Upacara kematian yang sampai saat ini masih dilakukan adalah

Jakarta -

Pernahkah terpikirkan apa yang terjadi setelah kita mati? Penganut Buddha percaya bahwa hidup adalah penderitaan dan kita akan selalu terlahir kembali sebelum mencapai nirwana. Sedangkan masyarakat Mesir Kuno percaya bahwa kematian adalah transisi dan mereka yang mati harus dibekali untuk menghadapi perjalanan ke alam lain. Di berbagai belahan dunia, kebudayaan dan kepercayaan tak hanya mengatur kehidupan, tapi kematian serta hidup setelah kematian.

Di Indonesia, keberagaman konsep afterlife atau kehidupan setelah kematian tercerminkan melalui berbagai ritual kematian. Perbedaan ritual kematian ini tidak hanya terbagi berdasarkan lima agama besar, tapi juga berdasarkan etnis dan suku. Sayangnya, beragam ritual kematian ini kerap dibingkai sebagai eksotisme, hal mistis, atau sebagai daya tarik pariwisata semata. Padahal, ritual kematian merupakan upacara sakral yang memiliki makna bagi mereka yang menjalankannya. Mari kita lihat beberapa ritual kematian dari berbagai wilayah di Indonesia, dan apa makna di balik ritual tersebut.

Rambu' Solo [Tana Toraja, Sulawesi Selatan]

Di Tana Toraja, upacara kematian bukanlah hal sepele, melainkan bentuk penghormatan sekaligus upaya mengantarkan mereka yang sudah meninggal ke alam berikutnya. Upacara ini disebut sebagai Rambu' Solo. Biasanya, Rambu Solo diadakan dengan menyembelih kerbau atau babi dan acaranya bisa berlangsung selama tiga sampai tujuh hari.

Menurut Roni Ismail [2019], dalam artikel jurnal yang berjudul Ritual Kematian dalam Agama Asli Toraja "Aluk To Dolo", masyarakat Toraja percaya bahwa ritual ini merupakan proses pelepasan seseorang menuju dunia alam baka yang mereka sebut Puya. Dunia Puya sama seperti dunia yang mereka tempati semasa hidup, hanya dunia ini bersifat abadi. Oleh karenanya, mereka yang meninggal harus 'dibekali' harta dan pakaian. Pada dasarnya, masyarakat Toraja percaya bahwa bila hewan yang dikorbankan dalam ritual tersebut jumlahnya sedikit, sedikit juga bekal dibawa oleh sang jenazah ke alam Puya. Namun, masing-masing kelompok masyarakat memiliki ketentuan sendiri untuk jenis upacara yang harus diadakan.

Ritual ini merupakan prasyarat agar seseorang sepenuhnya dianggap sudah memasuki kematian. Bagi orang Toraja, orang-orang mati yang tidak diupacarakan dipercaya tidak dapat masuk gerbang dunia Puya. Maka dari itu, selama upacara belum dilaksanakan, orang yang sudah meninggal belum akan dianggap mati walau sudah menjadi jenazah.

Ngutang Mayit [Trunyan, Bali]

Trunyan merupakan salah satu desa adat tertua di Bali. Apabila umat Hindu-Bali melakukan upacara pemakaman dengan mengkremasi jenazah, maka berbeda dengan masyarakat di desa ini yang melakukan upacara Ngutang Mayit. Masyarakat Desa Adat Trunyan memiliki kepercayaan yang sedikit berbeda, yaitu Hindu-Trunyan. Berbeda dari Hindu-Bali yang menganut sistem kasta, masyarakat di Trunyan membagi upacara pemakaman berdasarkan kondisi jenazah ketika meninggal. Upacara Ngutang Mayit sendiri terdiri dari beberapa jenis tradisi pemakaman yang tersebar di tiga lokasi, yaitu Sema Nguda, Sema Wayah, dan Sema Bantas.

Sema Wayah dikhususkan bagi orang-orang yang termasuk pada kategori kubur angin atau mepasah. Kubur angin sendiri merupakan teknik pemakaman dengan meletakkan jenazah di atas tanah, tepatnya di dekat area pohon Taru Menyan berada. Jenazah yang dikuburkan di sini hanyalah jenazah yang jasadnya utuh, tidak cacat, dan meninggal secara wajar [bukan karena bunuh diri atau kecelakaan].

Lokasi yang kedua adalah Sema Nguda. Sema Nguda sendiri tidak jauh berbeda dengan Sema Wayah, yaitu untuk teknik pemakaman kubur angin. Bedanya, Sema Nguda dikhususkan untuk mereka yang berstatus belum menikah dan anak kecil yang sudah tanggal gigi susunya.

Sementara itu, lokasi yang ketiga adalah Sema Bantas. Tempat penguburan ini dikhususkan untuk upacara kubur tanah, yaitu dengan mengubur jenazah di dalam tanah. Sema Bantas dikhususkan bagi mereka yang meninggal secara tidak wajar, seperti bunuh diri, dibunuh, atau jenazahnya rusak. Menurut keyakinan Hindu-Trunyan, mereka yang dikuburkan di tanah juga harus dilakukan upacara tambahan berupa Ngaben. Tapi, berbeda dengan upacara Ngaben ala Hindu-Bali yang mengkremasi jenazah, upacara Ngaben di Trunyan dilakukan menggunakan air untuk upacara penyucian jenazah.

Brobosan [Jawa]

Sesuai dengan adat masyarakat Jawa yang berbakti kepada orang tua dan leluhur, tradisi Brobosan adalah upacara kematian yang mewakili adat tersebut. Brobosan sendiri berarti menerobos, yaitu dengan berjalan bergantian sebanyak tiga kali di bawah keranda atau peti jenazah yang sedang diangkat tinggi-tinggi. Ritual ini dilaksanakan sebelum jenazah diberangkatkan ke tempat peristirahatan, dengan tujuan keluarga yang ditinggalkan dapat merelakan kepergiannya.

Ritual ini berangkat dari pepatah Jawa "mikul dhuwur mendhem jero" yang berarti "mengubur dalam, mengangkat tinggi." Maksudnya, untuk senantiasa menjunjung tinggi dan mengingat jasa orang yang telah tiada. Selain itu, ritual ini juga bertujuan agar segala kebaikan dari yang telah meninggal bisa diwariskan ke anak cucu mereka. Oleh karenanya, Brobosan hanya dilakukan pada jenazah orang tua yang diluhurkan. Brobosan tidak dapat dilakukan pada jenazah anak-anak atau remaja.

Marapu [Sumba]

Meski masyarakat Sumba telah banyak yang mengkonversi agama menjadi Katolik, mereka masih mempraktekkan tradisi yang berasal dari kepercayaan Marapu, termasuk dalam melakukan ritual kematian. Menurut Herman Punda Panda [2020], dalam artikelnya yang dimuat di Jurnal Teologi dan Filsafat, penganut Marapu percaya bahwa kematian adalah peristiwa lepasnya jiwa dari tubuh yang merupakan awal dari perjalanan menuju wano Marapu atau kampung leluhur.

Dalam ritual kematian adat Marapu, prosesi pemakaman dilakukan dalam dua tahap. Pertama jenazah dibungkus dengan kain hingga berlapis-lapis untuk diawetkan dan kemudian diletakkan dalam posisi duduk di dalam rumah keluarga. Kemudian, keluarga harus menyiapkan kubur batu untuk mendiang. Kubur batu yang dibangun adalah kubur batu berukuran besar yang memerlukan banyak biaya dan tenaga untuk membangunnya. Kubur batu ini merupakan peninggalan Megalitikum yang masih berakar kuat di Sumba. Selain itu, ritual ini juga melibatkan penyembelihan hewan. Sebab penganut Marapu percaya arwah leluhur hadir di saat prosesi dan hewan-hewan ini dikorbankan untuk mereka.

[Gambas:Audio CXO]

[ANL/DIR]

Tags

#cxomedia #art & culture #kematian #ritual #budaya

Pada umumnya upacara kematian dilakukan dengan cara dikubur, namun ternyata ada sejumlah daerah-daerah di Indonesia yang memiliki sejumlah tradisi yang berbeda dari upacara kematian umumnya. Sebenarnya tradisi-tradisi tersebut adalah peninggalan kebudayaan sebelum datangnya agama Islam dan kristen ke Indonesia. Berikut 14 tradisi unik upacara kematian di Indonesia.

1. Rambu Solo’ - Toraja Selatan

Upacara kematian Rambu Solo’ diselenggarakan secara besar-besaran. Persiapan upacara ini dapat memakan waktu hingga berbulan-bulan. Sementara menunggu persiapan selesai, jasad yang akan dimakamkan di semayamkan terlebih dahulu dalam sebuah peti. Upacara ini disertai dengan upacara penyembelihan berbagai hewan ternak, terutama kerbau. Semakin tinggi status sosial maka semakin banyak kerbau yang akan disembelih. Jumlah kerbau tersebut dapat berkisar antara 24 – 100 ekor.

Brobosan dilakukan dengan cara berjalan mondar-mandir sebanyak 3 kali dimulai dari sisi sebelah kanan keranda menerobos bagian bawah keranda jenazah yang sedang diangkat tinggi-tinggi. Ritual ini dilakukan sebelum jenazah diberangkatkan ke pemakaman. Tujuan dilakukannya tradisi ini adalah untuk menghormati orang yang sudah meninggal serta mengambil tuah dari orang tersebut. Misalnya jika orang tersebut berumur panjang ataupun memiliki ilmu yang tinggi. Dipercaya bahwa semua tuah itu akan menurun pada anggota keluarga yang melakukan brobosan. Jika yang meninggal masih anak-anak maka tradisi ini tidak dilakukan.

Upacara ini berupa proses kremasi atau pembakaran jenazah. Tujuan dari upacara ini adalah untuk mensucikan roh orang yang sudah meninggal. Jika pihak yang meninggal tersebut berasal dari kasta tinggi maka upacara ngaben akan segera dilaksanakan. Sebaliknya jika orang tersebut berasal dari kasta rendah maka jenazahnya biasanya dikuburkan terlebih dahulu untuk kemudian digali kembali ketika akan diselenggarakan ngaben. Upacara ini dapat memakan waktu hingga berhari-hari. Puncaknya adalah pembakaran jenazah beserta kerandanya yang berbentuk lembu atau vihara. Berhubung upacara ini dapat menelan biaya yang mahal maka bagi orang yang tidak memiliki cukup uang dapat menyelenggarakan upacara ini secara kolektif.

4. Saur Matua - Sumatera Utara

Upacara ini dilakukan khusus untuk seseorang yang meninggal pada saat semua anaknya sudah menikah dan memiliki anak. Dalam upacara ini ada pembagian khusus terhadap hewan yang disembelih kepada pihak-pihak tertentu.

Orang-orang yang meninggal di desa ini tidak dikuburkan maupun dibakar. Jenazah akan diletakkan di bawah sebuah pohon yang disebut taru menyan. Jenazah hanya akan ditutupi dengan sungkup bambu. Di sekitarnya diletakkan beberapa perlengkapan mendiang. Dikabarkan bahwa meskipun demikian tempat ini tidak mengeluarkan bau busuk. Hal ini dipercaya disebabkan oleh pohon taru menyan yang menaungi tempat tersebut mampu melenyapkan bau-bau yang dihasilkan oleh mayat-mayat yang diletakkan di sana.

Marapu adalah sebuah kepercayaan peninggalan zaman megalitikum. Upacara kematian dengan menggunakan tradisi ini masih sarat dengan kepercayaan akan kekuatan roh nenek moyang. Upacara kematian marapu dapat menelan biaya yang sangat mahal. Hal ini disebabkan karena ada sejumlah hewan ternak yang harus disembelih sepanjang prosesi ini. Oleh karenanya upacara kematian ini dapat ditunda hingga bertahun-tahun seteah kematian seseorang. Penganut kepercayaan marapu juga memakamkan jenazah dalam posisi seperti janin dalam rahim. Kuburan yang digunakan juga unik yaitu berupa batu yang diberi lubang dan kemudian ditutup dengan batu lagi. Tradisi ini tentunya mengingatkan kita pada sarkofagus dari zaman batu ya guys.

Zaman dulu orang-orang di Minahasa dikuburkan dalam sebuah kotak batu yang ditutup dengan sebuah penutup berbentuk limas segiempat. Jenazah diletakkan dalam kotak batu yang disebut waruga dalam posisi tumit menyentuh pantat dan muka mencium lutut. Tradisi ini kemudian dilarang sekitar tahun 1870’an oleh Belanda menyusul merebaknya wabah pes dan kolera.

8. Mumifikasi suku Asmat - Papua

Tidak sembarang jenazah yang dimumifikasi oleh suku Asmat. Tradisi ini hanya dilakukan pada jenazah-jenazah kepala suku atau orang-orang tertentu yang memiliki posisi penting dalam suku tersebut. Kalau kita perhatikan dari ulasan-ulasan sebelumnya sepertinya posisi memeluk lutut itu memang posisi sakral dalam kepercayaan animisme – dinamisme ya guys.

9. Iki Palek suku Dani - Papua

Jika ada bagian anggota keluarga yang meninggal maka anggota keluarga yang masih hidup akan memotong ruas jari tangannya. Hal ini merupakan simbol kedukaan. Umumnya hal ini hanya dilakukan oleh wanita tertua di keluarga tersebut, namun ada juga kaum lelaki yang ikut melakukannya sebagai simbol kesetiaan. Proses pemotongan jaripun dilakukan dengan spontan menggunakan benda tajam ataupun menggunakan gigi alias digigit hingga putus.

10. Tiwah suku Dayak - Kalimantan Tengah

Prosesi ini dilakukan oleh penganut agama kaharingan. Jasad yang sudah dikuburkan kemudian digali. Tahapan selanjutnya adalah pensucian tulang-belulang tersebut melalui suatu upacara khusus disertai dengan penombakan sejumlah hewan ternak. Tahapan akhir adalah meletakkan tulang-belulang tersebut ke dalam sebuah tempat khusus yang tidak menyentuh tanah.

11. Sirang-sirang suku batak marga Sembiring – Sumatera Utara

Sirang-sirang merupakan upaca kremasi yang diduga merupakan pengaruh agama hindu. Abu jenazah yang sudah dibakar kemudian dilarungkan ke sungai. Tradisi ini hanya dilakukan zaman dulu. Tradisi ini berhenti dilaksanakan karena dianggap rumit dan mengerikan. Faktor lainnya adalah karena masuknya pengaruh agama Islam dan Kristen dalam marga ini.

12. Kuburan bayi Kambira - Toraja

Prosesi ini berlaku bagi bayi-bayi asal Tana Toraja yang meninggal sebelum tumbuh gigi. Pohon yang dijadikan lokasi pemakaman adalah pohon Tarra yang memiliki banyak getah. Jenazah bayi akan dimasukkan dalam lubang yang dibuat pada pohon tersebut tanpa berbalut kain. Tujuannya adalah agar bayi tersebut dapat terlahir kembali lewat rahim yang sama.

13. Makam di atas Tanah dayak Benuaq - Kalimantan

Masyarakat dayak Banuaq tidak menguburkan jenazah orang yang sudah meninggal di dalam tanah. Pada saat pertama kali meninggal, jenazah akan dimasukkan dalam kayu bulat dan digantung di sekiar rumah hingga menjadi tulang belulang. Setelah itu akan dilakukan upaca pemberkatan dan tulang-belulang tersebut akan dipindahkan ke dalam kotak kayu ulin yang permanen. Kotak kayu ini disangga oleh beberapa tiang.

14. Batu Lemo - Tana Toraja

Para bangsawan Tana Toraja akan dikuburkan dalam bukit batu. Sebuah lubang berukur 3 x 5 pada bukit tersebut biasanya diisi oleh satu keluarga. Di masing-masing lubang biasanya ada sejumlah patung kayu yang disebut tao-tao.

Nah itu tadi 14 tradisi unik upacara kematian yang ada di Indonesia. Bagaimana menurut Sobat Kumparan sekalian, apakah kalian berminat untuk menyaksikan secara langsung upacara tersebut?

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề