Apa perilaku kita sebagai orang islam ketika tentang nakanan halal

Islam sebagai agama yang paripurna telah memberikan pedoman bagi umat manusia dalam berbagai sendi kehidupannya. Termasuk dalam masalah makanan, Islam memberikan syarat bahwa makanan dalam Islam haruslah memenuhi dua syarat yaitu halal dan thayyib [QS. Al-Baqarah: 168].

Halal berarti terbebas dari segala bentuk dzat yang telah diharamkan dalam Islam, yaitu: bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih tidak menyebut nama Allah [QS. Al-Maidah: 3]. Selain itu Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam juga menyebutkan adanya makanan haram yang lainnya yaitu binatang yang bertaring dan memiliki cakar tajam. Berikutnya para ulama juga menganggap makanan dari binatang yang hidup di alam atau binatang yang menjijikan sebagai makruh-tahrim. Makanan yang diperbolehkan dalam Islam untuk dikonsumsi juga harus bersifat thayyib, yaitu baik untuk tubuh dan kesehatan manusia. Tidak boleh makan makanan yang merusak tubuh, kesehatan, akal dan kehidupan manusia, misalnya makanan yang banyak mengandung lemak sehingga berbahaya atau makanan yang tidak direkomendasikan oleh dokter karena adanya penyakit tertentu bagi seseorang.

Selain makanan yang haram dan tidak thayyib karena dzatnya, kita juga tidak boleh mengonsumsi makanan yang haram karena cara mendapatkannya. Misalnya dengan cara merampok, mencuri, korupsi dan perbuatan haram lainnya dalam Islam. Walaupun dzat dari makanan tersebut halal tetapi karena caranya diharamkan maka menjadi haram dikonsumsi. Demikian pula makanan yang meragukan dalam hal cara mendapatkannya, dan terdapat keyakinan kuat bahwa makanan itu tidak halal maka hendaknya kita menjauhkannya.

Pada era modern makanan yang haram juga bisa terjadi karena perkembangan dari tekhnologi yang menjadikan bahan-bahan pembuat makanan yang berasal dari yang haram namun tidak kita ketahui. Misalnya berbagai jenis bahan pembuatan makanan dari luar negeri yang kita tidak ketahui kehalalannya, atau terindikasi berasal dari bahan yang haram. Sebagai contoh, hasil fermentasi dari khamr, atau bahan-bahan pembuatan makanan dari dagung babi atau bangkai. Maka dalam hal ini jaminan kehalalan atas makanan tersebut yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan kompeten menjadi sebuah keniscayaan. Labelisasi halal atas berbagai makanan yang ada di pasaran menjadi hal wajib dalam pandangan Islam.

Merujuk kepada pembahasan ini makanan makanan yang halal adalah makanan yang tidak mengandung dzat yang haram serta mendapatkannya dengan cara yang halal. Makanan halal inilah yang bisa disebut dengan makanan yang Islami, yaitu makanan yang sesuai denagn syariah Islam. Inilah pedoman Islam dalam melihat kehalalam makanan, ukurannya adalah halal dan thayyib, tidak ada yang lainnya.

Jika saat ini menyebar mengenai makanan yang dianggap tidak Islami maka hendaknya sebagai seorang muslim kita harus cerdas menyikapinya.

Pertama, bisa jadi berita dalam bentuk gambar yang viral tersebut adalah hoax atau berita dusta yang sengaja disebarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan ingin menjelek-jelekan Islam. Banyaknya fitnah di zaman ini sangat mungkin bagi orang-orang yang tidak suka dengan Islam untuk menyebarkan fitnah terhadap Islam. Oleh karena itu kita sebagai umat Islam harus melakukan check and recheck atau tabayun dalam menyikapi berita ini [QS. Al-Hujuraat: 6]. Bisa jadi mereka yang tidak suka Islam sengaja membuat isu ini agar umat Islam terpancing, maka berfikir Islami adalah solusi dalam menghadapi segala bentuk hoax ini.

Kedua, mereka yang bercanda dengan simbol-simbol Islam. Ini biasanya mereka yang tidak paham dengan agama Islam sehingga menjadikannya bahan candaan atau lawakan. Tentu saja hal ini diharamkan dalam Islam sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam QS. At-Taubah: 65-66 “”Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.”. Mengolok-olok Islam dan simbol-simbolnya merupakan bentuk kekufuran yang nyata sehingga bercanda dengan menyatakan “Makanan ini tidak Islami, atau makanan ini Islami” adalah sama dengan mengolok-olok Islam. Menjadikan Islam sebagai bahan candaan adalah dosa besar bahkan bisa membawa pelakunya kepada kekufuran. Termasuk sikap mengolok-olok Islam adalah bercanda dengan tujuan mendapatkan keuntungan dunia, ucapan “Tinggalkan klepon [jenis makanan] karena tidak Islami, beli dan makanlah kurma dan madu karena ia adalah Islami… “ kata-kata seperti ini sejatinya adalah hanya untuk mendapatkan keuntungan duniawi saja. Tentu saja kata-kata ini berkaitan dengan hukum dalam Islam tentang makanan Islami atau tidak Islami, klaim sepihak karena berjualan ini jelas tidak dibenarkan dalam Islam dan termasuk mengolok-olok agama dan haram hukumnya jika pelakunya sadar dan tahu hukumnya.

Ketiga, orang Islam yang jahil dan ghuluw dengan agamanya. Menganggap bahwa makanan [semisal klepon] tidak Islami adalah kebodohan yang nyata, karena suatu makanan itu Islami syaratnya adalah halal dan thayyib. Sehingga segala jenis makanan selama ianya halal dan thayyib maka ia adalah Islami. Memang, kebodohan sebagian umat dan mereka yang berlebihan [ghuluw] dalam agama menganggap makanan yang Islami adalah makanan yang berasal dari Arab, tentu saja hal tersebut tidak berdasar sama sekali. Betul, ada beberapa makanan yang dianggap sunnah [dianjurkan] untuk dikonsumsi semisal; madu, kurma, buah zaitun, buah tin dan yang lainnya yang kebetulan ada pada masa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam. Namun bukan berarti itu adalah makanan Islami, sebaliknya makanan yang tidak ada pada masa beliau atau bukan berasal dari wilayah Arab itu tidak Islami. Selama halal dan thayyib maka itu adalah Islami dan diperbolehkan untuk dikonsumsi dalam Islam. Maka solusi atas kebodohan dan sikap ghuluw ini adalah belajar, thalibul ilmi, mempelajari Islam dengan manhaj yang benar. Ilmu lah yang mengantarkan kita kepada cahaya dan kehidupan yang baik di dunia dan akhirat.

Maka menghadapi berbagai berita yang viral hendaknya umat Islam tidak berlebih-lebihan dalam menyikapinya demikian pula tidak acuh tak acuh dengan agamanya. Lakukanlah sesuatu untuk membela Islam khususnya dari mereka yang benci dengan Islam dan selalu mengolok-oloknya. Bersikaplah rahmah dan lemah lembut kepada orang-orang yang jahil karena mereka perlu bimbingan. Serta teruslah belajar karena dengannya kebijaksanaan akan didapatkan. Wallahua’lam,

Oleh: Abd Misno Mohd Djahri.

Halal dan haram itu dari materinya maupun cara mendapatkannya.

Jumat , 01 Nov 2019, 09:40 WIB

Dok SBBI

Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS.

Red: Irwan Kelana

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Setiap Muslim perlu memperhatikan halal dan  haram. Baik materinya, maupun cara mendapatkannya.

“Sebab, halal dan haram berdampakterhadap perilaku dan kegiatan ibadah,” kata Guru Besar IPB dan Universitas Ibnu Khaldun [UIKA] Bogor, Prof Dr Didin Hafidhuddin MS saat mengisi pengajian guru dan tenaga kependidikan Sekolah Bosowa Bina Insani di Masjid Al-Ikhlas Bosowa Bina Insani, Bogor, Jawa Barat, Jumat [1/11].

Ia menyebutkan, pertama, makanan haram berpengaryg terhadap perilaku seseorang. "Makanan haram [materi dan caranya] akan menyebabkan perilaku buruk yang mengantarkan pada kecelakaan," kata Kiai Didin dalam rilis yang diterima Republika.co.id.

Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, “Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka neraka lebih berhak atasnya.”

Kedua, kata Kiai Didin, makanan halal dan atau haram akan berdampak ditolak dan diterimanya sebuah doa atau kegiatan ibadah. 

Ia mengutip sebuah hadis Rasulullah SAW sebagai berikut:  ”Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah Saw. Bersabda: “Jika seseorang berangkat untuk melakukan ibadah haji dengan harta yang baik, maka tatkala ia menjejakkan kakinya di kendaraannya, tatkala dia mengucapkan talbiyyah, langsung ada suara yang menjawab [mendoakan] dari langit: selamat datang dan kebahagiaan buatmu. Harta yang engkau pergunakan [untuk ibadah haji] adalah harta halal, dan kendaraanmu halal, maka hajjimu termasuk haji mabrur tidak termasuk [yang berdosa/ditolak]. Dan jika seseorang berangkat untuk melakukan ibadah haji dengan harta yang tidak baik [haram], maka tatkala ia menjejakkan kakinya di kendaraannya, tatkala dia mengucapkan talbiyyah, langsung ada suara yang menjawab [mendo’akan] dari langit: Tidak ada pangilan buatmu dan tidak ada kebahagiaan buatmu. Harta yang engkau pergunakan [untuk ibadah haji] adalah harta haram, dan kendaraanmu haram, maka hajjimu termasuk haji yang tidak mabrur [termasuk yang berdosa/ditolak].” [HR. Thabrani].

Dalam hadits lain, Rasulullah saw bersabda: Dari Abu Hurairoh rodhiallohu ‘anhu, ia berkata: Rasululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Wahai manusia, Sesungguhnya Allah itu Maha Baik, tidak mau menerima sesuatu kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin [seperti] apa yang telah diperintahkan kepada para rasul, Allah berfirman, “Wahai para Rasul makanlah dari segala sesuatu yang baik dan kerjakanlah amal sholih” [QS Al Mukminun: 51]. Dan Dia berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah Kami berikan kepadamu.” [QS Al Baqarah: 172]. Kemudian beliau menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu. Dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa: ”Wahai Robbku [Tuhanku], wahai Robbku”, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan [perutnya] dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana mungkin orang seperti ini dikabulkan doanya.” [HR. Muslim].

Karena itu, “Mari kita biasakan mengkonsumsi makanan atau mencari rezeki yang halal dan baik, agar selamat dunia akhirat,” kata mantan Ketua Baznas itu.

Lebih lanjut, Kiai Didin menjelaskan,  halal mencakup semua kebutuhan dan keperluan hidup manusia, seperti makanan minuman, pakaian, hotel, restoran, destinasi wisata, obat-obatan, hubungan pergaulan [laki-laki dengan perempuan] kegiatan usaha dan mencari rezeki dan lain sebagainya.

Karena halal dan haram ini bagian dari muamalah, maka kaidah yang berlaku adalah:  hukum asal dari mua'malah adalah ibaahah [boleh] kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya [melarangnya].”

“Halal dan haram terdiri dari dua yaitu bendanya [materinya] dan cara mengusahakannya/mendapatkannya,” ujarnya. 

Kiai Didin yang  juga seorang pakar ekonomi syariah menyambut baik salah satu semboyan yang digagas para ekonom syariah [baik lembaga maupun perorangan] yang sekarang sedang dipopulerkan adalah  Halal is my life-style [Halal adalah gaya hidup saya].  Menurutnya, jika semboyan ini terus menerus disosialisasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan keseharian, Insya Allah akan punya dampak positif yang besar terhadap bidang bidang kehidupan lainnya. “Bidang ekonomi, bidang pendididikan, bidang sosial budaya, bahkan bidang akhlak, moral dan karakter bangsa secara luas dan menyeluruh,” tuturnya. 

  • sekolah bosowa bina insani [sbbi]
  • halal dan haram
  • prof didin hafidhuddin

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề