Tidak sombong dan selalu mengamalkan ajaran-ajaran suci agama dalam panca nyama bratha disebut

Written By Bang Sin Wednesday, November 27, 2019

MUTIARAHINDU.COM -- Pañcǎ Yamǎ Brata adalah Lima macam cara untuk mengendalikan keinginan secara lahir menurut Atmaja [2010: 46] terdiri atas:

a. Ahimsa, tidak melakukan kekerasan

b. Brahmacari, masa menuntut ilmu/masa aguron-guron

c. Satya, kesetiaan dan kejujuran

d. Awyawaharika, melakukan usaha menurut dharma

e. Astenya, tidak mencuri milik orang lain.


Bagian-bagian Pancǎ Yamǎ Brata adalah sebagai berikut:

Ahimsa terdiri atas a yang artinya tidak, dan himsa yang artinya menyakiti atau membunuh. Dengan demikian, ahimsǎ artinya suatu perbuatan yang tidak menyakiti, kasih sayang dan atau tidak membunuh mahkluk lain [Tim Sabha Pandita, 2011: 16]. Ahimsa dimaksudkan di sini adalah tidak semena-mena menyakiti dan membunuh demi nafsu belaka, keuntungan pribadi, dendam, dan kemarahan [krodha], melainkan untuk tujuan pemujaan kepada Tuhan dan kepentingan umum. Menurut ajaran Dharma di dalam sloka disebutkan ahimsa para dharmah, artinya kebajikan [dharma] yang tertinggi terdapat pada ahimsa. Selain itu, tujuan ahimsa adalah untuk men- jaga kedamaian dan keter- tiban di masyarakat, mewu- judkan kerukunan tanpa membedakan suku, agama, ras, dan adat,  [Suhardi dan Sudirga, 2015:17].

Dengan demikian, ajaran Ahimsa adalah ajaran yang harus memperhatikan dan mengendalikan tingkah laku agar pikiran, perkataan, dan perbuatan tidak menyakiti orang lain atau makhluk lain. Setiap pikiran, perkataan, perbuatan yang tujuannya menyakiti orang lain maka disebut perbuatan Himsa. Oleh karena itu, hindari perbuatan Himsa terhadap semua makhluk. Kita harus saling asah, asih, dan asuh terhadap sesama. Pada hakikatnya jiwatman kita sama dengan jiwatman makhluk lain yang berasal dari satu sumber, yaitu Parama atman [Sang Hyang Widhi].

Brahmacari adalah masa menuntut ilmu [usia belajar] seperti murid- murid di sekolah. Kata Brahmacari terdiri atas dua kata, yaitu Brahma dan Cari atau Carya [Tim Sabha Pandita, 2011: 17]. Brahma artinya Ilmu pengetahuan, sedangkan Cari atau Carya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu Car artinya gerak atau tingkah laku. Sehingga pengertian Brahmacari adalah tingkah laku manusia dalam menuntut ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan tentang ketuhanan dan kesucian, [Suhardi dan Sudirga, 2015:18].

Brahmacari juga disebut masa Aguron-guron [masa berguru]. Oleh karena itu, seorang siswa kerohanian harus mempunyai pikiran yang bersih yang hanya memikirkan pelajaran atau ilmu pengetahuan saja, su- paya perasaan dan pikiran bisa terpusat. Belajar dengan baik perlu adanya tata tertib yang baik, seperti pemakaian waktu, kebersihan, kesopan- an, ketertiban pembagian tu- gas, dan selain itu diperlukan juga sanksi-sanksi pelang- garan.

Satya artinya benar, jujur, dan setia [Tim Sabha Pandita, 2011: 18]. Satya juga diartikan sebagai gerak pikiran yang harus diambil menuju kebenaran. Di dalam prak-tiknya Satya meliputi kata- kata yang tepat dan dilanda- si kebajikan untuk mencapai kebaikan bersama. Oleh ka- rena itu, Satya tidak sepe- nuhnya diartikan benar, jujur, dan setia, tetapi di da- lam pelaksanaannya melihat situasi yang bersifat relatif. Maka di sinilah kita menempuh jalan Satya yang pelaksanaannya melihat situasi dan kondisi yang relatif, [Suhardi dan Sudirga, 2015:19].

Satya, kejujuran untuk mencari kebenaran ini sangat memegang peranan yang penting di dalam ajaran kerohanian untuk mencapai kelepasan atau moksa.

Di dalam sastra sering kita jumpai sebagai motto atau semboyan, yaitu: “Satyam eva jayate” yang artinya hanya kejujuranlah yang menang bukan kemaksiatan atau kejahatan. Adapun lima macam Satya yang disebut dengan Panca Satya terdiri atas:

a. Satya Hredaya, artinya setia dan jujur terhadap kata hati.

b. Satya Wacana, artinya setia dan jujur terhadap perkataan.

c. Satya Semaya, artinya setia dan jujur terhadap janji.

d. Satya Laksana, artinya setia dan jujur terhadap perbuatan.

e. Satya Mitra, yaitu setia dan jujur terhadap teman.

Dengan penjelasan tentang satya, kesetiaan dan kejujuran hendaknya dilakukan secara kata hati, perkataan, perbuatan, janji terhadap teman sejawat. Untuk itu, penerapan ajaran susila ini tidak hanya menjadi buah bibir yang diucapkan melainkan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Awyawaharika atau awyawǎhara artinya tidak terikat pada ikatan keduniawian [Tim Sabha Pandita, 2011: 19]. Ajaran Awyawahǎrika menjadikan orang rendah hati, sederhana, jujur, menyayangi sesama, berbudi luhur, tidak mengharapkan pujian, dan suka menolong tanpa pamrih. Pelaksanaan konsep awyawahǎrika sebagai wujud kewajiban dalam kehidupan adalah dengan bekerja tanpa mengharapkan pamrih. Penerapan ajaran awywahǎrika ini tentu sangat penting untuk diamalkan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Penerapan ajaran ini menjadikan insan yang selalu bekerja sesuai dengan kewajiban dan keahlian. Kewajiban ini dilakukan dengan sebaik mungkin tanpa ada paksaan dari siapapun. Orang yang menerapkan ajaran ini menyadari bahwa hidup adalah sebuah kesempatan dengan jalan menolong orang lain,  [Suhardi dan Sudirga, 2015:20].

Asteya atau Astenya artinya tidak mencuri atau tidak mengambil hak milik atau memikir- kan untuk memiliki ba- rang orang lain [Tim Sabha   Pandita,   2011: 20]. Astenya mengajar- kan manusia agar selalu jujur, tidak suka meng- ambil hak milik orang lain, tidak mencuri atau korupsi. Mencuri atau perbuatan     sejenisnya adalah perbuatan yang dilarang agama. Astenya harus ditumbuhkan agar timbul sifat yang tidak menginginkan barang milik orang lain. Perbuatan mencuri akan merugikan diri sendiri, yaitu pencemaran nama baik dan orang lain sebagai korbannya.

Pancǎ Nyamǎ Brata merupakan lima macam pengendalian diri pada tingkat rohani kita [Atmaja, 2010: 46]. Adapun bagian-bagiannya adalah sebagai berikut.

b. Guru susrusǎ, hormat taat dan tekun melaksanakan ajaran-ajaran dari guru.

c. Sauca, suci lahir batin.

d. Ahǎralǎgawa, memilih makan yang baik bagi tubuh kita serta makan dan minum secara teratur untuk mencapai kesucian lahir batin.

e. Apramǎda, tidak sombong atau angkuh, [Suhardi dan Sudirga, 2015:21].

Akroda artinya tidak marah, atau tidak mempunyai sifat marah atau mampu mengendalikan sifat- sifat marah [Tim Sabha Pan- dita, 2011: 20]. Mudah ter- singgung adalah salah satu dari sifat-sifat marah. Sifat inilah yang harus dikendalikan sehingga manusia tidak mu- dah marah. Manusia yang mampu menahan sifat marah, maka manusia akan mempu- nyai jiwa yang sabar. Kesa- baran adalah sifat yang mulia.Orang sabar tidak mudah ter- singgung, sehingga akan di

senangi oleh teman-teman. Orang yang diajak bicara akan merasa senang. Ia akan selalu tenang dalam menghadapi segala masalah. Pekerjaan dikerjakan dengan rasa tenang sehingga akan menghasilkan yang baik. Tumbuhnya kemampuan seseorang mengendalikan kemarahan me- nyebabkan tumbuhnya kebijaksanaan pada orang tersebut.

Guru Susrusǎ artinya hor- mat, melaksanakan tuntu- nan dan bakti terhadap guru [Oka, 2009: 69]. Guru Susrusǎ juga berarti men- dengarkan atau menaruh perhatian terhadap ajaran- ajaran dan nasihat guru. Siswa yang baik akan se- lalu berbakti dan mem- perhatikan sikap hormat terhadap gurunya, serta mem-pelajari apa yang di ajarkan. Anak yang hormat dan bakti terhadap Guru diberikan gelar anak yang suputra. Anak yang menentang terhadap Guru di sebut Alpaka Guru, hukumannya sangat berat dalam alam neraka nantinya. Anak yang Suputra akan mendapatkan tempat yang baik di surga maupun di masyarakat, karena sangat berguna bagi nusa dan bangsa, [Suhardi dan Sudirga, 2015:22].

Ada empat macam guru yang terdiri dari, Guru Reka atau Guru Rupaka artinya ayah dan ibu yang telah melahirkan, memelihara dan merawat  kita dari bayi sampai tumbuh dewasa. Guru Pengajian atau Guru Waktra artinya Ibu/Bapak guru yang mangajar kita di sekolah dari tidak dapat membaca, menulis, berhitung sampai menjadi bisa. Selain guru di sekolah, yang termasuk Guru Pengajian adalah para Sulinggih, para Resi yang telah menyebarkan ajaran Weda. Guru Wisesa adalah pemerintah yang selalu memberikan perlindungan kepada setiap warga negara. Orang yang termasuk Guru Wisesa, seperti: Kadus, Perbekel, Camat, Bupati, Anggota DPR, Gubernur, Presiden. Guru Swadhyaya artinya guru alam semesta yaitu Ida Sang Hyang Widhi.

Sauca berasal dari kata “suc“ yang artinya bersih, murni atau suci secara lahir dan batin [Oka, 2009: 69]. Oleh karena itu, yang dimaksud Sauca adalah kesucian dan kemurnian lahir batin. Banyak yang dapat kita lakukan untuk mencapai kesucian lahir mau pun batin. Kesucian lahir [jasmani] dapat kita capai dengan selalu mem- biasakan hidup bersih, misalnya man- di yang teratur dan membuang sampah pada tempatnya.

Sedangkan kesucian batin [ro- hani] dapat dilakukan dengan rajin sembahyang, menghindari pikiran dari hal-hal negatif,  [Suhardi dan Sudirga, 2015:23]. Untuk menjaga kesucian lahir batin menurut Kitab Manawa Dharma Sastra V.109 [Sudharta dan Puja, 2002] dapat dilakukan dengan: a] Mandi untuk membersihkan badan. b] Kejujuran untuk membersihkan pikiran. c] Ilmu Pengetahuan dan Tapa untuk membersihkan roh atau jiwa. d] Kebijaksanaan digunakan untuk membersihkan akal. Selain itu, yang perlu disucikan adalah Kayika [perbuatan], Wacika [perkataan] dan Manacika [pikiran] sebagai pangkal dari segala yang ada untuk menciptakan keseimbangan baik jasmani maupun rohani.


d. Ǎhǎralǎghawa

Ǎhǎralǎghawa berasal dari kata Ahara artinya makan, dan Lagawa artinya ringan. Ǎhǎralǎghawa artinya makan yang serba ringan, tidak berfoya-foya dan tidak berlebihan [Oka, 2009: 69]. Makan yang sesuai dengan kemampuan tubuh. Ǎhǎralǎghawa berarti juga mengatur cara makan dan makanan yang sebaik-baiknya. Lawan dari Ǎhǎralǎghawa adalah kerakusan. Kerakusan akan menghalangi dan merintangi kesucian batin. Untuk menjaga badan tetap sehat, makanlah ma- kanan yang banyak me- ngandung gizi. Orang yang makan teratur dan bergizi, badannya menjadi sehat dan pikirannya menjadi segar dan cerdas. Orang yang ma- kan dan minum berlebih- an, tidak teratur dan suka minum minuman keras, se- perti arak, bir dan sejenis- nya, maka badannya menjadi sakit dan sarafnya terganggu, serta pikiranpun menjadi kacau,  [Suhardi dan Sudirga, 2015:24].

e. Apramǎda

Apramǎda artinya tidak bersifat ingkar atau mengabaikan kewajiban dan mempelajari serta mengamalkan ajaran suci [Oka, 2009: 69]. Hal ini berarti melaksanakan tugas dan kewajiban yang telah menjadi tugasnya. Tugas ter- sebut dijadikan sebagai sarana melakukan pelayanan dan pe- ngabdian kepada masyarakat. Tugas ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup baik secara jasmani maupun untuk    kepentingan   rohani. Dengan berusaha melaksana- kan kewajiban sendiri [Swa- dharma] dan menghormati kewajiban orang lain [para dharma], maka keharmonisan akan dapat dicapai. Pada akhirnya, kebahagiaan secara lahir dan batin juga akan dapat dicapai. Pembagian tugas dan kewajiban ini dalam Hindu disebut dengan  catur warna yang terdiri dari Brahmana [cendikiawan], ksatria [pembela kebenaran, tentara, polisi], waisya [pedagang], dan sudra [pelayan]. Pembagian tugas ini berdasarkan atas keahlian dan bakat yang dimiliki dalam mendukung pelaksanaan roda kehidupan di dunia ini, [Suhardi dan Sudirga, 2015:25].

Suhardi, Untung dan Sudirga, Ida Bagus. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas IX [Cetakan Ke-1, 2015]. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề