Tata cara shalat rawatib yang benar ditunjukkan oleh pernyataan

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab a, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah ` bersabda,“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” [H.R. Bukhari, no.1 dan Muslim, no.1907]

Definisi Niat

Niat secara bahasa berarti al-qashd [keinginan]. Sedangkan niat secara istilah syar’i, yang dimaksud adalah berazam [bertedak] mengerjakan suatu ibadah ikhlas karena Allah, letak niat dalam batin [hati].

Al-Fadhl bin Ziyad v berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abu Abdullah -yakni Ahmad- tentang niat dalam beramal. Aku bertanya, ‘Apakah niat itu?’ Beliau menjawab, ‘Seseorang mengendalikan dirinya ketika hendak beramal agar tidak menginginkan pujian manusia.’” [Kitab Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam I/26].

Niat Letaknya Di Hati

Niat itu berarti bermaksud dan berkehendak. Letak niat adalah di dalam hati. Ibnu Taimiyah v mengatakan,“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.” [Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v menjelaskan, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.” [Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262]

Perlukah Melafalkan Niat?

Melafalkan niat tidak ada asalnya [tidak memiliki landasan] dalam agama Islam. Akan tetapi, hanya merupakan salah paham beberapa orang dari perkataan Imam Syafi’i ketika beliau mengatakan bahwa seseorang tidak sah [untuk] melakukan shalat kecuali harus dengan ucapan. Maksud dari ucapan beliau adalah ucapan takbiratul ihram, tetapi mereka menafsirkan dengan tafsir yang salah, yaitu melafalkan niat. Sebagai bukti maksud perkataan Imam Syafi’i adalah takbiratul ihram dan bukan melafalkan niat adalah sebagai berikut,

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Imam Syafi’i sendiri langsung membahas masalah takbiratul ihram. Kemudian tidak ada satu pun hadits yang shahih tentang melafalkan niat. Bahkan, tidak ada hadits yang lemah sekalipun tentang hal itu. Juga melafalkan niat tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah, para sahabatnya, para tabi’in, dan empat imam mazhab sekalipun. Orang-orang yang mengajarkan supaya melafalkan niat, ternyata berbeda-beda dalam lafalnya, padahal mereka semua mengaku bermadzhab Syafi’i. Ini menunjukkan bahwa imam mereka memang tidak pernah mengatakan hal ini dan mereka hanya membuat-buat tanpa dasar [hanya berdasarkan akal mereka].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v berkata, “Sebagian pengikut Imam Syafi’i telah salah memahami perkataan Imam Syafi’i ketika beliau menyebutkan perbedaan antara shalat dan ihram. Dalam penjelasannya itu Imam Syafi’I mengatakan, “…shalat permulaannya adalah ucapan.” Sebagian pengikutnya itu memahami bahwa yang beliau maksudkan adalah mengucapkan niat, padahal yang beliau maksudkan tidak lain adalah takbiratul ihram.” [Kitab Majmu’ Al-Fatawa XVIII/362].

Macam-Macam Niat

Niat ada dua macam: [1] niat pada siapakah ditujukan amalan tersebut [al-ma’mul lahu], [2] niat amalan. Niat jenis pertama adalah niat yang ditujukan untuk mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat. Inilah yang dimaksud dengan niat yang ikhlas. Sedangkan niat amalan itu ada dua fungsi:

Fungsi pertama adalah untuk membedakan manakah adat [kebiasaan], manakah ibadah. Misalnya adalah puasa. Puasa berarti meninggalkan makan, minum dan pembatal lainnya. Namun terkadang seseorang meninggalkan makan dan minum karena kebiasaan, tanpa ada niat mendekatkan diri pada Allah. Terkadang pula maksudnya adalah ibadah. Oleh karena itu, kedua hal ini perlu dibedakan dengan niat.

Fungsi kedua adalah untuk membedakan satu ibadah dan ibadah lainnya. Ada ibadah yang hukumnya fardhu ‘ain, ada yang fardhu kifayah, ada yang termasuk rawatib, ada yang niatnya witir, ada yang niatnya sekedar shalat sunnah saja [shalat sunnah mutlak]. Semuanya ini dibedakan dengan niat.

Ikhlash Syarat Diterimanya Amal

Al-Fudhail bin ‘Iyadh v menafsirkan firman Allah ` yang artinya, “…untuk menguji siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.” [Q.S. al-Mulk [67]: 2]

Beliau berkata, “Yakni, yang paling ikhlas dan paling benar dan [sesuai tuntunan Allah]. Sesungguhnya amal itu apabila ikhlas tapi tidak benar maka tidak akan diterima; dan apabila benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima. Jadi harus ikhlas dan benar. Suatu amalan dikatakan ikhlas apabila dilakukan karena Allah, dan yang benar itu apabila sesuai Sunnah Rasulullah.” [Kitab Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam I/36].

Hadirkan Niat Ikhlash Saat Beramal

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin v berkata, “Dan wajib atas seseorang mengikhlaskan niat kepada Allah dalam seluruh ibadahnya dan hendaklah meniatkan ibadahnya semata-mata untuk mengharap wajah Allah dan negeri akhirat. Inilah yang diperintahkan oleh Allah ldalam firman-Nya, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” [Q.S. al-Bayyinah [98]: 5]

Yakni, mengikhlaskan niat setiap amalan hanya kepada-Nya. Hendaknya kita menghadirkan niat dalam semua ibadah, misalnya ketika wudhu; kita niatkan berwudhu karena Allah l dan untuk melaksanakan perintah Allah l. Tiga perkara berikut [yang harus dihadirkan dalam niat]: [1]. Berniat untuk beribadah, [2]. Berniat beribadah tersebut karena Allah semata, dan [3]. Berniat bahwa ia menunaikannya demi melaksanakan perintah Allah.” [Kitab Syarah Riyadhus Shalihin I/10].

Pahala Amalan Bergantung Pada Niat

Rasulullah ` bersabda, “Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat.” Imam An-Nawawi berkata, “Jumhur ulama berkata, ‘Menurut ahli bahasa, ahli ushul dan yang lain lafadz إِنَّمَا digunakan untuk membatasi, yaitu menetapkan sesuatu yang disebutkan dan menafikan selainnya. Jadi, makna hadits di atas adalah bahwa amalan seseorang akan dihisab [diperhitungkan] berdasarkan niatnya dan suatu amalan tidak akan dihisab bila tidak disertai niat.” [Kitab Syarah Shahih Muslim XIII/47].

Abdullah bin al-Mubarak v berkata, “Bisa jadi amal shalih yang kecil dibesarkan nilainya oleh niat, dan bisa jadi amal shalih yang besar dikecilkan nilainya karena niat pula.” [Kitab Jami’ al-‘Ulum Wa al-Hikam 1/35].

Berniat Tapi Terhalang

Orang yang berniat melakukan amalan shalih namun terhalang melakukannya bisa dibagi menjadi dua: Pertama, amalan yang dilakukan sudah menjadi kebiasaan atau rutinitas [rajin untuk dijaga]. Lalu amalan ini ditinggalkan karena ada uzur, maka orang seperti ini dicatat mendapat pahala amalan tersebut secara sempurna. Sebagaimana Nabi ` bersabda, “Jika salah seorang sakit atau bersafar, maka ia dicatat mendapat pahala seperti ketika ia dalam keadaan mukim [tidak bersafar] atau ketika sehat.” [H.R. Bukhari,no.2996]. Kedua,  jika amalan tersebut bukan menjadi kebiasaan, maka jika sudah berniat mengamalkannya namun terhalang, akan diperoleh pahala niatnya [saja].

Dalilnya adalah seperti hadits yang kita bahas kali ini. Begitu pula hadits  mengenai seseorang yang  diberikan harta lantas ia gunakan dalam hal kebaikan, di mana ada seorang miskin yang berkeinginan yang sama jika ia diberi harta. Orang miskin ini berkata bahwa jika ia diberi harta seperti si fulan, maka ia akan beramal baik semisal dia. Maka Nabi ` bersabda, “Ia sesuai niatannya dan akan sama dalam pahala niatnya.” [H.R. Tirmidzi no.2325. Syaikh  al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih].  [Lihat pembahasan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 1:36-37].

Musta’in Billah

Mahasiswa Ilmu Kimia FMIPA UII

Referensi

Jami’ Al ‘Ulum Wal Hikam, karya Al-Hafizh Ibnu Rajab [736-395 H.], Tahqiq Syaikh Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, Cet. ke-1 Th. 1415 H./1995 M., Dar Ibnul Jauzi, Dammam – KSA.

Majmu’ Al-Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [661-728 H.], dikumpulkan dan disusun oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim An-Najdi dibantu oleh anaknya, Muhammad.

Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Syaikhul Islam Ahmad bin Taimiyah Al-Harrani. Penerbit Dar Al-Wafa’.

Syarah Riyadhus Shalihin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Cet. ke-1 Th. 1415 H./1995 M., Dar Al-Wathan, Riyadh – KSA.

Syarah Shahih Muslim, karya Imam An-Nawawi [607 H.], Cet. ke-1 Th. 1415 H./1995 M., Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut – Lebanon.

tirto.id - Sholat sunah rawatib dapat dibagi menjadi salat qobliyah [sebelum salat wajib] dan bakdiyah [sesudah], juga muakkad dan ghoiru muakkad.Salat sunah rawatib adalah salat sunah yang mengiringi salat fardu. Salat sunah rawatib yang dikerjakan sebelum salat wajib disebut salat qobliyah, sedangkan salat sunah rawatib yang dilakukan setelah salat wajib disebut salat bakdiyah.Salat sunah rawatib berfungsi sebagai penyempurna jika terjadi kekurangan dalam salat fardu seseorang. Salat fardu sendiri hukumnya wajib bagi muslim. Salat fardu ini pula yang menjadi amalan pertama yang dihisab dalam Hari Perhitungan. Oleh karenanya, menunaikan salat sunah rawatib sangat dianjurkan.
Diriwayatkan, Nabi Muhammad saw. bersabda, "Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat adalah shalat fardu. Itu pun jika sang hamba menyempurnakannya. Jika tidak, maka disampaikan, “Lihatlah oleh kalian, apakah hamba itu memiliki amalan [salat] sunah?” Jika memiliki amalan salat sunah, sempurnakan amalan salat fardu dengan amal salat sunahnya. Kemudian, perlakukanlah amal-amal fardu lainnya seperti [dalam kasus salat] tadi." [H.R. Ibnu Majah].

Jumlah Rakaat Salat Sunah Rawatib

Salat sunah rawatib dalam sehari semalam total terdiri dari 22 rakaat, yang terbagi ke dalam lima waktu salat fardu.

Syekh Zainuddin Al-Malibary dalam Fathul Muin Syarh Qurrotil ‘Ain bi Muhimmatid-Din [hlm. 158--159] menyebutkan, "Disunahkan salat sunah 4 rakaat sebelum salat asar, 4 rakaat sebelum zuhur dan setelahnya, 2 rakaat setelah magrib dan disunahkan menyambung 2 rakaat ba’diyah magrib dengan salat fardu, dan tidak hilang keutamaan menyambung 2 rakaat ba’diyah magrib sebab melakukan zikir ma’tsur setelah salat fardu."

"Kemudian setelah isya 2 rakaat yang ringan, begitu juga 2 rakaat sebelum salat isya jika tidak sibuk menjawab azan. Apabila di antara azan dan iqamat ada waktu luang untuk mengerjakan 2 rakaat sebelum isya, maka dapat dikerjakan. Jika tidak, maka diakhirkan [setelah salat isya], dan dua rakaat sebelum subuh."

Salat Rawatib Muakkad dan Ghairu Muakkad


Jika dirinci lebih rinci lagi, dikutip dari artikel "Keutamaan Shalat Sunnah Rawatib" dalam laman NU Online, salat sunah rawatib dapat dbagi menjadi dua jenis, berdasarkan seringnya Nabi Muhammad mengerjakan salat tersebut.Salat sunah rawatib jenis pertama adalah salat rawatib muakkad, yang selalu dikerjakan Rasulullah. Salat rawatib jenis ini totalnya ada 10 atau 12 rakaat, yaitu 2 rakaat sebelum subuh, 2 atau 4 rakaat sebelum zuhur, 2 rakaat setelah zuhur, 2 rakaat setelah magrib, dan 2 rakaat setelah isya. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia mengingat Nabi Muhammad saw. salat 10 rakaat, dengan rincian 2 rakaat sebelum salat zuhur dan 2 rakaat sesudahnya, 2 rakaat sesudah salat Magrib di rumahnya, 2 rakaat sesudah salat Isya di rumahnya, dan 2 rakaat sebelum salat Subuh.” [H.R. al-Bukhari]Terkait jumlah rakaat sebelum zuhur, ada riwayat dari Aisyah bahwa jumlahnya 4 rakaat, "Nabi saw tidak pernah meninggalkan 4 rakaat sebelum salat zuhur dan 2 rakaat sebelum salat subuh.” [H.R. al-Bukhari]Dalam riwayat lain, dari Ummi Habibah, ia mendengar Nabi bersabda, "Barangsiapa yang salat [sunah rawatib] 12 rakaat dalam sehari semalam, niscaya dibuatkan bagi mereka sebuah rumah di surga.” [H.R. Muslim].

Sedangkan salat sunah rawatib jenis kedua, ghairu muakkad. Salat ini tidak selalu dikerjakan oleh Nabi Muhammad, kadang dikerjakan, kadang tidak. Salat rawatib jenis ini adalah tambahan 2 rakaat setelah zuhur, 4 rakaat sebelum asar, 2 rakaat sebelum magrib, dan 2 rakaat sebelum isya.

Rincian jumlah rakaat salat sunah rawatib adalah sebagai berikut.
Salat Muakkad Ghoiru Muakkad
Subuh 2 rakaat qobliyah
Zuhur 4 atau 2 rakaat qobliyah,
2 rakaat bakdiyah
2 rakaat bakdiyah
Asar 4 rakaat qobliyah
Magrib 2 rakaat bakdiyah 2 rakaat qobliyah
Isya 2 rakaat bakdiyah 2 rakaat qobliyah

Niat Salat Sunah Rawatib

Berikut ini adalah daftar bacaan niat salat sunah rawatib dua rakaat berdasarkan salat fardu yang diiringinya.

Niat Salat Rawatib Sebelum Salat Subuh

اُصَلِّى سُنَّةَ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ قَبْلِيَّةً مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ ِللهِ تَعَالَى

Usholli Sunnatash Subhi Rok’ataini Qobliyatan Mustaqbilal Qiblati Lillahi Ta’ala

Artinya, "Aku niat mengerjakan salat sunah sebelum subuh 2 rakaat, menghadap kiblat karena Allah Ta’ala."


Niat Salat Rawatib Sebelum Duhur

اُصَلِّى سُنَّةً الظُّهْرِرَكْعَتَيْنِ قَبْلِيَّةً مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ ِللهِ تَعَالَى

Ushalli Sunnatadh Dhuhri Rok’ataini Qobliyatan Mustaqbilal Qiblati Lillahi Ta’ala

Artinya, "Aku niat mengerjakan salat sunah sebelum zuhur 2 rakaat, menghadap kiblat karena Allah Ta’ala."

Niat Salat Rawatib Sesudah Zuhur

اُصَلِّى سُنَّةً الظُّهْرِرَكْعَتَيْنِ بَعْدِيَّةً مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ ِللهِ تَعَالَى

Ushalli Sunnatadh Dhuhri Rok’ataini Ba’diyah Mustaqbilal Qiblati Lillahi Ta’ala

Artinya, "Aku niat mengerjakan salat sunah sesudah zuhur 2 rakaat, menghadap kiblat karena Allah Ta’ala."

Niat Salat Rawatib Sesudah Magrib

اُصَلِّى سُنَّةً الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ بَعْدِيَّةً مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ ِللهِ تَعَالَى

Usholli Sunnatal Maghribi Rok’ataini Ba’diyah Mustaqbilal Qiblati Lillahi Ta’ala

Artinya, "Aku niat mengerjakan salat sunah sesudah magrib 2 rakaat, menghadap kiblat karena Allah Ta’ala."


Niat Salat Rawatib Sesudah Isya'

اُصَلِّى سُنَّةً الْعِشَاءِ رَكْعَتَيْنِ بَعْدِيَّةً مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ ِللهِ تَعَالَى

Usholi Sunnatal Isyaa’i Rok’ataini Ba’diyatta Mustaqbilal Qiblati Lillahi Ta’ala

Artinya:"Aku niat mengerjakan salat sunah sesudah Isya 2 rakaat, menghadap Kiblat karena Allah Ta’ala."

Keutamaan Salat Sunah Rawatib

Beberapa keutamaan dengan menyelenggarakan salat sunah rawatib ini dapat diketahui, salah satunya dari riwayat Tirmizi, bahwa "Allah merahmati seseorang yang salat sunah empat rakaat sebelum ashar." Bahkan, dua rakaat yang dikerjakan sebelum salat subuh atau biasa disebut salat fajar juga lebih baik daripada dunia dan isinya. Seperti dalam riwayat Muslim dan Tirmizi, "Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia dan pengisinya. Keutamaan lain bisa didapatkan saat menggelar salat sunah sebelum dan sesudah salat duhur. Seperti dalam hadis, "Barangsiapa melaksanakan empat rakaat sebelum zuhur dan 4 rakaat sesudahnya, maka Allah mengharamkan baginya api neraka." [H.R. Tirmizi].

Ralat: sebelumnya dalam paragraf 7 tertulis "setelah subuh", yang benar adalah shalat sunnah rawatib sebelum subuh [qobliyah]. Redaksi mohon maaf atas ketidaknyamanan ini.


Baca juga artikel terkait SHALAT SUNAH atau tulisan menarik lainnya Beni Jo

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề