Apa yang dimaksud dengan daluwarsa

OLEH ASMA NADIA 

Entah mengapa penangkapan Djoko S Tjandra, buronan selama 11 tahun kasus Bank Bali Malaysia, mengingatkan saya akan sebuah film yang pernah ditonton.

Dalam film tersebut dikisahkan, seorang polisi mati-matian bekerja siang malam untuk menyelesaikan kasus dalam waktu hanya beberapa hari. Padahal, kasus tersebut selama belasan tahun tetap menjadi misteri.

Rasanya sulit dan nyaris mustahil. Sekian banyak aparat terkait telah bekerja selama belasan tahun, tapi tak kunjung terungkap, dan sekarang detektif tersebut harus menyelesaikannya hanya dalam hitungan hari.

Sang detektif di film, tidak punya pilihan lain. Jika ia gagal menyibak misteri kasus tersebut dalam tenggat yang diberikan, sang pelaku akan bebas dari jeratan hukum karena kasus sudah ‘daluwarsa’.

Ya, dalam ranah hukum ada istilah ‘daluwarsa’, yang maknanya mirip dengan kata yang diterapkan pada makanan atau obat-obatan yang punya istilah ‘kedaluwarsa’. KBBI menjelaskan, kedaluwarsa berarti sudah lewat [habis] jangka waktunya.

Jika makanan atau obat tergolong kedaluwarsa berarti tidak boleh dimakan lagi sebab melewati tenggat syarat sehat produk. Sedangkan kata ‘daluwarsa’ tidak dijabarkan secara jelas dalam KBBI, tapi bermakna setara, berarti sebuah kasus tidak bisa dilanjutkan jika sudah melewati batas waktu perkara.

Saat menyaksikan berita tertangkapnya buron yang belasan tahun menjadi incaran, saya cuma berpikir, jika kasus yang melibatkan uang ratusan miliar itu, misalnya melewati batas daluwarsa, apa yang terjadi? Apakah adil jika hukum tidak menyentuh mereka lagi?

Daluwarsa kasus pembunuhan Munir, misalnya. Seorang pengamat mengatakan, berdasarkan Pasal 79 Kitab Undang-Undang KUHP masa daluwarsa [//verjaring//] kasus Munir dimulai sehari sejak peristiwa pembunuhan terjadi pada 7 September 2004.

Namun, jika seorang koruptor atau pembunuh lalu bebas berkeliaran karena kasusnya daluwarsa, bukankah hal ini malah lebih membahayakan?

Karena dianggap kejahatan berat, daluwarsanya berjangka waktu 18 tahun atau tahun 2022 alias akan berakhir dua tahun lagi. Lalu, jika aktor di balik pembunuhan Munir tidak terungkap hingga masa daluwarsa, apakah berarti ia akan melenggang bebas pada tahun 2023 dan seterusnya?

Segala sesuatu, apalagi dalam ranah hukum mestilah sudah melalui kajian panjang. Namun, masih sulit bagi saya yang awam untuk memahami mengapa perlu ada daluwarsa dalam ranah hukum.

Kalau tenggat diterapkan pada produk makanan atau obat, bisa dimengerti. Sebab setelah kedaluwarsa, produk tidak boleh lagi dikonsumsi karena akan membahayakan kesehatan.

Namun, jika seorang koruptor atau pembunuh lalu bebas berkeliaran karena kasusnya daluwarsa, bukankah hal ini malah lebih membahayakan?

Jika dikhawatirkan akan banyak kasus menumpuk bila tidak dibuat mekanisme daluwarsa, pasti bisa dicari mekanisme lain. Intinya, seharusnya tidak boleh ada celah terbuka bagi pelaku tindak kejahatan bebas hanya karena sebuah kasus telah melewati batas waktu perkara.

Barangkali, ini hanya keluh kesah seorang awam, dengan logika sederhana, tapi saya yakin juga menjadi kerinduan bagi siapa saja yang mendambakan keadilan. Terlepas bilangan tahun yang berlalu, mereka yang bersalah tetap harus bertanggung jawab.

Sebab, waktu tak seharusnya meluruhkan atau menggugurkan tindak kejahatan dan dosa yang dipahatkan. Baca Selengkapnya';

Alasan Adanya Daluwarsa Penuntutan

Menjawab pokok pertanyaan Anda, daluwarsa penuntutan diatur dalam hukum pidana dengan dasar atau alasan-alasan sebagai berikut:

  1. Dengan berlalunya waktu yang agak lama, ingatan akan kejadian yang ada telah hilang, sehingga kemungkinan pembuktiannya menjadi rumit bahkan bukti kemungkinan telah lenyap.[1]
  2. Semakin kaburnya kebutuhan untuk terus menerus mengejar/menuntut tersangka karena telah terlalu lamanya berlalu kejadian/delik itu dan ingatan manusia terhadapnya juga semakin menipis.[2]
  3. Semakin sukarnya menemukan alat pembuktian terhadap delik.[3]

Adapun ketentuan mengenai daluwarsa penuntutan diatur dalam Pasal 78 s.d Pasal 80 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [“KUHP”] sebagai berikut:

Pasal 78 KUHP

  1. Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:
  1. terhadap semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun;
  2. terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
  3. terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
  4. terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
  1. Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.

Pasal 79 KUHP

Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut:

  1. terhadap pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang daluwarsa itu mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsukan atau mata uang yang dirusak digunakan;
  2. terhadap kejahatan dalam pasal 328, 329, 330, dan 333, tenggang daluwarsa itu dimulai pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia;
  3. terhadap pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengaii pasal 558a, tenggang daluwarsa itu dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu dipindah ke kantor panitera suatu pengadilan, menurut aturan-aturan umum yang menentukan bahwa register-register catatan sipil harus dipindah ke kantor tersebut.

Pasal 80 KUHP

    1. Setiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan-aturan umum.
    2. Sesudah dihentikan, dimulai lagi tenggang daluwarsa yang baru.

Jadi jika pelaku baru ditemukan setelah masa daluwarsa berakhir, maka ia memang tidak dapat lagi dituntut ke hadapan pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya yang dilakukan pada masa lalu. Hal ini tentu akan dirasakan adanya ketidakadilan bagi korban, namun tetap perlu diatur demi tercapainya kepastian hukum dalam proses penuntutan. Bagi tersangka sendiri, tidaklah mudah juga untuk menjalani hidup dan melarikan diri selama bertahun-tahun dengan perasaan takut tertangkap. Sehingga hal ini sudah dianggap sebagai hukuman dan penderitaan tersendiri bagi tersangka selama dalam masa pelariannya.

Perlindungan Hukum Bagi Korban

Namun di sisi lain, terhadap korban, negara tetap memberikan perlindungan hukum dengan mengatur adanya hak-hak korban, walaupun memang tidak banyak ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Namun setidaknya aturan yang menjadi dasar perlindungan hukum bagi korban antara lain terdapat dalam ketentuan sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana [“KUHAP”]
  1. Mengatur adanya hak korban untuk mengajukan keberatan dalam bentuk upaya hukum praperadilan terhadap tindakan penghentian penyidikan atau penuntutan.[4]
  2. Mengatur adanya hak keluarga korban untuk menolak dilakukannya otopsi atau penggalian kubur.[5]
  3. Hak untuk menuntut ganti kerugian atas terjadinya tindak pidana.[6]

Namun hak-hak ini tentu gugur dengan sendirinya jika masa penuntutan terhadap tindak pidana tersebut telah daluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP.

[1] Saksi dan Korban berhak:

  1. mendapat pendampingan.
  2. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau
  3. mendapat nasihat hukum;
  4. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
  5. mendapat tempat kediaman baru;
  6. mendapat tempat kediaman sementara;
  7. mendapat identitas baru;
  8. dirahasiakan identitasnya;
  9. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
  10. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
  11. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
  12. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
  13. mendapat penerjemah;
  14. memberikan keterangan tanpa tekanan;
  15. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
  16. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

[2]  Hak sebagaimana dimaksud pada ayat [1] diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK.

Berdasarkan penjelasan Pasal 5 ayat [2] UU 31/2014, yang dimaksud dengan "tindak pidana dalam kasus tertentu" antara lain tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan/atau korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.

Menurut Arif Gosita, hak-hak korban yang dapat diberikan setidaknya mencakup:[7]

  1. Korban berhak mendapatkan kompensasi atas penderitaannya sesuai dengan kemampuan memberi kompensasi si pembuat korban dan taraf keterlibatan/partisipasi/peranan si korban dalam terjadinya kejahatan, dengan linkuensi dan penyimpangan tersebut.
  2. Berhak menolak kompensasi untuk kepentingan pembuat korban [tidak mau diberi kompensasi karena tidak memerlukannya].
  3. Berhak mendapat kompensasi untuk ahli warisnya bila si korban meninggal dunia karena tindakan tersebut.
  4. Berhak mendapat pembinaan dan rehabilitasi.
  5. Berhak mendapat kembali hak miliknya.
  6. Berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pembuat korban bila melapor dan menjadi saksi.
  7. Berhak mendapatkan bantuan penasihat hukum.
  8. Berhak mempergunakan upaya hukum [recht middelen].

Selanjutnya menurut J.E Sahetapy, hak-hak korban juga meliputi hal-hal sebagai berikut:[8]

  1. mendapat pelayanan [bantuan, restitusi, kompensasi].
  2. menolak pelayanan untuk ahli warisnya.
  3. mendapat kembali hak miliknya.
  4. menolak menjadi saksi apabila tidak ada perlindungan terhadap dirinya.
  5. mendapat perlindungan terhadap ancaman pihak pelaku apabila pelapor menjadi saksi.
  6. mendapat informasi mengenai permasalahan yang dihadapinya.
  7. dapat melangsungkan pekerjaannya.
  8. mendapat pelayanan yang layak sewaktu sebelum persidangan, selama persidangan, dan setelah persidangan.
  9. mendapat bantuan penasihat hukum.
  10. menggunakan upaya hukum.

Sehingga demi tercapainya keadilan sekaligus kepastian hukum, sangat penting bagi korban untuk mengetahui adanya masa daluwarsa penuntutan sambil tetap mempertahankan dipenuhinya hak-haknya sebagai korban.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Referensi:

[1] Leden Marpaung. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 102

[2] EY Kanter dan SR Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika, 2002, hal. 437

[3] EY Kanter dan SR Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika, 2002, hal. 437

[4] Pasal 109 ayat [2] jo. Pasal 140 ayat [2] KUHAP

[5] Pasal 134 s.d Pasal 136 KUHAP

[6] Pasal 98 s.d Pasal 101 KUHAP

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề