Siapakah yang berjasa dalam menyebarkan agama islam?

KOMPAS.com - Di Pulau Jawa, Islam disebarkan dan berkembang pesat berkat peran Wali Songo.

Meski sembilan wali tersebut tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, tetapi mereka memiliki keterkaitan darah ataupun hubungan guru-murid yang erat.

Wali Songo tinggal di Pantai Utara Jawa dari awal abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-16 di tiga wilayah penting, yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.

Masing-masing wali mempunyai peran unik dalam memperkenalkan Islam dan wilayah persebaran yang berbeda.

Berikut ini tabel nama-nama Wali Songo beserta wilayah persebarannya.

Nama Wali Songo Wilayah penyebaran
Sunan Gresik Gresik
Sunan Ampel Surabaya
Sunan Giri Gresik
Sunan Bonang Tuban, Rembang, Pulau Bawean, Madura
Sunan Drajat Lamongan
Sunan Kalijaga Cirebon
Sunan Muria Kudus, Jepara, Pati
Sunan Kudus Kudus
Sunan Gunung Jati Cirebon, Priangan

Baca juga: Wali Songo: Penyebar Islam di Tanah Jawa

Sunan Gresik

Sunan Gresik disebut sebagai anggota Wali Songo sekaligus tokoh sentral penyebar agama Islam di Pulau Jawa.

Lahir di Samarkand, Asia Tengah, ia kemudian datang ke Pulau Jawa dan mendarat pertama kali di Desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, Kota Gresik.

Selesai membangun dan menata pondok tempat belajar agama Islam di Leran, Sunan Gresik wafat pada 1419.

Makamnya kini terdapat di Kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.

Sunan Ampel

Sunan Ampel adalah putra Sunan Gresik yang memulai menyebarkan Islam dengan membuka pondok pesantren di Ampeldenta, Surabaya.

Di tempat inilah ia mendidik para pemuda untuk kemudian menyebarkan Islam ke berbagai tempat di seluruh Pulau Jawa.

Semasa hidupnya, Sunan Ampel juga berjasa dalam mendirikan Masjid Agung Demak dan mengangkat Raden Patah sebagai sultannya yang pertama.

Sunan Giri

Sunan Giri lahir di Blambangan, Banyuwangi, dan menjadi seorang Wali Songo yang berkedudukan di Desa Giri, Kebomas, Gresik.

Pada sekitar 1487, ia mendirikan sebuah pesantren di perbukitan Desa Sidomukti, Kebomas.

Pesantrennya kemudian berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton.

Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri kemudian bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak.

Baca juga: Moh Limo, Ajaran Dakwah Sunan Ampel

Sunan Bonang

Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel yang pernah memperkuat pelajaran agama Islam hingga ke tanah seberang, yaitu negeri Pasai.

Bersama Sunan Giri, ia belajar pada sejumlah ulama besar yang banyak menetap dan mengajar di Pasai.

Setelah kembali ke Jawa, Sunan Bonang diperintah oleh sang ayah untuk berdakwah di daerah Tuban, Rembang, Pulau Bawean, dan Madura.

Sunan Drajat

Sunan Drajat adalah adik Sunan Bonang yang kemudian diperintah untuk berdakwah di Lamongan.

Sesampainya di Desa Jelag, Kecamatan Paciran, ia lantas mendirikan pesantren. Empat tahun kemudian, Sunan Drajat mendapatkan wahyu untuk membangun tempat berdakwah di Dalem Duwur.

Di bukit itulah saat ini dibangun Museum Sunan Drajat.

Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga sempat menyaksikan masa akhir Kerajaan Majapahit, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, Banten, dan Kerajaan Pajang.

Ia adalah murid Sunan Bonang yang memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Wilayah penyebarannya adalah di Cirebon, kemudian setelah wafat Sunan Kalijaga dimakamkan di Desa kadilangu, dekat Demak.

Baca juga: Sunan Kalijaga, Berdakwah Lewat Wayang

Sunan Muria

Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga yang ketika kecil bernama Raden Prawoto.

Sedangkan nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya, yakni di lereng Gunung Muria, sebelah utara Kota Kudus.

Sepanjang hidupnya, Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana, hingga sekitar Kudus dan Pati.

Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah murid Sunan Kalijaga yang juga meniru pendekatan dakwahnya, yakni sangat toleran pada budaya setempat.

Wilayah dakwahnya adalah di Kudus, kemudian juga sempat berkelana ke Sragen dan Gunung Kidul.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu-Buddha, hal ini terlihat pada arsitektur Masjid Kudus.

Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati adalah pendiri Kesultanan Cirebon yang mendalami ilmu agama sejak 14 tahun dari para ulama Mesir.

Dari pihak ibu, ia memiliki ikatan darah dengan penguasa Pajajaran.

Sunan Gunung Jati kemudian memanfaatkan pengaruhnya itu untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.

Referensi:

  • Restianti, Hetti. [2013]. Mengenal Wali Songo. Bandung: TITIAN ILMU.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

sastra dan falsafah turut pula diajarkan sebagai sarana penanaman nilai-nilai Islam

Kamis , 13 Dec 2018, 05:01 WIB

dokrep

Ribuan umat Islam melaksanakan Salat Idul Fitri di Lapangan Gasibu, Bandung, Jawa Barat, Kamis [8/8].

Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Prof DR Abdul Hadi WM, Sastrawan dan Guru Besar Universitas Paramadina JakartaAgama Islam telah hadir di Nusantara selambat-lambatnya pada abad ke-8 atau 9 M bersamaan dengan waktu ramainya kegiatan perdagangan internasional yang dilakukan bangsa Aran, Turki, Persia dan Indo-Muslim di Asia Tenggara. Tetapi sampai abad ke-12 M agama ini berkembang lambat dan penganutya terbatas di kota-kota pesisir yang biasa disinggahi kapal-kapal dagang Muslim itu. Karena itu pengaruhnya tidak cukup berarti bagi masyarakat Melayu, penduduk Nusantara pertama yang memeluk agama ini secara massal dan mengembangkan peradaban baru berdasarkan agama ini.Pengaruh kehadiran agama ini mulai tampak pada abad ke-13 – 15 M setelah berdirinya dua kerajaan besar Islam Samudra Pasai [1270-1524] dan Malaka [1400-1511], serta hadirnya para sufi pengembara dan guru-guru agama yang tampil sebagai pendakwah ulung. Kehadiran agama ini pada-abad tersebut, terlebih pada abad-abad berikutnya, ternyata memberi dampak besar dan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan besar dan mendasar dalam kehidupan bangsa Melayu. Perubahan tersebut tidak hanya berlaku dalam sistem kepercayaan dan peribadatan, tetapi juga dalam tatanan sosial, sistem pemerintahan dan kehidupan intelektual.  Tumbuh pesatnya jumlah penganut agama ini di kepulauan Melayu dan berrdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang awal itu memungkinkan lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebar luas. Dengan begitu tradisi baca tulis dan keterpelajaran berkembang luuas diikuti oleh maraknya kegiatan penulisan kitab-kitab keagamaan, keilmuan dan sastra.Karena watak ajarannya yang egaliter dan populis, serta mudah dipahami, membuat semua lapisan masyarakat tertarik untuk memeluk agama ini. Apalagi setelah disampaikan oleh para pendakwah yang piawai melalui bahasa yang sederhana. Diperkuat lagi dengan corak penyebarannya yang mengikuti aktivitas pelayaran dan perdagangan antar pulau, serta pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa penyebarannya [Braginsky 1998]. Sebagai agama kitab, Islam menganjurkan kepada para penganutnya agar belajar membaca dan menulis. Dengan demikian mereka dapat membaca dan memahami isi kitab suci al-Qur’an dan ilmu-ilmu Islam lain yang diturunkan darinya. Dibukanya lembaga-lembaga pendidikan memungkinkan penggunaan huruf Arab berkembang. Sejak masa inilah penulis-penulis Melayu menggunakan aksara Jawi atau Arab Melayu dalam menulis kitab atau risalah di dalam bahasa mereka [M. Naquib al-Atttas 1972; Mohd. Taib Osman 1974; Ismail Hamid 1984].Pusat-pusat penyebaran agama Islam di Nusantara berada di tiga titik sentral yaitu istana, pesantren dan pasar. Di tiga titik sentral penyebaran Islam ini pulalah sastra Melayu baru yang ditulis menggunakan huruf Jawi dilahirkan. Sebagai bagian dari kehidupan intelektual dan keagamaan, karya-karya penulis Melayu itu dengan sendirinya mencerminkan kecenderungan pemikiran dan wawasan budaya yang berkembang pada zaman karya-karya itu ditulis. Karena masing-masing pusat kegiatan penulisan ini memiliki kepentingan, kecenderungan dan wawasan budaya yang berbeda sesuai dengan peran masing-masing dalam penyebaran Islam, maka lahir pulalah dari masing-masing pusat kegiatan penulisan tersebut jenis, bentuk dan ragam sastra yang berbeda-beda. Dengan lahirnya jenis dan ragam sastra yang berbeda-beda itu maka hadirnya Islam menyebabkan sastra tulis Melayu mengalami pengayaan melampaui zaman sebelumnya ketika pusat kegiatan penulisan terbatas di istana dan vihara, sedangkan masyarakat luas di sekitarnya hidup dengan sastra lisan.

 Islam dan Kegiatan Perdagangan

Ada beberapa teori yang berbeda tentang dari negeri mana Islam yang berkembang di kepulauan Nusantara datang dan faktor-faktor apa saja yang mendorong pesatnya agama ini berkembang pada abad ke-13 – 17 M. Teori yang awal sekali muncul berasal dari Moquette [1912]. Menurutnya Islam yang berkembang di kepulauan Nusantara bercorak India karena Islam memang datang dari Gujarat dibawa oleh pedagang-pedagang India. Teori yang diikuti oleh banyak sarjana Barat dan Indonesia di kemudian hari ini didasarkan pada penemuan batu nisan makam Islam abad ke-13 di Pasai yang bentuknya mirip dengan batu nisan sezaman  yang dijumpai di Cambay, Gujarat. Tetapi teori ini dibantah oleh  M. Naquib al-Attas [1972:33-4] yang berpendapat bahwa dasar-dasar teori yang dikemukakan Moquette dan para pendukung teorinya itu sangat lemah.Menurut al-Attas batu-batu nisan itu didatangkan dari Cambay semata-mata karena letak negeri itu lebih dekat ke Sumatra dibanding dibawa dari negeri Arab dan Persia. Batu nisan itu bisa saja dibuat oleh pengrajin Arab atau Persia mengikut model yang telah berkembang di Asia Tengah dan Asia Barat. Yang penting untuk dijadikan dasar pembuktian bukan bentuk nisan itu semata-mata, tetapi corak dari kandungan teks keagamaan yang dinukilkan pada batu nisan itu yang sepenuhnya berciri Islam. Berdasarkan hujahnya ini al-Attas mengemukakan bahwa agama Islam yang hadir di kepulauan Nusantara berasal dari Arab atau Persia, dibawa oleh para pendakwah Islam bersama-sama para saudagar. Gujarat, Koromandel  dan Malabar di India, atau Koromandel dan hanya tempat persinggahan sementara sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Nusantara.Sarjana Melayu itu lebih lanjut mengatakan bahwa  bukti paling kuat berkenaan dari mana Islam datang, dan siapa yang memainkan peranan penting, ialah dengan melihat watak, corak dan ciri umum Islam yang berkembang di Nusantara, bukan bentuk-bentuk artefak. Untuk mengetahuinya seseorang harus meneliti sastra Melayu dan pemikiran keagamaan yang dominan. Bahwa Islam yang dianut sebagian besar penduduk Nusantara adalah madzab Syafii dengan kecenderungan sufistik yang kuat, menunjukkan bahwa Islam yang tiba di Nusantara dari Yaman. Ada pun tradisi sastra yang dikembangkan terutama bersumber dari khazanah sastra Persia.

Ibn Batutah yang berkunjung ke Samudra Pasai pada tahun 1345-6 dalam kitabnya Rihlah melaporkan bahwa sultan yang memerintah negeri adalah seorang yang saleh dan gemar berdiskusi denan para ulama madzab Syafii, ahli-ahli tasawuf dan para cendikiawan dari Persia. Setiap hari Jum’at sultan berjalan kaki ke masjid seperti orang biasan dan disana bertemu serta berbincang dengan orang banyak” [Gibb 1957:273-6].

Minat dan kecenderungan pada tasawuf juga tampak pada inskripsi pada batu nisan makam Islam di Pasai dan Malaka abad ke-13 – 15 M, serta tempat-tempat lain di Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selain menampilkan nukilan-nukilan ayat-ayat sufistik al-Qur’an, nukilan yang banyak ditemui dalam inskripsi Pasai dan Malaka ialah petikan sajak Sayidina Ali. Inskripsi paling tua yang memuat petikan sajak sufistik Sayidina Ali ialah tulisan pada makam Sultan Malik al-Saleh pendiri kerajaan Samudra Pasai yang wafat pada tahun 1297 M.  Inskripsi yang unik terdapat pada batu nisan makam seorang putri saudagar Pasai yaitu Naina Husamuddin yang wafat pada tahun 1420. Di situ tertulis petikan dua sajak Sa`di al-Syirazi, penyair sufi Persia abad ke-13, dalam bahasa Persia [Othman Mohd. Yatim 1990:16; Ibrahim Alfian 1991].Pandangan yang sejalan dengan teori Moquette ialah teori yang mengemukakan bahwa pesatnya perkembangan agama Islam terutama sekali disebabkan faktor-faktor perdagangan.  Teori ini dikemukakan antara lain oleh Windstedy [1935], Kern [1937], Bonsquet [1938], Gonda [1952], dan terutama sekali oleh van Leur [1955:100-6] dan Schrieke [1955]. Dasarnya ialah kenyataan bahwa pesatnya perkembangan Islam di kepulauan Nusantara bersamaan dengan ramainya kegiatan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan orang-orang Arab, Turki, Persia dan Indo-Persia. 

  • kazanah islam
  • islam jawa
  • budaya islam

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề