Tokoh dari Belanda yang tewas dalam pertempuran antara Jepang dan Belanda di Laut Jawa adalah

Nationalgeographic.co.id— “Saya tak merasa lagi panasnya udara tropis, keringat dingin mengalir di punggung saya,” tulis Tameichi Hara dalam autobiografinya. "Kami hampir masuk ke dalam jebakan. Jika musuh segera menaikkan kecepatannya, mereka dapat dengan mudah menyerang dan mengacau-balaukan konvoi kami dan menenggelamkan kapal-kapal pengangkut…"

Hara mengungkapkan sederet kekacauan armada Jepang yang tidak disadari Sekutu sepanjang pertempuran ini. Ketidaksadaran musuh tentang kelemahan armada Jepang, menurutnya, menjadi salah satu faktor penentu kemenangannya.

Kendati tampil sebagai pemenang Pertempuran Laut Jawa, Hara tetap akurat kelihaian Sekutu dalam manuver-manuver sepanjang pertempuran ini.

Pertaruhan terhebat untuk Jawa dikenang dalam Pertempuran Laut Jawa, 27-28 Februari 1942. Kecamuk di utara pulau terpadat populasinya itu menjadi pertempuran armada laut terbesar sepanjang Perang Dunia Kedua.

Baca Juga: Kesaksian Tjamboek Berdoeri: Dari Muslihat Propaganda Jepang Sampai 'Salam Djempol' di Jawa

Wikimedia Commons

Tameichi Hara. Kapten angkatan laut Jepang yang selalu membawa kapal perusaknya ke medan pertempuran yang hebat dan kembali tanpa kerusakan berat. Pascaperang, orang-orang Jepang memberinya gelar 'Tak Dapat Ditenggelamkan'.

Pertempuran ini begitu penting dalam linimasa sejarah Nusantara. Sejak kemenangan armada Jepang di perairan Laut Jawa, nasib pulau ini sudah ditentukan menjadi kuasa mereka. Ujungnya, penaklukkan Jepang atas Jawa datang cepat. Satu minggu sejak Pertempuran Laut Jawa, riwayat Hindia Belanda pun tamat.

Sampai 1 Maret 1942, sejumlah 2.100 pelaut Sekutu tewas, termasuk 220 awaknya yang asal Indonesia. Sekutu memiliki 14 kapal [9 kapal perusak] dalam pertempuran itu, sementara Jepang sebanyak 28 kapal [14 kapal perusak].

Betapa heroik menit demi menit Pertempuran Laut Jawa kerap dikisahkan dari sudut pandang Sekutu, namun sedikit catatan pihak Jepang tentang peristiwa bersejarah ini. Salah satu dari sedikit catatan itu adalah autobiografi Tameichi Hara [1900-1980]. Dia adalah seorang kapten dari kapal perusak seberat 2.500 ton yang bernama Amatsukaze — dalam bahasa Indonesia 'Angin Surga'.


Hara tetapi tidak mengisahkan jalannya pertempuran juga rahasia dapur armada Jepang. Hara mengikuti hampir di setiap pertempuran laut. Dia adalah satu-satunya kapten kapal perusak Angkatan Laut Jepang yang sejak Perang Dunia Kedua, yang selamat dari maut perang. Dia menggunakan kesempatan ini sebagai satu-satunya teman dalam beberapa pertemuan dan pertemuan tentang sejarah Perang Pasifik.

Dia dikenal sebagai kapten yang selalu membawa kapal perusaknya ke medan pertempuran yang hebat dan kembali tanpa kerusakan berat. Pascaperang, orang-orang Jepang yang memberinya gelar 'Tak Dapat Ditenggelamkan'. Studi dan taktik serangan torpedonya pun menjadi buku babon resmi Angkatan Laut Jepang.

Autobiografinya bertajuk Japanese Destroyer Captain: Pearl Harbor, Guadalcanal, Midway - The Great Naval Battles as Seen Through Japanese Eyes. Terbit perdana dalam bahasa Inggris oleh Ballantine Books pada 1961. Ketika buku itu pertama kali terbit di Jepang, 2.500.000 eksemplar ludes hanya dalam dua bulan.

Setahun sebelum Hara wafat, edisi bahasa Indonesia terbit dengan judul Perang Laut Pasific, alih bahasa oleh Henky K., yang dirilis Penerbit Indah Jaya di Bandung pada 1979.

Baca Juga: Penuturan Dua Penyintas: Bagaimana Cara Mandi dan Makan di Kamp Tawanan Jepang?

Naval History and Heritage Command Image

Peta Rekonstruksi Pertempuran Laut Jawa, 27-28 Februari 1942.

Suatu siang pada 27 Februari 1942 di Laut Jawa. Hara berkisah, dua pesawat B-17 atau lebih populer dengan julukan Flying Fortress, terbang di atas formasi kapal-kapal Jepang. “Hari kemarin, kami melihat pembom itu sebelum menyerang. Hari ini, kami tak siap sama sekali. ”

“Flying Fortress ini telah membuat suatu kejutan.” Bidikannya terhadap kapal-kapal perang yang berlayar teratur dan siaga, sangat mengherankan Hara.

Sekutu telah membuat kesalahan, demikian menurutnya, karena tidak memilih kapal-kapal pengangkut yang lamban. Apabila pesawat itu menjatuhkan bom ke kapal pengangkut, begitu mudah kapal itu tenggelam, sehingga mengacaukan seluruh rencana Jepang.

Namun, "Jepang juga membuat satu kesalahan besar, dengan melancarkan operasi ini tanpa lindungan udara yang baik untuk armada lautnya." Akan tetapi, ungkap Hara, “kesalahan itu diimbangi oleh taktik-taktik tidak efektif dan tidak bijaksana yang dilakukan oleh pesawat-pesawat Sekutu.”

HCA

Pesawat pembom B-17 yang berjulukan Flyeing Fortress atau benteng terbang. Pesawat bermesin empat ini diproduksi oleh United States Army Air Corps. Peluncuran perdananya pada 1935.

Armada Jepang bergerak ke Barat—gerak tipu mereka. Sepuluh menit sesudah serangan B-17, konvoi Hara mengubah arah 90 derajat ke Surabaya.

Ketika konvoi Hara telah berada 60 mil di utara Surabaya, rupanya armada Sekutu bergerak menghadang armada Jepang. Saat itu satuan musuh yang terdiri atas lima kapal penjelajah dan sepuluh kapal perusak. Mereka bergerak terus pada arah armada Jepang. “Musuh pasti lebih kuat dari pengawal-pengawal kami,” tulis Hara.

Armada Jepang berada dalam jebakan. Admiral Tagaki Takeo segera memerintahkan kapal-kapal pengangkut untuk berputar ke arah utara. Andai saja musuh segera menaikkan kecepatannya, pastilah armada Jepang dapat ditenggelamkan dengan mudah. Apabila itu terjadi, barangkali peristiwa itu akan mengubah sejarah rencana pendaratan Jepang ke Jawa. Pada kenyataannya, armada Sekutu tidak mengejar konvoi Jepang.

Baca Juga: Selidik Tjamboek Berdoeri dan Catatan Terlupakan Revolusi Indonesia

Wikimedia Commons

Kapal Perusak milik Kekaisaran Jepang, Amatsukaze, yang bermakna Angin Surga. Bersama Kapten Tameichi Hara, kapal ini telah bertempur di hampir seluruh Perang Pasifik.

“Saya heran mengapa armada Sekutu ini tetap berlayar dengan kecepatan 12 knot saja,” tulis Hara dalam autobiografinya.

Hara mendapat laporan mengherankan dari pesawat pengintai Jepang bahwa armada Sekutu berbalik dan menuju ke Surabaya. Tampaknya, kapal-kapal Sekutu hanya membebaskan diri dari serangan udara kita atas Surabaya.

Armada Jepang tetap berjalan menurut rencana semula, berbalik dan kembali ke selatan lagi menuju Surabaya.

Namun, sekitar satu jam kemudian, armada kapal Sekutu berputar kembali dan membentuk formasi garis lurus. Kali ini Sekutu benar-benar menaikkan kecepatan dan bergerak lurus ke arah konvoi armada Jepang.

Hara jengkel dengan pergerakan kapal-kapal pengangkut yang lamban di armadanya. “Mereka kebanyakan kapal-kapal dagang yang dimobilisasi dan awak-awaknya tidak terlatih. Sangat menjengkelkan melihat mereka dalam kekacauannya. Banyak yang tidak mengerti pada perintah, mengulang pembalikan arah kapal-kapal, dan mereka tidak bisa melakukannya dengan cepat.”

Public Domain

Pesawat pemburu Zero bermesin Mitsubishi. Ketika Pertempuran Laut Jawa 1942, pesawat-pesawat Zero didatangkan dari Balikpapan.

Dua kapal penjelajah berat, yakni Nachi dan Haguro, juga masih tertinggal bermil-mil di belakang konvoi. Hara mencatat kejengkelannya, “Tanpa mereka saya tak dapat melihat bagaimana kami dapat bertempur melawan musuh yang lebih kuat itu.” Dia lalu menambahkan, “Jika musuh menaikkan kecepatan menjadi 30 knot, mereka dapat tiba setiap saat. Jika terjadi, apa yang dapat kami perbuat?”

Sore tiba. Kapal-kapal pengangkut meneruskan membentuk formasi yang teratur, dikawal oleh kapal-kapal patroli dan penyapu ranjau. Di belakang iringan kami, empat perusak lainya mengikuti. Satuan lain, termasuk penjelajah Naka dan tujuh perusak membentuk barisan belakang. Kapal-kapal perang Jepang kini bergerak dengan kecepatan 24 knot, dan siap untuk bertempur.

Hara menyelidiki horizon, ketika armada Jepang berlayar dalam lingkaran yang panjangnya 2 mil, tetapi tak menemui tanda-tanda dari dua penjelajah berat mereka—Nachi dan Haguro. “Saya memaki dengan kesal,” tulis Hara dalam autobiografinya.

Baca Juga: Roti Berbiang Air Kencing di Kamp Tawanan Jepang untuk Bertahan Hidup

Public Domain

Kapal penjelajah berat Haguro pada 1932. Kapal ini duduga yang menghabisi De Ruyter dengan torpedonya pada Pertempuran Laut Jawa 28 Februari 1942.

Seorang perwira menunjukkan arah datangnya kapal musuh. Lalu, Hara melihat ke arah yang ditunjukkannya.

“Saya melihat beberapa tiang di selatan. Segera tiang-tiang itu menjadi jelas buat setiap orang di atas kapal,” kenangnya. “Tiang-tiang itu akhirnya jelas dikenal milik penjelajah Belanda, De Ruyter” yang kian mendekat dengan cepat.

Kemunculan kapal perang De Ruyter yang tiba-tiba itu membuat ketegangan seisi kapalnya. “Segala keributan di kapal tiba-tiba diam, kami maju untuk pertempuran laut terbesar yang pertama!”

Kembali armada Jepang melihat keanehan strategi Sekutu. Hara mencatat, “Kapal-kapal musuh tiba-tiba mengubah arahnya ke barat dan mulai bergerak sejajar dengan kapal-kapal kami. Ini adalah gerakan yang lain yang mengherankan, musuh tentunya telah melihat formasi lingkaran bulat panjang kami.”

Hara bertanya-tanya, mengapa Sekutu tidak mau bergerak lurus ke muka? Menurutnya, apabila Sekutu tetap pada arahnya, Sekutu dapat memilih sasaran-sasaran kapal-kapal Jepang yang bergerak melebar, namun tetap menjaga dirinya mengecil dari tembakan-tembakan Jepang.

Baca Juga: Suasana Ketika Hindia Belanda Sekarat

Wikimedia Commons

Kapal penjelajah milik Belanda, Java, dalam gempuran serangan udara Kekaisaran Jepang pada Pertempuran Laut Jawa, Februari 1942.

“Gerakan musuh itu lagi-lagi memberi kesempatan pada kami untuk mendapat keuntungan waktu,” tulisnya.

Perintah tempur kembali diumumkan di armada Jepang. Mereka melebar dalam tiga formasi kolom dan maju ke arah selatan.

Penjelajah Jintsu bersama empat perusaknya berputar keluar. Lalu, Jintsu menembakkan enam meriamnya kepada De Ruyter yang berada 1.800 meter jauhnya. “Peluru-peluru itu meleset,” kenang Hara. “Keempat perusak memperhatikan dengan perasaan kecewa.”

Kapal penjelajah berat Nachi dan Haguro, yang dating kesiaangan, mulai menembakkan meriam-meriam pada jarak 25.000 meter. Peluru-peluru mereka meleset. Penjelajah Nishimura dan ketujuh perusaknya meluncurkan 43 torpedo ke arah musuh. Torpedo-torpedo ini juga meleset!

Baca Juga: Berhasil Lepas dari Jugun Ianfu Karena Menyamar Sebagai Lelaki

Wikimedia Commons

Kapal penjelajah berat Nachi pada 1929. Bersama Haguro, Nachi turut dalam penyerangan terhadap De Ruyter dalam Pertempuran Laut Jawa, sampai pengejaran Exeter hingga di Selat Sunda.

Sementara itu di angkasa Laut Jawa menjelang senja. Delapan pesawat Sekutu muncul dan bergerak ke arah kapal-kapal pengangkut armada Jepang. Namun, kemunculan itu disambut pesawat-pesawat pemnburu Zero, yang telah dipanggil dari Balikpapan. Semua pesawat-pesawat musuh ditembak jatuh, sebelum mereka melepaskan bomnya ke kapal-kapal Pengangkut. “Percobaan serangan udara oleh musuh ini, juga merupakan hal-hal lain yang mengherankan pada hari itu.”

Komando armada Jepang memerintahkan semua kapal untuk merapat dan menghancurkan musuh.

Ketika armada Sekutu berbelok ke barat, kapal-kapal Jepang juga bergerak ke barat dengan senjata-senjata meriam yang menyalak. Hara mencatat, penjelajah Inggris Exeter terbakar, yang menyebabkan kekacauan tiba-tiba dalam formasi musuh.

Belakangan Tameichi mengetahui bahwa satu peluru kaliber 20 sentimeter milik Nachi atau Haguro mengenai tempat peluru kapal penjelajah Exeter. Kapal malang itu kehilangan kecepatan dengan segera. Dia keluar dari formasi, bahkan nyaris menabrak penjelajah Amerika Houston yang mengikutinya dari belakang.

“Kejadian yang mengherankan,” lagi-lagi Hara mencatat, “Ketika Houston juga berbelok ke kiri, dan semua kapal berbuat yang sama. Kapal bendera De Ruyter sendiri yang terus ke depan, dan beberapa menit kemudian baru diketahuinya bahwa di belakangnya telah berbelok.”

Baca Juga: Editorial Edisi Agustus 2020: Relik Suram Pascaperang Asia Timur Raya

Imperial War Museum

Kapal Perusak milik Inggris, Exeter. Kapal ini dihajar torpedo oleh Haguro atau Nachi pada Pertempuran Laut Jawa. Dalam pelarian ke Srilangka, akhirnya Exeter tenggelam.

“Kekacauan yang tiba-tiba ini, menyebabkan kami dapat mendekat, dan delapan kapal perusak Jepang termasuk kapal saya, bergerak dengan kecepatan 30 knot.

Armada Sekutu terbentuk kembali, meninggalkan Exeter yang terluka di belakang. “Meriam dari tiap kapal ditembakkan kepada kami.”

Sebuah kapal perusak milik Jepang terkena tembakan itu, lalu meledak dan menggelapkan pemandangan Hara. Peluru berjatuhan di sekeliling kapal Amatsukaze, tetapi belum ada yang mengenai kapal yang dipimpin oleh Hara itu.

“Saya menggeram dan maju sambil menghindari, sementara peluru-peluru musuh semakin dekat jatuhnya,” Hara mencatat. “Saya harus maju terus jika saya mau meluncurkan torpedo dengan efektif.”

Pergerakan armada Sekutu semakin mendekati armada Jepang, hanya terpaut enam ribu meter. Menurut Hara, inilah operasi paling agresif pertama kalinya pada hari itu.

“Keringat membasahi muka saya ketika saya mencekal pagar jembatan komando,” kenang Hara. Dia harus membawa kapalnya untuk mendekati kapal Sekutu setidaknya pada jarak 5.000 meter. Sementara itu peluru-peluru Sekutu jatuh semakin dekat dan setiap saat bisa mengenai Amatsukaze.

“Sebuah peluru, hampir kena, melemparkan air ke muka saya. Lutut saya bergetar dan tangan saya gemetar pada saat itu,” catat Hara tentang pertempuran ini. “Saya tidak peduli tentang menjadi penakut…”

Baca Juga: 'Indonesia Dalem Api dan Bara': Kronik Kota Sampai Analisis Bahasanya

Wikimedia Commons

Kapal perusak Yukikaze, atau Angin Bersalju, pada 1939. Kapal ini turut dalam Pertempuran Laut Jawa pada Februari 1942. Pascaperang, kapal ini dihibahkan kepada Angkatan Laut Tiongkok pada 6 July 1947.

Armada Jepang Yukikaze dan Tokitsukaze meluncurkan 16 torpedo, lalu Amatsukaze juga menembakkan torpedo. Perusak Belanda Kortenaer kena dan tenggelam dengan cepat.

Apakah Hara puas dengan kinerja armadanya?

Tidak. Dia justru memuji armada musuh.

“Satu kena dari 64 tembakan! Betapa jeleknya bidikan kami, dan betapa bagusnya taktik menghindar dari musuh!”

Dua kapal penjelajah Jepang Nachi dan Haguro meluncurkan torpedo dari jarak yang cukup jauh. Armada Sekutu membuat tikungan 360 derajat sehingga semua torpedo itu meleset. Setelah itu kapal-kapal Sekutu bergerak kembali menuju Surabaya.

Namun, kapal-kapal penjelajah Jepang tidak mengejar.

Kesatuan Angkatan laut Sekutu telah kalah. Exeter yang sedang terbakar itu kembali ke Surabaya. Tiga kapal perusak telah tenggelam. Enam perusak lainnya mengalami kerusakan hebat, juga telah menghilang dari kawasan pertempuran ini.

Kapal-kapal Sekutu yang masih ada, berkumpul lagi dan merapat ke pantai Jawa. Masih ada empat penjelajah—De Ruyter, Houston, Perth, dan Java—bersama dua kapal perusak. Dengan berani mereka memutuskan bergerak ke utara guna menentang kapal-kapal Jepang.

Dini hari dalam hujan, 28 Februari 1942. Nachi meluncurkan delapan torpedo pada pukul 00.53. Haguro juga meluncurkan empat torpedo. Mereka menambak meski jarak musuh masih jauh sekitar 10.000 meter.

“Gelap malam tiba-tiba diterangi oleh lidah-lidah api yang besar di tenggara. Sebuah torpedo melanggar penjelajah Jawa tepat di tengah-tengah. Empat menit kemudian terjadi ledakan yang lain di kolom Sekutu itu dan De Ruyter tenggelam dalam lautan api, seperti kotak korek yang besar terbakar.”

Dalam autobiografi Hara, dia mengamati lidah-lidah api yang menyala di kapal De Ruyter dan Java dari jauh. Dia juga mengisahkan suasana kegembiraan di dua kapal yang berhasil menenggelamkan armada Sekutu. “Pelaut-pelaut di atas geladak Nachi dan Haguro bersorak: ‘Banzai!’ Mereka melompat dan memukul-mukul punggung temannya karena kegirangan.”

Baca Juga: Kenangan Pertempuran Laut Terhebat Sepanjang Perang Dunia Kedua

Wikimedia Commons

De Ruyter, kapal penjelajah milik Belanda yang diluncurkan pada 1935. Kapal perang ini tenggelam karena torpedo jarak jauh, diduga dari kapal penjelajah berat Haguro.

Kelak keesokannya pada 1 Maret 1942, Nachi dan Haguro menenggelamkan Exeter dan dua pengawalnya di dekat Selat Sunda. Ketiga kapal Sekutu itu hendak melarikan diri ke Srilangka.

Hara mengungkapkan dalam autobiografinya bahwa peperangan ini memberikan banyak pelajaran bagi dirinya. “Satu pertempuran ini lebih berarti dari ratusan latihan perang-perangan yang praktis yang mana saya telah ikuti.”

Hara mengkritik atasannya karena menggunakan taktik kavaleri untuk berperang di laut. Dalam pertempuran ini armada Kekaisaran Jepang tidak memahami implikasi kekuatan udara. Jargonnya yang selalu diingat, “Jika musuh memukulmu dari atas, pukullah dia dari bawah. Jika musuh memukulmu dari bawah, pukullah dia dari atas.”

Baca Juga: Dewi Matahari Amaterasu, Leluhur Ilahi dari Keluarga Kekaisaran Jepang

US NAVAL INSTITUTE

Kapten Tameichi Hara menulis autobiografi berjudul Japanese Destroyer Captain: Pearl Harbor, Guadalcanal, Midway - The Great Naval Battles as Seen Through Japanese Eyes, Agustus 2011. Terbit perdana dalam bahasa Inggris oleh Ballantine Books pada 1961. Ketika buku itu pertama kali terbit di Jepang, 2.500.000 eksemplar ludes hanya dalam dua bulan.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề