PENTINGNYA GAYA BAHASA
SEBAGAI UNSUR PEMBANGUN KARYA SASTRA
MAKALAH
Disusun sebagai Tugas Mata Kuliah Penulisan Makalah Ilmiah
Dosen Pengampu Dr. Herman Budiyono, M.Pd
Oleh
Herti Gustina
NIM A1B112005
Semester IV, Kelas A
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
MEI, 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT. atas rahmat dan hiyadah yang telah Ia berikan sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Kemudian ucapan terima kasih penulis haturkan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, baik berupa sarana dan prasarana maupun berupa ide-ide atau gagasan-gagasan sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Makalah ini dibuat dalam rangka melengkapi tugas mata kuliah Penulisan Makalah Ilmiah sebagai bahan latihan dalam membuat sebuah makalah ilmiah. Dalam makalah ini penulis mengangkat topik bahasan mengenai karya sastra khususnya dalam penggunaan gaya bahasa. Melihat pentingnya gaya bahasa dalam karya sastra sebagai unsur pembangun dari sebuah karya sastra.
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, apabila ada kesalahan dan kekurangan penulis mohon maaf. Kritik maupun saran dibuka demi perbaikan makalah ini untuk selanjutnya.
Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Jambi, 26 Mei 2014
Penulis
Herti Gustina
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 3
2.1 Karya Sastra dan Gaya Bahasa....................................................................... 3
2.2 Fungsi Gaya Bahasa........................................................................................ 3
2.3 Macam-Macam Gaya Bahasa.......................................................................... 4
BAB III PENUTUP............................................................................................. 13
Simpulan................................................................................................................ 13
DAFTAR RUJUKAN..........................................................................................
14BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sastra merupakan ungkapan pengalaman, perasaan, dan ide yang dituangkan dalam bentuk tulisan berupa puisi, prosa, dan drama. Karya sastra ialah sebuah karya tulis yang memiliki nilai keindahan dalam isi dan dapat menggetarkan hati pembaca saat membacakannya. Dalam karya sastra unsur keindahan lebih diton-jolkan sebagai karya yang berperan sebagai hiburan dan sarana edukasi. Hal yang membangun sebuah karya sastra ialah unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Salah satu unsur intrinsik yang membangun karya sastra ialah gaya bahasa. Gaya bahasa ialah cara pengarang mengungkapkan sebuah cerita. Dengan adanya gaya bahasa, sebuah karya sastra dapat diceritakan dengan indah. Gaya bahasa yang digunakan dalam karya sastra dapat berupa majas-majas atau kata kiasan. Dengan adanya kata kiasan yang disusun dengan indah oleh pengarang, pembaca dapat menikmati sebuah cerita dan memberikan kesempatan pembaca untuk merenung dan memaknai sebuah cerita.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
a. Apa yang dimaksud dengan karya sastra?
b. Apa yang dimaksud dengan gaya bahasa?
c. Apa saja jenis karya sastra?
d. Apa saja gaya bahasa yang digunakan dalam karya sastra?
e. Apa saja fungsi gaya bahasa dalam karya sastra?
f. Bagaimana penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra?
1.3 Tujuan Penulisan
Dari topik di atas, maka dirumuskan tujuan penulisan makalah sebagai beri-kut.
a. Untuk memahami karya sastra
b. Untuk memahami gaya bahasa
c. Untuk mengetahui jenis-jenis karya sastra
d. Untuk mengetahui macam-macam gaya bahasa yang digunakan dalam karya sastra
e. Untuk mengetahui fungsi gaya bahasa dalam karya sastra
f. Untuk mengetahui penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Karya Sastra dan Gaya Bahasa
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, sastra ialah bahasa dalam karya tulis yang mampu menggetarkan jiwa, indah. Beberapa orang ahli mendefinisikan sastra sebagai berikut:
Sumarno dan Saini mendefinisikan sastra adalah ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, gagasan, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat-alat bahasa.
Mursal Esten menyatakan sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan da-ri fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia dan masya-rakat melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap kehi-dupan manusia [kemanusiaan].
Engleton mengemukakan sastra adalah "karya tulisan yang halus" [belle let-ters] adalah karya yang mencatatkan bentuk bahasa harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjangtipiskan dan di-terbalikkan, dijadikan ganjil.
Ahmad Badrun berpendapat bahwa kesusastraan adalah kegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis simbol-simbol lain sebagai alai dan bersifat i-majinatif.
Semi menyatakan bahwa sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa se-bagai mediumnya.
Panuti Sudjiman mendefinisikan sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapannya.
Menurut Sumardjo dan Sumaini, definisi sastra yaitu: 1]. Sastra adalah seni bahasa; 2]. Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam; 3]. Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa; 4]. Sastra adalah inspirasi kehidupan yang dimateraikan dalam sebuah bentuk keindahan; 5]. Sastra adalah semua buku yang memuat perasaan kemanusiaan yang benar dan kebenaran moral dengan sen-tuhan kesucian, keluasan pandangan dan bentuk yang mempesona.
Suyitno menyatakan bahwa sastra adalah sesuatu yang imajinatif, fiktif dan inventif juga harus melayani misi-misi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Tarigan berpendapat sastra adalah obyek bagi pengarang dalam mengung-kapkan gejolak emosinya, misalnya perasaan sedih, kecewa, senang dan lain pera-saan-perasaan lainnya.
Damono mengungkapkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, ke-hidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang.
Fananie mengatakan bahwa sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan ke-mampuan aspek keindahan yang baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna.
Teeuw mengatakan bahwa kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta akar kata Sas-, dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberikan petunjuk atau instruksi. Akhiran kata tra- biasanya menun-jukkan alat, suasana. Maka dari sastra dapat berarti, alat untuk mengajar, buku pe-tunjuk, buku instruksi dan pengajaran; misalnya silpasastra, buku arsitektur, ke-masastraan, buku petunjuk mengenai seni cerita. Awalan su- berarti baik, indah sehingga susastra dapat dibandingkan dengan berbagai belles letter.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disepakati bahwa sastra adalah se-buah karya seni yang diaplikasikan dalam bentuk tulisan dengan media bahasa. Jadi bahasa merupakan unsur utama dalam karya sastra. Banyak para ahli bahasa kontemporer yang menyatakan bahwa sastra sama dengan bahasa, yaitu suatu sis-tem yang menjadi syarat mutlak dalam memahami karya sastra. Sebuah karya sas-tra menggunakan bahasa yang khas yang dapat menarik perhatian pembaca. Jadi sebuah sastra dapat dikatakan sebagai bahasa, namun sebuah bahasa tidak dapat dikatakan sebagai sastra karena di dalam sastra terdapat bahasa.
Bahasa sastra adalah bahasa yang khas. Pemakaian bahasa dalam karya sastra dianggap menyimpang dari bahasa sehari-hari dan bahasa normal. Bahasa dalam karya sastra bersifat retorik dan stilistik. Retorik maksudnya penggunaan bahasa secara retorika yaitu keterampilan bahasa secara efektif. Sedangkan stilistika maksudnya penggunaan gaya bahasa seperti majas-majas dalam karya sastra. Penggunaan gaya bahasa tersebut bertujuan untuk memunculkan art atau nilai seni yang berarti memunculkan estetika dalam karya sastra.
Hal yang membedakan karya ilmiah dengan karya sastra terletak pada gaya bahasa yang digunakan. Dalam karya ilmiah, gaya bahasa yang digunakan lebih bersifat formal dan menggunakan data empiris dalam pemaparan isi. Sedangkan dalam karya sastra, bahasa yang digunakan lebih menonjolkan nilai estetis dengan menggunakan kata kias atau majas-majas.
Salah satu unsur yang membangun karya sastra ialah gaya bahasa yang me-rupakan unsur intrinsik pembangun karya sastra. Dengan adanya gaya bahasa, se-buah karya sastra menjadi menarik dan memiliki nilai estetik. Gaya bahasa berka-itan erat dengan pengarang. Gaya bahasa merupakan cara seorang pengarang mengungkapkan ide ke dalam sebuah tulisan. Gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang bersifat individualis yang dilatarbelakangi oleh latar sosiohistoris. Arti-nya, gaya bahasa yang digunakan seorang pengarang dalam menceritakan ide atau gagasan bergantung pada masing-masing individu.
Dalam karya sastra, gaya bahasa yang digunakan berupa majas-majas atau kata-kata kias. Dalam hal ini terdapat banyak cara yang bisa digunakan penga-rang dalam menyampaikan ide atau gagasannya ke dalam sebuah cerita. Hal itu tertuang dalam berbagai jenis majas yang dapat ditemukan dalam karya sastra.
2.2 Macam-Macam Karya Sastra
Karya sastra dapat dibagi ke dalam 3 kelompok, yakni puisi, prosa, dan drama.
1] Puisi
Puisi adalah karya sastra yang merupakan rangkaian kata yang sangat pa-du. Oleh karena itu, kejelasan sebuah puisi sangat bergantung pada ketepatan penggunaan kata serta kepaduan yang membentuknya.
2] Fiksi atau Prosa Naratif
Fiksi atau prosa naratif adalah karangan yang bersifat menjelaskan secara terurai mengenai suatu masalah atau hal atau peristiwa. Fiksi pada dasarnya terba-gi menjadi novel, roman, dan cerita pendek.
a. Novel
Novel ialah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang [tokoh cerita]. Dikata-kan kejadian yang luar biasa karena dari kejadian ini lahir suatu konflik, suatu pertikaian yang mengalihkan jurusan nasib para tokoh. Novel hanya menceritakan salah satu segi kehidupan sang tokoh yang benar-benar istimewa, yang mengaki-batkan terjadinya perubahan nasib.
b. Roman
Istilah roman berasal dari genre romance dari Abad Pertengahan yang me-rupakan cerita panjang tentang kepahlawanan dan percintaan. Istilah roman ber-kembang di Jerman, Belanda, Perancis, dan bagian-bagian Eropa Daratan yang la-in. Ada sedikit perbedaan antara roman dan novel, yakni bahwa bentuk novel le-bih pendek dibanding dengan roman, tetapi ukuran luasnya unsur cerita hampir sama.
c. Cerita Pendek
Cerita pendek adalah suatu karangan prosa yang berisi cerita sebuah peris-tiwa kehidupan manusia, pelaku/tokoh dalam cerita tersebut. Dalam karangan ter-dapat pula peristiwa lain tetapi peristiwa tersebut tidak dikembangkan, sehingga kehadirannya hanya sekadar sebagai pendukung peristiwa pokok agar cerita tam-pak wajar. Ini berarti cerita hanya dikonsentrasikan pada suatu peristiwa yang menjadi pokok ceritanya.
3] Drama
Drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui dialog-dia-log para tokohnya. Drama sebagai karya sastra sebenarnya hanya bersifat semen-tara, sebab naskah drama ditulis sebagai dasar untuk dipentaskan. Dengan demiki-an, tujuan drama bukanlah untuk dibaca seperti orang membaca novel atau puisi. Drama yang sebenarnya adalah naskah sastra yang telah dipentaskan. Tetapi nas-kah tertulis drama selalu dimasukkan sebagai karya sastra.
2.3 Macam-Macam Gaya Bahasa
Gaya bahasa dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu sebagai berikut.
1] Gaya Bahasa Perbandingan
Gaya bahasa perbandingan terdiri dari:
a. Perumpamaan/Simile
Perumpamaan/simile adalah gaya bahasa perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan, namun memiliki keadaan yang sesuai dengan apa yang dilukiskan. Gaya bahasa perumpamaan/simile dicirikan dalam penggunaan kata seperti, bagai, bak, sebagai, laksana, penaka, umpama, ibarat, penaka, dan seru-pa.
b. Metafora
Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal atau benda yang memiliki sifat sama untuk menciptakan suatu kesan mental yang hidup. Ga-ya bahasa metafora lebih bersifat menerangkan sehingga dalam penggunaannya ti-dak memakai kata seperti dan sejenisnya.
c. Personifikasi
Personifikasi adalah gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani kepada barang yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak. Gaya bahasa ini dicirikan de-ngan penggunaan diksi benda-benda yang tak bernyawa seolah seperti manusia.
d. Depersonifikasi
Depersonifikasi merupakan kebalikan dari personifikasi. Depersonifikasi disebut juga dengan pembendaan, yakni gaya bahasa yang membandingkan manu-sia seolah-olah seperti benda mati. Depersonifikasi dicirikan dengan penggunaan kata kalau, jika, jikalau, bila atau bilamana, sekiranya, misalkan, umpama, andai, andaikata, seandainya, dan andaikan. Pada dasarnya gaya bahasa pembendaan terdiri dari dua klausa yang merupakan satu kalimat utuh. Gaya bahasa pembenda-an dapat bersifat pertautan ataupun pertentangan.
e. Alegori
Alegori adalah gaya bahasa yang membandingkan kehidupan manusia de-ngan alam, biasanya menggunakan lambang-lambang. Fabel dan parabel merupa-kan alegori-alegori singkat. Fabel ialah gaya bahasa yang menggunakan binatang sebagai lambang terhadap sesuatu yang ingin disampaikan. Sedangkan parabel berkaitan dengan pedoman hidup yang mengandung pengajaran mengenai moral dan kebenaran.
f. Antitesis
Antitesis adalah gaya bahasa yang mengadakan komparasi atau perban-dingan antara dua antonim [kata-kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan. Gaya bahasa ini dicirikan dengan penggunaan dua kata yang memi-liki pertentangan makna.
g. Pleonasme/Tautologi
Pleonasme adalah gaya bahasa dengan pemakaian kata yang berlebihan dan sebenarnya tidak diperlukan. Contohnya penggunaan kata saling tolong-me-nolong. Sedangkan tautologi adalah gaya bahasa dengan pemakaian kata yang berlebihan berupa pengulangan kata dari kata yang lain. Pada prinsipnya pleonas-me dan tautologi ialah acuan yang menggunakan kata-kata lebih banyak dari yang dibutuhkan untuk menyatakan suatu pikiran atau gagasan.
h. Perifrasis
Perifrasis adalah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata lebih banyak dari yang dibutuhkan, namun kata tersebut dapat digantikan dengan sebuah kata saja. Gaya bahasa ini dapat digantikan dengan kata yang lebih singkat dan sesuai dengan maksud dari gagasan sebelumnya.
i. Prolepsis/Antisipasi
Prolepsis atau antisipasi adalah gaya bahasa yang mendahului tentang se-suatu yang masih akan dikerjakan atau akan terjadi. Biasanya menggunakan kata-kata yang menjelaskan gambaran umum terhadap apa yang akan terjadi.
j. Koreksio/Epanortesis
Koreksio atau epanortesis adalah gaya bahasa yang berwujud mula-mula i-ngin menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memeriksa dan memperbaikinya kem-bali. Gaya bahasa ini dicirikan dengan penggunaan kata eh, ah, maaf.
2] Gaya Bahasa Pertentangan
Gaya bahasa pertentangan terdiri dari:
a. Hiperbola
Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berle-bih-lebihan jumlahnya, ukurannya atau sifatnya dengan maksud memberi pene-kanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan ke-san dan pengaruhnya. Gaya bahasa ini melibatkan kata-kata, frasa, atau kalimat [Tarigan, 1984:143; Tarigan, 1985:186].
b. Litotes
Litotes adalah majas yang di dalam pengungkapannya menyatakan sesuatu yang positif dengan bentuk yang negatif atau bentuk yang bertentangan. Litotes mengurangi atau melemahkan kekuatan pernyataan yang sebenarnya [Moeliono, 1984:3]. Biasanya digunakan untuk pernyataan merendahkan diri.
c. Ironi
Ironi aialah majas yang menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud berolok-olok. Ironi merupakan gaya bahasa yang mengimplikasikan se-suatu yang berbeda, bahkan adakalanya bertentangan dengan yang sebenarnya. I-roni ringan berupa humor, sedangkan ironi keras berupa sarkasme atau satire.
d. Oksimoron
Oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama [Keraf; 1985:136]. Biasanya digunakan untuk memperkuat makna dari suatu pernyataan.
e. Paronomasia
Paronomasia adalah gaya bahasa yang berisi penjajaran kata-kata yang berbunyi sama tetapi bermakna lain; kata-kata yang sama bunyinya tetapi artinya berbeda [Ducrot dan Todorov, 1981:278; Tarigan, 1985:190]. Paronomasia dise-but juga dengan pun.
f. Paralipsis
Paralipsis adalah gaya bahasa yang merupakan suatu formula yang diper-gunakan sebagai sarana untuk menerangkan bahwa seseorang tidak mengatakan a-pa yang tersirat dalam kalimat itu sendiri [Ducrot dan Todorov, 1981:278; Tari-gan, 1985:191].
g. Zeugma dan Silepsis
Zeugma dan silepsis adalah gaya bahasa yang mempergunakan dua kon-struksi rapatan dengan cara menghubungkan sebuah kata dengan dua atau lebih kata lain yang pada hakekatnya hanya sebuah saja yang mempunyai hubungan de-ngan kata yang pertama. Perbedaan antara keduanya adalah di dalam zeugma ter-dapat gabungan gramatikal dua buah kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan [Ducrot dan Todorov, 1981:279]. Sedangkan silepsis, kon-struksi yang dipergunakan itu secara gramatikal benar, tetapi secara semantik sa-lah [ef. Keraf, 1985:135].
h. Satire
Satire adalah gaya bahasa yang menggunakan ungkapan yang bertujuan untuk menertawakan atau menolak sesuatu. Satire biasanya berisi kritik moral a-tau politik.
i. Inuendo
Inuendo adalah gaya bahasa yang berupa sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Gaya bahasa ini menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung.
j. Antifrasis
Antifrasis adalah gaya bahasa yang berupa penggunaan sebuah kata de-ngan makna kebalikannya. Biasanya menggunakan antonim kata dari pernyataan yang sebenarnya.
k. Paradoks
Paradoks adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya [Keraf, 1985:136]
l. Klimaks
Klimaks adalah gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Klimaks bersifat periodik dan dapat diibaratkan sebagai anak tangga naik.
m. Antiklimaks
Antiklimaks adalah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang diurutkan dari hal terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Anti-klimaks merupakan kebalikan dari klimaks dan dapat diibaratkan sebagai anak tangga turun.
n. Apostrof
Apostrof adalah gaya bahasa yang berupa pengalihan amanat dari yang ha-dir kepada yang tidak hadir. Biasanya digantikan dengan sesuatu yang bersifat ga-ib atau khayalan.
o. Anastrof
Anastrof atau inversi adalah gaya bahasa yang merupakan permutasi atau perubahan urutan unsur-unsur konstruksi sintaksis [Ducrot dan Todorov, 1981:-277]. Dalam gaya bahasa ini perubahan urutan SP [subjek-predikat] menjadi PS [predikat-subjek].
p. Apofasis
Apofasis adalah gaya bahasa yang dipergunakan untuk menegaskan sesua-tu tetapi tampaknya menyangkalnya. Gaya bahasa ini disebut juga dengan preteri-sio.
q. Histeron proteron
Histeron proteron adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari se-suatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar [Keraf, 1985:133]. Gaya bahasa ini disebut juga dengan hiperbaton.
r. Hipalase
Hipalase adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari suatu hu-bungan alamiah antara dua komponen gagasan [cf. Keraf, 1985:142]. Gaya bahasa ini mempergunakan suatu kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata yang se-harusnya dikenakan pada sebuah kata lain.
s. Sinisme
Sinisme adalah gaya bahasa yang berupa sindiran yang berbentuk kesang-sian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Gaya baha-sa ini adalah ironi yang lebih kasar sifatnya, namun kadang-kadang sukar ditarik batas yang tegas antara keduanya.
t. Sarkasme
Sarkasme adalah gaya bahasa yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dan menyakitkan hati [Poerwadarminta, 1976:874]. Ciri utama gaya bahasa ini adalah selalu mengandung kepahitan dan celaan yang getir, menyakiti hati, dan kurang enak didengar.
3] Gaya Bahasa Pertautan
Gaya bahasa pertautan terdiri dari:
a. Metonimia
Metonimia adalah majas yang memakai nama ciri atau nama hal yang di-tautkan dengan nama orang, barang, atau hal sebagai penggantinya. Kita dapat menyebut pencipta atau pembuatnya jika yang kita maksudkan ciptaan atau buat-annya ataupun kita menyebut bahannya jika yang kita maksudkan barangnya [Moeliono, 1984:3].
b. Sinekdoke
Sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhannya, atau sebaliknya [Moeliono, 1984:3]. Dengan ka-ta lain sinekdoke meenyatakan sesuatu sebagian untuk pengganti keseluruhan.
c. Alusi
Alusi atau kilatan adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak lang-sung ke suatu peristiwa atau tokoh berdasarkan praanggapan adanya pengetahuan bersama yang dimiliki oleh pengarang dan pembaca serta adanya kemampuan pa-ra pembaca untuk menangkap pengacuan itu.
d. Eufemisme
Eufimisme adalah gaya bahasa yang menggunakan ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar yang dianggap merugikan atau yang tidak menyenangkan. Akantetapi gaya bahasa ini dapat juga dengan mudah melemahkan kekuatan diksi karangan.
e. Eponim
Eponim adalah gaya bahasa yang mengandung nama seseorang yang begi-tu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk me-nyatakan sifat itu. Biasanya digunakan nama-nama tokoh terkenal.
f. Epitet
Epitet adalah gaya bahasa yang mengandung acuan yang menyatakan sua-tu sifat atau ciri yang khas dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu meru-pakan suatu frasa deskriptif yang memerikan atau menggantikan nama sesuatu benda atau nama sesorang.
g. Antonomasia
Antonomasia adalah gaya bahasa yang merupakan bentuk khusus dari si-nekdoke yang berupa pemakaian sebuah epitet untuk menggantikan nama diri atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Gaya bahasa ini menggu-nakan gelar resmi atau jabatan sebagai pengganti nama diri.
h. Erotesis
Erotesis adalah gaya bahasa berupa pernyataan yang dipergunakan dalam tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali tidak menghendaki adanya jawaban. Gaya bahasa ini juga disebut dengan pertanyaan retoris. Di dalamnya terdapat suatu asumsi bah-wa ada satu jawaban yang mungkin.
i. Paralelisme
Paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran da-lam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama da-lam bentuk gramatikal yang sama. Kesejajaran tersebut dapat pula berbentuk anak kalimat yang tergantung pada sebuah induk kalimat yang sama. Gaya bahasa ini lahir dari struktur kalimat yang berimbang. [Keraf, 1985:126]
j. Elipsis
Elipsis adalah penghilangan salah satu atau beberapa unsur penting dalam konstruksi sintaksis yang lengkap. Biasanya digunakan agar pembaca mudah un-tuk memahami maksud dari sebuah pernyataan.
k. Gradasi
Gradasi adalah gaya bahasa yang mengandung suatu rangkaian atau urutan [paling sedikit tiga] kata atau istilah yang secara sintaksis bersamaan yang mem-punyai satu atau beberapa ciri-ciri semantik secara umum dan yang di antaranya paling sedikit satu ciri diulang-ulang dengan perubahan-peruabahn yang bersifat kuantitatif [Ducrot an Todorov, 1981:277; Tarigan, 1985:197].
l. Asindenton
Asindenton adalah gaya bahasa yang berupa acuan padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Bentuk-bentuk tersebut biasanya dipisahkan saja oleh tanda koma.
m. Polisindenton
Polisindenton adalah gaya bahasa di mana beberapa kata, frasa, atau klau-sa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata hubung. Biasanya di-gunakan untuk memberikan penjelasan terhadap suatu pernyataan.
4] Gaya Bahasa Perulangan
Gaya bahasa perulangan terdiri dari:
a. Aliterasi
Aliterasi adalah gaya bahasa yang memanfaatkan purwakanti atau pema-kaian kata-kata yang permulaannya sama bunyinya [Tarigan, 1985:197]. Gaya ba-hasa ini berwujud perulangan konsonan yang sama. Biasanya digunakan untuk pe-nekanan atau memberikan nilai keindahan pada sebuah karya sastra.
b. Asonansi
Asonansi adalah gaya bahasa repitisi yang berwujud perulangan vokal yang sama, baik di awal, di tengah, maupun di akhir kata, frasa, atau kalimat. Sa-ma halnya dengan aliterasi, asonansi biasanya digunakan untuk memberikan te-kanan atau memperindah suatu karya sastra.
c. Antanaklasis
Antaklasis adalah gaya bahasa yang mengandung ulangan kata yang sama dengan makna yang berbeda [Ducrot dan Todorov, 1981:277; Tarigan, 1985:198].
d. Kiasmus
Kiasmus adalah gaya bahasa yang berisikan perulangan dan sekaligus pula merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu kalimat [Ducrot dan To-dorov, 1981:277]. Gaya bahasa ini terdiri dari dua bagian yang bersifat berimbang dan dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa dan klausanya terbalik bi-la dibandingkan dengan frasa/kalusa lainnya.
e. Epizeukis
Epizeuksis adalah gaya bahasa perulangan yang bersifat langsung, yaitu kata yang ditekankan atau yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut.
f. Tautotes
Tautotes adalah gaya bahasa perulangan atau repitisi atas sebuah kata ber-ulang-ulang dalam sebuah konstruksi [Keraf, 1985:127].
g. Anafora
Anafora adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata pertama pada setiap baris atau setiap kalimat.
h. Epistrofa
Epistrofa adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat berurutan.
i. Simploke
Simploke adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut [Keraf, 1985:128].
j. Mesodiplosis
Mesodiplosis adalah gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa di tengah-tengah baris atau beberapa kalimat berurutan.
k. Epanaplesis
Epanaplesis adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata per-tama dari baris, kalusa atau kalimat menjadi terakhir.
l. Anadiplosis
Anadiplosis adalah gaya bahasa repetisi di mana kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau ka-limat berikutnya.
2.4 Fungsi Gaya Bahasa
Sebagai unsur intrinsik pembangun karya sastra, gaya bahasa memiliki be-berapa fungsi dalam karya sastra, yaitu sebagai berikut.
1] Meninggikan Selera
Maksud dari meninggikan selera yaitu dengan penggunaan gaya bahasa, sebuah karya sastra menjadi lebih bernilai estetis sehingga minat baca menjadi le-bih terpacu. Jika sebuah karya sastra tidak menggunakan gaya bahasa, maka karya sastra tersebut belum dapat dikatakan sebagai karya sastra yang baik. Karya sastra tanpa gaya bahasa akan terasa hambar dan tidak menarik minat pembaca. Sebalik-nya, jika karya sastra memenuhi penggunaan gaya bahasa dengan pemilihan diksi yang baik, maka karya sastra tersebut bisa dikatakan sebagai karya yang baik atau indah [bernilai estetis].
2] Mempengaruhi atau Meyakinkan Pembaca
Dengan penggunaan gaya bahasa, seorang pembaca dapat terpengaruh atau teryakini terhadap apa yang ia baca. Penggunaan gaya bahasa yang tepat dapat membawa pembaca masuk ke dalam cerita. Dengan adanya gaya bahasa, sebuah cerita menjadi lebih menarik.
3] Menciptakan Keadaan Perasaan Hati
Gaya bahasa dapat mempengaruhi emosi pembaca. Gaya bahasa tersebut merupakan jembatan bagi pembaca untuk masuk ke dalam cerita dan berbaur rasa dengan apa yang diceritakan. Apabila pembaca telah larut ke dalam cerita, maka bahasa menyalurkan rasa yang ada di dalam cerita, misalnya perasaan sedih, baha-gia, kesal, bersemangat semuanya bergantung pada pemakaian gaya bahasa.
4] Memperkuat Efek terhadap Gagasan
Ide atau gagasan yang kita salurkan ke dalam sebuah karya sastra akan ku-at bila menggunakan gaya bahasa yang sesuai. Efek yang akan muncul terhadap gagasan atau ide dalam cerita bergantung pada gaya bahasa.
2.5 Gaya Bahasa dalam Karya Sastra
Dalam sebuah karya sastra terdapat banyak gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang dalam menuangkan hasil pikirannya melalui tulisan. Penggunaan gaya bahasa yang baik dapat menimbulkan efek keindahan dari sebuah karya sastra. Karya sastra dapat dikatakan indah jika diksi yang digunakan saling berkolaborasi dengan isi dari sebuah karya sastra tersebut.
Dalam karya sastra berupa puisi, bahasa bersifat ekspresif, sugestif, asosiatif, dan magis. Dengan kata lain, gaya bahasa berfungsi untuk memunculkan ekspresi, sugesti, asosiasi, dan magis dari pembaca. Perhatikan penggunaan gaya bahasa pada puisi berikut:
TANAH PILIH
Kini aku mengerti, saudaraku
Kenapa Tanah Pilih begitu lesu
Menjelma yatim piatu
dalam kesepian mahapanjang
Tanggal, bulan, tahun, atau mungkin
abad-abad berlalu sanggat Tanggorajo
Kita sengaja lupa
Tanah Pilih tak lagi kuasa menampung
hasrat pribadi anak zamannya
Bergulir waktu bersilih sanak
seperti I-tsing menekuni sabdawidya di Sriwijaya
Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa
menerima arca Amoghapasa dari Kartanegara
Para syahbandar menyulap perahu-perahu jadi niaga
Binar lampu-lampu Dermaga melampaui kilau purnama
Kini aku mengerti, saudaraku
Tanah Pilih bukan sungai bertumpuk batu
Pada pelayaran sejauh alur Batanghari
Berbagai suasana telah menyusun dirinya
dalam segala prasangka cuaca
Di Tanah Pilih aku tiba
Masa lalu terentang di sudut kotak pandora
Aku bergegas membuka
Karena di dalamnya tersimpan peta
Ke arah sarang jiwa
Jumardi Putra
Jambi, 2013
Dalam puisi Tanah Pilih karya Jumardi Putra ini terdapat gaya bahasa yang dapat memunculkan nilai estetis tersendiri dari karya tersebut. Misalnya penggunaan kata “Tanah Pilih” merupakan gaya bahasa epitet. Tanah Pilih meru-pakan nama lain dari Jambi. Penulis menggunakan kata “Tanah Pilih” untuk me-munculkan nilai estetis dari puisi tersebut.
Pada bait “Tanggal, bulan, tahun, atau mungkin abad-abad berlalu sang-gat Tanggorajo” merupakan gaya bahasa klimaks yang menyatakan urutan waktu yang semakin lama semakin meningkat. Pada bait lain terdapat kutipan “Binar lampu-lampu Dermaga melampaui kilau purnama” yang merupakan gaya bahasa hiperbola, yakni melebih-lebihkan sesuatu. Dalam kutipan tersebut kata binar lampu Dermaga dilebih-lebihkan dengan menyatakan bahwa lampu tersebut me-lampaui kilau purnama. Dan masih banyak gaya bahasa lainnya yang digunakan dalam puisi tersebut.
Begitupun pada sebuah prosa berupa cerpen, novel, roman juga menggunakan gaya bahasa dalam memaparkan suatu cerita. Selain untuk memunculkan nilai estetis, gaya bahasa juga dapat menarik pembaca supaya tidak bosan dalam membaca karya sastra. Misalkan pada novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy terdapat banyak sekali penggunaan gaya bahasa yang mampu menghidupkan sebuah cerita dalam karya sastra.
Dalam kutipan “...bercampur pasir menari-nari kemana-mana.” [Shirazy, 2008:18] merupakan bentuk gaya bahasa personifikasi. Dimana benda mati ‘pasir’ seolah-olah bertingkah laku seperti manusia ‘menari-nari’. Pada kutipan yang lain “Nasihat beliau bagaikan embun menetes di pagi hari musim semi.” [Shirazy, 2008:341] merupakan gaya bahasa simile yang membandingkan sesuatu dengan keadaan lain yang sesuai dengan keadaan yang dilukiskan. Pada kutipan itu dapat kita ketahui bahwa nasihat tersebut memberikan rasa sejuk, sama halnya dengan embun di pagi hari musim semi. Dan banyak lagi kutipan-kutipan yang lain, yang menggunakan gaya bahasa pada novel tersebut.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam karya sastra sa-ngat diperlukan gaya bahasa. Gaya bahasa merupakan pembeda antara karya sas-tra dengan karya ilmiah. Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan ide atau ga-gasan oleh pengarang dalam suatu tulisan. Nilai estetik suatu karya sastra dapat dimunculkan dengan penggunaan gaya bahasa. Dengan adanya gaya bahasa, suatu karya sastra menjadi lebih memiliki daya tarik.
Karya sastra dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu: puisi, prosa [no-vel, roman, cerpen], dan drama. Gaya bahasa dapat dikelompokkan ke dalam 4 je-nis, yaitu: Gaya bahasa perbandingan: perumpamaan, metafora, personifikasi, de-personifikasi, alegori, antitesis, pleonasme/tautologi, perifrasis, prolepsis antisipa-si, dan koreksio/epanortesis; gaya bahasa pertentangan: hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, paronomasia, paralipsis, zeugma/silepsis, satire, inuendo, antifrasis, paradoks, klimaks, antiklimaks, apostrof, anastrof, apofasis, histeron proteron, hi-palase, sinisme, dan sarkasme; gaya bahasa pertautan: metonimia, sinokdoke, alu-si, eufemisme, eponim, epitet, antonomasia, erotesis, paralelisme, elipsis, gradasi, asindenton, dan polisindenton; dan gaya bahasa perulangan: aliterasi, asonansi, antanaklasis, kiasmus, epieuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodip-losis, epanalepsis, dan anadiplosis.
Fungsi dari gaya bahasa dalam karya sastra antara lain: meninggikan sele-ra, mempengaruhi atau meyakinkan pembaca, menciptakan keadaan perasaan hati, dan memperkuat efek terhadap suatu gagasan.
Dalam sebuah karya sastra terdapat gaya bahasa sebagai unsur pembangun karya sastra. Bahasa merupakan media bagi terciptanya karya sastra. Bahasa yang menarik diperoleh dari penggunaan gaya bahasa yang baik. Gaya bahasa yang baik tersebut dapat memunculkan nilai estetis yang memunculkan ketertarikan pembaca untuk membaca sebuah karya sastra.
DAFTAR RUJUKAN
_. 2012. Pemahaman tentang Karya Sastra, [Online], [//pelitaku.sabda.org-/pemahaman_tentang_karya_sastra, diakses 19 April 2012]
Santoso, S. 2012. Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Ba-hasa, [Online], [//id.shvoong.com/books/dictionary/2295764-stilistika-teori-metode-dan-aplikasi/#ixzz2G4RHbTc4, diakses 6 Juni 2012]
Daryanto, SS. 1998. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Apollo Lestari
Fitrah, N. 2010. Gaya Bahasa Retoris dan Kiasan, [Online], [//repository.-usu.ac.id/bitstream/123456789/17733/4/Chapter%20II.pdf, diakses 2010]
Khoir, M. 2012. Gaya Bahasa dalam Karya Sastra, [Online], [//mazidatul-khoir.wordpress.com/2012/10/07/gaya-bahasa-dalam-karya-sastra/, diakses 7 Oktober 2012]
Putra, J. 2013. Ziarah Batanghari Sepilihan Puisi. Yogyakarta: Ayyana
Riydal, K. 2013. Dua Belas Pengertian Sastra Menurut Para Ahli. Aku Menulis Karena Alloh, [Online], Vol. 5, No. 5, [//akumenuliskarenaalloh.blog-spot.com/2013/05/dua-belas-pengertian-sastra-menurut.html, diakses Mei 2013]
Shirazy, HE. 2008. Ayat-Ayat Cinta. Jakarta: Republika
Tarigan, HG. 1986. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya