Siapakah tokoh musik di Jawa Barat yang membuat angklung baru bertangga nada diatonis?

BANDUNG, [PR].- Hari ini, 16 November, diperingati sebagai Hari Angklung Sedunia. Keberadaan angklung di Indonesia tak lepas dari peran guru asal Garut, Daeng Soetigna. Daeng Soetigna adalah seorang guru yang terkenal setelah menciptakan angklung diatonis. Angklung sebelumnya merupakan alat musik bernada pentatonis.

Tangga nada pentatonis hanya terdiri dari lima nada. Biasanya digunakan untuk memainkan langgam tradisional Sunda dan Jawa. Sementara tangga nada diatonis terdiri dari tujuh nada yang berjarak satu dan setengah nada. Ini yang kita kenal dengan do re mi fa so la si do. Setelah penemuan Daeng itu, angklung bisa digunakan untuk memainkan berbagai macam lagu, termasuk lagu-lagu nasional dan internasional. Sebagai penghormatan bagi Daeng Soetigna, angklung bernada diatonis ini disebut Angklung Padaeng.

Daeng Soetigna lahir di Garut, 13 Mei 1908. Lahir di keluarga bangsawan Sunda, membuat Daeng berkesempatan menikmati pendidikan Belanda. Ia bersekolah di HIS Garut [1915-1921 lalu melanjutkan ke Sekolah Raja [Kweekschool] yang kemuudian bernama HIK [Hollands Islandsche Kweekschool di Bandung pada tahun 1922. Tahun 1955, Daeng dikirim ke Australia untuk mengikuti Teacher's College Australia.

Ia mengawali karier mengajarnya sebagai guru di Schakelschool Cianjur tahun 1928. Berlnjut menjadi guru di HIS di Kuningan yang kemudian berubah nama menjadi Sekolah Rakyat. Di sekolah ini, Daeng kemudian diangkat menjadi kepala sekolah.

Pada 1948, Daeng pindah ke Bandung dan menjabat sebagai kepala sekolah SD dan diperbantukan di Jawatan Kebudayaan Provinsi Jabar. Tahun 1956, sepulang dari Australia, Daeng diangkat menjadi konsultan pengajaran seni suara di SGA 2 Bandung, SGA Kristen Jakarta, SGA 1 Jogjakarta, SGA Balige dan SGA Ambon. Ia sempat menjabat sebagai Kepala Jawatan Kebudayaan Jawa Barat [1957] dan Kepala Konservatori Karawitan, Bandung [1960].

Ia mengakhiri tugasnya sebagai pegawai negeri sipil pada 1964. Daeng meninggal dunia pada 8 April 1984 di usianya ke-75.Pada 26 April 2013, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin memberikan hak kekayaan intelektual sebagai pencipta angklung.***

KABUPATEN GARUT, Jawa Barat

Angklung Diatonis merupakan perkembangan dari Angklung Buhun yang bertangga nada Pentatonis seperti Angklung Buncis, Angklung Baduy dan Angklung Gubrag yang sudah sejak lama terdapat di Tatar Sunda ini. Terciptanya Angklung Diatonis ini di pelopori oleh seorang putra dan ahli musik Tatar Sunda kelahiran Garut yaitu Bapak Daeng Soetigna [Alm]. la berguru kepada Bapak Jaya dad Kuningan, yaitu seorang ahli pembuat Angklung. Angklung adalah sejenis alat musik yang terbuat dari bahan bambu. Jenis bambu yang di pergunakannya adalah : Awi [bambu] Taman, Awi Wulung, Awi Belang, dan Awi Tali. Tetapi untuk Angklung yang lebih besar ada juga yang mempergunakan Awi Surat. Demikian sebagaimana tercantum dalam buku Daeng Soetigna bapak Angklung Indonesia tulisan Helius Sjamsudin dan Hidayat Winitasasmita yang di keluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Jakarta 1986. Waditra yang di pergunakannya terdiri: Angklung Melodi, yaitu nada­ nada Angklung yang fungsinya melantunkan melodi, yang terdiri atas: a] Melodi tidak bernomor, jumlahnya ada 11 yaitu : 5 nada dari to [tangga nada ] Oktaf Besar [Baskan] ditambah 6 nada dad to Oktaf Kecil [Diskan] [G - Gis - A - Ais - B - C - cis- d-dis-e-dan f ] . Angklung Melodi Besar ini tidak diberi nomor, cukup di bed nama nada mutlaknya pada masing-masing tabung nadanya yang letaknya vertical atau pada tabung dasarnya yang letaknya horizontal. Dengan demikian jelas bahwa pada Angklung Pa Daeng nada Angklung terendah adalah G dad tangga nada Oktaf Besar [Baskan]. b] Melodi Bernomor jumlahnya ada 31, mulai dad fis Oktaf kecil sampai dengan C". [c3]. Angklung Melodi Kecil ini di bed nomor dari nomor 0 = fis tadi sampai dengan nomor 30 = c3 dengan jarak 1/2 nada [kromatis]. Dengan demikiarf jelas pada Angklung Pa Daeng, luas oktaf dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi : 3 1/2 oktaf. 2. Angklung Akompanyemen, terdiri atas: a] Akompanyemen Mayor 12 buah dan Minor 10 buah yaitu - Akompanyemen Mayor terdiri dari A7 - Bes7 - B7 - C7 - Cis7 - D7 - Es7 - E7 - F7 - Fis7 - G7 - As7 - Akompanyemen Minor terdiri dari: Am - Besm - Bm - Cm - Cism - Dm - Em - Fm - Fism - Gm. b] Ko - Akompanyemen, jumlahnya sama dengan Akompanyemen, namun ukurannya Iebih kecil dari Akompanyemen. Fungsi Angklung Akompanyemen ialah sebagai pengiring seperti halnya Gitar. Pengiring yang memainkan Akor­akor sesuai kunci lagu atau seperti fungsi tangan kiri pada permainan Piano. Antara Akompanyemen dan Ko - Akompanyemen saling mengisi sebagai penguat dan ritmis yang membedakan jenis lagu yang di lantunkan seperti pada Keroncong, Cha-cha, Dangdut dan lain sebagainya. Nada-nada Angklung Melodi yang dipergunakan yakni dari yang paling rendah G sampai yang tertinggi C’’’ G Gis A Ais B c cis d dis e f fis 5 nada 6 nada dari oktaf besar dari oktaf kecil Tidak bernomor Daeng Soetigna tertarik oleh Angklung ketika is menonton seorang pemain Angklung keliling yang dapat menyajikan lagu sendirian dengan memainkan beberapa buah Angklung yang di gantungkan pada tanggungan Sundung. Karena saking tertariknya, is membeli Angklung yang di tontonnya tadi yang akan di jadikan alat untuk mempelajari lagu-lagu. Kemudian is menemui pembuat Angklung di Kuningan yang bernama Jaya. Mereka berdua secara bersama-sama membuat Angklung yang bertangga nada Diatonis. Bapak Daeng Soetigna semula mencobanya kepada para siswa yang tergabung dalam Kepanduan Indonesia di Kuningan. Dengan Angklung inilah Pak Daeng mulai membuat rombongan musik Angklung yang di awali dengan para pandu dari Kepanduan yang di pimpinnya di Kuningan. Selanjutnya is mengajar Angklung tersebut di Sekolah Dasar [H. I. S] yaitu kelas V dan kelas VI. Di samping itu di Bandung telah tersaksikan pula permainan Angklung Diatonis yang di mainkan oleh Pelajar Sekolah Rakyat [SR, sekarang SD] No.14 di Gedung Merdeka Bandung. Yang memimpin waktu itu adalah Bapak Oeteng Soetisna, Guru SR No. 14 yang kebetulan juga adalah adik dari Bapak Daeng Soetigna. Sebenarnya pada tahun 1938 Angklung telah di perkenalkan di Kota Bandung yang pada waktu itu dimainkan oleh 2 Regu Kepanduan dari Kuningan. Pertunjukkan Angklung ini di pentaskan pada Padvinders Rally yang di selenggarakan oleh P.O. P [Padvinders Organisatie Pasundan] dalam rangka Peringatan HUT Paguyuban Pasundan. Acara ini di hadiri oleh para tokoh Paguyuban Pasundan seperti : Bapak Otto Iskandardinata, Bapak Otto Subrata, Bapak Atik Suwardi, Ir. Djuanda, Prof. Ghazalli dan Mantan Menteri P dan K Sanusi Hardjadinata serta yang lainnya. Kegembiraan Pak Daeng yang di peroleh ketika berada di Bandung untuk mengenalkan Angklung pada kalangan yang Iebih luas, hilang seketika terhapus kesedihan yang menimpanya. Beberapa hari setelah tiba di Kuningan, Bapak Jaya guru Pak Daeng membuat Angklung meninggal dunia. Walau pun demikian, Pak Daeng tetap melanjutkan cita­citanya, dan dalam perkembangannya, Angklung merebak sampai ke sekolah-sekolah mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi di Bandung dan akhimya merebak serta berkembang sampai ke Mancanegara. Keberhasilan Bapak Daeng Soetigna dalam mewujudkan harapannya tersirat dalam pitutur lima M, yaitu : Mudah, Murah, Menarik, Mendidik dan Massal Dan pada tanggal 23 Agustus 1963, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menetapkan Angklung sebagai salah satu alat pendidikan musik di sekolah [SK No. 082 I 1968 tertanggal 23 Agustus 1963]. Pertunjukkan Angklung Diatonis semula hanya sebagai pengiring nyanyian, namun dalam perkembangannya menjadi suatu pertunjukkan tersendiri, baik pertunjukkan di daerah sendiri, nasional mau pun internasional. Ketika memasuki masa-masa pendudukan Jepang tahun 1944, lagu-lagu yang berbahasa Indonesia, di tambah pula dengan lagu-lagu berbahasa Jepang. Pada tahun 1947 yaitu ketika pelantikan Wali Nagara Pasundan, rombongan Angklung Daeng Soetigna mulai memperkenalkan musik Angklung murni tanpa nyanyian. Lagu yang di sajikannya yaitu "An der shonen Blauer Donau", dan pada keesokan harinya lagu tersebut Iangsung di siarkan di Studio Radio NIROM. Untuk pertama kalinya Angklung Diatonis ini dipentaskan secara massal pada PON ke-6 di Lapangan Siliwangi Bandung yang di mainkan oleh 1000 orang pemain Angklung, kemudian dilanjutkan pada Pekan Olahraga Internasional seperti Asian Games dan Ganefo dengan menampilkan 300 orang pemain Angklung. Berhubung pada saat itu Bandung merupakan Kota Konferensi. maka pada tsaat malam keseniannya, rombongan Angklung Daeng Soetigna tidak pernah terlewatkan untuk menampilkan permainan Angklungnya. Sementara itu Repertoir yang berasal dari negara asing makin bertambah. Pertunjukkan Angklung Diatonis mengalami perkembangan yaitu dengan penambahan acara belajar memainkan Angklung di kalangan para penonton., Setelah selesai petunjukkan, para pemain Angklung Iangsung membagikan Angklungnya kepada para penontonnya. Sedangkan Pak Daeng sendiri memberikan petunjuk bagaimana cara memainkan Angklung secara bersama-sama dengan melihat Partitur yang sudah terpampang di depan para penonton. Setelah dilatih dalam jangka waktu yang relatif sebentar, para tamu sudah dapat mengalunkan satu atau dua buah lagu. Pertunjukkan secara mendadak ini semakin memeriahkan suasana dan menambah citra sikap keramah tamahan Bangsa Indonesia di muka dunia. Semenjak perkembangannya tersebut, Pak Daeng tidak lupa membentuk para kadernya dan sejak tahun 1950-an sudah ada asisten yang merupakan muridnya sendiri yaitu Bapak Udjo dan Bapak Yaya Erawan yang di susul kemudian oleh beberapa Pemuda yang merupakan penerusnya seperti Moh. Hidayat Winitasasmita, Agam Ngadimin, Sanu'l Edia, Opan Sopandi, Erwin Anwar, Obby A. Wiramihardja dan yang paling tekun di antara murid­murid Pak Daeng adalah Permadi dan Handiman. Serta tak lupa pula penerus sebagai pembuat Angklung seperti Pak Adis dan Pak Satiamihardja Dari sederetan para penerus tersebut, Bapak Udjo merupakan orang yang tertua dan sudah membuktikan diri dengan mengelola "Saung Angklung Udjo Ngalagena". Kesenian Angklung ini sudah lama menjadi andalan Tujuan Wisata Budaya Jawa Barat dan sudah di siapkan pula para penerus muda andalannya. Penerus Angklung Diatonis yang termuda yaitu Obby A. Wiramihardja yang sering tampil untuk memimpin musik Angklung sampai ke Mancanegara serta masih aktif melatih dan bahkan pada tahun 2000 is pernah mengadakan penataran Angklung Diatonis bekerja sama dengan Yapari Bandung. Juga memimpin Lembaga Masyarakat Musik Angklung [MMA] yang di harapkan akan menjadi wahana pelestarian dan pengembangan Seni Angklung Diatonis. Sebelum MMA didirikan telah berdiri organisasi pendahulunya yaitu Badan Koordinasi Musik Angklung Jawa Barat [BKMAJB] yang dipimpin oleh Drs. Dana Setia dan is telah berperan dalam upaya merentangkan benang merah untuk kelanjutan Musik Angklung Diatonis sepanjang masa. Ternyata permainan musik Angklung Diatonis itu berkembang pesat sehingga sering kali diundang main, selain di Kuningan dan Cirebon namun pertunjukannya hingga ke Garut. Salah satu puncak permainan Angklung Daeng adalah pada waktu pertunjukan setelah selesai Persetujuan Linggarjati pada bulan Nopember 1946. Semua peserta konfrensi kagum dengan acara itu. Pertunjukan Angklung itu telah turut mencairkan spasana yang kaku dan tegang setelah perundingan Linggarjati selesai. Kemudian setelah itu rombongan Angklung Daeng di undang main di Istana Negara Jakarta dan dijemput oleh St. Sjahrir. Sebagai hadiah, St. Sjahrir memberikan sebuah String Bass sebagai pengganti yang lama karena rusak. Bahkan ketika Presiden Soekarno dan rombongan berkunjung ke Kuningan dan melihat kelas-kelas SMP Kuningan, beliau sempat mengucapkan terima kasih kepada rombongan Angklung Daeng yang telah ikut memeriahkan beberapa acara kenegaraan. Bertepatan dengan mulainya Daeng Soetigna pensiun sebagi pegawai negeri, pada tahun 1964 Angklung Diatonis berkesempatan diperkenalkan ke beberapa negara dengan mengadakan pertunjukkan di Manila, Hongkong, Tokyo, Honolulu, san Francisco, New York, Paris, Negeri Belanda, Cairo, Karachi dan Bombay. Pada tahun 1967, angklung berkesempatan dipertunjukkan di kota-kota Kuala Lumpur, Johor Baru, Malaka, Alor Star, lpoh, Kiantan, Kuala Trenggano, Kota Baru dan Port Dicksons. Dalam rangka pengenalan Angklung Diatonis di negeri sendiri, pada tahun 1968 Pa Daeng pernah mengadakan Ceramah Peragaan Angklung kepada Utusan Perwakilan Asing di Baliroom Hotel Indonesia, Jakarta. Pada Peragaannya dipertanjukkan oleh rombongan Guriang dengan Dirigen Sanui Edia. S. Pada tahun 1973, atas permintaan Pemerintah Malaysia, untuk kedua kalinya mengadakan pertunjukkan-pertunjukkan amal demi kepentingan National Heroes Welfare Trust Fund, dalam rangka mencari dana untuk korban-korban terror Komunis. Kini di tiap KBRI dan Konsulat R.I, akan kita temukan seperangkat Angklung Diatonis. Namun tidak diketahui seberapa jauh intensitas pemanfaatan Angklung tersebut. Dari murid Pa Daeng, yang paling lama mengajarkan Angklung di mancanagara, adalah Opan Sopandi. Di Konsulat R.I. di Hongkong dari tahun 1973 sampai tahun 1991. lalu di KBRI di Beijingdari tahun 1991 sampai 1997. Murid lain yang pemah diutus khusus oleh Menlu Muchtar Kusumaatmadja adalah Udjo Ngalagena, untuk mengenalkan Angklung di Negara Papua New Guinea. Selanjutnya Erwin Anwar di Negeri Belanda yang diutus oleh Gubernur Jabar, Aang Kunaefi. Di Bandung sendiri telah dipagelarkan Angklung masal, 1000 pemain pada peringatan Konferensi Asia Afrika pada tahun 1980 dan tahun 1985. Tentu banyak tamu negara Asing yang menyaksikannya. Diharapkan ada dampaknya yang positif yang perlu disambung dengan upaya lainnya dalam rangka meng-globalkan Seni Budaya Sunda, yang tentu akan berdampak positif terhadap berbagai segi.

Destinasi lain di Kawasan Jawa Barat

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề