Mengapa bisa terjadi perbedaan prestasi belajar antara satu peserta didik dengan peserta didik lainnya?

[Penulis, adalah Guru SMA Negeri 7 Mataram, NTB]

PENDIDIKAN memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya dikelola, baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal tersebut bisa tercapai bila seorang siswa dapat menyelesaikan pendidikan tepat pada waktunya dengan hasil belajar yang baik pula. Sehingga dalam konteks ini seorang siswa tentunya perlu memiliki pemahaman yang benar tentang proses belajar yang benar.

Belajar pada dasarnya adalah perubahan tingkah laku yang relatif menetap yang dapat diperoleh, diantaranya, melalui pengalaman.  Pengalaman dapat berupa interaksi dengan lingkungan eksternal dan melibatkan proses yang tidak nampak.  Belajar merupakan proses untuk memperoleh prestasi hasil belajar.  Belajar juga merupakan perilaku aktif seorang siswa dalam menghadapi lingkungan untuk mendapatkan pengalaman, pengetahuan, pemahaman, dan makna.

Menurut Wortman, Loftus, dan Marshall [Rivai, 2001]; belajar merupakan kegiatan mental individu yang kompleks dan biasanya menghasilkan perubahan tingkah laku dan pola pikir pelajar, sehingga dengan adanya perubahan maka dapat dikatakan bahwa kegiatan belajar [learning] telah terjadi.

Terkait dengan penjelasan di atas, proses belajar dapat terjadi secara maksimal apabila seorang pelajar terlibat secara aktif dalam proses belajar mengajar. Dan keterlibatan ini lebih ditekankan pada keterlibatan mental, meskipun keterlibatan fisik dalam hal-hal tertentu masih diperlukan. Menurut Julaeha [2002], keterlibatan mental mengacu kepada keterlibatan intelektual dan emosional, di mana keterlibatan intelektual mengacu pada keaktifan seorang pelajar untuk mengkaji, menelaah, dan memahami informasi yang sedang dipelajari sehingga dari keaktifan itu seorang pelajar akan belajar sesuatu. Sedangkan keterlibatan emosional mengacu kepada kemampuan seorang pelajar untuk memberi makna terhadap sesuatu yang dipelajari

Oleh karena itu, seorang pelajar tidak akan memperoleh sesuatu apabila ia tidak aktif terlibat dalam proses belajar. Hal ini sesuai dengan pendapat Dewar dan Hartman [Julaeha, 2002] yang menyatakan bahwa seorang pelajar yang terlibat secara aktif dalam proses belajar maka akan mencapai keberhasilan.

Namun demikian, dalam kenyataan di lapangan banyak sekali kita menjumpai berbagai kasus yang kontradiktif tentang rendahnya prestasi seorang siswa meskipun mereka memiliki tingkat intelektual yang tinggi. Dan salah satunya adalah contoh kasus yang diungkapkan oleh Handayani [2004] seperti berikut ini:

Fahri [9 thn], Fahra [7 thn], dan Fikri [5 thn] adalah tiga bersaudara. Rani, ibu dari tiga anak tersebut, heran dengan cara tiap anaknya dalam menangkap pelajaran saat di rumah dan sekolah. Berdasarkan pengamatan dan laporan dari guru, hanya Fikri yang suka mendengarkan cerita atau penjelasan dengan serius. Fahri seringkali acuh saat mendengarkan penjelasan, sementara Fahra sering menguap karena bosan. Bila Rani menggunakan alat peraga gambar, gantian Fikri yang kurang semangat. Sementara Fahra biasanya antusias mendengar penjelasan, sedang Fahri tampak biasa saja. Namun, saat Rani atau guru di sekolah mengajak mengerjakan prakarya, gantian Fahri yang bersemangat. Fahra dan Fikri ogah-ogahan mengikutinya. Berdasarkan penjelasan guru dan psikolog di sekolah, Rani baru mengerti bahwa ketiga anaknya memiliki gaya belajar yang berbeda. Tapi, meski berbeda, ketiganya memiliki prestasi yang cukup baik di sekolah.

Baca Juga :   TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB SEORANG GURU DI DALAM MASYARAKAT

Berpijak pada contoh kasus di atas, maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa rendahnya prestasi yang dialami oleh ketiga siswa di atas adalah kurang dimaksimalkannya gaya belajar dari masing-masing siswa tersebut. Padahal gaya belajar seorang siswa tentunya akan saling berbeda satu sama lain. Di samping itu, setiap siswa dalam memahami dan menyerap bahan pembelajaran sudah pasti akan berbeda pula tingkatnya. Ada yang cepat, ada yang sedang dan ada pula yang lambat. Oleh karenanya setiap siswa harus mampu menyikapi bahan pembelajaran yang dipelajarinya.

Kondisi-kondisi anak seperti di atas sering disebut sebagai ‘underachievement’, keadaan dimana prestasi yang dicapai anak tidak setinggi kemampuan sebenarnya. Pakar pendidikan, Conny Semiawan menjelaskan bahwa anak yang underachiever adalah anak yang kurang mendapatkan pengarahan yang sesuai dengan kebutuhannya [Waspada Online, 2004].

Hiemstra [Julaeha, 2002] mengemukakan bahwa untuk membantu pelajar berhasil dalam belajar mandiri, seorang pelajar perlu mengetahui gaya belajar yang dimiliki serta strategi belajar yang sesuai dengan dirinya. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Davis [Julaeha, 2002] yang menyatakan bahwa salah satu kunci untuk melibatkan pelajar secara aktif dalam belajar adalah dengan memahami gaya belajarnya.

Senada dengan uraian di atas, dua anak yang tumbuh dalam kondisi dan lingkungan yang sama dan meskipun mendapat perlakuan yang sama, belum tentu akan memiliki pemahanan, pemikiran dan pandangan yang sama terhadap dunia sekitarnya. Masing-masing memiliki cara pandang sendiri terhadap setiap peristiwa yang dilihat dan dialaminya. Cara pandang inilah yang kita kenal sebagai “Gaya Belajar”.

Menurut Nunan [Sahertian, 2004] gaya belajar mengacu pada cara belajar yang lebih disukai pebelajar. Umumnya, dianggap bahwa gaya belajar seseorang berasal dari variabel kepribadian, termasuk susunan kognitif dan psikologis latar belakang sosio cultural, dan pengalaman pendidikan. Sedangkan DePorter dan Hernacki [Julaeha, 2002] mengungkapkan bahwa gaya belajar adalah kombinasi dari menyerap, mengatur, dan mengolah informasi. Lebih lanjut lagi, menurut NASSP [Sahertian, 2004], gaya belajar atau learning style adalah suatu karakteristik kognitif, afektif dan perilaku psikomotoris, sebagai indikator yang bertindak yang relatif stabil untuk pebelajar merasa saling berhubungan dan bereaksi terhadap lingkungan belajar.

Baca Juga :   PENGARUH PEMBELAJARAN JARAK JAUH DALAM KONDISI KELUARGA

Bertolak pada uraian di atas, maka gaya belajar seorang siswa perlu diketahui pada awal permulaan diterima pada suatu lembaga pendidikan yang akan ia masuki. Sebab hal ini akan memudahkan bagi seorang siswa untuk belajar maupun seorang guru untuk mengajar dalam proses pembelajaran. Sebab hal tersebut memudahkan seorang guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan mudah dan tepat yang pada akhirnya akan sangat mempengaruhi hasil belajar seorang siswa.

Paparan di atas senada dengan rumusan SCC Bandung [2002] yang mengungkapkan bahwa jika kita bisa memahami perbedaan gaya belajar setiap anak dan memberikan materi pelajaran yang sesuai dengan gaya belajarnya maka akan memberikan hasil yang optimal bagi dirinya. Rumusan ini senada dengan pendapat Handayani [2004] yang mengungkapkan bahwa salah satu cara yang dapat dilakukan orangtua agar anaknya memiliki prestasi baik adalah dengan menemukan gaya belajar anak dan menerima anak sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya

Sementara itu, Sudjana [1995] mengungkapkan bahwa prestasi hasil belajar adalah proses penentuan tingkat kecakapan penguasaan belajar seseorang dengan cara membandingkannya dengan norma tertentu dalam sistem penilaian yang disepakati.  Menurut Gagne [1988], hasil belajar dapat dikaitkan dengan terjadinya perubahan kepandaian, kecakapan, atau kemampuan seseorang, dimana proses kepandaian itu terjadi tahap demi tahap.

Dengan demikian, hasil belajar dapat diwujudkan dalam lima kemampuan yaitu keterampilan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, keterampilan motorik, dan sikap.

Paparan di atas sama dengan pendapat Bloom [1981] yang menyatakan bahwa ada tiga dimensi hasil belajar yaitu dimensi kognitif, dimensi afektif, dan dimensi psikomotorik.  Dimensi kognitif adalah kemampuan yang berhubungan dengan berpikir, mengetahui, dan memecahkan masalah seperti pengetahuan komprehensif, aplikatif, sintesis, analisis, dan pengetahuan evaluatif.  Dimensi afektif adalah kemampuan yang berhubungan dengan sikap, nilai, minat, dan apresiasi.  Sedangkan dimensi psikomotorik adalah kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan motorik.

Oleh sebab itu, keberhasilan belajar sangat tergantung pada jenis mata pelajaran, metode belajar yang sesuai, dan cara penyampaian materi [yakni ada yang efektif bila disampaikan dengan peragaan, tapi adapula yang lebih sesuai dengan latihan]. Metode ceramah misalnya cocok untuk menjelaskan tentang konsep, prinsip atau porsedur, metode demontrasi cocok untuk menjelaskan suatu keterampilan berdasarkan standar tertentu, sedangkan diskusi lebih cocok untuk  menganalisis dan memecahkan masalah [Suparman, 1991].

Terkait dengan penjelasan di depan, hasil penelitian Pramuningsih [2003] menunjukkan bahwa ada korelasi positif yang signifikan antara gaya belajar total dan tipe gaya belajar dengan prestasi belajar siswa. Sementara itu, hasil penelitian Abdullah dan Zhang [Pramuningsih, 2003] menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara gaya belajar dengan pencapaian prestasi belajar pada semua mata pelajaran. Akan tetapi hasil penelitian Supeno [2003] menunjukkan  hasil sebaliknya yakni tidak ada korelasi yang positif dan signifikan antara gaya belajar KOLB [Konverger, Acomodator, Diverger, dan Asimilator] dengan prestasi belajar siswa.

Di sisi lain, hasil penelitian Sahertian [2004] menunjukkan bahwa gaya belajar berpengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar strategi pembelajaran PAK. Dari hasil uji hipotesis diperoleh bahwa nilai observasi Fhitung =11.151yang lebih besar dari Ftabel = 4.00 pada taraf signifikansi p < 0.05 berarti hasil penelitian signifikan. Di samping itu, berdasarkan hasil tes Turkey HSD maupun Bonferoni menunjukan bahwa dari ketiga gaya belajar [visual, auditorial, kinestetik], yang sangat memberi pengaruh terhadap hasil belajar adalah gaya belajar visual.

Terkait dengan hasil temuan-temuan di atas, hasil wawancara dengan guru pembimbing yang didapatkan oleh penulis mengenai gaya belajar siswa kelas XI SMA Negeri 7 Mataram juga menunjukkan hasil yang sama. Menurut data yang dihimpun banyak sekali didapatkan siswa yang rajin dan aktif. Namun demikian, beberapa guru seringkali merasa kesulitan untuk menyampaikan bahan pengajaran pada anak didiknya. Sebab pada saat menggunakan teknik bercerita [ceramah] dan diskusi, beberapa siswa dengan mudah menangkap materi yang diajarkan, sementara beberapa siswa tampak acuh dan menguap karena bosan. Kemudian pada saat menggunakan alat peraga gambar, beberapa siswa terlihat kurang semangat sedangkan beberapa siswa menunjukkan sikap yang antusias. Selanjutnya, pada saat siswa mengerjakan prakarya, nampak beberapa siswa yang begitu bersemangat, sementara siswa yang lain ogah-ogahan mengikutinya. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka guru pembimbing pada sekolah tersebut menyimpulkan bahwa ada perbedaan gaya belajar dari anak didiknya.[Editor: Sam Nussy]

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề