Ulama yang dimintai restu KH Hasyim asy ari

Oleh : Hartoyo [ Dekan Fakultas Syariah IAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo]

Pendahuluan Pada masa sekarang ini Nahdlatul Ulama sudah menjadi organisasi keagamaan Islam yang terbesar di dunia. Dalam kenyataannya pada sebagian kalangan menganggap bahwa keberadaannya merupakan kendala dan gangguan terbesar bagi penyebaran faham Wahabi di Indonesia yang masuk dari Arab Saudi. Sebenarnya hal tersebut tidak hanya sekarang ini saja akan tetapi sudah sejak dulu, pada saat awal-awal berdirinya jam’iyah NU. Bahkan yang melatar-belakangi berdirinya NU di Indonesia tiada lain adalah untuk mempertahankan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah dari serangan Wahabisme. Pada akhirnya ajaran kelompok ‘Wahabisme’ ini juga dikenal dengan istilah Salafi-Wahabi. Perebutan Tanah Hijaz Muhammad bin Abdul Wahab awalnya menyampaikan ajarannya kepada penduduk Basrah akan tetapi mereka menolak dengan keras. Hal itu karena penduduk Basrah adalah penganut fanatik ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah. Selanjutnya Muhammad bin Abdul Wahab menetap di Dir’iyah, di ditempat itu ia mengajak pangeran Muhammad ibn Saud berjuang bersama-sama mendirikan kekuasaan sekaligus paham Wahabi. Keluarga/Klan Saud dan pasukan Wahabi kemudian berkembang secara dominan di semenanjung Arabia. Pertama menundukkan Najed, lalu memperluas kekuasaan mereka ke pantai Timur dari Kuwait sampai Oman. Mereka mengadakan serangan ke Irak dan Suriah, dan menguasai kota suci Syi’ah, Karbala pada tahun 1801. Pada tahun 1802, pasukan Saudi dan laskar Wahabi berhasil merebut kota Hijaz [daerah yang meliputi Jeddah, Makkah, Madinah dan sekitarnya] di bawah kekuasaan mereka. Hal ini menyebabkan kemarahan Daulah Utsmaniyah di Turki, yang telah menguasai dua kota suci itu sejak tahun 1517. Kemarahan terhadap Saudi-Wahabi menyebabkan Daulah Utsmaniyah bergerak. Tugas untuk menghancurkan Wahabi diberikan oleh Daulah Utsmaniyah Turki kepada raja muda kuat Mesir, Muhammad Ali Pasha. Muhammad Ali Pasha mengirim pasukannya ke Hijaz melalui laut dan berhasil merebutnya kembali. Anaknya yang bernama Ibrahim Pasha, kemudian memimpin pasukan Utsmaniyah ke jantung Najed, dan berhasil merebut kota ke kota dari kekuasaan pasukan Saudi dan laskar Wahabi. Akhirnya, Ibrahim mencapai ibukota Saudi di Dir’iyah dan menyerangnya untuk beberapa bulan sampai akhirnya kota itu menyerah pada musim dingin tahun 1818. Ibrahim lalu membawa banyak anggota klan Al Saud dan Ibn Abdil Wahhab ke Mesir dan Ibukota Utsmaniyah di Istanbul Turki. Selanjutnya ia memerintahkan penghancuran Dir’iyah, yang reruntuhannya kini tidak pernah disentuh kembali. Pemimpin Saudi terakhir, Abdullah bin Saud dieksekusi di Ibukota Utsmaniyah. Dengan wafatnya Abdullah bin Saud sejarah kerajaan Saudi Pertama berakhir. Meski demikian Wahabi dan klan Al Saud masih tetap hidup dan mendirikan kerajaan Saudi Kedua yang bertahan sampai tahun 1891. Perselingkuhan agama, perebutan kekuasaan, dan kepentingan asing dimulai dari wilayah Najed. Ketika lasykar Wahabi dan klan Al Saud yang dipimpin Abdul Aziz Ibnu Sa’ud mulai menyusun kekuatan lagi. Adanya dukungan persenjataan modern dari sekutu mereka Inggris, akhirnya pada permulaan tahun 1900-an mereka mulai menyerang kota Hijaz yang saat itu dipimpin Raja Syarif Husain. Pada saat itu Hijaz hanya dibantu oleh Daulah Utsmaniyyah Turki yang sudah mulai lemah. Akhirnya tahun 1924 ketika kekuasaanya sudah mengecil, Raja Syarif Husain mengasingkan diri ke kepulauan Cyprus, dan kekuasaanya diserahkan pada putranya, raja Syarif Ali. Raja Syarif Ali membuat kota-kota pertahanan baru, tapi lasykar Wahabi dan klan Ibnu Sa’ud dengan persenjataan canggih berhasil mengepung semua kota, hingga yang tersisa hanya pertahanan di pelabuhan Jeddah. Pada ahir 1925 ketika lasykar Wahabi dan klan Ibnu Sa’ud berhasil menguasai pelabuhan Jeddah membuat raja Syarif Ali menyerah. Maka tahun 1925 inilah Hijaz dengan dua kota suci Makkah dan Madinah dikuasai oleh keluarga Sa’ud dan Wahabi. Semenjak tahun 1932, tepatnya tanggal 23 September 1932, nama Hijaz kemudian berubah menjadi al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Sa’udiyyah, atau kerajaan Arab Saudi dengan ibukotanya di Riyadh. Nama ‘as-Su’udiyah’ dinisbatkan kepada nama leluhurnya yakni Al Sa’ud. Jatuhnya Hijaz ke tangan lasykar Wahhabi dan klan Ibnu Sa’ud pada 1925 tidak hanya berakibat perubahan pemeritahan, akan tetapi juga merombak total faham dan praktek-praktek keagamaan. Di Hijaz dari yang semula berfaham Ahlussunnah wal Jama’ah berubah menjadi faham Wahabi. Seperti larangan bermadzhab, larangan ziarah ke makam-makam pahlawan Islam, larangan merokok, larangan berhaji dengan cara madzhab. Sampai-sampai makam Rasulullah Saw, para sahabat dan tempat-tempat bersejarah pun berencana akan digusur karena dianggap sebagai biang atau tempatnya kemusyrikan. Komite Hijaz dan Berdirinya NU Ketika aliran Salafi-Wahhabi berkembang di Dir’iyyah maupun Najed itu belumlah membuat risau umat Islam dunia. Tetapi ketika mereka menguasai pusat Islam yakni dua kota suci di Hijaz [Mekkah dan Madinah], hal ini menimbulkan dampak dan gejolak yang luar biasa. Termasuk dalam persebaran paham Salafi-Wahhabi ke seluruh pelosok dunia. Melihat perubahan ajaran yang terjadi di Hijaz, maka hampir semua umat Islam yang berfaham Ahlussunnah wal Jama’ah di seluruh dunia memprotes rencana pemerintahan baru di Hijaz, yang ingin menerapkan hanya madzhab Wahabi. Protes luar biasa itu juga timbul di Indonesia. Ketika bulan Januari 1926 ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia berkumpul di Surabaya untuk membahas perubahan ajaran di dua kota suci tersebut. Dari pertemuan itu lahirlah panita Komite Hijaz. Yang diberi mandat untuk mengahadap raja Ibnu Sa’ud guna menyampaikan masukan dari ulama-ulama Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia. Disebabkan belum adanya organisasi induk yang menaungi delegasi Komite Hijaz, maka pada tanggal 31 Januari 1926, Ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah Indonesia berkumpul dan membentuk organisasi Induk. Organisasi ini diberi nama Nahdlatul Ulama [Kebangkitan Para Ulama], kemudian disingkat NU, dengan Rois Akbar Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Selanjutnya dibentuk delegasi Komite Hijaz NU untuk menghadap raja Ibnu Sa’ud, dengan keanggotaan sebagai berikut: Sebagai penasehat KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Masyhuri Lasem, KH. Kholil Lasem. Ditunjuk sebagai ketua adalah KH. Hasan Gipo, dan Wakil Ketua: H. Shaleh Syamil. Sebagai sekretaris adalah Muhammad Shadiq, dan sebagai pembantu umum adalah KH. Abdul Chalim. Adapun materi pokok yang hendak disampaikan langsung ke hadapan raja Ibnu Sa’ud adalah: 1] Meminta kepada raja Ibnu Sa’ud untuk memberlakukan kebebasan bermadzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali; 2] Meminta tetap diramaikannya tempat bersejarah karena tempat tersebut telah diwakafkan untuk masjid; 3] Mohon disebarluaskan ke seluruh dunia setiap tahun sebelum jatuhnya musim haji, mengenai ongkos haji, perjalanan keliling Makkah maupun tentang Syekh; 4] Mohon hendaknya semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis sebagai undang-undang supaya tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum ditulisnya undang-undang tersebut; 5] Jam’iyyah NU mohon jawaban tertulis yang menjelaskan bahwa utusan sudah menghadap raja Ibnu Sa’ud dan sudah pula menyampaikan usul-usul NU tersebut.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Komite Hijaz merupakan respon terhadap perkembangan dunia internasional serta menjadi faktor terpenting didirikannya organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama. Berkat kegigihan para kiai yang tergabung dalam Komite Hijaz tersebut, aspirasi dari umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah pada akhirnya bisa diterima oleh raja Ibnu Saud

Pendahuluan Pada masa sekarang ini Nahdlatul Ulama sudah menjadi organisasi keagamaan Islam yang terbesar di dunia. Dalam kenyataannya pada sebagian kalangan menganggap bahwa keberadaannya merupakan kendala dan gangguan terbesar bagi penyebaran faham Wahabi di Indonesia yang masuk dari Arab Saudi. Sebenarnya hal tersebut tidak hanya sekarang ini saja akan tetapi sudah sejak dulu, pada saat awal-awal berdirinya jam’iyah NU. Bahkan yang melatar-belakangi berdirinya NU di Indonesia tiada lain adalah untuk mempertahankan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah dari serangan Wahabisme. Pada akhirnya ajaran kelompok ‘Wahabisme’ ini juga dikenal dengan istilah Salafi-Wahabi. Perebutan Tanah Hijaz Muhammad bin Abdul Wahab awalnya menyampaikan ajarannya kepada penduduk Basrah akan tetapi mereka menolak dengan keras. Hal itu karena penduduk Basrah adalah penganut fanatik ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah. Selanjutnya Muhammad bin Abdul Wahab menetap di Dir’iyah, di ditempat itu ia mengajak pangeran Muhammad ibn Saud berjuang bersama-sama mendirikan kekuasaan sekaligus paham Wahabi. Keluarga/Klan Saud dan pasukan Wahabi kemudian berkembang secara dominan di semenanjung Arabia. Pertama menundukkan Najed, lalu memperluas kekuasaan mereka ke pantai Timur dari Kuwait sampai Oman. Mereka mengadakan serangan ke Irak dan Suriah, dan menguasai kota suci Syi’ah, Karbala pada tahun 1801. Pada tahun 1802, pasukan Saudi dan laskar Wahabi berhasil merebut kota Hijaz [daerah yang meliputi Jeddah, Makkah, Madinah dan sekitarnya] di bawah kekuasaan mereka. Hal ini menyebabkan kemarahan Daulah Utsmaniyah di Turki, yang telah menguasai dua kota suci itu sejak tahun 1517. Kemarahan terhadap Saudi-Wahabi menyebabkan Daulah Utsmaniyah bergerak. Tugas untuk menghancurkan Wahabi diberikan oleh Daulah Utsmaniyah Turki kepada raja muda kuat Mesir, Muhammad Ali Pasha. Muhammad Ali Pasha mengirim pasukannya ke Hijaz melalui laut dan berhasil merebutnya kembali. Anaknya yang bernama Ibrahim Pasha, kemudian memimpin pasukan Utsmaniyah ke jantung Najed, dan berhasil merebut kota ke kota dari kekuasaan pasukan Saudi dan laskar Wahabi. Akhirnya, Ibrahim mencapai ibukota Saudi di Dir’iyah dan menyerangnya untuk beberapa bulan sampai akhirnya kota itu menyerah pada musim dingin tahun 1818. Ibrahim lalu membawa banyak anggota klan Al Saud dan Ibn Abdil Wahhab ke Mesir dan Ibukota Utsmaniyah di Istanbul Turki. Selanjutnya ia memerintahkan penghancuran Dir’iyah, yang reruntuhannya kini tidak pernah disentuh kembali. Pemimpin Saudi terakhir, Abdullah bin Saud dieksekusi di Ibukota Utsmaniyah. Dengan wafatnya Abdullah bin Saud sejarah kerajaan Saudi Pertama berakhir. Meski demikian Wahabi dan klan Al Saud masih tetap hidup dan mendirikan kerajaan Saudi Kedua yang bertahan sampai tahun 1891. Perselingkuhan agama, perebutan kekuasaan, dan kepentingan asing dimulai dari wilayah Najed. Ketika lasykar Wahabi dan klan Al Saud yang dipimpin Abdul Aziz Ibnu Sa’ud mulai menyusun kekuatan lagi. Adanya dukungan persenjataan modern dari sekutu mereka Inggris, akhirnya pada permulaan tahun 1900-an mereka mulai menyerang kota Hijaz yang saat itu dipimpin Raja Syarif Husain. Pada saat itu Hijaz hanya dibantu oleh Daulah Utsmaniyyah Turki yang sudah mulai lemah. Akhirnya tahun 1924 ketika kekuasaanya sudah mengecil, Raja Syarif Husain mengasingkan diri ke kepulauan Cyprus, dan kekuasaanya diserahkan pada putranya, raja Syarif Ali. Raja Syarif Ali membuat kota-kota pertahanan baru, tapi lasykar Wahabi dan klan Ibnu Sa’ud dengan persenjataan canggih berhasil mengepung semua kota, hingga yang tersisa hanya pertahanan di pelabuhan Jeddah. Pada ahir 1925 ketika lasykar Wahabi dan klan Ibnu Sa’ud berhasil menguasai pelabuhan Jeddah membuat raja Syarif Ali menyerah. Maka tahun 1925 inilah Hijaz dengan dua kota suci Makkah dan Madinah dikuasai oleh keluarga Sa’ud dan Wahabi. Semenjak tahun 1932, tepatnya tanggal 23 September 1932, nama Hijaz kemudian berubah menjadi al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Sa’udiyyah, atau kerajaan Arab Saudi dengan ibukotanya di Riyadh. Nama ‘as-Su’udiyah’ dinisbatkan kepada nama leluhurnya yakni Al Sa’ud. Jatuhnya Hijaz ke tangan lasykar Wahhabi dan klan Ibnu Sa’ud pada 1925 tidak hanya berakibat perubahan pemeritahan, akan tetapi juga merombak total faham dan praktek-praktek keagamaan. Di Hijaz dari yang semula berfaham Ahlussunnah wal Jama’ah berubah menjadi faham Wahabi. Seperti larangan bermadzhab, larangan ziarah ke makam-makam pahlawan Islam, larangan merokok, larangan berhaji dengan cara madzhab. Sampai-sampai makam Rasulullah Saw, para sahabat dan tempat-tempat bersejarah pun berencana akan digusur karena dianggap sebagai biang atau tempatnya kemusyrikan. Komite Hijaz dan Berdirinya NU Ketika aliran Salafi-Wahhabi berkembang di Dir’iyyah maupun Najed itu belumlah membuat risau umat Islam dunia. Tetapi ketika mereka menguasai pusat Islam yakni dua kota suci di Hijaz [Mekkah dan Madinah], hal ini menimbulkan dampak dan gejolak yang luar biasa. Termasuk dalam persebaran paham Salafi-Wahhabi ke seluruh pelosok dunia. Melihat perubahan ajaran yang terjadi di Hijaz, maka hampir semua umat Islam yang berfaham Ahlussunnah wal Jama’ah di seluruh dunia memprotes rencana pemerintahan baru di Hijaz, yang ingin menerapkan hanya madzhab Wahabi. Protes luar biasa itu juga timbul di Indonesia. Ketika bulan Januari 1926 ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia berkumpul di Surabaya untuk membahas perubahan ajaran di dua kota suci tersebut. Dari pertemuan itu lahirlah panita Komite Hijaz. Yang diberi mandat untuk mengahadap raja Ibnu Sa’ud guna menyampaikan masukan dari ulama-ulama Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia. Disebabkan belum adanya organisasi induk yang menaungi delegasi Komite Hijaz, maka pada tanggal 31 Januari 1926, Ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah Indonesia berkumpul dan membentuk organisasi Induk. Organisasi ini diberi nama Nahdlatul Ulama [Kebangkitan Para Ulama], kemudian disingkat NU, dengan Rois Akbar Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Selanjutnya dibentuk delegasi Komite Hijaz NU untuk menghadap raja Ibnu Sa’ud, dengan keanggotaan sebagai berikut: Sebagai penasehat KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Masyhuri Lasem, KH. Kholil Lasem. Ditunjuk sebagai ketua adalah KH. Hasan Gipo, dan Wakil Ketua: H. Shaleh Syamil. Sebagai sekretaris adalah Muhammad Shadiq, dan sebagai pembantu umum adalah KH. Abdul Chalim. Adapun materi pokok yang hendak disampaikan langsung ke hadapan raja Ibnu Sa’ud adalah: 1] Meminta kepada raja Ibnu Sa’ud untuk memberlakukan kebebasan bermadzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali; 2] Meminta tetap diramaikannya tempat bersejarah karena tempat tersebut telah diwakafkan untuk masjid; 3] Mohon disebarluaskan ke seluruh dunia setiap tahun sebelum jatuhnya musim haji, mengenai ongkos haji, perjalanan keliling Makkah maupun tentang Syekh; 4] Mohon hendaknya semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis sebagai undang-undang supaya tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum ditulisnya undang-undang tersebut; 5] Jam’iyyah NU mohon jawaban tertulis yang menjelaskan bahwa utusan sudah menghadap raja Ibnu Sa’ud dan sudah pula menyampaikan usul-usul NU tersebut.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Komite Hijaz merupakan respon terhadap perkembangan dunia internasional serta menjadi faktor terpenting didirikannya organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama. Berkat kegigihan para kiai yang tergabung dalam Komite Hijaz tersebut, aspirasi dari umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah pada akhirnya bisa diterima oleh raja Ibnu Saud

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề