Bagaimana Allah Subhanahu wa Ta ala mendahulukan segala sesuatu?

Qaddim, artinya dahulu,terdahulu. Al-Muqaddim, yang Maha Mendahului. Keberadaan-Nya terdepan. Asma Allah urutan ke-72 dari 99 asmaul-husna ini, memiliki makna yang penting bagi manusia dan makhluk lainnya, yakni maha mendahului ruang dan waktu yang paling dahulu sekalipun.

Al-Muqaddim, Allah Maha Mendahulukan

Allah yang mendahulukan dan mengedepankan apa dan siapapun yang dikehendaki. Allah yang mendahulukan segala keinginan dan kebutuhan maklukNya. Manusia kalau dikehendaki Allah, maka menjadilah manusia terpilih sebagai yang terdepan, misalnya raja pilihan utama-Nya, disebut Al-Quddam.

Baca Juga

Sambut Tahun 2023, SM Perkuat Sistem Hadapi Era Disrupsi

Relawan Psikososial Muhammadiyah Berdayakan Penyintas Gempa Cianjur

Karakter Al-Quddam yang dimiliki raja tersebut, tentu jiwanya mengutamakan dan mengedepankan amanah kekuasaanya sesuai dengan hukum dan perintah-perintah Allah. Bukan mengutamakan diri dan keluarganya.

Ia membenarkan keberadaan kekuasaan dan keagungan Allah, sebelum mementingkan rakyatnya. Allah memberikan amanah kepadanya untuk menjaga kebenaran, amanah yang dipikulkan kepadanya tentu diutamakan penuh dengan ketaatan dan keamanahan.

Kaki kita juga dinamakan qadam, karena kakilah yang menggerakkan tubuh manusia,untuk berjalan kedepan. Tanpa kekuatan kaki, manusia tidak bisa melangkah untuk meraih masa depan. Bahkan, akal sehat kita amat suka mengedepankan kemajuan bagi diri manusia, agar tak ketinggalan dari makhluk lainnya.

Dari nama agung Al-Muqaddam inilah, Allah berkenan mendahulukan hamba-hambanya yang sholih. Mereka dijamin rezekinya, dikuatkan iman dan Islamnya dunianya dan akheratnya. Sementara manusia yang durhaka kepada Allah, tak akan diperhatikan dan tak mungkin didahulukan kebutuhan jiwanya. Yakni jiwa yang mutmainah, yang berkah dan dicondongkan ke jalan surgaNya.

Demikian para penyeru kebenaran Islam, akan dimudahkan dakwahnya dengan ilmu-Nya, dadanya diperluas, jiwanya diperkuat, fisiknya disehatkan, keluarganya disakinahkan dan masyarakatnya dimakrufkan dan negaranya tayyibahkan. Di sepanjang hidupnya dikarunia ruh fastabiqul khairat, yakni berlomba dalam hidup yang uatama atau kebaikan-kebaikan.

Jiwa fastabiqul khairat menjadi titik picu semangat dalam mencari ridha Allah. Hatinya sangat gembira dan merasa ringan dalam berkompetisi untuk kebaikan hidup dan kehidupannya.

Orang yang didahulukan kebaikannya oleh Allah, dadanya tidak sesak, jiwanya tidak gentar untuk menyuarakan kebenaran agama Allah. Karena mereka, orang-orang beriman itu merasa sudah mendapatkan jalan pusaran hidup atau kiblatnya, yakni Islam yang mencerahkan, yang memajukan dan menyelamatkan mereka dunia akherat.

Mereka terinspirasi firman Allah, perihal siap berkompetisi dalam melaksanakan kebenaran Islam, yakni Q.S. Al-Baqarah [ 2 ] : 148

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya [sendiri] yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah [dalam membuat] kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian [pada hari kiamat]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Jiwa qadam yang merasuki jiwanya membawanya kepada sifat mendahulukan apa yang utama dan mengutamakan apa yang didahulukan, yakni dalam menghampiri hari esok seperti yang difirmankan Allah dalam Q.S. Al-Hasyr [ 59 ] : 18 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok [akhirat]; dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Orang-orang yang didahulukan dan diutamakan Allah, di sepanjang hidupnya, siang dan malamnya, sakit dan sehatnya, kaya dan miskinnya, tua dan mudanya, serta sempit dan longgarkan selalu berdoa kepada Allah, agar nantinya benar-benar di bimbing Allah dalam hidup dan kehidupannya.

Doa baginya menjadi senjata ampuh untuk menjaga keistiqomahannya. Setiap malam bermunajat kepada Allah agar menjadi hamba terdepan, didahulukan Allah dan tidak dibelakangkan-Nya. Demikian untaian doanya:

“Ya Allah, ampunilah aku menyangkut dengan apa yang kudahulukan dan yang kubelakangkan, apa yang aku kerjakan dari dosa dan apa yang aku abaikan dari kewajiban.Ampunilah aku menyangkut dengan apa yang kurahasikan dari pelanggaran dan apa yang aku nyatakan dari kebaikan yang disertai riya’. Engkau Yang Maha Mendahulukan dan Maha Mengakhirkan, lagi Engkau Maha Kuasa dari segala sesuatu”.

Ketua Majlis Tarjih dan Tajdid PCM Sumberlawang, Mengelola Jamaah Pengajian Maskumambang Mujahadah Sragen

Syahadat mengandung arti pengakuan, pembenaran, dan keyakinan bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah dan diibadahi kecuali Allah Subhanahuwata’ala dan yang tiada sekutu bagi-Nya, serta pengakuan bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah utusan Allah Ta’ala. Syahadat merupakan syarat yang menjadi penentu diterima atau ditolaknya amalan seorang muslim. Syahadat terdiri dari dua kalimat, yaitu: “Asyhadu an-laa ilaaha illallaah” yang artinya “saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah” dan “Wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullaah” yang artinya “dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah”.

Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah beriman kepada Allah Subhanahuwata’ala. Iman kepada Allah Ta’ala artinya meyakini dengan keyakinan yang teguh, yang di dalamnya tidak ada keraguan bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb segala sesuatu dan yang menguasainya, meyakini bahwa hanya Allah Subhanahuwata’ala yang berhak diibadahi dengan menyempurnakan kecintaan, kehinaan, dan ketundukan kepada-Nya, serta meyakini bahwa Allah disifati dengan sifat-sifat yang sempurna. Hanya milik-Nya nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang mulia, serta Allah Subhanahuwata’ala disucikan dari segala aib [kejelekan] dan kekurangan.

Allah Subhanahuwata’ala berfirman, “...Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Mahasuci Allah, Rabb seluruh alam.” [QS. Al-A’raaf:54]. Firman Allah Subhanahuwata’ala, “...Yang [berbuat] demikian itulah Allah, Rabb-mu, milikNya-lah segala kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru [sembah] selain Allah tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” [QS. Faathir:13].

Di sini umat Islam mentauhidkan segala apa yang dilakukan Allah Ta’ala, baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan, dan mematikan. Serta mengimani bahwa Allah Ta’ala adalah Raja, Penguasa, dan Yang Maha Mengatur segala sesuatu. Tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah Ta’ala. Tidak ada yang menciptakan dan memusnahkan kecuali Allah Ta’ala. Tidak ada yang menghidupkan dan mematikan kecuali Allah Ta’ala. Tidak ada yang memberi rizki kecuali Allah Ta’ala.

Firman Allah Subhanahuwata’ala, “Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah [beribadah] dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan.” [QS. Al-Faatihah:5]. Di sinilah tauhid umat Islam dalam mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah Ta’ala semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam segala jenis ibadah, seperti berdoa, istianah, istighatsah, nadzar, tawakkal dan lainnya.

Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah juga wajib mengikuti jalan Sunnah Rasulullah Muhammad ﷺ baik secara lahir maupun batin serta mengikuti jalannya para sahabat yaitu kaum Muhajirin dan Anshar. Mereka mendahulukan firman Allah Ta’ala sebelum perkataan manusia yang ada. Mendahulukan petunjuk dari Nabiyullah Muhammad ﷺ dibandingkan petunjuk semua orang yang ada. Maka Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah disebut sebagai Ahlul Qur’an dan Sunnah.

Firman Allah Subhanahuwata’ala, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetatahui.” [QS. Al-hujuuraat:1]

Rasulullah Muhammad ﷺ bersabda, “Sungguh, aku telah tinggalkan kepadamu dua perkara yang kalian tidak akan tersesat apabila [berpegang teguh] kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang kepadaku di al-Haudh [telaga].” [HR. Al-Hakim dari Abu Hurairah].

Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah selamat karena mengikuti petunjuk dan sabda Rasulullah Muhammad ﷺ, beribadah sesuai dengan contoh Rasulullah Muhammad ﷺ, tidak mengada-ada. Dengan berpegang teguh kepada apa yang dikabarkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Ijma para Sahabat, InsyaAllah kita akan diselamatkan oleh Allah Subhanahuwata’ala baik di dunia maupun dan di akhirat.

Ulama di abad ini Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menyatakan bahwa Syahadat adalah rukun Islam yang pertama dan terbesar. Menurut beliau dalam Syahadat terkandung tujuh syarat dan keutamaan yaitu ilmu, keyakinan, keikhlasan, kejujuran, kecintaan, ketaatan, penerimaan, dan pengingkaran terhadap sesembahan selain Allah Ta’ala Yang Maha Esa.

1. Ilmu. Seorang Muslim harus berilmu tentang kalimat syahadat, di mana seseorang mengetahui [baik lisan maupun hati] bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah Ta’ala dan Nabi Muhammad ﷺ adalah utusan Allah Ta’ala.

2. Keyakinan. Seorang Muslim harus mempunyai keyakinan dan tidak ada keraguan di dalamnya tentang makna kalimat Syahadat, bahwa ] bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah Ta’ala dan Nabi Muhammad ﷺ adalah utusan Allah Ta’ala.

3. Keikhlasan. Seorang Muslim harus mempunyai keikhlasan bahwa hanya kepada Allah Ta’ala amal ibadah dilaksanakan sebagai perwujudan bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah Ta’ala dan Nabi Muhammad ﷺ adalah utusan Allah Ta’ala.

4. Kejujuran. Seorang Muslim harus memiliki kejujuran dan tidak dalam keadaan terpaksa dalam melaksanakan ibadah dan beramal sebagai wujud bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah Ta’ala dan Nabi Muhammad ﷺ adalah utusan Allah Ta’ala.

5. Kecintaan. Seorang Muslim harus mencintai kalimat Syahadat sebagai wujud pengakuan bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah Ta’ala dan Nabi Muhammad ﷺ adalah utusan Allah Ta’ala. Serta mencintai sesama Muslim yang mengamalkan Kalimat Syahadat.

6. Ketaatan. Seorang Muslim harus mematuhi perintah Allah Ta’ala sesuai dengan tuntutan Nabi Muhammad ﷺ sebagai wujud pengakuan bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah Ta’ala dan Nabi Muhammad ﷺ adalah utusan Allah Ta’ala.

7. Penerimaan. Seorang Muslim harus bersedia [dan tidak menentang] menerima bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah Ta’ala dan Nabi Muhammad ﷺ adalah utusan Allah Ta’ala.

Wallahua’lambissawab.

Mudah-mudahan apa yang ditulis ini dapat memberikan bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Mudah-mudah tulisan ini menjadi ilmu yang bermanfaat dan membuahkan amal shalih, meskipun tulisan ini bukan sesuatu yang sempurna. Mudah-mudah dengan terus belajar, penulis dan pembaca yang dirahmati Allah Subhanahuwata’ala akan terus mendapatkan ilmu yang shahih dan InsyaAllah dapat mengamalkannya.

Barokallahu fikum.

Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh,

Kitab Rujukan:

1. Al-Quran dan Terjemahannya. Terbitan Departemen Agama.

2. Al-Hafizh Ibnu Katsir, “Al-Qur’an Al-‘Azhim” Kitab Tafsir. Penerbit Imam asy-Syafi’i. 1437 H.

3. Ibnu Hajar al-‘Asqalani. “Fathul Bari, Syarah Shahih al-Bukhari: Kitab Ilmu” Jilid 2/35. Penerbit Imam Asy-Syafii. 2018.

4. Imam Al-Bukhari. “Kitab Al-Adabul Mufrad”. Pensyarah Syaikh Dr. Muhammad Luqman as-Salafi “Rasysyul Barad Syarh al-Adabil Mufrad”. Penerbit Griya Ilmu. 2009.

Catatan: Dengan tidak mengurangi hikmah dari tulisan ini, karena kelemahan ilmu dan perangkat penulis tentang penulisan huruf arab maka pada tulisan ini tidak dituliskan tulisan Arabnya. Untuk melihat sumber asli tulisan Arab dapat dilihat pada Kitab rujukan di atas.

Bagaimanakah Allah swt mendahulukan segala sesuatu?

Kesimpulannya, Allah Maha Mendahulukan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya. Allah mendahulukan peringatan sebelum mendatangkan azab. Allah mendahulukan anugerah kepada orang yang dikehendaki-Nya. Jika Allah menghendaki sesuatu mendahului yang lain, tidak ada yang mampu menghalangi.

Allah Subhanahu wa Ta ala Maha Mendahulukan atas apa yang diciptakannya Hal ini sesuai dengan Asmaul Husna?

Al Muqaddim artinya Yang Maha Mendahulukan, salah satu nama Allah SWT dalam Asmaul Husna.

Bài mới nhất

Chủ Đề