Apa maksud lahan sawit terhimbas b30

Oleh:

Antara/Chairul Rohman Bahan bakar biodiesel B30, salah satu energi baru terbarukan.

Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia [Aptrindo] meminta Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit [BPDP-KS] untuk membiayai ongkos penambahan saringan pada kendaraan angkutan barang terdampak aturan mandatori B30.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia [Aptrindo] Bidang Distribusi dan Logistik Kyatmaja Lookman menuturkan para pengguna bahan bakar minyak [BBM] jenis solar termasuk angkutan barang mesti menambah filter atau penyaring guna mengantisipasi tingkat kekentalan FAME yang meningkat pada biodiesel B30.

"Nah itu pasang strainer, butuh biaya siapa yang membiayai? Kemudian hasilnya kita perlu lakukan tes pada mesin lagi berupa tes oli bekas, siapa yang membiayai. Ini kita minta ESDM atau badan sawit yang membiayai lah," ungkapnya kepada Bisnis, Senin [13/1/2020].

Dia bercerita jika bicara kendaraan pabrikan dengan penerapan B30 sudah siap karena mesin barunya sudah menyesuaikan tingkat kekentalan BBM sebagai dampak campuran minyak sawit tersebut.

Namun, untuk mesin lama pihaknya sudah melakukan uji coba di unit kendaraan yang sudah tua atau sudah sejak lama digunakan. Upaya ini, terangnya, cukup merepotkan pengguna BMM karena jadinya pihak pengguna menebak-nebak sendiri dampak penambahan konsentrasi minyak FAME tersebut.

"Kami kecewa dengan pola Kementerian ESDM yang tidak melibatkan kendaraan yang lama untuk ikut di uji coba, sementara dari agen pemegang merek [APM] mereka menambahkan filter strainer untuk mengantisipasi B30," ungkapnya.

Padahal sewaktu mandatori B20 dilakukan, Aptrindo sempat melakukan tes oli bekas dan hasilnya tidak masalah dengan tambahan pre-filter.

Sementara itu, dia menjelaskan B30 ini memiliki tingkat kekentalan yang lebih tinggi, sehingga membutuhkan filter tambahan lagi untuk pemecah molekul sawit namanya strainer.

Dia menegaskan saat ini dibutuhkan 3 filter untuk mengatasi dampak dari penggunaan BBM biodiesel B30. "B20 pakai 2 filter, B30 pakai 3 filter, B100 jangan-jangan nanti malah butuh 10 filter," selorohnya.

Penambahan saringan atau filter yang disebut strainer ini jelasnya berfungsi untuk memecah molekul sawit menjadi lebih kecil sehingga tidak menyumbat filter utama. Pasalnya, penyumbatan filter utama bisa berdampak terhadap kinerja mesin.

"Kendaraan baru sudah dilengkapi strainer, kendaraan lama belum, mereka minta kita mencoba strainer tapi uji coba juga belum membuahkan hasil," paparnya.

Di sisi lain, perkara distribusi solar atau biodiesel B30 yang belum merata di setiap SPBU juga menjadi sorotan. Hal ini tentunya akan menimbulkan masalah karena masih ada SPBU yang menjual B20 dan ada yang menjual B30.

Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian ESDM menerapkan mandatori B30 setelah pada 2019 menerapkan mandatori B20 dalam campuran bahan bakar solar. B30 yang dimaksud yakni pencampuran 70% solar murni dengan minyak FAME yang dihasilkan dari kelapa sawit sebesar 30%.

Campuran ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan atas impor BBM jenis solar dan meningkatkan serapan sawit di dalam negeri mengingat pasar internasional minyak kelapa sawit tengah bergejolak.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :

Serikat Petani Kelapa Sawit [SPKS]

Siaran Pers

KEBIJAKAN MENAIKAN PUNGUTAN EKSPOR CPO DINILAI HANYA MENGEJAR TARGET BIODIESEL B40, MERUGIKAN PETANI SAWIT INDONESIA

Jakarta, 4 Desember 2020 – Di tengah petani sawit tengah menikmati harga sawit yang tinggi, pemerintah kembali menaikan  pungutan ekspor CPO atau dana sawit yang dikelola oleh  Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit [BPDP-KS], melalui Peraturan Menteri Keuangan [PMK] No 191/PMK.05/2020 tentang Perubahan atas PMK No 57/PMK.05/2020 Tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, pungutan ekspor CPO baru berkisar USD 55 per ton sampai USD 255 per ton atau ini akan menyesuaikan harga CPO.

Mansuetus Darto Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit [SPKS] menangapi kenaikan pungutan ekspor CPO,  Ini tentunya sama saja pemerintah ingin memiskinkan petani, di saat harga CPO sekarang ini naik yang di ikuti dengan kenaikan harga Tandan Buah Segar [TBS]/buah sawit petani, pungutan kembali dinaikan padahal pemanfaatannya dari hasil pungutan ini hanya untuk subsidi biodiesel [B30] yang dimiliki para konglomerat sawit. Kami sudah menghitung, dengan pungutan 55 dolar saja, harga berkurang 150 rupiah/kg TBS petani. dan jika pungutan 55 dolar hingga 255 dolar itu sudah sangat membunuh petani, sebab akan mengurangi harga hampir 500 rupiah/kg TBS. Kapan petani menikmati harga TBS yang bagus? Jelas ini hanya untuk kepentingan para konglomerat sawit dan mereka di subsidi petani. Jelas Darto melalui rilis pers SPKS, 4 desember 2020.

Darto kembali menjelaskan bahwa, Kebijakan ini sangat salah kaprah, di keluarkan disaat Covid-19 dimana kita tahu bersama termasuk petani sawit terdampak misalnya ada kenaikan pupuk, saprodi ditingkat petani, selain itu menyangkan karena  petani sawit tidak dilibatkan dalam konsultasi akan dampaknya dari kenaikan pungutan CPO ini.

“Kebijakan ini hanya mau mengejar ambisi target untuk melangkah ke B40 dan sangat merugikan petani sawit di indonesia. Kami minta agar kebijakan ini segera di evaluasi kembali termasuk Badan yang mengelola dana sawit [BPDPKS] sebab tidak ada transparansi dan akuntabilitas disana serta yang menyusun dan yang mengusulkan kebijakan ini dari komite pengarah dan dewan pengawas ada konglomerat biodiesel disitu”. Tegas Darto.

Faisal Basri, Ekonom Senior Indonesia sebelumnya dalam diskusi yang bertemakan matematikan program biodiesel, mengkonfirmasi petani sawit sangat dirugikan atas pemberlakukan pungutan CPO, dengan mengatakan jika satu negara menerapkan pajak ekspor atau bea keluar atau pajak sawit, maka pembeli punya kemapuan jauh lebih besar untuk membebankan pajak ekspor tersebut kepada petani dan ini bisa dipastikan petani akan memperoleh harga dibawah harga internasional. 

Tentang SPKS

Serikat Petani Kelapa Sawit [SPKS] adalah organisasi/asosiasi petani kelapa sawit di indonesia yang memiliki visi mewujudkan petani kelapa sawit mandiri, sejahtera dan berkelanjutan dan bekerja langsung dilapangan melalui pembangunan kapasitas, kelembagaan ekonomi dan fasilitasi akses petani. Saat ini, SPKS sudah berada di enam provinsi : Sumut, Jambi, Riau, Sumsel, Kalbar, Kalteng dan Kaltim, denagn anggota  sekitar 58 ribu petani kecil dengan skala lahan 1-10 hektar dan bekerja langsung dikebun.

Kontak Media :

Sabarudin - Departemen Organisasi dan Anggota

Sekretariat Nasional SPKS :

Tel: 0251-8571263

Email:[email protected]

Website: www.spks.or.id


Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề