Axis pact dikhianati oleh Jepang dan mengadakan perjanjian dengan Rusia apa alasannya jelaskan

Lihat Foto

Wikimedia Commons

Perlawanan pasukan Jepang atas Rusia pada 1904.

KOMPAS.com - Perang antara Jepang dan Rusia berlangsung sejak tanggal 10 Februari 1904 hingga 5 September 1905.

Peperangan ini utamanya terjadi karena perebutan Kota Port Arthur [kota pelabuhan di China] dan Jazirah Liaodong, ditambah dengan jalur rel dari pelabuhan tersebut ke Harbin. 

Pada akhirnya, pertempuran brutal dan panjang antara Rusia dan Jepang diakhiri dengan perjanjian damai.

Selama 19 bulan berlangsung, pertempuran ini telah memakan banyak korban jiwa. Setidaknya sekitar 150.000 pasukan dari kedua belah pihak tewas di medan perang.

Baca juga: Perang Kuning: Latar Belakang, Tokoh, Jalannya Pertempuran, dan Akhir

Latar belakang

Pada awal abad ke-20, Rusia telah menjadi kekuatan dunia yang diperhitungkan dengan wilayah yang luas di Eropa Timur dan Asia Tengah.

Sementara itu, Jepang juga dipandang sebagai kekuatan Asia berkat Restorasi Meiji yang terjadi pada 1868.

Pada 1904, Kekaisaran Rusia yang diperintah oleh Tsar Nicholas II yang otokratis [keputusan berpusat pada pemimpin], dipandang sebagai salah satu kekuatan teritorial terluas di dunia. 

Masih di tahun yang sama, pusat pengiriman Siberika dari Vladivostok terpaksa ditutup selama berbulan-bulan akibat musim dingin. 

Oleh sebab itu, Kekaisaran Rusia butuh pelabuhan air hangat di Samudra Pasifik, baik untuk tujuan dagang maupun pangkalan untuk angkatan lautnya yang sedang tumbuh. 

Guna mengatasi masalah tersebut, Tsar Nicholas mengarahkan perhatiannya pada Semenanjung Korea dan Liaodong di China. 

Para pelaut Soviet di Manchuria. [amti.csis.org/mil.ru].

Hari ini, 8 Agustus, 75 tahun silam. Beberapa jam menjelang pergantian hari menuju 9 Agustus, Uni Soviet mengejutkan Jepang. Menteri Luar Negeri Vyacheslav Molotov menyatakan kepada Duta Besar Jepang Naotake Sato bahwa Uni Soviet menyatakan perang kepada Jepang.

Pernyataan itu membuat harapan Jepang bertahan di sisa kekuatannya selama Perang Dunia II runtuh. Dua hari sebelumnya, Jepang telah kehilangan Hiroshima karena dibom atom Amerika Serikat. Dengan kekuatan yang tersisa Jepang terpaksa menghadapi dua front sekaligus: di timur-selatan melawan Amerika Serikat [AS] dan front di utara-barat melawan Soviet.  

Pernyataan perang Soviet itu juga mencederai kesepakatan tak saling serang yang dibuat kedua negara pada 1941. Meski sejak Jepang mendirikan pemerintahan Manchukuo di Manchuria militer kedua negara kerap terlibat pertempuran di perbatasan sebagai akibat dari persaingan Rusia-Jepang sejak akhir abad ke-20, Soviet dan Jepang di Perang Dunia II sepakat berdamai karena ingin fokus terhadap perang masing-masing: Soviet di barat melawan Jerman-Nazi dan Jepang di Pasifik melawan AS.

Advertising

Advertising

Pada akhirnya perkembangan di lapanganlah yang membuat sikap kedua negara meninjau ulang sikap masing-masing. Jepang tetap berharap perjanjian dengan Soviet dipertahankan, demi kelancaran proyek Asia Timur Raya-nya. Sebaliknya, Soviet jadi merasa perlu memperhatikan ke timur setelah mampu bangkit dari keterpurukan setelah Pertempuran Stalingrad.

Baca juga: Neraka Hitler di Stalingrad

Namun, perhatian untuk wilayah timur Soviet itu masih sebatas angan-angan. Bagaimanapun Soviet masih terikat perjanjian tak saling serang [Pakta Netralitas] dengan Jepang. Dalam Konferensi Tehran [1943], pemimpin Soviet Joseph Stalin sampai harus mengambil jalan tengah ketika PM Inggris Winston Churchill dan Presiden AS Franklin D. Roosevelt menyatakan harapan agar Soviet mau terjun ke Perang Pasifik. Jalan tengah Stalin yakni, Soviet baru akan terjun ke Pasifik bila Jerman sudah dikalahkan. Dengan begitu, Stalin akan mendapatkan dua hal sekaligus: terhindar dari perang dua front sekaligus dan angan-angannya untuk memperluas wilayah maupun pengaruh di timur lebih mudah dicapai.

Baru pada Konferensi Yalta [Februari 1945] Soviet menegaskan kesediaannya untuk ikut serta dalam Perang Pasifik. Itupun setelah diberi jaminan oleh Roosevelt bahwa Soviet akan diberikan kembali wilayahnya yang hilang.

“Pada Januari-Februari 1945 para pemimpin Sekutu --Franklin D. Roosevelt, WInston Churchill dan Joseph Stalin– bertemu di Yalta di Krimea dan setuju untuk ‘mentransfer’ Kuril dan ‘mengembalikan’ Sakhalin Selatan ke Uni Soviet, sebagai persyaratan untuk partisipasi Soviet dalam perang melawan Jepang. Perjanjian Yalta berbeda sifat dari perjanjian internasional lainnya, karena merupakan perjanjian rahasia antara Uni Soviet dan pihak ketiga –AS dan Inggris– tanpa partisipasi Jepang, yang saat itu merupakan pemilik sah wilayah tersebut. Pulau-pulau itu tidak lain adalah irisan yang menguntungkan bagi AS untuk menjamin partisipasi Rusia dalam perang di Pasifik,” tulis Kimie Hara dalam Japanese-Soviet/Russian Relations Since 1945: A Diffiicult Peace.

Baca juga: Operasi Militer Amerika Terbodoh

Pulau Sakhalin dan Kepulauan Kuril merupakan wilayah persengketaan Jepang dengan Rusia. Pada Perang Ruso-Jepang tahun 1905, keduanya direbut Jepang.

Jaminan AS membuat Soviet kian gencar mengirim pasukannya ke timur guna memperkuat upaya yang sudah dirintis sebelumnya dengan sembunyi-sembunyi. Soviet berupaya membangun 90 divisi di timur. Yang lebih penting, pada April 1945 Soviet memberitahu keinginannya untuk tidak memperpanjang perjanjiannya dengan Jepang. Meski begitu, Moscow tetap berupaya meyakinkan Tokyo bahwa perjanjian tersebut masih berlaku hingga 12 bulan ke depan dan Moscow akan menjalankan semua keputusan dalam perjanjian tersebut.

Keterikatan pada dua pakta [Pakta Netralitas dengan Jepang dan Pakta Yalta dengan Sekutu] itu membuat Stalin bimbang. Sejak Yalta, Jepang makin intens mengirim utusan ke Soviet untuk membujuk agar Soviet mau memperpanjang pernjajian tidak saling serang. Kebingungan Stalin memuncak ketika pada akhir Juni Jepang mengajukan proposal. Isinya mengundang Soviet untuk memperpanjang pakta Netralitas dan merundingkan permintaan Jepang agar Soviet menjadi mediator dalam perdamaian di Timur Jauh yang diinginkan Jepang, berikut tawaran konsesi teritori menarik sebagai imbalan atas kesediaan Soviet. Stalin amat berminat namun terlanjur terikat Pakta Yalta. Maka sebagai respon, Soviet terus menunda memberi jawaban.

Usai Konfernesi Potsdam, Soviet akhirnya menjawab permintaan Jepang dengan menarik semua staf kedutaannya di Jepang pada 24 Juli 1945. Pada 8 Agustus, Soviet mempertegas sikapnya terhadap Jepang dengan deklarasi perang yang disampaikan Menlu Molotov kepada Dubes Sato.

Baca juga: Konflik Keluarga dalam Perang Dunia

Keputusan Soviet berangkat dari perkembangan situasi bahwa setelah Jerman kalah, Jepang satu-satunya negara yang masih berperang melawan Sekutu karena menolak untuk menyerah tanpa syarat sebagaimana diminta AS-Inggris-China. Untuk itu Soviet menerima tawaran Sekutu untuk bergabung melawan agresi Jepang demi mempersingkat durasi perang, mengurangi jumlah korban, dan memfasilitasi pemulihan perdamaian universal lebih cepat.

"Pemerintah Soviet menganggap bahwa kebijakan ini adalah satu-satunya cara yang dapat membawa perdamaian lebih dekat, membebaskan rakyat dari pengorbanan dan penderitaan lebih lanjut dan memberikan kemungkinan kepada rakyat Jepang untuk menghindari bahaya dan kehancuran yang diderita Jerman setelah penolakannya untuk menyerah tanpa syarat. Mengingat hal di atas, Pemerintah Soviet menyatakan bahwa mulai besok, yaitu mulai 9 Agustus, Pemerintah Soviet akan menganggap dirinya berperang dengan Jepang," demikian keputusan Soviet yang diberikan kepada Dubes Sato, sebagaimana dimuat jewishvirtuallibrary.org.

Meski Sato berjanji menyampaikan kabar itu kepada Tokyo secepat mungkin agar bisa dilakukan perbaikan, Soviet tak peduli lagi. Beberapa saat setelah masuk tanggal 9 Agustus, lebih dari 1,5 juta serdadu Soviet di bawah pimpinan Marsekal Aleksandr Vasilevsky menyerbu Manchuria, Korea, dan Kepulauan Kuril. Perlawanan gigih Jepang tak berhasil membendung serangan itu. Bersama bom atom yang dijatuhkan AS di Nagasaki pada hari yang sama [9 Agustus], serbuan itu mempercepat kapitulasi Jepang. Perang Dunia II pun berakhir.

Reuters

Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe bertaruh bahwa hubungan dekat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, kesengsaraan ekonomi Rusia, dan masalah regional tentang kebangkitan Tiongkok akan membantunya membuat kemajuan dalam perselisihan wilayah selama puluhan tahun ketika keduanya bertemu pada Desember 2016.

Abe yang kini berusia 62 tahun dan ingin meninggalkan warisan diplomatik yang mencakup upaya terobosan dengan Rusia, dapat mengubah permintaan yang sudah berjalan lama agar kedaulatan keempat pulau yang disengketakan di timur laut Hokkaido diselesaikan sebelum perjanjian damai yang mengakhiri Perang Dunia II ditandatangani, demikian ungkap politisi dan ahli.

Hubungan dekat antara Abe dan Putin berisiko mengusik sekutu utamanya Amerika Serikat, mengingat bahwa Washington sedang bermusuhan dengan Moskow atas Suriah dan aneksasi Krimea, meskipun para diplomat Jepang telah berusaha untuk meredakan kekhawatiran Amerika.

“Saya akan menyelesaikan masalah teritorial, mengakhiri situasi tidak normal ketika tidak ada perjanjian perdamaian yang dibuat bahkan 71 tahun setelah perang usai dan menumbuhkan kemungkinan besar kerja sama Jepang-Rusia di berbagai bidang seperti ekonomi dan energi,” kata Abe dalam pidato ke parlemen.

Janji yang berani itu mengingkari perselisihan yang tak kunjung usai mengenai siapa yang memiliki pulau-pulau di timur laut Jepang dan pantai timur Rusia, sedangkan oposisi publik yang kuat di Rusia untuk berkompromi bisa membatasi ruang Putin untuk bermanuver. [Pada foto di atas, awan menutupi sebagian gunung berapi Tyatya di Pulau Kunashir di bagian selatan Kepulauan Kuril.]

Abe, yang telah bertemu Putin 14 kali sejak masa jabatan pertamanya sebagai perdana menteri pada tahun 2006-2007, memiliki kesempatan untuk membuat kemajuan ketika dia menyelenggarakan pertemuan puncak dengan Putin pada 15 Desember 2016, di konstituensinya Yamaguchi, di barat daya Jepang. Mereka juga akan bertemu di sebuah pertemuan di Peru pada November 2016.

“Untuk Bapak Abe, harus ada terobosan di sana,” kata seorang pejabat senior pemerintah Jepang mengenai pertemuan puncak Desember.

“Bapak Abe khususnya sedang mencoba untuk mencairkan situasi yang membeku mengenai masalah perjanjian damai,” katanya, menambahkan bahwa Jepang tetap tidak mengharapkan “penyelesaian secara keseluruhan.”

Perseteruan teritorial berasal dari keputusan Uni Soviet pada hari-hari terakhir Perang Dunia II untuk merebut empat pulau, yang dikenal di Jepang sebagai Wilayah Utara dan di Rusia sebagai Kuril Selatan, yang dinyatakan Tokyo sebagai wilayah kedaulatannya.

Jepang telah menegaskan agar kedaulatannya terhadap keempat pulau dikonfirmasi sebelum perjanjian damai ditandatangani, tetapi ada tanda-tanda bahwa Tokyo dapat memikirkan kembali sikap itu.

Pendekatan baru

Dimungkinkan untuk mencairkan suasana dengan menuntaskan dua pulau [yang lebih kecil] terlebih dulu,” kata Masashi Adachi, direktur divisi urusan luar negeri Partai Demokrat Liberal Abe.

“Akan ada banyak yang menentang upaya menyerahkan dengan sepenuhnya dua pulau lainnya, tetapi jika hanya masalah menunda sampai di kemudian hari, saya pikir kita bisa mendapatkan pemahaman publik,” kata Adachi.

Mantan anggota parlemen Jepang Muneo Suzuki, yang sudah lama terlibat dalam urusan Rusia dan sekarang menjadi penasihat Abe, telah menganjurkan proposal serupa di masa lalu.

“Ketika kita mempertimbangkan cara menyelesaikan masalah dengan empat pulau itu, kita tidak bisa berhenti di pintu masuk. Kita harus melihat pintu keluar dan membuat saran yang realistis,” kata Suzuki. Bagi Moskow, menyetujui perjanjian damai tanpa menyelesaikan kepemilikan pulau-pulau yang lebih besar bisa memicu reaksi di dalam negeri.

“Pihak Jepang mengandalkan kehendak pribadi Putin,” kata Dmitry Streltsov, profesor di Moscow State Institute of International Relations. “Tampaknya mereka melebih-lebihkan ruang untuk bermanuver yang dapat ditempuh oleh Putin.”

Namun, beberapa ahli termasuk Kazuhiko Togo, mantan diplomat Jepang yang pernah bernegosiasi dengan Moskow, mengatakan bahwa saat ini mungkin terbukti berbeda dari upaya diplomatik yang gagal di masa lalu.

Salah satu alasan munculnya optimisme yang ditanggapi dengan kehati-hatian ini adalah bahwa Abe, yang telah bertahan lebih lama daripada pendahulunya baru-baru ini sejak menjabat pada tahun 2012, besar kemungkinan akan menjadi perdana menteri untuk setidaknya dua tahun lagi.

“Menurut pendapat saya, ada kemungkinan untuk menyelesaikan masalah perjanjian perdamaian selagi Putin dan Abe keduanya berkuasa,” kata Alexander Panov, mantan Duta Besar Rusia untuk Jepang. “Setelah itu, kecil kemungkinannya.”

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề