Bagaimana bentuk-bentuk tawakal kepada selain allah swt

Sebagian orang menganggap bahwa tawakal adalah sikap pasrah tanpa melakukan usaha sama sekali. Contohnya dapat kita lihat pada sebagian pelajar yang keesokan harinya akan melaksanakan ujian. Pada malam harinya, sebagian dari mereka tidak sibuk untuk menyiapkan diri untuk menghadapi ujian besok namun malah sibuk dengan main game atau hal yang tidak bermanfaat lainnya. Lalu mereka mengatakan, “Saya pasrah saja, paling besok ada keajaiban.”

Apakah semacam ini benar-benar disebut tawakal?! Semoga pembahasan kali ini dapat menjelaskan pada pembaca sekalian mengenai tawakal yang sebenarnya dan apa saja faedah dari tawakal tersebut.

Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul Ulum wal Hikam tatkala menjelaskan hadits no. 49 mengatakan, “Tawakal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘azza wa jalla untuk meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa ‘tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata‘.”

Tawakal Bukan Hanya Pasrah

Perlu diketahui bahwa tawakal bukanlah hanya sikap bersandarnya hati kepada Allah semata, namun juga disertai dengan melakukan usaha.

Ibnu Rajab mengatakan bahwa menjalankan tawakal tidaklah berarti seseorang harus meninggalkan sebab atau sunnatullah yang telah ditetapkan dan ditakdirkan. Karena Allah memerintahkan kita untuk melakukan usaha sekaligus juga memerintahkan kita untuk bertawakal. Oleh karena itu, usaha dengan anggota badan untuk meraih sebab termasuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya.

Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman [yang artinya], “Hai orang-orang yang beriman, ambillah sikap waspada.” [QS. An Nisa [4]: 71].

Allah juga berfirman [yang artinya], “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” [QS. Al Anfaal [8]: 60].

Juga firman-Nya [yang artinya], “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah” [QS. Al Jumu’ah [62]: 10].

Dalam ayat-ayat ini terlihat bahwa kita juga diperintahkan untuk melakukan usaha.

Sahl At Tusturi mengatakan, “Barang siapa mencela usaha [meninggalkan sebab] maka dia telah mencela sunnatullah [ketentuan yang Allah tetapkan -pen]. Barang siapa mencela tawakal [tidak mau bersandar pada Allah, pen] maka dia telah meninggalkan keimanan. [Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam]

Baca Juga: Tawakal, Kunci Keberhasilan Yang Sering Dilalaikan

Burung Saja Melakukan Usaha untuk Bisa Kenyang

Dari Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” [HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 310]

Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Pria itu mengatakan, “Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rezekiku datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan, “Orang ini tidak tahu ilmu [bodoh]. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah menjadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku.” Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda [sebagaimana hadits Umar di atas]. Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rizki. [Lihat Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69, Maktabah Syamilah]

Al Munawi juga mengatakan, “Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha [sebab] itu bukanlah yang memberi rezeki, yang memberi rezeki adalah Allah ta’ala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakal tidak harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rezeki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rezeki. [Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8, Maktabah Syamilah]

Tawakal yang Termasuk Syirik

Setelah kita mengetahui pentingnya melakukan usaha, hendaknya setiap hamba tidak bergantung pada sebab yang telah dilakukan. Karena yang dapat mendatangkan rezeki, mendatangkan manfaat dan menolak bahaya bukanlah sebab tersebut tetapi Allah ta’ala semata.

Imam Ahmad mengatakan bahwa tawakal adalah amalan hati yaitu ibadah hati semata [Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, 2/96]. Sedangkan setiap ibadah wajib ditujukan kepada Allah semata. Barang siapa yang menujukan satu ibadah saja kepada selain Allah maka berarti dia telah terjatuh dalam kesyirikan. Begitu juga apabila seseorang bertawakal dengan menyandarkan hati kepada selain Allah -yaitu sebab yang dilakukan-, maka hal ini juga termasuk kesyirikan.

Tawakal semacam ini bisa termasuk syirik akbar [syirik yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam], apabila dia bertawakal [bersandar] pada makhluk pada suatu perkara yang tidak mampu untuk melakukannya kecuali Allah ta’ala. Seperti bersandar pada makhluk agar dosa-dosanya diampuni, atau untuk memperoleh kebaikan di akhirat, atau untuk segera memperoleh anak sebagaimana yang dilakukan oleh para penyembah kubur dan wali.

Mereka menyandarkan hal semacam ini dengan hati mereka, padahal tidak ada siapapun yang mampu mengabulkan hajat mereka kecuali Allah ta’ala. Apa yang mereka lakukan termasuk tawakal kepada selain Allah dalam hal yang tidak ada seorang makhluk pun memenuhinya. Perbuatan semacam ini termasuk syirik akbar. Na’udzu billah min dzalik.

Sedangkan apabila seseorang bersandar pada sebab yang sudah ditakdirkan [ditentukan] oleh Allah, namun dia menganggap bahwa sebab itu bukan hanya sekedar sebab [lebih dari sebab semata], seperti seseorang yang sangat bergantung pada majikannya dalam keberlangsungan hidupnya atau masalah rezekinya, semacam ini termasuk syirik ashgor [syirik kecil] karena kuatnya rasa ketergantungan pada sebab tersebut.

Tetapi apabila dia bersandar pada sebab dan dia meyakini bahwa itu hanyalah sebab semata sedangkan Allah-lah yang menakdirkan dan menentukan hasilnya, hal ini tidaklah mengapa. [Lihat At Tamhiid lisyarhi Kitabit Tauhid, 375-376; Syarh Tsalatsatil Ushul, 38; Al Qoulul Mufid, 2/29]

Baca Juga: Salah Paham tentang Memahami Tawakal

Penutup

Ingatlah bahwa tawakal bukan hanya untuk meraih kepentingan dunia saja. Tawakal bukan hanya untuk meraih manfaat duniawi atau menolak bahaya dalam urusan dunia. Namun hendaknya seseorang juga bertawakal dalam urusan akhiratnya, untuk meraih apa yang Allah ridhai dan cintai. Maka hendaknya seseorang juga bertawakal agar bagaimana bisa teguh dalam keimanan, dalam dakwah, dan jihad fii sabilillah.

Ibnul Qayyim dalam Al Fawa’id mengatakan bahwa tawakal yang paling agung adalah tawakal untuk mendapatkan hidayah, tetap teguh di atas tauhid dan tetap teguh dalam mencontoh/mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berjihad melawan ahli bathil [pejuang kebatilan]. Dan beliau rahimahullah mengatakan bahwa inilah tawakal para rasul dan pengikut rasul yang utama.

Kami tutup pembahasan kali ini dengan menyampaikan salah satu faedah tawakal. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala [yang artinya], “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan [keperluan]nya.” [QS. Ath Thalaaq [65]: 2-3].

Al Qurtubi dalam Al Jami’ Liahkamil Qur’an mengatakan, “Barang siapa menyerahkan urusannya sepenuhnya kepada Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca ayat ini kepada Abu Dzar. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Seandainya semua manusia mengambil nasihat ini, sungguh hal ini akan mencukupi mereka.” Yaitu seandainya manusia betul-betul bertakwa dan bertawakal, maka sungguh Allah akan mencukupi urusan dunia dan agama mereka. [Jami’ul Ulum wal Hikam, penjelasan hadits no. 49].

Hanya Allah-lah yang mencukupi segala urusan kami, tidak ada ilah yang berhak disembah dengan hak kecuali Dia. Kepada Allah-lah kami bertawakal dan Dia-lah Rabb ‘Arsy yang agung.

Baca Juga: Jangan Lupakan Doa dan Tawakal Dalam Mendidik Anak

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel muslim.or.id

🔍 Waqfeyah, Dalil Sholat, Faedah Membaca Sholawat, Risalah Puasa Ramadhan

Tags: Manajemen QalbuTawakal

MACAM-MACAM TAWAKKAL

Oleh
Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar ad-Dumaiji

Dilihat dari orang yang bertawakkal, tawakkal terbagi menjadi dua macam, yaitu: tawakkal kepada Allah Ta’ala dan tawakkal kepada selain Dia. Dan pada masing-masing bagian ini terdapat beberapa macam tawakkal.

Pertama: Tawakkal Kepada Allah Ta’ala
Sesuai dengan obyeknya, tawakkal ini terbagi menjadi empat macam:

  1. Tawakkal kepada Allah Ta’ala dalam meluruskan diri, mengarahkannya, memurnikan tauhid, dan berpegang teguh pada ajaran agama-Nya secara lahir maupun bathin, tanpa berusaha memberikan pengaruh pada orang lain. Dengan pengertian tawakkal kepada Allah dalam memperbaiki diri sendiri tanpa melihat orang lain.
  2. Tawakkal kepada Allah dalam meluruskan diri, seperti poin pertama, ditambah dengan tawakkal kepada-Nya dalam menegakkan agama Allah di muka bumi dan mencegah kerusakan, memberantas bid’ah, dan memerangi orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Juga memberikan perhatian terhadap kemaslahatan kaum muslimin, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, memberikan pengaruh kepada orang lain sehingga dia benar-benar menyembah Allah semata. Dan inilah tawakkal para Nabi dan para ulama pewaris mereka. Ini pula merupakan macam tawakkal yang paling agung sekaligus paling bermanfaat.[1]

Al-‘Allamah Ibnu as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Dan ketahuilah bahwa tawakkal para Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan tuntutan paling tinggi sekaligus tingkatan paling mulia. Dan itulah tawakkal kepada Allah dalam menegakkan dan menolong agama-Nya, memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya, dan menyingkirkan kesesatan dari mereka. Yang demikian itu merupakan tawakkal yang paling sempurna.”[2]

Dengan demikian, tawakkal yang paling afdhal adalah tawakkal dalam hal yang wajib. Yang saya [penulis] maksudkan adalah kewajiban dalam menegakkan kebenaran dan kewajiban sesama makhluk, kewajiban pada diri sendiri. Dan yang paling luas serta paling bermanfaat, yaitu tawakkal dalam memberikan pengaruh kepada orang lain demi kemaslahatan agama atau mencegah kerusakan agama. Dan itulah tawakkal para Nabi dalam menegakkan agama Allah dan mencegah kerusakan yang dilancarkan orang-orang yang suka berbuat kerusakan. Dan ini pula tawakkal para pewaris mereka [ulama].[3]

  1. Tawakkal kepada Allah dalam memenuhi kebutuhan seorang hamba dan bagiannya yang bersifat duniawi, atau mencegah hal-hal yang tidak disukainya dan juga berbagai musibah duniawi, seperti orang yang bertawakkal dalam meraih rizki atau kesehatan atau istri atau anak atau pertolongan dalam melawan musuh dan lain sebagainya. Tawakkal ini akan memberikan kecukupan kepadanya di dunia maupun di akhirat atas apa yang dia bertawakkal kepada Allah, kecuali jika dia berniat meminta pertolongan dengan hal itu untuk menaati Allah Azza wa Jalla.

Al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Antara kedua macam tawakkal -yakni, macam yang kedua dan ketiga- terdapat keutamaan yang tidak diketahui jumlahnya, kecuali oleh Allah saja. Oleh karena itu, jika seorang hamba bertawakkal kepada-Nya dengan tawakkal kedua dengan sebenar-benarnya, maka Allah akan memberikan kecukupan yang secukup-cukupnya pada tawakkal macam ketiga. Dan jika seorang hamba bertawakkal kepada Allah dengan tawakkal macam ketiga, maka dia juga akan diberikan kecukupan pula, tetapi dia tidak akan mendapatkan akibat dari obyek yang ditawakkalinya pada apa yang dicintai dan diridhai-Nya.”[4]

  1. Tawakkal kepada Allah dalam melakukan sesuatu yang haram atau menolak apa yang diperintahkan.
    Ada orang yang bertawakkal kepada Allah dalam berbuat dosa dan melakukan perbuatan keji. Pada umumnya, orang-orang yang memiliki tujuan seperti ini tidak akan dapat melakukannya, kecuali dengan meminta pertolongan kepada Allah dan bertawakkal kepada-Nya. Bahkan bisa jadi tawakkal mereka lebih kuat daripada tawakkal kebanyakan orang-orang yang berbuat ketaatan. Oleh karena itu, mereka telah mencampakkan diri mereka ke dalam kehancuran dan kebinasaan sambil bersandar kepada Allah agar Dia menyelamatkan mereka serta mewujudkan tuntutan mereka.[5]

Dengan demikian, seringkali keinginan mereka itu terkabulkan, tetapi mereka berbuat dosa sehingga mereka akan mendapatkan balasan di akhirat kelak. Tawakkal macam ini tampak jelas pada orang-orang yang kemaksiatan mereka bersumber dari penafsiran yang salah atau syubhat yang menyesatkan. Termasuk di dalamnya keadaan banyak orang dari orang-orang yang berorientasi menyimpang, orang-orang yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Mereka banyak memberikan perhatian terhadap masalah ini, bahkan tidak sedikit dari mereka yang meminta tolong kepada Allah dalam melakukannya. Tetapi, karena hal itu tidak sejalan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, sehingga mereka mendapatkan balasan yang disegerakan dan mereka mendapatkan akhir [akibat] yang buruk[6]. Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan.

Baca Juga  Tanda-tanda Husnul Khatimah dan Suul Khatimah

Demikianlah pembagian tawakkal kepada Allah ditinjau dari obyeknya. Dan tidak diragukan lagi bahwa tawakkal yang paling baik, paling sempurna, dan paling penting adalah tawakkal macam kedua, yang tercakup di dalamnya tawakkal macam pertama, kemudian yang ketiga. Dan yang paling buruk adalah tawakkal macam terakhir. Kita berlindung kepada Allah darinya.

Kemudian banyak dari orang-orang yang bertawakkal tertipu dalam tawakkalnya, meskipun dia telah benar-benar bertawakkal kepada Allah Ta’ala, seperti orang yang mengarahkan tawakkalnya itu kepada keadaan parsial, yang padanya dia mengerahkan seluruh kekuatan tawakkalnya, padahal ada kemungkinan baginya untuk melakukannya dengan mudah. Dan mengkonsentrasikan hatinya hanya untuk tawakkal dalam menambah iman dan ilmu serta menegakkan agama. Dan memberi pengaruh terhadap alam adalah lebih baik. Dan ini merupakan tawakkal orang yang lemah yang memiliki kemauan sangat rendah, sebagaimana sebagian mereka memalingkan kemauan, tawakkal, dan do’anya pada sakit yang mungkin diobati dengan sesuatu yang sangat ringan, atau rasa lapar yang mungkin dihilangkan dengan setengah potong roti atau setengah dirham. Sementara dia tidak mau berpaling kepada pembelaan terhadap agama dan pemberantasan terhadap segala bentuk bid’ah, menambah keimanan, dan kepedulian terhadap kepentingan kaum muslimin. Wallaahu a’lam.[7]

Dengan demikian, umat manusia ini terdiri dari berbagai macam orang yang berbeda-beda. Mereka banyak yang tertipu, bahkan mereka ada yang tertipu dalam bertawakkal, menyangkut berbagai kepentingan duniawi sesuai dengan kemauan dan tujuan mereka. Oleh karena itu, ada orang yang bertawakkal kepada Allah dalam mencapai kekuasaan dan ada juga orang yang bertawakkal dalam rangka memperoleh sepotong roti.[8]

Jika demikian keadaannya, maka yang wajib dilakukan oleh seorang yang berakal adalah tidak menyibukkan diri dan hatinya, kecuali dalam hal-hal yang lebih sempurna dan lebih baik, yaitu tawakkal kepada Allah Ta’ala dalam memperoleh apa yang dicintai dan diridhai-Nya, sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang penyair:

وَإِذَا عَلِـمْتَ بِـأَنَّهُ مُتَفَاضِلٌ فَاشْغَلْ فُؤَادَكَ بِالَّذِي هُوَ أَفْضَلُ

Dan jika engkau mengetahui bahwa ia[9] begitu berharga, maka sibukkanlah hati nuranimu dengan hal yang lebih utama.

Kedua: Tawakkal Kepada Selain Allah Ta’ala
Tawakkal macam ini terbagi menjadi dua bagian:

1.Tawakkal Syirki [syirik], yang ia terbagi lagi menjadi dua macam:
a]. Tawakkal kepada selain Allah Ta’ala dalam urusan yang tidak ada seorang pun mampu mengerjakannya, kecuali Allah Azza wa Jalla, seperti orang-orang yang bertawakkal kepada orang-orang yang sudah meninggal dunia dan para thaghut dalam mengharapkan tuntutan mereka, berupa pertolongan, penjagaan, rizki, dan syafa’at. Yang demikian itu merupakan syirik terbesar. Sesungguhnya hal-hal seperti ini dan yang semisalnya tidak ada yang dapat melakukannya, kecuali hanya Allah Tabaraka wa Ta’ala.[10]

Tawakkal macam ini disebut sebagai tawakkal sirri, karena tawakkal ini tidak dilakukan, kecuali oleh orang yang meyakini bahwa orang yang meninggal ini memiliki kemampuan berbuat secara rahasia di alam ini. Tidak ada perbedaan antara Nabi, wali maupun thaghut yang menjadi musuh Allah Ta’ala.[11]

b]. Tawakkal kepada selain Allah dalam hal-hal yang mampu untuk dikerjakan -berdasarkan perkiraan- orang yang bertawakkal kepadanya. Dan ini merupakan syirik kecil.[12]

Seperti, tawakkal dalam sebab yang tampak lagi biasa. Misalnya orang yang bertawakkal pada penguasa atau pemerintah dalam hal-hal yang Allah telah berikan kepadanya, baik itu berupa rizki, penolakan gangguan, dan yang lain-lainnya. Yang demikian ini termasuk syirik khafi [tersembunyi].[13]

Oleh karena itu, dikatakan, menolehnya hati kepada sebab-sebab merupakan perbuatan syirik dalam tauhid, karena kuatnya ketergantungan dan sandaran hati padanya.

Yang demikian itu, karena hati tidak akan bertawakkal, kecuali pada pihak yang diharapkannya. Oleh karena itu, barangsiapa berharap kepada kekuatan, perbuatan, ilmu, keadaan, teman, kerabat, syaikh, kekuasaan atau hartanya, tanpa melihat kepada Allah Ta’ala, maka di dalamnya terkandung semacam tawakkal karena ada sebab [sarana] tersebut. Tidaklah seseorang berharap kepada makhluk atau bertawakkal kepadanya, melainkan dia akan mendapatkan kegagalan, maka sesungguhnya ia termasuk syirik.[14]

Allah Ta’ala telah berfirman:

وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ

“Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” [Al-Hajj/22: 31]

Syaqiq al-Balakhi mengatakan, “Setiap orang memiliki maqam [kedudukan], di mana dia bisa bertawakkal pada hartanya, dirinya sendiri, lidahnya, pada pedangnya, atau kekuasaannya, dan juga kepada Allah Azza wa Jalla.
Adapun orang yang bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, maka dia telah mendapatkan ketenangan. Yang dengannya, Allah akan meninggikan kedudukannya. Allah Ta’ala berfirman:

Baca Juga  Perjalanan Meraih Ridha Ar-Rahmaan

وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ

‘Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup [Kekal] Yang tidak mati…’ [Al-Furqaan/25: 58]

Sedangkan orang yang merasa tenang kepada selain Allah, maka dikhawatirkan ia akan terputus dari-Nya sehingga dia akan hidup sengsara.”[15]

Tetapi, jika dia mengambilnya dengan anggapan ia sebagai sarana, sedangkan Allah Ta’ala yang menetapkan semuanya pada dirinya, maka yang demikian itu tidak ada masalah, jika apa yang ditawakkali itu memiliki pengaruh yang baik dalam pencapaiannya.

2. Wakalah [mewakilkan] yang dibolehkan.
Yang dimaksudkan di sini adalah seseorang yang mewakilkan kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu yang mampu untuk dikerjakan, sehingga dengan demikian itu akan dicapai apa yang diinginkan.

Wakalah di sini berarti penyerahan dan pemeliharaan. Misalnya, Anda katakan, “وَكَّلْتُ فُلاَناً” [jika Anda memintanya untuk menjaganya]. Dan “وَوَكَّلْتُ اْلأَمْرَ إِلَيْهِ” [jika Anda menyerahkan urusan kepadanya].

Dan menurut syari’at, wakalah berarti seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menggantikan dirinya secara mutlak atau terbatas.[16]
Wakalah dalam bentuk seperti ini, dibolehkan oleh al-Kitab, as-Sunnah maupun ijma’[17]. Allah Ta’ala telah berfirman melalui lisan Ya’qub Alaihissallam yang berbicara kepada anak-anaknya:

يَا بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ

“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya…” [Yuusuf/12: 87]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mewakilkan kepada para pekerja dan penjaga.

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu telah berkata,

وَكَّلَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ…

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjadikan diriku sebagai wakil untuk menjaga zakat di bulan Ramadhan…”[18]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mewakilkan dalam menetapkan hukuman hadd dan pemberlakuannya, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits Unais. ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu juga pernah menjadi wakil Rasul di dalam penyembelihan hewan kurban beliau pada waktu haji Wada’ untuk menyedekahkan kulit dan sebagian besarnya. Dan memerintahkan untuk menyembelih seratus hewan kurban yang masih tersisa setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih enam puluh tiga ekor dengan tangan beliau sendiri.

Penjelasan rinci mengenai wakalah ini terdapat di dalam kitab-kitab fiqih.[19]
Tetapi, dia tidak boleh bertawakkal padanya, meskipun dia telah mewakilkan kepadanya. Melainkan, dia harus bersandar kepada Allah Ta’ala untuk mempermudah apa yang diwakilkan kepada orang lain itu[20]. Sebab, seorang makhluk tidak akan dapat menanggung semua kebutuhan hamba dan tidak pula mampu memenuhi semua kebutuhannya, juga tidak kuasa untuk melakukan sesuatu untuk orang yang mewakilkan kepadanya, kecuali atas kehendak dan kuasa Allah Azza wa Jalla.[21]

[Disalin dari kitab At-Tawakkul ‘alallaahi Ta’aalaa, Penulis Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar ad-Dumaiji, Edisi Indonesia MEMAHAMI TAWAKKAL Menyandarkan Semua Urusan kepada Allah Azza Wa Jalla, Penerjemah M. Abdul Ghaffar E.M. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Rabi’ul Awwal 1426 H – April 2005 M] _______ Footnote

[1] Lihat kitab Ma’aalim at-Tauhiid, hal. 80.


[2] Kitab Taisiir al-Kariim ar-Rahmaan [III/11].
[3] Kitab Madaarijus Saalikiin [II/114].
[4] Kitab al-Fawaa-id, hal. 71.
[5] Kitab Madaarijus Saalikiin [II/113-114].
[6] Kitab Majmuu’ al-Fataawaa [X/276]. Dan lihat penjelasan rinci mengenai hal itu di dalam juz XIII, hal. 324 dan setelahnya.
[7] Kitab Madaarijus Saalikiin [II/125-126].
[8] Kitab Madaarijus Saalikiin [II/113].
[9] Yang dimaksudkan oleh penyair di sini adalah ilmu dan bukan tawakkal.
[10] Kitab Taisiir al-‘Aziiz al-Hamiid, hal. 497-498.
[11] Kitab Majmuu’ Fatawaa wa Rasaa-il asy-Syaikh Ibnu al-‘Utsaimin [VI/54].
[12] Kitab Taisiir al-‘Aziiz al-Hamiid, hal. 40.
[13] Kitab Taisiir al-‘Aziiz al-Hamiid, hal. 498.
[14] Kitab Majmuu’ al-Fataawaa [X/257], karya Syaikhul Islam.
[15] Diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam kitab asy-Syu’ab, hadits nomor 1297 [II/105]. Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah [VIII/61].
[16] Kitab Fat-hul Baari [IV/559, V/201].
[17] Lihat Kitab al-Mughni wa asy-Syarhul Kabiir [V/210].
[18] Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Kitab al-Wakalah, bab Idzaa Wakala Rajulan fataraka al-Wakiil Syai-an, Fa Ajaazahu al-Muwakkil fahuwa Jaa-izun, hadits nomor 2311 [Fat-hul Baari [IV/568]].
[19] Bab al-Wakalah.
[20] Risalah Tahqiq at-Tawakkul, hal. 89, yang tercakup di dalam kitab Jaami’ ar-Rasaa-il, karya Syaikhul Islam.
[21] Risalah Tahqiq at-Tawakkul, hal. 89, yang tercakup di dalam kitab Jaami’ ar-Rasaa-il, karya Syaikhul Islam.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề