia maupun di akhirat. Mereka merasa sangat dekat dengan tuhan-Nya. Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa tasawuf adalah satu dari ilmu-ilmu keIslaman yang begitu menarik untuk dikaji.

Sebelum  kita masuk kepada penjelasan tentang apa itu maqamat dan ahwal ada baiknya menjelaskan tentang apa itu tasawuf. Secara Etimologis, tasawuf banyak diartikan oleh para ahli, sebagian menyatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata shuffah yang berarti serambi masjid nabawi yang di tempati oleh sebagian sahabat anshar, ada pula yang mengatakan berasal dari kata shaf yang berarti barisan, shafa yang berarti bersih atau jernih dan shufanah yakni nama kayu yang bertahan di padang pasir. Sedangkan menurut ulama sufi, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syaikh Ibnu Atha’illah tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah, senantiasa melakukan perintahnya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama- sama dan berkekalan dengan-Nya secara bersungguh- sungguh. Adapun tentang definisi tasawuf  secara terminologi yang di kemukakan oleh sejumlah tokoh sufi, di antaranya adalah Al-Imam al-Qusyairi dalam kitabnya Risalah al-Qusyairiyyah mengatakan bahwa orang-orang yang senantiasa mengawasi nafasnya bersamaan dengan Allah Ta’ala. Orang-orang yang senantiasa memelihara hati atau qalbunya dari berbuat lalai dan lupa kepada Allah dengan cara tersebut di atas dinamakan tasawuf. Abu Yazid al-Bustami tasawuf adalah melepaskan diri dari perbuatan tercela, menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji dan mendekatkan diri kepada Allah. Al-Junaid al-Baghdadi tasawuf adalah membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang, menekan sifat basyariah [kemanusiaan], menjauhi hawa nafsu, berpegang pada ilmu kebenaran dan mengikuti syari’at Rasulullah SAW. Syaikh Abdus Somad Al- Falimbani di dalam kitabnya Siyarus Salikin  Imam Al- Ghazali berkata bahwa ilmu tasawuf itu ilmu yang memberi manfaat dunia dan akhirat karena ilmu tasawuf itu telah terhimpun di dalamnya ilmu Usuluddin, ilmu Fikih, dan ilmu Tariqat.

Apabila melihat beberapa definisi di atas, maka dapat di peroleh ungkapan yang singkat dan padat yang mencakup  dua segi yang keduanya membentuk satu kesatuan yang saling menunjang dalam mendefinisikan tasawuf yang pertama adalah cara dan yang kedua adalah tujuan. Cara, di antaranya melaksanakan berbagai rangkaian peribadatan, latihan-latihan rohani  seperti zuhud.  Sedangkan tujuannya ialah mendekatkan diri kepada sang Khalik yang puncaknya ialah penyaksian [masyadah].

Sebagi sumber ajaran agama Islam, al-Qur’an menghadirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan tasawuf, mulai dari ayat yang berhubungan dengan  ajaran yang sangat mendasar dalam tasawuf sampai kepada ayat yang berhubungan dengan maqamat dan ahwal. Di bawah ini akan diuraikan beberapa ayat yang berhubungan dengan ajaran tasawuf.

Firman Allah SWT di dalam surah al-Baqarah ayat 186

Artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka [jawablah], bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi [segala perintah-Ku] dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Selanjutnya firman Allah SWT di dalam surah Asy-Syuura ayat 20

Artinya: Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.

Selanjutnya firman Allah SWT di dalam surah al-Hadid ayat 20

Artinya: Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat [nanti] ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

Selain itu terdapat pula hadis-hadis qauliyah yang menjadi bagian dari dasar-dasar ajaran tasawuf dalam Islam, diantara hadis-hadis tersebut adalah:

Artinya: Dari sahabat Sahal bin Saad as-Sa’idy beliau berkata: datang seseorang kepada Rasulullah Saw dan berkata: ‘Wahai Rasulullah tunjukkanlah kepadaku sutu amalan, jika aku mengerjakannya maka Allah akan mencintaiku dan juga manusia’, Rasulullah Saw bersabda: “berlaku zuhudalah kamu di dunia, maka Allah akan mencintaimu, dan berlaku zuhudlah kamu atas segala apa yang dimiliki oleh manusia, maka mereka [manusia] akan mencintaimu.

Artinya: Dari Zaid bin Tsabit beliau berkata : Aku mendengarkan Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, maka Allah akan berlepas diri dari segala urusannya dan tidaklah ia mendapatkan dari dunia sesuatu apapun keculi apa yang telah di tetapkan baginya. Dan barang siapa yang sangat menjadikan akhirat sebaga tujuannya, maka Allah akan mengumpulkan seluruh harta kekayaan baginya, dan menjadikan kekayaan itu dalam hatinya, serta mendapatkan dunia sedang ia dalam keadaan tertindas.

Masih banyak ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits yang berhubungan dengan tasawuf yang tidak bisa dijelaskan satu persatu. Selanjutnya marilah kita membahas tentang maqomat dan ahwal dalam tasawuf.

Dikalangan ulama sufi orang yang pertama membahas masalah al- Maqomat atau jenjang dan fase perjalanan menuju kedekatan dengan Allah adalah Haris Ibnu Asad Al- Muhasibi [ w.243 H ]. Ia digelari al- muhasibi karena kegemarannya melakukan muhasabah atau intropeksi diri. Maqamat adalah jama’ dari maqam, yang berarti tempat atau kedudukan. Karena sebuah maqam diperoleh melalui daya dan upaya [mujahadah] dan ketulusan dalam menempuh perjalanan spiritual. Maqam juga dapat diartikan sebagai tahapan adab seorang hamba dalam wushul kepada-Nya dengan macam upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Seseorang tidak dapat beranjak dari suatu maqam ke maqam yang lain sebelum ia memenuhi semua persyaratan yang ada pada maqam tersebut. Sebagaimana yang telah digambarkan oleh Al-Qusyairi yang dikutip oleh Hasyim Muhammad bahwa seorang yang belum qona’ah tidak bisa mencapai tawakkal. Siapa yang tidak tawakkal tidak bisa mencapai taslim. Dan barang siapa yang belum taubat tidak bisa sampai pada inabat. Barang siapa tidak wara’ tidak akan bisa mencapai tingkat zuhud, begitu seterusnya. Tentang berapa jumlah maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai kepada Allah, dikalangan ulama sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al- ta’arruf lil mazhab ahl al- tasawuf, sebagai yang dikutip Harun Nasution misalnya maqamat itu jumlahnya ada sepuluh yaitu, al- taubah, al- zuhud, al- sabar, al- faqir, al- tawadhu, al- taqwa, al- tawakkal, al- ridha, al- mahabbah dan ma’rifah.

Sedangkan Abu Nasr Al- Sarraj al- Tursi dalam kitab al- luma’ mengatakan bahwa maqamat hanya ada tujuh, yaitu, al- taubah, al- zuhud, al- sabar, al- tawakkal, al- ridha, al- mahabbah, dan al- ma’rifah. Menurut Imam Al-Ghazali di dalam kitabnya yang berjudul Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa maqamat itu ada delapan yaitu, al-taubah, al- sabar, al- zuhud, al- tawakkal, al- mahabbah, al- ma’rifah, dan al- ridha.

Adapun tahapan- tahapan maqamat yang harus dilalui seorang sufi yaitu sebagai berikut :

Taubat adalah berhenti daripada pekerjaan maksiat dengan menghimpunkan segala syarat- syaratnya. Inilah jalan yang mula-mula sekali yang akan ditempuh oleh seorang sufi yang menuju kepada Allah swt dan dia adalah anak kunci kebahagiaan dan keberuntungan Karena orang yang masih berdosa itu tidak diizinkan masuk kehadirat Allah. Sedang taubat yang dimaksud oleh kalangan Sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi dosa tersebut yang disertai melakukan amal kebajikan. Sebagaimana firman Allah dalam surah At-Tahrim ayat 8

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukan kamu kedalam surga-surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak mengecewakan Nabi dan orang-orang beriman bersama dengannya, sedang cahaya mereka memancar dihadapan dan disebelah kanan      mereka, sambil mereka berkata, “Ya Tuhan kami sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami, sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Zuhud adalah berpaling daripada dunia dan perhiasan dan mengambil sekedar untuk memenuhi kebutuhan.Zuhud adalah satu sifat kepujian yang tidak mudah dicapai oleh tiap- tiap orang dan martabat yang tertinggi di dalam menuju kehampiran kepada Allah swt. Sebagaimana sabda dari Rasulullah saw yang artinya berpalinglah engkau pada dunia niscaya Allah mengasihi engkau dan berpalinglah engkau barang yang dimiliki manusia niscaya mereka mengasihi engkau. Dalam pandangan kaum Sufi, dunia dan segala isinya adalah sumber segala kemaksiatan dan kemungkaran yang dapat menjauhkan diri dari tuhan. Karena hasrat, keinginan dan nafsu seseorang sangat berpotensi untuk menjadikan kemewahan dan kenikmatan duniawi sebagai tujuan hidupnya, sehingga memalingkannya dari tuhan. Menurut Al-Junaidi yang dikutip oleh Hasyim Muhammad mengatakan bahwa, zuhud adalah kosongnya tangan dari pemilikan dan kosongnya hati dari pencarian. Sebagaimana firman Allah dalam surah Ar-Ra`d ayat 26

Artinya: Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi [bagi siapa yang Dia kehendaki]. Mereka bergembira dengan kehidupan dunia padahal kehidupan dunia hanyalah kesenangan [yang sedikit] dibanding kehidupan akhirat. 

Wara’ adalah menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau hal- hal yang tidak baik. Sedangkan wara’ menurut para ulama sufi adalah meninggalkan sesuatu yang diragukan halal dan haramnya dalam artian kata syubhat yang tidak jelas adal usulnya. Para ulama sufi sangat berhati- hati dalam mencari harta benda, mereka selalu berupaya menghindari yang haram. Hingga pada yang syubhat saja mereka tidak mau di karenakan barang yang subhat lebih dekat kepada yang haram. Mereka menyadari benar bahwa makanan, minuman, pakaian, dan sebagainya yang haram akan berpengaruh pada si empunya. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Fajr ayat 14

Artinya: Sungguh, Tuhanmu benar-benar mengawasi.

Menurut pandangan Sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sesungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 273

Artinya: [Apa yang kamu infakkan] adalah untuk orang-orang faqir yang terhalang [usahanya karena jihad] dijalan Allah, sehingga dia yang tidak dapat berusaha di Bumi [orang lain] yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang kaya karena mereka menjaga diri [dari meminta-minta]. Engkau [Muhammad] mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apapun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui.

Arti sabar menahan diri dari pada marah dan gelisah atas sesuatu yang tidak disukainya. Menurut Zun Al-Nun Al-Mishry yang dikutip oleh Abuddin Nata, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapat cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Sabar itu ada tiga bagian, yaitu :

  1. Sabar atas mengerjakan taat
  2. Sabar daripada meninggalkan maksiat
  3. Sabar pada ketika kedatangan bala dan musibah

Ketiga macam sabar ini wajib atas tiap- tiap kita mempunyainya kalau tidak ada kesabaran dalam beramal tentulah segala apa yang dikerjakan itu tidak dapat diselesaikan dengan sempurna, yang terberat diantara ketiga bahagian sabar itu ialah sabar atas kedatangan bala dan musibah, karena ialah yang amat bertentangan dengan nafsu tiap- tiap orang. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 153

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan [kepada Allah] dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar

Tawakkal adalah berpegang hati kepada Allah yaitu percaya dan yakin bahwa Allah itulah yang menjamin atas rizki dan kehidupan tiap- tiap makhluk yang telah dijadikannya dia tidak membedakan antara ketika kaya atau ketika dalam kemiskinan. Setelah kita ketahui bahwa tawakkal itu adalah satu- satunya sifat kepujian dan ibadah batin yang bertalian benar dengan kepercayaan kita kepada Allah, dan Allah telah berjanji bahwa kehidupan manusia ada dalam jaminannya dan tentang banyaknya atau tidaknya itu menurut apa yang telah ditentukannya. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Imran ayat159

Artinya: Maka berkat rahmat Allah engkau [Muhammad] berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal. 

Ridha adalah yaitu menerima dengan senang hati apa- apa yang telah dilakukan Allah pada kita. Ridha juga merupakan buah dari tawakkal, dimana seorang sufi telah benar-benar melaksanakan tawakkal maka dengan sendirinya ia akan sampai pada maqam ridha. Sebagaimana firman Allah dalam surah At-Taubah ayat 59

Artinya: Dan sekiranya mereka benar-benar ridho dengan apa yang diberikan kepada mereka oleh Allah dan Rasul-Nya, dan berkata, “Cukuplah Allah bagi kami, Allah dan Rasul-Nya akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya orang-orang yang berharap kepada Allah.

Menurut ulama sufi Ahwal jamak dari kata Hal yaitu adalah situasi kejiwaan yang diperoleh oleh seorang sufi sebagai karunia Allah. Digambarkan dengan hal itu adalah sebagai hasil dari latihan dan amalan yang mereka lakukan. Kalau maqom adalah tingkatan pelatihan dalam membina sikap hidup yang hasilnya dapat dilihat dari perilaku seseorang, maka kondisi mental al- hal bersifat abstrak. Ia tidak dapat dilihat dengan mata, hanya dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya atau memilikinya. Al-Qusyairi mengatakan bahwa pada dasarnya maqamat adalah upaya [makasib] sedangkan hal adalah karunia [mawahib] yang diberikan Allah sehingga hal datang tidak ditentukan oleh waktu tertentu. Sebagaimana halnya dengan maqamat, dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun penjelasan tentang ahwal itu adalah :

Salah satu sikap mental yang tinggi adalah muraqabah yaitu yang menurut ulama sufi mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dalam keadaan diawasinya. Kesadaran yang demikian menumbuhkan sikap selalu siap dan waspada, jadi sikap mental muraqabah ini adalah salah satu sikap yang selalu memandang Allah dengan mata hatinya, dan sebaliknya ia pun sadar bahwa Allah juga selalu memandang kepadanya dengan penuh perhatian.

Al- khauf menurut ulama sufi adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau- kalau Allah tidak senang padanya sikap al- khauf ini merangsang seseorang melakukan hal- hal yang baik dan mendorongnya untuk menjauhi perbuatan maksiat, perasaan khauf timbul karena pengenalan dan kecintaan kepada Allah sudah mendalam sehingga ia merasa khawatir kalau- kalau Allah melupakannya atau takut akan azab Allah.

Al- raja adalah sikap optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Ilahi yang disediakan bagi hamba- hambanya yang sholeh. Oleh karena Allah maha pengampun, pengasih, dan penyayang, maka seseorang hamba yang taat merasa optimis akan memperoleh limpahan karunia dari Allah. Jiwanya penuh pengharapan akan mendapat ampunan, merasa lapang dada, penuh gairah menanti rahmat dan kasih sayang Allah.

Al- Syauq adalah sikap rindu yang menyertai mahabbah, yaitu rasa rindu yang memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa sayang dan gairah

Al- Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh kepada suatu titik sentrum yaitu Allah, tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah semata. Segenap jiwanya terpusat bulat sehingga ia seakan- akan tidak meyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi yang hilang. Imam Junaid berkata bahwa apabila seseorang telah mencapai dalam kondisi Uns, andai kata tubuhnya ditusuk dengan pedang, ia tidak merasakannya.

Secara harfiyah kata ini berarti tentram, tidak ada rasa was- was atau khawatir. Tidak ada yang dapat mengganggu perasaan dan fikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Setelah sekian lama ia berjalan, sekian berat perjuangan yang dihadapi akhirnya sampailah ia ke ujung perjalanan, yaitu dapat berkomunikasi secara langsung dengan Allah yang ia cari.

Musyahadah adalah menyaksikan dengan mata kepala, tetapi dalam terminologi tasawuf diartikan menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya itu. Dalam hal ini apa yang dicari seorang sufi adalah Allah, jadi ia merasa berjumpa dengan Allah. Muhadharah dan mukasyafah adalah dua kata yang hamper sama maksudnya dengan musyahadah, kalau dapat di artikan sebagai adanya perasaan hadirnya atau beradanya Allah dalam hatinya, maka sebagai kelanjutannya terjadinya mukasyafah yaitu tersingkapnya tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah, dengan demikian tercapailah musyahadah.

Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung tertanamlah dalam jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mantap, dialah yang dicari itu.Perasaan yang mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang disebut Al- Yakin. Dengan demikian Al- Yakin adalah kepercayaan yang kokoh tidak tergoyangkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia miliki, karena ia sendiri menyaksikannya dengan segenap jiwanya dan ia merasakan dengan seluruh ekspresinya serta dipersaksikan oleh segenap sksistensinya. Mencapai tingkat musyahadah dan al- yakin menurut pengakuan ulama sufi amat sulit dan jarang orang yang memperoleh karunia yang semulia itu, mereka yang menerima karunia Allah seperti itu adalah para aulia yaitu orang yang sudah sampai ke tingkat insan kamil.

Jadi dari penjelasan di atas dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa tasawuf adalah melepaskan diri dari perbuatan tercela, menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji dan mendekatkan diri kepada Allah. Mengutip dari pendapat ulama sufi yang mengatakan berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kamu hanya mengambil salah satunya. Oerang yang hanya mempelajari ilmu fikih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatainya tidak dapat merasakan kelezatan taqwa, sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tetapi tidak mau memepelajari fikih, maka bagaimana ia akan bisa menjadi lebih baik.

Maqamat adalah jama’ dari maqam, yang berarti tempat atau kedudukan. Karena sebuah maqam diperoleh melalui daya dan upaya [mujahadah] dan ketulusan dalam menempuh perjalanan spiritual. Para ulama sufi membagi tingkatan maqamat itu berbeda-beda menurut hemat penulis hal dikarenakan sesuai apa yang para ulama sufi alami di dalam menempuh perjalanan yang begitu panjang agar dapat dekat dengan Allah dan mengenal Allah dengan pengenalan yang sebenarnya melalui pandangan mata hati mereka dan sesuai dengan keilmuan mereka masing- masing. Sedangkan ahwal menurut ulama sufi Ahwal jamak dari kata Hal yaitu adalah situasi kejiwaan yang diperoleh oleh seorang sufi sebagai karunia Allah. kondisi mental ahwal bersifat abstrak. Ia tidak dapat dilihat dengan mata, hanya dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya atau memilikinya.

SUMBER BACAAN

Abdul Khaliq, Abdurrahman, Dr. dan Zhahir, M.A, Ihsan Ilahi, Prof. Dr., Pemikiran Sufisme Dibawah Bayang- Bayang Fatamorgana, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2001

Al- ‘Alaw, Ahmad, Syaikh, wali sufi abad 20, Bandung : PT Mirzan, 1993

Al- Banjari, Siddiq, Abdurrahman, Syaikh, Risalah Amaliah Ma’rifat, Banjarmasin : Maudad, 1338

Al- Falimbani, Abdus Somad, Syaikh, kitab siyarus salikin Fi Tariqatul Sadatul Sufiyah , Makkah : 1788

Amin, Munir, Samsul, Kisah Sejuta Hikmah Kaum Sufi, Jakarta : PT. Sinar Grafika Offset, 2002

Al-Hujwiri, Khasyful Mahjub Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf, Bandung PT. Mirzan : 1993

Hadi, Mukhtar, Memahami Ilmu Tasawuf [ Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf ], Yogyakarta : Aura Media, 2009

Kalsum, Ummu,  Ilmu Tasawuf, Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002

Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, jilid 5, 1993

Muhammad, Hasyim, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi,Yokyakarta :Pustaka Pelajar Offse, 2002

Nasution, Harun, Falsafah Dan Mistisis Mendalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang,1993

Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta : Rajawali Perss, 2001

Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf , Jakarta : Pt.Rineka Cipta, 2004

Sholihin,M.Ag, Prof. Dr. M. dan Anwar, M.Ag, Dr. Rosihon, Ilmu Tasawuf,Bandung : Pustaka Setia, 2008

Siddiq al- Banjari, H. Muhammad, H. Jarmani bin, Sarif bin, Muhammad, Syaikh, Tuhfatur Roghibin Fi Bayan Tiriqi Salikin, Banjarmasin : Cetakan Pertama, 1392- 1973

………………………., Mubadi Ilmu Tasawuf, Banjarmasin : Cetakan Pertama

Siregar, A Rivay, Prof. Dr. H., Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme, Jakarta : PT Grafindo,2002

Syukur, Amin,  menggugat tasawuf:sufisme dan tanggung  jawab sosial abad 21,Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2002

An-Naisabury, al-Qusyairi, Imam, Risalatul Qusyairiah Fi ‘Ilmi al-Tashawwuf, Semarang : Toha Putra, t.t.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề