Siapa sajakah tokoh yang terlibat dalam penceritaan Gajah Mada

You're Reading a Free Preview
Page 2 is not shown in this preview.

Nama : Naijjah Jamaida Kelas : XII Multimedia 1 1. Kapankah latar waktu cerita dalam kutipan novel sejarah diatas dibuat ? 2. Dimanakah latar dalam kutipan novel sejarah tersebut dibuat ? 3. Peristiwa apa sajakah yang dikisahkan ? 4. Siapa sajakah tokoh yang terlibat dalam penceritaan ? 5. Di bagian apa sajakah yang menandakan bahwa novel tersebut tergolong ke dalam novel sejarah ? Jawaban 1. Latar waktu cerita dalam kutipan novel sejarah Gajah Mada Bergelut dalam Takhta dan Angkara adalah pada masa Gajah Mada menjadi patih Kerajaan Daha atau Kediri . Jadi, kurun waktu tersebut terjadi pada 1321. Karena pada 1319, Gajah Mada diangkat menjadi Patih Kahuripan setelah menyelamatkan Prabu Jayanegara. Dua tahun kemudian diangkat menjadi Patih Kediri atau Daha. Dan pada 1334 diangkat menjadi Mahapatih Majapahit. Bukti dari jawaban saya ini bisa dilihat pada paragraf terakhir kutipan novel sejarah, yaitu Gagak Bongol dan Senopati Gajah Enggon tidak segera menjawab dan memberikan kesempatan kepada Patih Daha Gajah Mada untuk menemukan

Gajah Mada Bergelut dalam Takhta dan Angkata


    ...

    Cerita macam itu berkembang ke arah salah kaprah. Entah siapakah yang bercerita, kabut tebal itu memang disengaja oleh para dewa di kayangan agar wajah cantik para bidadari yang turun dari kayangan melalui pelangi jangan sampai dipergoki manusia. Para bidadari itu turun untuk memberikan penghormatan kcpada satu-satunya wanita di dunia yang terpilih sebagai sang Ardhanareswari, yang berarti wanita utama yang menurunkan raja-raja besar di tanah Jawa ini. Maklum sebagai sang Ardhanareswari, Ken Dedes adalah titisan dari Pradnya Paramita, dewi ilmu pengetahuan. Apa benar kabut tebal itu turun karena para bidadari turun dari langit? Gajah Mada tidak bisa menyembunyikan senyumnya dari kenangan kakek tua, yang menuturkan cerita itu dan mengaku memergoki para bidadari itu, lalu mengambil salah seorang di antara mereka menjadi istrinya. Gajah Mada ingat, anak kakek tua itu perempuan semua dan jelek semua, sama sekali tidak ada penanda titisan bidadari.

    "Mirip cerita Jaka Tarub saja," gumam Gajah Mada sekali lagi untuk diri sendiri. "Lagi pula, setahuku tidak pernah ada pelangi di malam hari. Pelangi itu munculnya selalu siang dan ketika sedang turun hujan."

    Lebih jauh soal kabut tebal pula, konon ketika Calon Arang, si perempuan penyihir dari Ghirah marah dan menebar tenung, kabut amat tebal membawa penyakit turun tak hanya di wilayah tertentu. Namun, merata di seluruh negara, menyebabkan Prabu Airlangga dan Patih Narottama kebingungan dan terpaksa minta bantuan kepada Empu Barada untuk meredam sepak terjang wanita menakutkan itu. Empu Barada benar-benar sakti. Empu itu menebas pelepah daun keluvih yang melayang terbang ketika dibacakan japa mantra. Beralaskan pelepah daun itulah Empu Barada terbang rnembubung ke langit dan memperhatikan seberapa luas kabut pembawa tenung dan penyakit. Empu Barada melihat, ampak.ampak pedhut itu memang sangat luas dan menelan luas negara dari ujung ke ujung. Untunglah cahaya Hyang Bagaskara yang datang di pagi harinya mampu mengusir kabut itu menjauh tanpa tersisa jejaknya sedikit pun.

    "Hanya sebuah dongeng," gumam Gajah Mada untuk diri sendiri. Kabut tebal itu memang mengurangi jarak pandang dan mengganggu siapa pun untuk mengetahui keadaan di sekitarnya. Ketika sebelumnya siapa pun tak sempat memikirkan, itulah saatnya siapa pun mendadak merasakan bagaimana menjadi orang buta yang tidak bisa melihat apa-apa. Pada wilayah yang kabutnya benar-benar tebal, untuk mengenali benda-benda di sekitarnya harus dengan meraba-raba.

    Akan tetapi, tidak demikian dengan anjing yang menggonggong sahut-sahutan ramai sekali. Apa yang dilakukan anjing itu laporannya akhirnya sampai ketelinga Gajah Mada. Gajah Enggon yang meminta izin untuk bertemu segera melepas warastra, sanderan dengan ciri-ciri khusus yang dibalas Gajah Mada dengan anak panah yang sama melalui isyarat khusus pula. Dari jawaban anak panah itu Gajah Enggon dan Gagak Bongol mengetahui di mana Gajah Mada berada. Gagak Bongol dan Enggon segera melaporkan temuannya.

    "Ditemukan mayat lagi, Kakang Gajah," Gajah Enggon melaporkan. Gajah Mada memandangi wajah samar-samar di depannya. "Mayat siapa?"

    "Prajurit bernama Klabang Gendis mati dengan anak panah menancap tepat di tenggorokannya. Tak ada jejak perkelahian apa pun, sasaran menjadi korban tanpa menyadari arah bidikan anak panah tertuju kepadanya."

    Gajah Mada merasa tak nyaman memperoleh Iaporan itu. Orang yang mampu melepas anak panah dengan sasaran sulit pastilah orang yang sangat menguasai sifat gendewa dan anak panahnya. Orang yang mampu melakukan hal khusus macam itu amat terbatas dan umumnya ada di barisan pasukan Bhayangkara. Adakah prajurit Bhayangkara yang terlibat?

    "Dan kami temukan mayat kedua," Gagak Bongol menambahkan.

    "Pelaku pembunuhan menggunakan anak panah itu mati dipatuk ular.

    Mayatnya dicabik-cabik beberapa ekor anjing. Pembunuh yang terbunuh ini, menyisakan jejak rasa kecewa di hati kita, Kakang. Aku tahu, Kakang Gajah pasti kecewa mengetahui siapa dia?"

    Gajah Mada menengadah memandang langit. Namun, tak ada apa pun yang tampak kecuali warna pedhut yang makin menghitam legam.

    "Bhayangkara?"

    "Ya, jawab Gagak Bongol. "Siapa?" lanjut Gajah Mada.

    Gagak Bongol dan Senopati Gajah Enggon tidak segera menjawab dan memberikan kesempatan kepada Patih Daha Gajah Mada untuk menemukan sendiri Jawabnya. Nama pembunuh yang mati dipatuk ular itu tentu berada di barisan yang tersisa dari nama-nama prajurit Bhayangkara yang pernah dipimpinnya. Nama-nama itu adalah Bhayangkara Lembu Pulung, Panjang Sumplit, Kartika Sinumping, Jayabaya, Pradhabasu, Lembang Laut, Riung Samudra, Gajah Geneng, Gajah Enggon, Macan Liwung, dan Gagak Bongol. Panji Saprang yang berkhianat dan menjadi kaki tangan Rakrian Kuti mati dibunuh Gajah Mada di terowongan bawah tanah ketika pontang-panting menyelamatkan Sri Jayanegara. Bhayangkara Risang Panjer Lawang gugur di Mojoagung dibunuh dengan cara licik oleh pengkhianat kaki tangan Ra Kuti. Selanjutnya, Mahisa Kingkin terbunuh oleh Gagak Rongol sebagai korban fitnah di Hangawiyat. Terakhir, Singa Parepen atau Bango Lumayang yang berkhianat mati dibunuhnya di Bedander ketika kamanungsan sebagai pengkhianat.

    ...

[Sumber: Gajah Mada Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi, halaman 109-111]


Siapa sajakah tokoh yang terlibat dalam penceritaan?

Perhatikan kutipan novel berikut!


Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara

    Kala itu tahun 1309. Segenap rakyat berkumpul di alun-alun. Semua berdoa, apa pun warna agamanya, apakah Siwa, Buddha maupun Hindu. Semua arah perhatian ditujukan dalam satu pandang ke Purawaktra yang tidak dijaga terlampau ketat. Segenap prajurit bersikap sangat ramah kepada siapa pun karena memang demikian sikap keseharian mereka. Lebih dari itu, segenap prajurit merasakan gejolak yang sama, oleh duka yang mendalam atas gering yang diderita Kertarajasa Jayawardhana.

    Segenap kawula yang mencintai rajanya memang amat berharap raja akan sembuh kembali memimpin negara menuju kejayaan yang lebih bercahaya dan cemerlang. Akan tetapi, Hyang Widdi mempunyai kehendak lain. Napas Sang Prabu makin tersengal, tarikannya kian tersendat, kesadarannya makin berkurang seiring sakit yang diderita yang tak tersembuhkan. Para tabib yang didatangkan untuk menyembuhkan Sang Prabu angkat tangan tanda menyerah.

    Kalagemet yang ketika itu masih bocah, berdiri bersandar tiang saka dan terlihat pucat, sementara kegelisahan terbaca jelas dari wajah para ibundanya. lbu permaisuri Tribhuaneswari menelungkupkan wajah di sudut pembaringan dengan tangan kanan tidak henti-hentinya membusai rambut ikal Sang Prabu. Cinta Permaisuri kepada Raja demikian besar dan mendalam sehingga bayangan perpisahan yang akan terjadi demikian menakutkan. Bagaimana tidak? Perjalanan hidup yang dijalani bersama terlalu banyak menyimpan cerita. Dimulai ketika Singasari tidak bisa dipertahankan lagi akibat gempuran Kediri di bawah Jayakatwang, Sang Prabu Kertanegara yang melihat negara mustahil dipertahankan menyerahkan keselamatan anak-anaknya kepada Raden Wijaya. Pontang-panting Raden Wijaya mengatur penyelamatan meloloskan diri. Lalu disusul perjuangan berikutnya yang tak kalah berat, mendirikan negara baru di tanah Tarik hingga akhirnya menjadi negara Majapahit yang bisa memberikan ketenteraman dan kemakmuran kepada segenap rakyatnya. Terlalu banyak kenangan yang sulit dilupakan.

    Beku di sebelahnya lbu Ratu Narendraduhita duduk termangu dengan tatapan mata tak beralih dari raut muka suaminya. Pandangan matanya kosong tidak bercahaya, dibalut cermat membayangkan perpisahan sejati akan terjadi. Di arah kaki Sang Prabu, lbu Ratu Pradnya Paramita berlinang air mata dan berulang kali menyeka pipi dalam upaya kerasnya berdamai dengan diri sendiri. Meski lbu Ratu Pradnya Paramita telah berusaha mendamaikan diri, apa yang ia lakukan bukanlah pekerjaan yang gampang, terbaca amat jelas kecemasan itu dari komat-kamit di mulutnya dan tangannya yang selalu gemetar.

    Berhadapan dengan lbu Ratu Narendraduhita, lbu Ratu Rajapatni Gayatri yang dalam setahun terakhir mempersiapkan diri menjadi seorang biksuni, justru terlihat amat tenang, tidak tampak kesedihan di wajahnya. lbu Ratu Gayatri sangat sadar bahwa pada dasarnya kematian merupakan pintu gerbang menuju nirvana yang kedatangannya tidak perlu ditangisi. Pada suatu tingkat kesadaran, kematian justru harus disambut dengan kebahagiaan, toh kematian akan menimpa siapa saja juga raja. ltu sebabnya, lbu Ratu Gayatri selalu menampakkan raut wajah yang sangat bersih, raut muka ikhlas. Segenap abdi perempuan sangat dekat ibu Ratu Gayatri. Namun, kedekatan itu berbalut rasa arhat hormat dan segan.

    Duduk berseberangan dengan Permaisuri Tribhuaneswari, Stri Tinuhweng Pura tak bisa menghapus jejak kesedihan yang amat mendalam. Awal kisah perjalanan hidupnya yang semula berasal dari Swarna Bumi, anak dari Prabu Maulia Warma Dewa yang negaranya ditaklukkan dan menjadi perempuan boyongan untuk kemudian diperistri oleh Raja, setidaknya dari suami yang lambat laun dicintainya itu terlahir keturunan yang sangat berpeluang menjadi raja karena merupakan satu-satunya anak lelaki, Kalagemet. Demikian besar cintanya kepada Sang Prabu, cinta yang tumbuh sedikit demi sedikit lalu menjadi bergumpal-gumpal, Stri Tinuhweng Pura merasa amat pantas menemani Sang Prabu kembali menghadap Sang Maha Pencipta andaikata sakit yang dideritanya berujung kematian.

[Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara, Langit Kresna Hariadi] 

Siapa saja tokoh yang terlibat dalam penceritaan kutipan novel tersebut?  

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề