Siapa yang menjatuhkan bom atom di Jepang?

JAKARTA, Indonesia

Hari ini, 6 Agustus, dunia mengenang peristiwa bom atom yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat [AS] di kota Hiroshima Jepang pada 1945.

Kemudian pada 9 Agustus 1945, AS kembali menjatuhkan bom atom di kota Nagasaki.

Kedua bom tersebut menyebabkan ratusan ribu orang meregang nyawa, sebagian besar adalah warga sipil. Sebagian lainnya selamat.

Dari korban selamat dari bom Hiroshima adalah dua mahasiswa asal Indonesia yang sedang kuliah di Hiroshima University.

Kedua mahasiswa itu adalah Arifin Bey asal Padang Panjang dan Hassan Rahaya asal Jasinga, Bogor. Keduanya belajar di negeri matahari terbit itu atas beasiswa pemerintah Jepang.

Dalam kisahnya di jurnal Berkala Ilmu Kedokteran Universitas Gadjah Mada tahun 1989, Arifin mengatakan pada pagi hari 6 Agustus 1945, sekitar pukul 8 pagi, sirine berbunyai tanda pesawat udara Amerika akan melintas udara kota Hiroshima.

Hari itu dosen fisika, seorang profesor, yang sudah cukup sepuh siap mengajar. Profesor yang taat instruksi itu masuk ke dalam lubang perlindungan, yang ada di berbagai tempat di kampus.

Sekitar pukul 8 lewat 10 menit, terdengar sirine tanda aman dan pesawat AS telah pergi dari kota Hiroshima.

Profesor itu keluar dari lubang perlindungan dan disambut ucapan "selamat pagi" oleh para mahasiswa.

Saat profesor mengambil kapur dan siap mengajar, tiba-tiba dari arah jendela kelas tampak cahaya menyambar ibarat kilat, tidak membawa bunyi apa pun.

Namun gedung kelas itu tiba-tiba roboh, atap runtuh, dan mahasiswa di kelas itu tidak sadarkan diri, termasuk Arifin.

Arifin tidak ingat berapa lama tidak sadarkan diri, setengah jam atau lebih. Ketika mulai sadar lagi, dia melihat suasana pagi yang terang benderang dan hangat, berubah total.

Pagi itu telah berubah menjadi gelap gulita, seakan sudah petang menjelang waktu maghrib.

Arifin Bey berusaha mencari senior dan kawannya di asrama yang tak jauh dari kelas. Sekitar 10 menit berjalan.

Di jalan utama Arifin melihat orang-orang berlarian tanpa arah, karena didorong oleh rasa ketakutan hebat. Ada yang berlumur darah, ada yang bajunya compang camping.

Sebagian lagi ada yang seperti mengenakan sarung tangan dokter, namun sebagian kulit teruntai dari jari tangannya. Arifin mengatakan cahaya kilat tadi barangkali yang menguliti bagian tangan yang tak tertutup baju atau pakaian.

Kecuali gedung-gedung beton, semua rata dengan tanah, kisah Arifin. Dari beberapa reruntuhan itu asap mengepul menandakan kebakaran telah terjadi.

Sementara Hassan Rahaya, diceritakan kembali oleh anaknya, Ferdy Hasan, ketika cahaya kilat memasuki ruang kelas, seketika bangunan ambruk menimpa orang di dalam gedung.

Hassan pingsan dan tidak sadar berapa saat. Saat sadar dia hanya melihat semuanya seperti malam.

Dosen mereka meninggal saat itu juga karena tertimpa reruntuhan gedung.

Selain Arifin dan Hassan dari Indonesia, dua korban bom teman-teman sekelas yang survive ialah Mohammad Razak dari Malaysia, Pangeran Yusuf dari Brunei Darussalam.

Ada satu lagi rekan Arifin dan Hassan dari Indonesia, bernama Sagala, selamat dari bom mematikan ini. Namun kisahnya tidak banyak diketahui.

Kondisi udara di luar itu digambarkan oleh Hassan seperti terbakar. "Sapi seperti dipecut berdarah-darah, begitu pun dengan orang-orang yang ada di luar. Mereka lah orang yang terpapar radiasi secara langsung," tutur Ferdy, menceritakan ulang kisah ayahnya.

Hasan dan Arifin tergerak menolong para korban di dalam kampus. Setelah itu Hasan mencari teman-teman dan ibu asrama mahasiswa. Di sana hanya terlihat reruntuhan bangunan, namun dia tak patah semangat.

Hanya ada satu orang yang ditemukan dan berhasil diselamatkan. Selain itu ada satu wanita muda, ternyata bukan ibu asrama, berhasil diselamatkan. Wanita muda ini kelak selalu mengirimkan ucapan terimakasih melalui kartu pos kepada Hassan dan kawan-kawannya setiap tahun karena telah menyelamatkan nyawanya, kata Ferdy.

"Udara panas dan api di mana-mana. Panasnya, digambarkan ayah saya panas luar biasa, kurang lebih 75-80 derajat. Kondisi ini berlangsung satu setengah hari atau sekitar 48 jam," kata Ferdy, yang dikenal sebagai presenter kondang di Indonesia.

Hassan mengajak kawannya dan mereka yang berhasil selamat untuk menceburkan diri ke dalam sungai dan benamkan kepala. Berlindung di danau yang terletak sekitar 150 meter dari asrama. Bambu yang tersedia di dekat danau dipakai untuk bernafas, seperti snorkling, untuk berendam di dalam danau.

Mereka berendam kurang lebih delapan jam di dalam danau mereka naik ke daratan dan membantu para korban. Mereka tinggal sementara di tenda pengungsian, karena asrama tempat mereka tinggal roboh.

Selain kepanasan, mereka juga kehausan. Berapa banyak air minum yang diteguk, rasa haus tidak terpuaskan, tutur Arifin.

Arifin menyebut Senin itu hari terpanjang dalam hidupnya. Tidak terhitung berapa banyak orang dia dan tiga temannya selamatkan dari reruntuhan dan dibawa ke sungai terdekat.

Bantuan pertama baru tiba menjelang pagi hari berikutnya. Mereka mendapatkan roti dan diberitahu agar tak minum air sungai.

Namun mereka belum selamat sepenuhnya. Masih ada 10 hari hingga penyelamat datang.

Dalam 10 hari itu mereka berkemah di halaman kampus. Memasak apa yang ada, karena jatah makanan dari pemerintah kota terbatas. Mahasiswa yang luka dirawat sebisanya karena rumah sakit penuh.

Baru di hari ke sepuluh wakil pemerintah Jepang datang dan membawa mereka ke Tokyo.

Arifin dan Hassan melanjutkan studinya di Jepang hingga lulus. Kelak Arifin melanjutkan studi ke Georgetown University, menjadi diplomat, jurnalis hingga akademisi di Indonesia dan Malaysia.

Sementara Hassan membangun usaha pelayaran dan kargo kemudian menjadi anggota DPR-MPR di masa orde baru. Hasan Rahaya kelak jadi anggota Dewan Pertimbangan Agung.

Arifin pensiun dan tinggal di daerah Pamulang, Tangerang Selatan, hingga akhir hayatnya, wafat dalam usia 85 tahun pada 2 September 2010 dan dimakamkan di TPU Pondok Benda, Pamulang.

Hassan wafat pada usia 90 tahun pada 30 Desember 2014.

Puncak drama kemanusiaan

Arifin Bey dalam bukunya, 'Beyond Civilizational Dialogue [2013]', menulis selama dua minggu dia hidup bersama debu-debu bom atom menyebabkan kehancuran cukup besar pada sel darah putih dia.

Setelah itu dia bertahun-tahun melakukan pengobatan dan cukup lama hidup berhati-hati. Setelah dua puluh tahun berlalu, dan usianya memasuki 50 tahun, Arifin Bey merasa kesehatannya telah sembuh.

Saya dapat katakan, bom Hiroshima adalah drama pamungkas dalam drama penghancuran kehidupan, kata Arifin.

"Menurut kata batin saya, Amerika yang menjatuhkan bom dan Jepang yang mengalami kerusakan akibat bom itu sama-sama tenggelam dan hanyut dalam tindakan dingin penyangkalan kehidupan".

Dalam drama ini AS disimbolkan sebagai lakon yang mewakili kemajuan dan kecerdasan manusia. Namun penemuan dan penggunaan bom atom ini, pertama dalam sejarah manusia, dalam kasus ini menunjukkan sebagai tindakan penghancuran dan menegasikan kehidupan.

Putusan pengadilan Jepang bagi korban

Sebuah pengadilan di Jepang pada pertengahan Juli 2021 lalu telah memutuskan 84 orang di Hiroshima berhak atas tunjangan kesehatan negara karena mereka terkena radioaktif "hujan hitam", nama lain dari bom nuklir 1945 oleh AS, media lokal melaporkan.

Para penggugat, yang termasuk individu yang telah meninggal, tidak mendapatkan tunjangan kesehatan dari pemerintah karena mereka tinggal di daerah di luar zona yang saat ini diakui oleh pemerintah, menurut sebuah laporan oleh Kyodo News.

Permohonan awal mereka antara 2015 dan 2018 ditolak tetapi pengadilan di tingkat rendah memutuskan mendukung mereka Juli lalu.

Pengadilan Tinggi Hiroshima kemudian menguatkan putusan tahun lalu, dengan mengatakan para pembuat petisi harus menerima manfaat yang sama seperti yang diberikan kepada para penyintas bom atom yang berada di zona di mana negara telah mengakui hujan hitam turun, kata laporan itu.

Pemerintah Jepang telah menetapkan batas wilayah panjang 19 kilometer [sekitar 12 mil] dan lebar 11 km [7 mil] yang membentang di barat laut hiposenter bom atom pada 6 Agustus 1945 sebagai zona di mana hujan hitam turun selama jam atau lebih.

Penduduk di daerah tersebut mendapatkan fasilitas pemeriksaan kesehatan gratis dan tunjangan medis jika menderita 11 penyakit tertentu yang disebabkan oleh efek radiasi, tambah laporan itu.

Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, sebelumnya berpendapat "perlu bukti yang sangat ilmiah untuk menentukan apakah penggugat berada di lingkungan yang terkena radiasi."

Namun, para pemohon menyatakan bahwa mereka hanya perlu membuktikan kemungkinan kerusakan kesehatan mereka yang disebabkan oleh radiasi, kata laporan Kyodo News.

70% kota Hiroshima hancur

Sudah 76 tahun sejak AS menjatuhkan bom atom di Hiroshima pada 6 Agustus dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945 selama Perang Dunia II di Pasifik.

Bom tersebut mengandung uranium yang diperkaya dan memiliki hasil ledakan 13 kiloton TNT.

Pemboman Hiroshima menghancurkan segalanya dalam jarak 1,5 kilometer [1 mil] dari ground zero dan menciptakan panas yang membakar 3.000 C [5.432 F] di pusatnya. Bom itu menghancurkan 70 persen Hiroshima, menewaskan 140.000 orang pada akhir 1945.

Banyak yang meninggal tanpa mendapatkan dukungan medis, mereka yang pergi ke kota untuk meminta bantuan meninggal karena hujan radioaktif.

Diketahui bahwa alasan Presiden AS saat itu Harry Truman memerintahkan penggunaan bom atom adalah untuk mengimbangi ancaman Soviet di Asia Timur dan Eropa Timur, serta untuk menunjukkan kekuatan kepada Uni Soviet.

Pada Juli 1945, AS, Inggris, dan China mengeluarkan Deklarasi Potsdam yang menuntut penyerahan Jepang. Tapi, Jepang menolak untuk melakukan ini tanpa syarat.

Pada awal Agustus, Jepang membuat tawaran "perdamaian yang dinegosiasikan" kepada negara-negara Sekutu tetapi tidak diterima. Hiroshima lalu dihancurkan dengan bom atom yang dijatuhkan pada 6 Agustus.

Dalam sebuah pesan pada 15 Agustus, Kaisar Hirohito dari Jepang menyatakan negaranya "menyerah tanpa syarat," menyatakan bahwa "perang akan menghancurkan rakyat Jepang."

Sementara Amerika mengumumkan bahwa korban tewas akibat bom atom adalah 117.000, Jepang mengatakan hampir setengah juta.

Korban selamat yang disebut "Hibakusha," menderita kanker, cacat, dan penyakit yang sulit diobati.

Hibakusha, yang jumlahnya kini telah berkurang, menyampaikan pesan kepada dunia untuk meninggalkan senjata nuklir dalam setiap konflik global dan kawasan

Bom atom, yang dianggap sebagai titik puncak perang, memaksa Jepang untuk menyerah dan menyebabkan titik balik dalam hubungan internasional.

AS dan Uni Soviet kemudian membangun fasilitas bom hidrogen yang lebih kuat dari bom nuklir yang telah mereka kembangkan pada rudal balistik antarbenua hingga tahun 1950.

Pemboman itu mengantarkan pada era penunjukan kemampuan kekuatan yang berlebihan, dan membuat bayangan terjadi perang nuklir dari tahun 1960 hingga 1990.

Selama Perang Dingin, dua kekuatan nuklir - AS dan Uni Soviet - tidak berani secara langsung menyatakan perang satu sama lain.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA [HAS]. Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.

Video

Bài mới nhất

Chủ Đề