Bagaimana kalau orang yang bersangkutan merasa tidak dapat mewujudkan moksa

Dalam keyakinan Agama Hindu, yang menjadi tujuan hidup manusia di alam ini adalah Moksa.Dalam kitab suci Weda, dinyatakan “Moksartham jagadhita ya ca iti dharma” yang artinya bahwa tujuan agama [Dharma] itu adalah untuk mencapai Moksa [Moksartham] dan kesejahteraan umat manusia [Jagadhita].Kebahagiaan batin yang terdalam adalah bersatunya Atman dengan Brahman. Pada bab ini akan dijelaskan pengertian dari moksa tingkatan-tingkatan moksa dan upaya-upaya untuk mencapai moksa.

Perenungan :

Banyak jalan dapat dilalui oleh seseorang untuk mewujudkan hidup yang baik dalam hidup ini, Tuhan selalu membukakan pintu-Nya untuk orang- orang yang berhati mulia untuk berbuat baik”.

Dalam agama Hindu, diajarkan lima prinsip keyakinan yang disebut Panca Sraddha yaitu meliputi keyakinan tentang adanya Brahman, Atman, Karma Pala, Punarbhawa, dan Moksa. Gunada [2013:25] menjelaskan bahwa  Panca Sraddha adalah dasar untuk mencapai tujuan kehidupan tertinggi. Kepercayaan terhadap moksa yang menjadi tujuan puncak [paramartha] Agama Hindu menegaskan bahwa Hindu senantiasa menyelaraskan antara dasar dan tujuan. Agama Hindu merumuskan empat tujuan hidup yang disebut Catur Purushàrtha, yaitu dharma [kebenaran], artha [kesejahteraan], kama [keinginan/kenikmatan duniawi], dan moksa [kebebasan sejati].

Moksa berasal dari bahasa Sanskerta. Moksa dari akar kata muc yang berarti membebaskan atau melepaskan. [Semadi Astra, dkk, 1982:1983]. Dari pemahaman istilah, kata mokûa dapat disamakan dengan nirwana, nisreyasa atau keparamarthan yang merupakan brahman yang sangat gaib dan berada di luar pikiran manusia, sehingga Moksa dapat disamakan dengan Nirguna Brahman. Bahasa manusia tidak dapat menjelaskan bagaimana sesungguhnya alam mokûa itu. Moksa hanya dapat dirasakan oleh orang yang dapat mencapainya. Moksa adalah kepercayaan tentang adanya kebebasan yaitu bersatunya antara atman dengan brahman.

Moksa dapat juga disebut dengan Mukti artinya mencapai kebebasan jiwatman atau kebahagian rohani yang langgeng. Bila seseorang sudah mengalami moksa dia akan bebas  dari  ikatan  keduniawian,  bebas dari hukum karma dan bebas dari penjelmaan kembali [reinkarnasi] serta dapat mengalami atau mewujudkan Sat, Cit, Ananda [kebenaran, kesadaran, kebahagian].

Adapun yang dimaksud dengan kebebasan dalam pengertian moksa ialah terlepasnya atman dari ikatan maya, sehingga menyatu dengan Brahman. Bagi orang yang telah mencapai moksa berarti mereka telah mencapai alam Sat cit ananda. Sat cit ananda berarti kebahagiaan yang tertinggi. Setiap orang pada hakikatnya dapat mencapai moksa, asalkan mengikuti dengan petunjuk agama. Moksa itu dapat dicapai di dunia maupun dapat pula dicapai setelah hidup ini berakhir.

Seseorang yang menyadari hal itu, akan berupaya menumbuh-kembangkan usaha untuk melepaskan diri yang sejati dari keterikatan. Usaha melepaskan diri secara sadar inilah yang dapat mengantarkan manusia menuju moksa. Agama mengajarkan banyak usaha yang dapat ditempuh untuk mewujudkan moksa. Di antara usaha-usaha itu antara lain; dengan berperilaku yang baik, berdana-punya, beryajna, dan tirthayatra. Usaha-usaha itu dapat dilakukan secara bertahap dengan didasari dengan niat baik dan suci, sehingga seseorang dapat terlepaskan dari keterikatan duniawi.

Umat Hindu percaya akan dapat membebaskan dirinya [pikiran dan perasaannya] dari ikatan keduniawian, pengaruh suka dan duka yang muncul dari tri guna serta dapat mencapai kelepasan itu. Kitab suci Bhagavadgita menjelaskan sebagai berikut:

“Yadā sattve pravåddhe tu,

pralayaý yāti deha-bhåit,

tadottama-vidāý lokàn,

amalān pratipadyate”.

Terjemahan:

Apabila sattva berkuasa di kala penghuni-badan bertemu dengan kematian maka ia mencapai dunia suci tempat mereka, para yang mengetahui [Bhagavadgita XIV. 14].

Membebaskan diri dari pengaruh tri guna adalah usaha yang sangat berat, tetapi pasti dapat dilakukan dengan disiplin diri. Penghayatan dan pengamalan semua bentuk ajaran agama dalam hidup merupakan wujud konkrit dari pengamalan sabda Tuhan yang ada dalam pustaka suci.

Lakukan pemujaan dan kerja sebagaimana mestinya guna mewujudkan bhakti kita kepada Tuhan. Tanamkanlah keyakinan pada diri kita bahwa segala sesuatu berawal dan berakhir pada Tuhan. Segala sesuatu tidak mungkin akan terjadi tanpa Beliau berperan di dalamnya.

Setiap makhluk dapat mencapai moksa, hanya saja proses yang dilalui satu sama lain berbeda. Ada yang cepat dan ada pula yang lambat dan sebagainya. Bila seseorang dapat mengurangi sifat egoisnya terhadap sesuatu dan mengarahkan pikiran dan perasaannya pada Tuhan, maka secara perlahan-lahan dan pasti akan dapat menyatu dengan Brahman. Renungkan dan laksanakanlah makna sloka berikut ini dengan baik.

Sattvaý sukhe sañjayati,

rajaá karmani bhārata,

 jnānam āvåtya tu tamaá,

 pramāde sanjayaty uta.

 Terjemahan:

Sattwa mengikat seseorang dengan kebahagiaan, rajas dengan kegiatan tetapi tamas, menutupi budi pekerti oh Barata, mengikat dengan kebingungan, [Bhagavadgita XIV.9].

Tujuan utama manusia adalah untuk mewujudkan hidup yang bahagia dengan menyadari dirinya yang sejati. Setelah orang menyadari dirinya yang sejati barulah ia dapat menyadari Tuhan yang meresap dan berada pada semua yang ada di alam semesta ini.

Dalam kehidupan nyata di dunia ini masih sangatlah sedikit jumlah orang yang menginginkan mendapatkan kebahagiaan rohani ”moksa”, kebanyakan di antara mereka hanyut oleh kenikmatan duniawi yang penuh dengan gelombang suka dan duka. Kiranya setiap orang perlu menyadari bahwa tubuh ini adalah suatu alat untuk mendapatkan moksa. Moksanam sariram sadhanam yang artinya bahwa tubuh ini adalah sebagai alat untuk mencapai moksa. Untuk dapat mewujudkan rasa bakti kehadapan-Nya kehadiran tubuh manusia sangat diperlukan, oleh karenanya peliharalah tubuh ini sebaik-baiknya.

“Bhaktyā tv ananyayā úakya

ahaý evam-vidho ‘rjuna,

 jñātuý draûþuý cha tattvena
praveûþuý cha paraýtapa”.

Terjemahan:

Tetapi, melalui jalan bakti yang tak tergoyahkan Aku dapat dilihat dalam realitasnya dan juga memasukinya, wahai penakluk musuh [Arjuna] Paramtapa [Bhagawadgita, XI. 54].

Pengertian  Moksa

Dalam keyakinan Agama Hindu, yang menjadi tujuan hidup manusia di alam ini adalah Moksa.Dalam kitab suci Weda, dinyatakan “Moksartham jagadhita ya ca iti dharma” yang artinya bahwa tujuan agama [Dharma] itu adalah untuk mencapai Moksa [Moksartham] dan kesejahteraan umat manusia [Jagadhita].Kebahagiaan batin yang terdalam adalah bersatunya Atman dengan Brahman. Pada bab ini akan dijelaskan pengertian dari moksa tingkatan-tingkatan moksa dan upaya-upaya untuk mencapai moksa.

Dipihak lain : moksa [Sanskerta: mokṣa] adalah sebuah konsep agama Hindu dan Buddha. Artinya ialah kelepasan atau kebebasan dari ikatan duniawi dan lepas juga dari putaran  reinkarnasi  atau Punarbawa kehidupan.

Moksa adalah salah satu sradha dalam Agama Hindu, yang merupakan tujuan hidup tertinggi Agama Hindu. Kebahagiaan yang sejati akan tercapai Oleh seseorang, apabila ia telah dapat menyatukan jiwanya dengan Tuhan. Penyatuan dengan Tuhan itu baru akan didapat apabila ia telah melepaskan semua bentuk ikatan pada dirinya. Keierikatan yang melekat pada diri kita itulah yang dinamakan maya atau kepalsuan.Maya dalam Agama Hindu dinamakan Sakti, Prakrti, kekuatan, dan Pradhana.Maya selalu mengalami perubahan yang pada hakikatnya tidak ada.Keberadaannya semata-mata disebabkan Oleh adanya hubungan indria dengan obyek duniawi ini.

Kata Moksa berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari akar kata Muc yang berarti membebaskan atau melepaskan. Dengan demikian, kata Moksa berarti kelepasan dan kebebasan.Dari segi istilah, Moksa disamakan dengan nirwana dan nisreyasa atau keparamarthan.

Moksa adalah alam Brahman yang sangat gaib dan berada di luar batas pikiran umat manusia.Moksa bersifat Nirguna, tidak ada bahasa manusia yang dapat menjelaskan bagaimana sesungguhnya alam Moksa itu.Dia hanya dapat dirasakan Oleh orang yang dapat mencapainya. Alam Moksa bukan sesuatu yang bersifat khayal tetapi sesuatu yang benar-benar ada,karena demikian dikatakan oleh ajaran kebenaran [agama].

Apa yang disabdakan Oleh kitab suci Weda adalah benar secara mutlak. Ajarannya selalu bersifat suci dan penuh di kegaiban, maka itu ajarannya untuk sepanjang masa. Yang dimaksud dengan kebebasan dalam pengertian Moksa ialah terlepasnya Atman dari ikatan Maya.sehingga dapat menyatu dengan Brahman.Bagi orang yang telah mencapai Moksa berarti meereka telah mencapai Moksa berarti mereka telah mencapai alam Sat Cit Ananda.

Ananda, yaitu kebahagiaan yang tertinggi.Setiap orang pada hakikatnya dapat mencapai Moksa, asal mereka mengikuti dengan tekun jalan yang ditunjuk oleh agama. Jalan yang ditunjuk oleh ajaran agama untuk mencapai Moksa adalah Catur Marga Yoga.Ajaran Catur Marga Yoga dapat ditempuh Oleh semua orang dengan menyesuaikan kemampuan dirinya masing-masing.

Sesungguhnya jalan Catur Marga tersebut dalam praktiknya akan dilaksanakan dalam satu kesatuan dengan meletakkan satu keutamaan tertentu dari ajaran Catur Marga. Seseorang yang menempuh jalan Bhakti Marga Yoga juga melakukan Marga Yoga yang Iainnya, tetapi dalam porsi yang rendah, demikian pula yang Iainnya.

Moksa dapat dicapai di dunia ini [ketika kita hidup] dan dapat pula dicapai setelah hidup ini berakhir. Orang yang dapat membebaskan dirinya [pikiran dan indera/kama] dari ikatan keduniawian dan pengaruh suka duka yang muncul dari Tri Guna akan dapat mencapai kelepasan itu, sebagaimana diungkapkan dalam Bhagawadgita sebagai berikut:

sattvam sukhe sanjayati rajah karmani bharata,

jnanam avrtya tu tamah praruade sahjayatv uta.[Bhagawadgita XIV. 9]

Artinya:

Triguna, yaitu sattwa, rajas, dan tamas, lahir dari prakerti terikat di  dalam badan Oh Arjuna, merupakan penghuni abadi di dalam badan.

yada sattvepravrddhe tu pralayam yati deha-bhrt, tadottama-vidam lokan amalan pratipadyate.[Bhagawadgita XIV. 14] Artinya:

Jika saat kematian seseorang tiba, bila pada waktu itu sattwa yang menguasai, maka ia mencapai dunia yang suci dari mereka yang mengetahui Tuhan [menerima Brahmaloka].

Pembebasan diri dari pengaruh Tri Guna adalah usaha yang berat, tetapi pasti dapat dilakukan dengan mendasarkan diri pada disiplin. Renungkan sloka di atas bila seseorang ingin mencapai alam Moksa.

Penghayatan dan pengamalan semua bentuk ajaran agama dalam hidup ini merupakan pelaksanaan konkrit dari sabda Tuhan yang ada dalam pustaka suci. Lakukan pemujaan dan kerja sebagaimana mestinya sebagai bhakti kita kepada Tuhan.Tanamkan keyakinan pada diri kita bahwa segala sesuatu berawal dan berakhir pada Tuhan. Segala sesuatu tidak mungkin akan terjadi tanpa Tuhan ikut di dalamnya. Semua makhluk akan dapat mencapai Moksa, hanyajalan atau prosesnya berbeda, ada yang cepat dan ada pula yang Iambat.

Bila seseorang dapat mengurangi sifat egoisnya terhadap sesuatu dan mengarahkan pikiran dan perasaannya pada Tuhan, maka secara perlahan – lahan tetapi pasti akan dapat menyatu dengan Brahman. Tujuan utama hidup manusia adalah untuk menyadari dirinya yang sejati. Setelah orang menyadari dirinya yang sejati barulah ia dapat menyadari Tuhan yang meresap dan berada pada semua yang ada di alam semesta ini.

Di dunia ini sangatlah sedikit jumlah orang yang menginginkan kebahagiaan rohani berupa Moksa, kebanyakan mereka hanyut oleh kenikmatan duniawi yang penuh dengan gelombang suka dan duka. Kiranya perlu disadari oleh setiap orang, bahwa tubuh ini adalah suatu alat untuk mendapatkan Moksa. Moksanam sarira sadhanam yang berarti bahwa tubuh itu adalah sebagai alat untuk mencapai Moksa. Demikian yang dikatakan oleh Brahma Purana [228.45], maka itu peliharalah tubuh ini sebaik-baiknya.

atan Moksa

Moksa dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu: Samipya, Sarupya [Sadarmya], Salokya, dan Sayujya. Adapun penjelasan keempat bagian ini adalah sebagai berikut:

1]. Samipya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya di dunia ini. Hal ini dapat dilakukan oleh para Yogi dan para Maharsi. Beliau dalam melakukan Yoga Samadhi telah dapat melepaskan unsur-unsur maya, sehingga beliau dapat mendengar wahyu Tuhan.Dalam keadaan yang demikian, Atman berada sangat dekat sekali dengan Tuhan. Setelah beliau selesai melakukan samadhi, maka keadaan beliau kembali sebagai. Emosi, pemikiran dan organ jasmaninya aktif kembali.

2]. Sarupya [ Sadharmya] adalah suatu kebebasan yang didapat oleh seseorang didunia ini, karena kelahiarannya. kedudukan atman merupakan pancaran dari memahakuasaan Tuhan, seperti halnya Sri Rama, Budhha Gautama, dan Sri Kresna. Walaupl semua atman telah mengambil suatu perwujudan tertentu namun ia tidak terikat oleh segala sesuatu yang ada di dunia

3]. Salokya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh atman di mana Atman itu sendiri telah berada dalam posisi dan kesadaran yang sama dengan Tuhan. Dalam keadaan seperti itu dapat dikatakan atman telah mencapai tingkatan Dewa yang merupakan manifestasi dari Tuhan itu sendiri.

4]. Sayujya adalah suatu tingkat kebebasan yang tertinggi di mana Atman telah dapat bersatu dengan Tuhan Yang Esa [Brahman]. I]alam keadaan seperti inilah sebutan Brahman Atman Aikynm yang artinya, Atman dan Brahman sesungguhnya tunggal, Dalatn hubungnn ini renungkan sloka berikut: Sribhagavan uvacha:

Akasaram Brahman paramam svabhavo dhyatmam uchvate, bhutabhavodbhavakaro vismgah kartnasamjnitah.

[Bhagawadgita VIII. 3. 129]

Sri Bhagawan Bersabda

Brahman [tuhan] adalah yang kekal, yang Maha Tinggi dan adanya di dalam tiap-tiap badan perseorangan disebut Adhyatman. Karma adalah nama yang diberikan kepada kekuatan cipta yang menjadikan makhluk hidup.

Istilah lain yang dipergunakan untuk mengklarifikasikan tingkat-tingkat Moksa itu, yaitu: Jiwa Mukti, Wideha Mukti [Karma Mukti], dan Purna Mukti. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

l].     Jiwa Mukti adalah suatu kebebasan yang didapat oleh seseorang dalam hidupnya di dunia ini, di mana Atman tidak terpengaruh oleh indriya dan unsur-unsur dari maya. Dengan demikian maka jiwa mukti sama sifatnya dengan Samipya dan Sarupya [Sadharmya].

2]. Wideha Mukti [Karma Mukti] adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai semasa hidupnya.Di mana Atman telah meninggalkan badan kasar, tetapi wasana dari unsur Maya tidak kuat lagi mengikat Atman itu.Dalam keadaan seperti itu, kesadaran yang dicapai oleh Atman sudah setara dengan Tuhan, tetapi belum dapat bersatu karena masih adanya imbas dari unsur Maya.Dengan demikian maka Wideha Mukti [Karma mukti] dapat disamakan dengan Salokya.

3].  Purna Mukti adalah kebebasan yang paling sempurna dan yang tertinggi, di mana Atman telah dapat bersatu dengan Tuhan.Dengan demikian Purna Mukti dapat disamakan dengan Sayujya.

Mengenai Moksa atau kebebasan dalam kitab suci Sarasamuscaya disebutkan demikian dan mohon direnungkan untuk penghayatan yang lebih mendalam, yaitu sebagai berikut:

  • Tidak diketahui hubungan penjelmaan manusia itu pada permulaannya tidak dapat diperkirakan akan banyaknya penjelmaan yang lain, beribu-ribu ibu, anak dan istri pada tiap-tiap Yuga. Pada hakikatnya, siapakah yang sebenarnya dapat mengatakan dengan tepat keturunan mereka itu, dan yang mana dapat ditunjuk seketurunan dengan engkau sendiri.[Sarasamuscaya. 486]
  • Tidak ada yang kekalyang dinamakan pertemuan itu, yang bertemu satu dengan yang lain, yang tidak bertemu dengan yang lain, semuanya itu tidak kekal bahkan hubungan dengan badanmu sendiripun tidak kekal, pasti akan berpisah dari badan,tangan, kaki dan bagian lain tubuh itu, jangan dikatakan dengan yang lain-lainnya. [Sarasamuscaya, 487]
  • Katanya mereka datang dari Taya [kenyataan yang tidak nyata], kemudian kembalinya lagi ke Taya, singkatnya, bukan kepunyaanku itu, itu tidak ada hubungannya dengan engkau, jika demikian halnya, yang akan dikatakan dan apa yang akan dikerjakan.[Sarasamuscaya, 488].
  • Kekayaan akan habis, anak akan mati, istri, ayah, dan ibu, mereka iłu semuanya telah meninggal, maka sangat menyedihkan dan memilukan  hati, bila engkau sadarkan keadaan demikian, perbuatanmu iłu merupakan obat pelipur duka.[Sarasamuscaya. 489]
  • Orang yang disebut mendapatkan kebijaksanaan, tidak bersedih hati jika mengalami kesusahan, tidak bergirang hati jika mendapat kesenangan, tidak kerasukan nafsu marah dan rasa takut serta kemurungan hati, melainkan selalu tetap tenang juga pikiran dan tutur katanya karena berilmu, budi mulia pula disebut orangyang bijaksana.[Sarasamuscaya. 505]
  • Karena itu penderitaan pikiran hendaklah diusahakan untuk dimusnahkan dengan kebijaksanaan, sebab tentunya lenyap oleh kebijaksanaan, seperti misalnya api yang menyala pasti padam oleh air, jika telah musnah penderitaan pikiran maka lenyaplah pula sakitnya badan.[Sarasamuscaya. 502]
  • Adapun maknanya yang terpenting kecemaran badan akan lenyap, jika dilebur dengan latihan-latihan ilmu pengetahuan, jika hilang musnah kotoran badan iłu, karena telah diperoleh pengetahuan yang sejati, maka terhapuslah kelahiran, tidak menjelma lagi sebagai misalnya biji benihan yang dipanaskan, dipanggang, hilang daya tumbuhnya, dan tidak tumbuh lagi. [Sarasamuscaya. 510]

Demikianlah mengenai tingkatan dan keberadaan orang yang dapat mencapai Moksa, dan perlu diikuti dengan kesungguhan hati.

Bentuk Penerapan Ajaran Astangga Yoga dalam Mewujudkan Tujuan Hidup Manusia dan Tujuan Agama Hindu.

Perenungan.

“Praúànta-manasam hy enaý yoginaý sukham uttamam,

upaiti úanta-rajasaý

brahma-bhùtam akalmaûam”

Terjemahan:

Karena kebahagiaan tertinggi datang pada yogin yang pikirannya tenang, yang nafsunya tidak bergolak, yang keadaannya bersih bersatu dengan Tuhan [Bhagavadgita. VI.27].

Manusia yang lahir dan hidup di dunia ini memiliki tujuan, yang disebut dengan istilah tujuan hidup manusia. Manusia tidak sekedar dilahirkan dan setelah lahir dibiarkan begitu saja. Manusia dilahirkan, dipelihara, dibesarkan, dan dididik dalam lingkungan yang berbeda-beda. Pengalaman yang didapat dari pengaruh lingkungan sekitar manusia hidup dapat mengembangkan sikap mental dan cita-citanya. Sifat-sifat pribadi manusia, kemampuan dan kecenderungan, agama yang dianutnya, kebiasaan, ideologi dan politik bangsa, memberikan pengaruh besar terhadap tingkah laku manusia dalam mewujudkan tujuan hidupnya.

Tujuan hidup manusia di dalam Agama Hindu disebut “Purusartha”. “Purusha” berarti manusia, utama, dan “artha” berarti tujuan. Purusartha berarti tujuan hidup manusia yang utama. Kitab suci Veda menjelaskan sebagai berikut :

“Ùrddhvabàhurviraumyeûa na ca kacciûchrnoti me, dharmàdarthaûca kàmaûca sa kimartham na sevyate”.

Nihan mata kami mangke, manawai, manguwuh,

mapitutur, ling mami, ikang artha, kàma,

malamaken dharma juga ngulaha,

haywa palangpang lawan dharma mangkana ling mami,

ndatan juga angrëngo ri haturnyan ewëh sang makolah dharmasadhàna,

apa kunang hetunya.

Terjemahan:

Itulah sebabnya hamba, melambai-lambai; berseru-seru memberi ingat; kata hamba: “dalam mencari artha dan kama itu hendaklah selalu dilandasi oleh dharma; jangan sekali-kali bertindak bertentangan dengan dharma” demikian kata hamba; namun demikian, tidak ada yang memperhatikannya; oleh karena katanya, adalah sukar berbuat atau bertindak bersandarkan dharma, apa gerangan sebabnya? [Sarasamuçcaya,11]

“Yatnah kàmàrthamokûaóam

krtopi hi vipadyate,

dharmmàya punararambhah

sañkalpopi na niûphalah”.

Ikang kayatnan ri kagawayaning kama,

artha, mwang moksa, dadi ika tan paphala,

kunang ikang kayatnan ring dharmasàdhana,

niyata maphala ika, yadyapin angena-ngenan juga,

maphala atika.

Terjemahan:

Usaha tekun pada kerja mencari kama, artha dan moksa, dapat terjadi ada kalanya tidak berhasil; akan tetapi usaha tekun pada pelaksanaan dharma, tak tersangsikan lagi, pasti berhasil sekalipun baru hanya dalam angan-angan, [Sarasamuçcaya,15].

Berdasarkan uraian tersebut diatas tentang tujuan hidup manusia, dapat dinyatakan bahwa ada 4 [empat]. Empat tujuan hidup manusia yang utama disebut “catur purusartha”. Catur purusartha terdiri dari; dharma, artha, kama, dan Moksa.

Bagaimana dengan tujuan Agama “Hindu”? Manusia adalah makhluk individu dan juga sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk individu manusia bertanggung-jawab pada dirinya  sendiri,  sedangkan  sebagai  makhluk sosial manusia selalu berkeinginan untuk berinteraksi dengan sesamanya. Keinginan manusia berakar pada pikirannya. Dengan pikirannya manusia memiliki beraneka macam keinginan, seperti; ingin makan, minum, berteman, berkumpul, beragama dan yang lainnya. Mengapa kita berkeinginan untuk memeluk Agama Hindu? Apa tujuan Agama Hindu? Tujuan agama Hindu dirumuskan dalam satu kalimat singkat yaitu “Moksartham jagadhita yasca iti dharma” artinya “Dharma itu untuk mewujudkan Moksa [kebahagiaan] dan jagadhita [kebaikan/kesejahteraan dunia] masyarakat.

Untuk mewujudkan tujuan hidup manusia dan tujuan agama Hindu, umat sedharma dapat mencapainya dengan melaksanakan catur marga. Catur marga adalah empat cara atau jalan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini. Catur marga/yoga terdiri dari; karma marga/yoga, bhakti marga/yoga, jnana marga/yoga, dan raja marga/yoga.

Pengikut Raja Marga/Yoga berkewajiban untuk mengimplementasikan Astangga Yoga guna mewujudkan tujuannya. Mereka dapat menghubungkan diri dengan kekuatan rohaninya melalui Astanga Yoga. Astangga Yoga adalah delapan tahapan yoga untuk mencapai Moksa. Astangga yoga diajarkan oleh Maha Rsi Patanjali dalam bukunya yang disebut dengan Yoga Sutra Patañjali. Adapun bagian-bagian dari ajaran astangga yoga yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1]. Yama.

Yama yaitu suatu bentuk larangan atau pengendalian diri yang harus dilakukan oleh seorang dari segi jasmani, misalnya, dilarang membunuh [ahimsa], dilarang berbohong [satya], pantang mengingini  sesuatu  yang bukan miliknya [asteya], pantang melakukan hubungan seksual [brahmacari] dan tidak menerima pemberian dari orang lain [aparigraha].

“Yaccintayati yadyàti ratin badhnàti yatra ca,

tathà càpnotyayatnena prànino na hinasti yah.

Kunëng phalanya nihan,

ikang wwang tan pamàtimàtin haneng ràt,

senangënangënya, sapinaranya, sakahyunya,

yatika sulabha katëmu denya,

tanulihnya kasakitan.

Terjemahan:

Pahalanya, orang yang tidak membunuh [menyakiti] selagi ada di dunia ini, maka segala sesuatu yang dicita-citakannya, segala yang ditujunya, segala sesuatu yang dikehendaki atau diingini olehnya, dengan mudah tercapai olehnya tanpa sesuatu penderitaan, [Sarasamuçcaya,142].

“Ànrcamsyaý kûmà satyamahinsà dama àrjavam,

pritih prasàdo màdhuryam màrdavaý ca yamà daça”.

Nyang brata ikang inaranan yama, pratyekanya nihan,

sapuluh kwehnya, ànresangsya, kûamà, satya, ahingsà,

dama, àrjawa, priti, prasàda, màdhurya, màrdawa,

nahan pratyekanya sapuluh, ànresangsya,

si harimbawa, tan swàrtha kewala; ksamà,

si kelan ring panastis; satya, si tan mrsàwàda;

ahingsà, manukhe sarwa bhàwa; dama, si upacama wruh mituturi manahnya; àrjawa, si dugà-dugabener;

priti, si gong karuna; prasàda, beningning manah;

màduhurya, manisning wulat lawan wuwus;

màrdawa, pösning manah.

Terjemahan:

Inilah brata yang disebut yama, perinciannya demikian; ànresangsya, ksamà, satya, ahingsà, dama, àrjawa, priti, prasàda, màdhurya, màrdawa, sepuluh banyaknya; ànresangsya yaitu harimbawa, tidak mementingkan diri sendiri saja; ksamà, tahan akan panas dan dingin; satya, yaitu tidak berkata bohong [berdusta]; ahingsà, berbuat selamat atau bahagianya sekalian mahluk; dama, sabar serta dapat menasehati dirinya sendiri; àrjawa, adalah tulus hati berterus terang; priti, yaitu sangat welas asih; prasàda, adalah kejernihan hati; màdhurya, yaitu manisnya pandangan [muka manis] dan manisnya perkataan [perkataan yang lemah lembut]; màrdawa, adalah kelembutan hati, [Sarasamuçcaya, 259].

2]. Nyama.

Nyama yaitu bentuk pengendalian diri yang lebih bersifat rohani, misalnya Sauca [tetap suci lahir batin], Santosa [selalu puas dengan apa yang datang], Swadhyaya [mempelajari kitab-kitab keagamaan] dan Iswara pranidhana [selalu bakti kepada Tuhan].

“Dànamijyà tapo dhyànam

swàdhyàyopasthaningrahah,

vratopavasamaunam ca ananam ca niyama daûa”.

Nyang brata sapuluh kwehnya,

ikang niyama ngaranya, pratyekanya,

dàna, ijya, tapà, dhyana, swàdhyàya,

upasthanigraha, brata, upawàsa, mauna, snàna, nahan ta awakning niyama, dàna weweh, annadànàdi; ijyà,

Devapujà, pitrpujàdi, tapa kàyasangcosana,

kasatan ikang ûarira, bhucarya, jalatyagàdi,

dhyana, ikang siwaûmarana, swàdhyàya,

wedàbhyasa, upasthanigraha, kahrtaning upastha,

brata annawarjàdi, mauna wàcangyama,

kahrtaning ujar, haywàkeceng kuneng, snàna,

trisangdhyàsewana, madyusa ring kàlaning sandhya.

Terjemahan:

Inilah brata sepuluh banyaknya yang disebut niyama, perinciannya ; dàna, ijya, tapà, dhyana, swàdhyàya, upasthani graha, brata, upawàsa, mauna, snàna, itulah yang merupakan niyama, dàna, pemberian makanan- minuman dan lain-lain ; ijya, pujaan kepada Deva, kepada leluhur dan lain-lain sejenis itu ; tapà, pengekangan nafsu jasmaniah, badan yang seluruhnya kurus kering, layu, berbaring di atas tanah, di atas air dan    di atas alas-alas lain sejenis itu; dhyana, tepekur merenungkan Çiwa; swàdhyàya, yakin mempelajari Veda; upasthani graha, pengekangan upastha, singkatnya pengendalian nafsu seksual; brata/upawàsa, pengekangan nafsu terhadap makanan dan minuman; mauna/mona, itu wacanyama berarti menahan, tidak mengucapkan kata-kata yaitu tidak berkata-kata sama sekali tidak bersuara; snàna, trisandhyasewana, mengikuti trisandhya, mandi membersihkan diri pada waktu pagi, tengah hari dan petang hari, [Sarasamuçcaya, 260].

3].  Asana;

Asana yaitu sikap duduk yang menyenangkan, teratur dan disiplin [silasana, padmasana, bajrasana, dan sukhasana].

4]. Pranayama;

Pranayama, yaitu mengatur pernafasan sehingga menjadi sempurna melalui tiga jalan yaitu puraka [menarik nafas], kumbhaka [menahan nafas] dan recaka [mengeluarkan nafas].

5]. Pratyahara;

Pratyahara, yaitu mengontrol dan mengendalikan indria dari ikatan objeknya, sehingga orang dapat melihat hal-hal suci.

6]. Dharana;

Dharana, yaitu usaha-usaha untuk menyatukan pikiran dengan sasaran yang diinginkan.

7]. Dhyana;

Dhyna, yaitu pemusatan pikiran yang tenang, tidak tergoyahkan kepada suatu objek. Dhyana dapat dilakukan terhadap Ista Devata.

8]. Samadhi;

Samaddhi, yaitu penyatuan atman [sang diri sejati dengan Brahman]. Bila seseorang melakukan latihan yoga dengan teratur dan sungguh-sungguh ia akan dapat menerima getaran-getaran suci  dan wahyu Tuhan.

Dalam kitab Bhagavadgita dinyatakan sebagai berikut:

“Yogi yuñjita satatam àtmànaý rahasi sthitaá,

 ekàki yata-citàtmà niràúir aparigrahaá”.

Terjemahan:

Seorang yogi harus tetap memusatkan pikirannya [kepada Atman yang Maha besar] tinggal dalam kesunyian dan tersendiri, menguasai     dirinya     sendiri,     bebas    dari angan-angan dan keinginan untuk memiliki [Bhagavadgita, VI.10].

Selanjutnya dijelaskan bahwa ketenangan hanya ada pada mereka yang melakukan yoga. Empat jalan yang ditempuh untuk pencapaian moksa itu sesungguhnya memiliki kekuatan yang sama bila dilakukan dengan sungguh- sungguh. Setiap orang akan memiliki kecenderungan memilih jalan-jalan tersebut, maka itu setiap orang memiliki jalan mencapai moksanya bervariasi. Moksa sebagai tujuan hidup spiritual bukanlah merupakan suatu janji yang hampa, melainkan suatu keyakinan yang berakhir dengan kenyataan. Kenyataan dalam dunia batin merupakan alam super transendental yang hanya dapat dibuktikan berdasarkan instuisi yang dalam. Moksa merupakan sesuatu yang tidak dapat dibantah kebenarannya, demikianlah dijelaskan oleh kitab suci. Oleh sebab itu mari kita melatih diri untuk melaksanakan ajaran Astangga Yoga dengan tuntunan seorang guru yang telah memiliki kemampuan dalam hal tersebut.

Moksa adalah terlepasnya Atman dari belenggu maya [bebas dari pengaruh karma dan punarbhawa] dan akhirnya bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hubungan dengan penyatuan dengan Tuhan, renungkanlah dan amalkanlah sloka berikut:

“Bhaktyà tvananyanyà úakya, ahaý evam-vidho: ‘rjuna, jñatuý draûþum cha tattvena praveûþuý cha paraýtapa”.

Terjemahan:

Akan tetapi dengan berbakti tunggal padaku,  O  Arjuna,  Aku  dapat  dikenal, sungguh dapat dilihat dan dimasuki ke dalam, O penakluk musuh [Bhagawadgita XI. 54].

Demikianlah ajaran kitab Astangga Yoga yang ditulis oleh Maharsi Patañjali, mengajarkan umat manusia agar mengupayakan dirinya masing-masing untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini. Siapapun juga akan dapat mencapai kesadaran tertinggi ini, apabila yang bersangkutan mau dan mampu melaksanakannya secara sungguh-sungguh.

Tantangan dan Hambatan Dalam Mencapai Moksa Sesuai Dengan Zamannya “Globalisasi”

Perenungan.

“Asakta-buddhiá sarvatra jitàtmà vigata-spåhaá, naiûkarmya-siddhiý paramàý sannyàsenàdhigacchati”.

Terjemahan:

“Orang yang kecerdasannya tidak terikat dimana saja, telah menguasai dirinya dan melepaskan keinginannya, dengan penyangkalan ia mencapai tingkat tertinggi dari kebebasan akan kegiatan kerja, [Bhagavagità, XVIII.49].

Membangun kehidupan spiritual dalam perilaku sehari-hari sering mengalami kendala, tantangan dan hambatan. Berbagai macam pertanyaan bermunculan dari berbagai lapisan masyarakat, terutama generasi muda. Apakah untuk melakukan kegiatan spiritual kita harus meniadakan aktivitas keseharian “karma” bekerja sebagai wujud swadharma hidup ini? Benarkah bahwa aktifitas spiritual manusia itu akan berhasil dengan baik bila dilaksanakan setelah masa-masa tua [masa persiapan pensiun], mengingat saat itu seseorang telah memiliki waktu panjang serta berkurangnya tanggung-jawab dan kewajiban hidupnya? Bukankah sebaiknya penataan keseimbangan hidup manusia [rohani dan jasmani] dibangun sejak awal seirama dengan pembelajaran hidup ini? Kesenjangan hidup [rohani dan jasmani] mengantarkan terhambatnya pencapaian keseimbangan hidup seseorang.

Bagaimana tantangan untuk mencapai kebahagiaan hidup ini “Moksa” dapat teratasi dengan baik?

  1. Menjauhkan diri dari keterikatan materialistis.

Mengumpulkan harta-benda [material] untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berkecukupan dalam kehidupan ini merupakan hal yang baik, namun apabila kekayaan yang kita kumpulkan membuat orang lain menjadi menderita adalah tindakan yang kurang terpuji. Menjadikan  diri sebagai insan yang koruptor, pemeras, membuat masyarakat miskin dan menderita adalah tindakan yang sangat bertentangan dengan tujuan hidup “Moksa”. Sikap dan tindakan seseorang yang suka berlebihan mengumpulkan materi mengantarkan yang bersangkutan susah mewujudkan kebahagian yang dicita-citakannya.

  1. Mengutamakan aktivitas yang bernuansakan spiritual.

Menjadi  orang  yang  kreatif,  rajin,  tekun,  dan cekatan  yang  bernafaskan  keagamaan  dan kemanusiaan dapat mengantarkan yang bersangkutan mampu mewujudkan kebahagiaan hidupnya. Namun apabila sebaliknya, seperti rajin, tekun, pekerja keras hanya untuk memenuhi ambisi semata, lupa dengan kewajiban hidup beragama tentu berakibat tidak baik, dan sekaligus dapat mengantarkan yang bersangkutan  menjadi  insan  yang   menderita.

Sumber: Documen: I N. Mudana, 17- 2-2014.
Gambar 1.7 Sikap Spiritual

Oleh karena itu bila kita memutuskan diri menjadi orang-orang rajin mendapatkan harta-benda jangan  pernah  lupa  untuk  rajin  mendekatkan diri kepada Sang Pencipta guna memohon keteduhan dalam hidup ini. Datanglah ke Pura [tempat suci] untuk melakukan aktivitas keagamaan dengan tulus. Walaupun disibukkan dengan kegiatan duniawi akan tetapi jangan pernah lupa mengimbanginya dengan kegiatan spiritual.

  1. Jauhkan dan hindarkanlah diri dari tindakan tidak

Tindakan manusia terpuji adalah menjauhkan diri dari kebodohan [Punggung], iri hati [Irsya], dan marah [Krodha] serta sifat-sifat negatif yang lainnya seperti ‘mabuk, berjudi, bermain wanita, dan bertindak anarkis’ karena dapat mengantarkan seseorang menjadi insan yang nista.

Manusia sepatutnya selalu berusaha untuk menjadi insan yang terpuji, sebab pada dasarnya setiap kelahiran manusia adalah baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan diberikannya berbagai macam predikat kepada manusia, seperti; manusia adalah makhluk: [individu, berpikir, religius, sosial, berbudaya] dan yang lainnya, [Wigama dkk, 1995:204].

Semestinya kita patut bersyukur dilahirkan hidup menjadi manusia, karena hanya yang menjadi manusia saja yang dapat berbuat baik atau melebur perbuatan yang buruk menjadi baik. Kitab suci Veda menjelaskan sebagai berikut;

“Mànusah sarvabhùteûu varttate vai ûubhàúubhe,

aúubheûu samaviûþam úubhesvevàvakàrayet.

Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wënang gumawayaken ikang subhasubhakarma, kuneng panëntasakëna ring úubhakarma juga ikangaúubhakarma phalaning dadi wwang”.

Terjemahan:

Di antara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk; leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu; demikianlah gunanya [phalanya] menjadi manusia, [Sarasamuçcaya, 2].

“Iyam hi yonih prathamà yonih pràpya jagatipate,

àtmànam ûakyate tràtum karmabhih úubhalakûaóaih.

Apan iking dadi  wwang, uttama  juga ya, nimittaning mangkana,  wënang  ya tumulung awaknya sangkeng sangsàra, makasàdhanang úubhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika”.

Terjemahan:

Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara [lahir dan mati berulang-ulang] dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia, [Sarasamuçcaya, 4].

Sebagai akibat dari kemampuan untuk memilih yang dimiliki oleh manusia, mengakibatkan manusia dapat meningkatkan kehidupannya dari yang kurang baik menjadi lebih baik, dan akhirnya sampai manusia dinyatakan memiliki kedudukan yang paling tinggi [istimewa] dari semua makhluk yang ada. Meskipun demikian bukan berarti pula manusia akan terlepas sama sekali dari perbuatan-perbuatannya yang kurang baik.

Secara kodrati kelahiran manusia dilengkapi dengan: sifat tri guna yakni tiga sifat utama [sattwam; ketenangan, rajas; dinamis, dan tamas; lamban]. Ketiga sifat utama ini hendaknya terjaga keseimbangannya untuk tidak menjadi memicu tumbuh dan berkembangnya sad ripu yaitu enam musuh utama yang ada pada setiap manusia, yang terdiri dari: kāma; nafsu, lobha; tamak, krodha; kemarahan, mada; kemabukan, moha; kebingungan, matsarya; iri-hati.

“Yo durlabhataram pràpya mànusyam lobhato narah, dharmàvamantà kàmàtma bhavet sakalavañcitah”.

Hana pwa tumënung dadi wwang, wimukha ring dharmasadhana, jënëk ring arthakàma arah, lobhambëknya, ya ika kabañcana ngaranya.

Terjemahan:

Bila ada orang berkesempatan menjadi orang [manusia], ingkar akan pelaksanaan dharma; sebaliknya amat suka ia mengejar harta dan kepuasan nafsu dan berhati tamak; orang itu disebut kesasar, tersesat dari jalan yang benar [Sarasamuçcaya, 9].

Dalam hidup dan kehidupan ini manusia dihadapkan pada banyak faktor kemungkinan untuk menjadi kurang baik. Kemungkinan yang dimaksud seperti; kebodohan, kemiskinan, dan kemelaratan yang disebabkan oleh karena. kelelahan, lingkungan yang kurang bersahabat, dan juga karena keinginan yang tidak terkendali. Semuanya itu mengantarkan manusia dapat diliputi oleh kegelapan [awidya/timira] dan kebingungan.

Disebutkan ada 7 [tujuh] macam sifat manusia secara kodrati dapat mengantarkan hidup manusia menjadi awidya, gelap, suram, timira yang dikenal dengan istilah “sapta timira”. Yang disebut sapta timira antara lain; surupa; ketampanan/kecantikan, dana; kekayaan, guna; kepandaian, kulina; kebangsawanan, yowana; keremajaan, sura; minuman keras, dan kasuran; kemenangan. Ketujuh unsur/sifat alami itulah yang mengantarkan manusia menjadi awidya atau gelap sebagai akibat dari kebodohannya.

“Ajñànaprabhavam hidaý yadduhkhamupalabhyate, lobhàdeva tad ajñànam ajñàna lobha eva ca.

Apan ikang sujhaduhkha kabhukti, punggung sangkanika, ikang punggung, kalobhan sangkanika, ikang  kalobhan, punggung sangkanika matangnyan

punggung sangkaning sangsàra.

Terjemahan:

Sebab suka duka yang dialami, pangkalnya adalah kebodohan; kebodohan ditimbulkan oleh lobha, sedang lobha [keinginan hati] itu kebodohan asalnya; oleh karenanya kebodohanlah asal mula kesengsaraan itu [Sarasamuçcaya, 400].

Tujuh macam sifat awidya atau kegelapan yang ada pada manusia apabila tidak dapat dikendalikan dengan baik akan menimbulkan berbagai-macam tindakan kejam. Disebutkan manusia memiliki enam peluang untuk bertindak kejam apabila keberadaan sapta timira tidak terkendalikan. Enam tindakan kejam itu disebut dengan istilah sad atatayi, yang terdiri dari: agnidā; membakar, wisada; meracun, atharwa; mensihir, çastraghna; mengamuk, dharatikrama; memperkosa, rajapisuna; memfitnah.

Menjadi pekerja aktif dengan jabatan sebagai atasan kurang memungkinkan untuk melakukan kegiatan spiritual karena disibukkan oleh berbagai macam aktivitas kantor. Perilaku seseorang kadang menyimpang dari dharma akibat tugas yang diberikan oleh majikan untuk mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan atasan [pihak manajemen]. Biasanya pada saat menjabat semestinya seseorang dapat memanfaatkan kesempatan untuk menegakkan dharma. Setiap keputusan yang diambil oleh seorang atasan seharusnya menguntungkan masyarakat banyak.

Terkadang banyak orang yang kurang sabar  dalam  mengumpulkan  harta dari pekerjaan yang ditekuninya, seperti dengan mengambil jalan pintas melakukan korupsi, kolusi, nepotisme [KKN]. Berdasarkan dharma, dalam mengumpulkan harta tidak harus dengan korupsi. Tidak sedikit orang menjadi kaya tanpa korupsi, karena mereka berusaha dengan profesional dan hasil usahanya dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak seperti dengan mendirikan yayasan untuk orang yang tidak mampu [fakir miskin] atau mendirikan sekolah yang dapat menunjang pendidikan demi masa depan anak-anak bangsa ini.

Sikap dan perilaku yang diwujudkan oleh seseorang seperti tersebut di atas [mendirikan yayasan fakir miskin] berarti yang bersangkutan telah mampu membangun spiritualnya dan sekaligus dapat mengendalikan sifat-sifat awidya yang dimilikinya. Agar manusia tidak terjerumus ke penderitaan sebagai akibat dari kebodohan, dan kegelapannya di tengah-tengah arus globalisasi yang serba terbuka maka ia berkewajiban untuk meningkatkan kecerdasan intelektual dan religiusnya. Umat sedharma hendaknya selalu dapat meningkatkan diri untuk belajar, menumbuh kembangkan kebijaksanaannya, memohon tuntunan-Nya untuk berlatih berpikir jernih, berketetapan hati, dan selalu bersikap baik “dharma” serta sikap positif yang lainnya. Dengan demikian umat sedharma akan selalu tenang, sabar, dan penuh kedamaian dalam mewujudkan tujuan hidup dan tujuan agamanya.

Untuk mencapai moksa seseorang dapat memilih salah satu diantara Catur Marga Yoga. Apakah melalui Jnana Marga Yoga, Karma Marga Yoga, Bakti Marga Yoga dan Raja Marga Yoga, diharapkan dapat disesuaikan dengan kemampuan serta bidang yang digeluti saat ini. Pada saat perang Berata  Yuda sudah berakhir, dimana kemenangan berada dipihak Pandawa, semua musuh-musuhnya sudah kalah perang tinggal Pendawa yang hidup. Yudistira sebagai pemimpin Pandawa memutuskan pergi kehutan untuk mengasingkan diri dengan maksud mendekatkan diri kehadapan Hyang Widhi Wasa dengan mengikuti ajaran Raja Marga Yoga sebagai salah satu bagian dari Catur Marga Yoga. Arjuna sebagai orang yang bijaksana yang mempunyai visi dan misi jauh kedepan menganjurkan kepada Prabu Yudistira agar kembali untuk memimpin kerajaan. Untuk mencapai moksa tidak harus pergi ke hutan bersemadi atau beryoga, di dalam kerajaan pun dengan berbuat baik dan menegakkan kebenaran “dharma” moksa dapat dicapai.

“Kamarthau lipsamànastu dharmmamevàditaûcaret,

na hi dharmmàdapetyarthah kàmo vapi kadàcana”

Terjemahan:Yan paramarthanya, yan arthakàma sàdhyan, dharma juga lëkasakëna rumuhun, niyata katëmwaning arthakàma mëne tan paramàrtha wi katemwaning arthakàma deninganasar sakeng dharma.

Pada hakikatnya, jika artha dan kama dituntut, maka seharusnya dharma hendaknya dilakukan lebih dahulu; tak tersangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti; tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma [Sarasamuçcaya, 12].

Keterikatan adalah moha, kebebasan adalah moksa. Selama kita masih awidya dan terikat oleh hal-hal duniawi maka, moksa sangat sulit untuk tercapai. Kesulitan untuk melepaskan keterikatan itu, dapat diatasi dengan latihan- latihan secara rutin. Untuk mengendalikan Sad Ripu tidak mudah, karena membutuhkan kesabaran dan ketekunan untuk selalu melakukan introspeksi terhadap diri kita sendiri, dan evaluasi diri sejauh mana telah dilakukan latihan-latihan kearah pengendalian diri yang dimaksud.

Melaksanakan ajaran Catur Marga Yoga memang membutuhkan mental yang tangguh, tidak mudah menyerah, dan harus mengetahui kemampuan yang dimiliki. Seseorang sebaiknya harus mengetahui bakat yang dikaruniakan oleh Hyang Widhi Wasa kepadanya, sehingga dalam melaksanakannya sesedikit mungkin mendapat halangan atau kendala. Dengan demikian dalam waktu yang relatif singkat kita sudah dapat melakukannya mendekati sempurna walaupun belum mencapai moksa tetapi sudah dirasakan hasilnya.

Moksa merupakan sraddha yang ke lima dari Panca Sraddha sebagai dasar keyakinan bagi umat Hindu. Percaya dengan adanya moksa berarti meyakini bahwa kebahagiaan itu ada, terjadi, dan dapat dicapai oleh setiap umat Hindu. Moksa merupakan tujuan hidup tertinggi dari umat Hindu. Kebahagiaan yang sejati ini baru akan dapat tercapai oleh seseorang bila ia telah dapat menyatukan jiwanya dengan Tuhan.

Penyatuan Jiwa dengan Tuhan itu baru akan didapat bila ia telah melepaskan semua bentuk ikatan keduniawian pada dirinya. Keterikatan yang melekat pada diri kita itulah yang dinamakan maya atau kepalsuan. Maya dalam Agama Hindu juga dinamakan sakti, prakrti, kekuatan dan pradhana. Maya selalu mengalami perubahan yang pada hakikatnya tidak ada. Keberadaannya semata-mata disebabkan oleh adanya hubungan indria dengan objek duniawi ini. Keterikatan akan kekuatan maya atau kepalsuan duniawi merupakan hambatan bagi umat sedharma untuk mewujudkan ‘moksa’.

D. Upaya-Upaya dalam Mengatasi Hambatan dan Tantangan Untuk Mencapai Moksa Menurut Zamannya“Globalisasi”

Perenungan.

“yataá pravåttir bhùtànaý yena sarvam idaý tatam, sva-karmaóà tam abhyarcya siddhiý vindati mànavaá.

Terjemahan:

Dia dari siapa datangnya semua insani oleh siapa semuanya ini diliputi; dengan memuja-Nya dengan kewajibannya sendiri, manusia mencapai kesempurnaan [Bhagavagità, XVIII.46].

Setiap orang yang menyatakan diri sebagai umat Hindu berkewajiban untuk mengamalkan ajaran agamanya. Kewajiban mengamalkan ajaran agama seperti  ini  telah  dilaksanakan  secara  turun-temurun  sejak  nenek  moyang

Lima dasar keyakinan umat Hindu disebut dengan istilah Panca Sraddha. Dalam uraian ini akan membahas tentang sraddha yang ke lima, yaitu percaya dengan adanya moksa. Apakah moksa itu? Upaya apa yang mesti dilakukan untuk mengatasi tantangan dan hambatan dalam mewujudkan moksa?ada. Kebiasaan nenek moyang diwarisi oleh generasi ke generasi berikutnya. Kebenaran dari keyakinannya beragama seperti itu dipandang memberikan manfaat positif bagi keselamatan dan kelangsungan hidupnya.

Moksa adalah bersatunya atman dengan Brahman, tercapainya keadaan sat cit ananda, terwujudnya kebahagiaan yang abadi, suka tanpa wali dukha. Moksa adalah mukti atau kelepasan. Kondisi seperti inilah yang disebut dengan nama moksa. Moksa adalah tujuan yang tertinggi bagi umat beragama Hindu. Umat Hindu meyakini bahwa moksa merupakan sraddha yang utama setelah Brahman. Umat Hindu yakin bahwa “moksa” bukan saja hanya dapat dicapai setelah meninggal dunia [dunia akhirat], namun demikian dalam kehidupan sekarang pun [semasih hidup] dapat dicapai, yang disebut dengan nama “jiwam mukti”.

Dengan mempedomani diri dan mengamalkan ajaran cinta kasih serta ketidak terikatan akan ilusi dunia ini secara berkesinambungan seseorang dapat mencapai moksa. Kata moksa mudah diucapkan namun sulit diwujudkan dalam kehidupan ini. Betapapun sulitnya sesuatu itu pasti dapat wujudkan, bila diupayakan dengan niat suci, tekun, disiplin, sungguh-sungguh dan berlandaskan kitab suci. Renungkanlah mantram berikut ini;

“Oý āyur vrddhir yaúo våddhir, våddhir prajña sukha úriyaý, dharma Santāna våddhih syāt, santu te sapta-våddhayah.”

“Oý yāvan merau sthito devah, yāvad ganggā mahitale. Candrārkau gagane yāvat, tāvad vā vijayi bhavet.

“Oý dirghāyur astu tathāstu, “Oý avighnam astu tathāstu, “Oý úubham astu tathāstu, “Oý sukhaý bhavatu, “Oý pùróam bhavatu, “Oý úreyo bhavatu, sapta våddhir astu tad astu astu svāhā.

Terjemahan:

Ya Tuhan, semoga bertambah dalam usia, bertambah dalam kemasyuran, bertambah dalam kepandaian, kegembiraan, dan kebahagiaan, bertambah dalam dharma dan keturunan, tujuh pertambahan semoga menjadi bagianmu Ya Tuhan,

Selama Tuhan bersemayam di Gunung Mahameru, selama Sungai Gangga berada di dataran bumi, selama Matahari dan Bulan berada di langit, selama itu semoga seseorang mendapat kejayaan.

Ya Tuhan, semoga panjang umur, semoga demikian, Ya Tuhan, semoga tiada rintangan, semoga demikian, Ya Tuhan, semoga baik, semoga demikian. Ya Tuhan, semoga bahagia, Ya Tuhan, semoga sempurna, Ya Tuhan, semoga rahayu, Semoga tujuh pertambahan terwujud [Sùrya sevana C.Hooykaas, 2002.146].

Untuk dapat mencapai moksa, seseorang harus memahami, mempedomani, dan mematuhi persyaratan-persyaratan dalam aktifitas hidupnya, sehingga proses mencapai moksa dapat berjalan sesuai dengan norma-norma ajaran Agama Hindu. Adapun tanda-tanda atau ciri-ciri seseorang yang telah mencapai “moksa” atau mencapai jiwatman mukti adalah;

  1. Selalu dalam keadaan tenang secara lahir maupun
  2. Tidak terpengaruh dengan suasana suka maupun
  3. Tidak terikat dengan
  4. Tidak mementingkan diri sendiri, selalu mementingkan orang lain [masyarakat banyak].

Untuk mencapai moksa, juga disebutkan mempunyai tingkatan-tingkatan yang tergantung dari karma [perbuatannya] seseorang selama hidupnya, apakah sudah sesuai dengan norma-norma ajaran Agama Hindu. Tingkatan-tingkatan moksa yang dicapai oleh seseorang dapat dikategorikan sebagai berikut;

  1. Moksa; apabila seorang sudah mampu mencapai kebebasan rohani dengan meninggalkan badan kasar [jasad].
  2. Adi Moksa; apabila seorang sudah mencapai kebebasan rohani dengan tidak meninggalkan jasad tetapi meninggalkan bekas-bekas misalnya abu, dan atau
  3. Parama Moksa; apabila orang yang bersangkutan telah mencapi kebebasan rohani dengan tidak meninggalkan badan kasar [jasad] serta tidak

“Buddhilàbhàddhi puruûah sarvaý tarati kilbisam, vipàpo labhate sattvam sattvasthah samprasidati.

Apan ika sang tëlas tumenung kaprajnàn, hilang kalangkaning jñànanira, niûkalangka pwa jñànànira, katëmu tang sattwaguóa denira, sattwa kewale, tan karakëtan, rajah tamah, sattwa ngaraning satah bhàwah, si uttamajnànà, citta sat swabhawa, tar kakenantrsnàdi, katëmu pwang sattwaguóa denira, prasannàtmaka ta sira, tan karaket ring ûarira, luput ring karmaphala.

Terjemahan:

Karena orang yang telah mendapat kearifan budi, lenyap segala noda pikirannya; tanpa noda [suci bersih] budi pikiranya, maka sifat “sattwa” diperolehnya; sifat sattwa saja tidak dicampuri [dilekati] sifat “rajah-tamah”; sattwa artinya sifat baik, yaitu budi pikiran utama, pikiran berpembawaan baik, tidak dihinggapi trsna [kehausan hati] dan sejenisnya; jika telah didapat olehnya sifat sattwa, maka ia berjiwa suci bersih, tidak terikat pada badan kasar, bebas dari karmaphala [buah perbuatan], [Sarasamuçcaya, 507].

“úraddhàvàn anasùyaú ca úåóuyàd api yo naraá,

so ‘pi muktaá úubhàmlokàn pràpnuyàt puóya-karmaóàm. Terjemahan:

Orang yang mempunyai keyakinan dan tidak mencela, orang seperti itu walaupun sekedar hanya mendengar, ia juga terbebas, mencapai dunia kebahagiaan manusia yang berbuat kebajikan [Bhagawadgita XVIII.71].

Adapun upaya-upaya yang patut dilakukan dalam mengatasi hambatan dan tantangan untuk mencapai moksa sampai dengan sekarang ini adalah:

Memuja kebesaran dan kesucian Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa beserta prabhawanya adalah merupakan kewajiban bagi setiap umat beragama “Hindu”. Semakin dekat kita dengan-Nya, maka semakin merasa tenteram damai hidup kita ini. Ada banyak jalan atau cara yang dapat kita lalui untuk mewujudkan semuanya itu, diantaranya melalui sembahyang sesuai dengan waktunya, melaksanakan upawasa, merenungkan keberadaan Hyang Widhi beserta prabhawa-Nya.

Mendalami berbagai cabang ilmu pengetahuan sesuai dengan perkembangannya adalah merupakan kewajiban setiap insan yang dilahirkan    sebagai    manusia.    Kemajuan    Ilmu    pengetahuan   dan teknologi yang berkembang sampai saat ini dapat dijadikan media oleh manusia yang dilahirkan dengan kesempurnaan yang terbatas, untuk menyelesaikan berbagai macam tantangan dan hambatan yang sedang dan akan dihadapinya guna mewujudkan cita-cita hidupnya. Oleh karenanya manusia hendaknya dengan senang hati, penuh semangat, tekun dan penuh kesabaran mempersiapkan waktunya untuk belajar sepanjang hayat, sebab tidak ada kata terlambat untuk belajar kebaikan.

  1. Melaksanakan/mewujudkan Dharma.

Dalam ajaran Catur Parusàrtha dijelaskan bahwa tujuan  umat  sedharma beragama Hindu adalah terpenuhinya kama, artha dan moksa berdasarkan dharma. Bagaimana dharma, dapat ditegakkan? Setiap tindakan wajib berdasarkan kebenaran, tidak ada dharma yang lebih tinggi dari kebenaran. Bagawad Gita menjelaskan bahwa dharma dan kebenaran adalah nafas kehidupan.

Krisna dalam wejangannya kepada Arjuna mengatakan bahwa di mana ada dharma, di sana ada kebajikan dan kesucian, di mana kewajiban dan kebenaran dipatuhi di sana ada kemenangan. Orang yang melindungi dharma akan dilindungi oleh dharma juga, maka kehidupan hendaknya selalu ditempuh dengan cara yang suci dan terhormat.

Di saat ini, banyak orang seakan bersikap mengabaikan kebenaran. Orang sudah mulai menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan nya. Ini menandakan krisis moral sudah meraja lela di mana mana, kebenaran dan keadilan semakin langka. Orang-orang sudah mulai meninggalkan budaya malu, semua perbuatannya dianggap sudah benar dan normal. Sebenarnya dharma tidak pernah berubah, dharma tetap ada sejak zaman dahulu, sekarang dan yang akan datang.

Dharma ada sepanjang zaman tetapi mempunyai karateristik menyesuaikan setiap zaman. Melakukan latihan kerohanian [spiritual] untuk Kerta Yuga yang baik adalah dengan melakukan latihan Meditasi. Pada zaman Treta Yuga latihan kerohanian yang baik adalah dengan melakukan Yadnya atau kurban. Untuk zaman Dwapara latihan kerohanian yang baik adalah dengan melakukan Yoga yaitu upacara pemujaan dan untuk zaman Kali Yuga latihan kerohanian yang baik adalah dengan melakukan Nama Smarana yaitu mengulang- ngulangi menyebut nama Tuhan.

  1. Mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa

Proses mendekatkan diri ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa, umat sedharma dapat melakukan dengan cara; Darana [menetapkan cipta], Dhyana   [memusatkan   cipta],   dan   Semadi   [mengheningkan cipta].

Menumbuhkembangkan kesucian [Jiwa dan raga]Dengan melakukan latihan rohani seperti ini secara sungguh-sungguh dan bekesinambungan, batin yang bersangkutan, akan dapat menyadari kesatuan dan menikmati sifat-sifat Tuhan yang selalu ada dalam dirinya. Apabila sifat-sifat Tuhan sudah menyatu dengan pemujanya maka ia sudah dekat dengan-Nya, dengan demikian semua permohonan nya dapat dikabulkan [terlindung dan selamatan].

Untuk memperoleh pengetahuan suci dari Sang Hyang Widhi Wasa, umat sedharma hendaknya selalu berdoa memohon tuntunan-Nya. Buku Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan menjelaskan : Asatoma Satgamaya, Tamasoma Jyothir Gamaya, Mrityorma Amritan Gamaya, artinya; Tuntunlah kami dari yang palsu ke  yang  sejati,  tuntunlah  kami dari yang gelap ke yang terang, tuntunlah kami dari kematian ke kekekalan [Titib, 1996 : 701].

Sebaiknya setiap akan melakukan kegiatan didahului dengan memohon tuntunan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa, agar kita selalu dalam keadaan selamat dan terlindungi. Tujuannya adalah agar atman terbebas dari triguna dan menyatu dengan Paramàtman. Semuanya dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan dharma “Moksartham Jagadhita ya ca iti dharmah” tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan umat berdasarkan dharma.

  1. Mempedomani dan melaksanakan Catur Marga

Moksa [hidup bahagia] dapat diwujudkan atau ditempuh dengan beberapa cara sesuai dengan bakat dan bidang yang ditekuni oleh umat sedharma. Disebutkan ada empat cara yang patut dipedomani dan dilaksanakan untuk mewujudkan hidup bahagia yang disebut dengan Catur Marga/ Yoga, yang terdiri dari:

Bakti Marga

Bhakti marga/yoga adalah jalan atau cara untuk mencapai moksa, kebebasan, bersatunya atman dan Brahman dengan melaksanakan sujud bhakti kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa. Bhakti adalah cinta yang mendalam kepada Tuhan, bersifat tanpa pamrih dan tanpa keinginan duniawi apapun juga

Karma Marga

Cara atau jalan untuk mencapai moksa [bersatunya Atman dengan Brahman], dengan selalu berbuat baik [tidak mengharapkan balasan], hasil yang diperoleh diabdikan untuk kepentingan bersama [amerih sukaning wonglen] disebut Karma Marga Yoga..

Jnana Marga

Jnana Marga Yoga adalah jalan untuk mencapai persatuan atau pertemuan antara Atman dengan Paramatman [Tuhan] berdasarkan atas pengetahuan [kebijaksanaan filsafat] terutama pengetahuan kebenaran dan pembebasan diri dari ikatan duniawi [maya].

Raja Marga

Raja marga yoga adalah cara atau jalan untuk mencapai moksa dengan melaksanakan tapa, brata, yoga, dan semadi. Mengendalikan diri, untuk mengatasi gejolak sadripu yang bersemayam dalam diri kita dengan melakukan latihan tapa, brata, yoga, dan semadi dapat mengantarkan seseorang menumbuhkan dan mengembangkan kesabaran untuk mencapai ketenangan dalam hidupnya. Ketenangan adalah jalan utama bersatunya atman dengan Brahman.

Contoh-Contoh Orang yang Dipandang Mampu Mencapai Moksa

Perenungan.

Aham àtmà guðàkeúa sarva-bhùtàúya-sthitaá,

aham àdiú cha madhyaý ca

bhùtànàm anta eva cha

Terjemahan:

Aku adalah Sang Diri yang ada dalam hati semua makhluk, wahai Gudakesa, Aku adalah permulaan, pertengahan dan akhir dari semua makhluk [Bhagawadgita X.20].

Tuhan “Brahman” telah menciptakan semua yang ada ini. Pada semua ciptaan- Nya beliau bersemayam untuk kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini. Pada saatnya nanti semua yang diciptakan ini kembali kepada-Nya.

Tujuan hidup umat Hindu ialah dapat mewujudkan catur purusartha, kebahagiaan lahir dan batin [moksartham jagadhita]. Kebahagiaan batin yang tertinggi ialah bersatunya atman dengan Brahman yang disebut moksa. Moksa atau mukti atau nirwana berarti kebebasan, kemerdekaan atau terlepas dari ikatan karma, kelahiran, kematian, dan belenggu maya/penderitaan hidup keduniawian. Bersatunya atman dengan Brahman adalah tujuan terakhir atau tertinggi bagi umat Hindu.

Tujuan tertinggi umat Hindu ini dapat dicapai dengan menghayati dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari secara baik dan benar, melaksanakan sembahyang batin dengan menetapkan cipta [dharana], memusatkan cipta [dhyana] dan mengheningkan cipta [semadhi]. Mokûa adalah suatu kondisi di mana seseorang mampu melampaui atau lepas bebas dari segala sesuatu yang ada di dunia. Manusia tidak lagi terikat oleh keindahan dunia. Pandangan ini sejalan dengan kisah yang dialami banyak tokoh dalam cerita rama-sitha.

Tokoh Rama, yang digambarkan sebagai seorang yang bijaksana dan tidak lagi terikat dengan hal-hal duniawi. Ketika rama dijemput adiknya dan hendak dijadikan seorang raja namun rama menolaknya. Tokoh Anoman yang digambarkan selalu taat dan setia menjalankan kewajibannya [dharma] sebagai duta Rama ketika diutus mencari kabar tentang Devi sitha yang diculik Rahwana.

Masing-masing pribadi dari umat Hindu yang telah mencapai jiwa mukti dalam hidupnya tidak lagi terikat pada gelombang kehidupan di dunia ini. Baginya bekerja adalah sebagai pemujaan kepada Tuhan dan semua hasilnya diserahkan kepada Tuhan. Mereka memiliki pandangan yang sama terhadap keberhasilan dan kegagalan, terhadap suka dan duka, memiliki sifat cinta kasih terhadap semua yang ada di dunia ini. Dalam hubungan ini baca dan hayatilah sloka berikut:

Man-manà bhava mad-bhakto mad-yàji màý namoskuru, màm evai ûyasi yuktvai vam àtmànaý matparàyaóaá.

Terjemahan:

Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbakti pada-Ku, sembahlah Aku sujudlah pada-Ku. Setelah melakukan disiplin pada dirimu sendiri dan Aku sebagai tujuan, engkau akan datang padaku [Bhagawadgita IX. 34].

Seseorang yang telah mencapai jiwa mukti segala perbuatannya dipandang telah berubah menjadi Yoga dan dilakukan sebagai persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bagi orang yang telah mencapai moksa atau kebahagiaan hidup ini, yang bersangkutan selalu berfikir, berbicara dan berbuat senafas Brahman. Orang suci yang telah mencapai kesadaran dirinya yang sejati adalah mereka yang telah mencapai jiwa mukti. Ia telah mempersembahkan setiap pikiran, ucapan dan perbuatannya kepada Tuhan, dan dengan demikian segala perbuatannya akan menjadi ibadah.

Namun bagi masyarakat kebanyakan “biasa” yang belum mencapai kesadaran jiwa mukti, maka semua yang dikerjakannya merupakan sesuatu yang masih terikat dengan hasilnya. Mereka menganggap, semua fikiran, ucapan dan pekerjaan yang dilakukan oleh dirinya diharapkan memberikan fasilitas yang diinginkan. Mereka belum menyadari sepenuhnya bahwa semua yang ada ini diliputi dan dikuasai oleh kebutuhan. Seseorang yang demikian sesungguhnya adalah orang yang masih dipenuhi oleh sifat-sifat egoisme. Pekerjaan yang dilandasi oleh rasa egoisme dapat mendatangkan malapetaka dan penderitaan.

Sehubungan dengan hal itu baca, renungkan dan amalkanlah dalam hidup ini baik-baik sloka berikut:

Måityuá sarva-haraú càham udbhavaú ca bhavisyatàm, kirtiá úrir vàk cha nàrióàm småitir medhaa dhåtiá kûamà.

Terjemahan:

Aku ini kematian yang meliputi segala ciptaan, dan Aku ini asal mula yang akan ada nanti, dan dari sifat-sifat wanita, Aku adalah kemasyhuran, kemakmuran, ucapan, ingatan, kecerdasan, ketetapan dan kesabaran [Bhagawadgita X.34].

Dalam hubungan ini hendaklah mereka yang telah mencapai jiwa mukti dapat menuntun mereka-mereka yang belum mencapainya, sehingga hidupnya lebih berarti dan bermanfaat, serta secara pelan tetapi pasti akan menuju pada kesempurnaan.

yad-yad vibhùtimat sattvaý úrimad ùrjitam eva và,

tat-tad evàvagaccha tvam

mama tejo-‘ýsa-úaýbhavam.

Terjemahan:

Apapun yang memiliki kemuliaan, kemakmuran dan kekuasaan; ketahuilah bahwa semuanya itu, ini berasal dari sepercik kecemerlangan-Ku, [Bhagawadgita X.41].

E. Perbedaan Orang yang telah Mencapai Jiwa Mukti dengan Kalangan Masyarakat Biasa

Orang yang telah mencapai Jiwa Mukti dalam hidupnya tidak lagi terikat pada gelombang kehidupan di dunia ini.Baginya bekerja adalah sebagai pemujaan kepada Tuhan dan semua hasilnya diserahkan kepada Tuhan. Mereka memiliki pandangan yang sama terhadap keberhasilan dan kegagalan, terhadap suka dan duka, memiliki sifat cinta kasih terhadap semua yang ada di dunia  ini. Dałam hubungan ini renungkan Sloka berikut:

Manmana bhava madhakto madyayi manı namoskuru mam evai shyasi yuktvai vam Atmanam matparayanah,[Bhagawadgita IX. 34] Artinya:

Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbakti pada-Ku, sembahlah Aku.sujudlah pada-Ku. Setelah melakukan disiplin pada dirimu sendiri dan Aku sebagai tujuan, engkau akan datangpada-Ku.

Bagi seseorang yang telah mencapai Jiwa Mukti segala perbuatannya dipandang telah berubah menjadi Yoga dan dilakukan sebagai persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini diucapkan oleh orang yang telah mencapai Jiwa Mukti, yaitu sebagai berikut:

Oh, Tuhanku terkasih, engkau adalah Atman diriku sendiri. Akal budhiku adalah istri-Mu, Badanku adalah rumahku.Segala kewajibanku sehari-hari adalah persembahankıı kepada-Mu.Nafasku adalah pujiku kepadaMu.Ke mana pun aku pergi aku mendekati-Mu.Apa pun yang aku ucapkan adalah mantra untuk mengagııngkan Engkau. Setiapm perbuatan yang kulakukan sebagai puja bagikıı,

Orang suci yang telah mencapai kesadaran akan dirinya yang sejati adalah seorang yang telah mencapai Jiwa Mukti. la telah mempersembahkan setiap perbuatannya kepada Tuhan dan dengan demikian segala perbuatannya akan menjadi ibadah.

Sedangkan bagi masyarakat kebanyakan yang belum mencapai kesadaran Jiwa Mukti, maka semua yang dikerjakannya merupakan sesuatu yang masih terikat dengan hasilnya.Mereka menganggap, semua pekerjaannya dilakukan oleh dirinya, maka itü dirinya masih dipenuhi oleh sifat-sifat egoisme.Pekerjaan yang dilandasi oleh rasa egoisme dapat mendatangkan malapetaka dan penderitaan.Mereka belum menyadari sepenuhnya bahwa semuanya yang ada ini diliputi oleh Ketuhanan.

Sehubungan dengan itu, renungkan sloka berikut:

1. Aham atma gudakesa, saiva bhutasya sthitah, ahanı adis cha madhyam cha bhutanam anta cva cha.

[Bhagawadgita X.20]

Arjuna, Aku adalah Atma yang menetap dalam hati semua makhluk.Aku adalah permulaan, pertengahan, dan akhir dari senıua makhluk.

2].    Mrityuh sarvaharas cha ham udbhavas cha bhavishvatam, kirtih srir vak cha narinam smritir medhaa dhrtih ksama.

[Bhagawadgita X.34]

Aku adalah kematian, pcnelan segala, asal dari semua yang masih akan terjadi, dan di antara makhluk kewanitaan. Aku adalah kemasyuran, kesuburan, ucapan, ingatan, kecerdasan, ketetapan, dan kesabaran.

F. Jalan Untuk Mencapai Moksa

Perenungan.

Mat-karma kån mat-paramo, mad-bhaktaá saòga-varjitaá, nirvairaá sarva-bhùteûu

yaá sa màm eti pàóðava.

Terjemahan:

Ia yang melakukan pekerjaan-Ku, ia yang memutuskan Aku sebagai tujuannya, ia yang menyembah Aku bebas dari ikatan, ia yang bebas dari permusuhan pada semua makhluk, ia datang padaku, O Arjuna [Bhagawadgita XI. 55].

Tujuan terakhir dan tertinggi yang ingin dicapai oleh umat Hindu adalah Moksa. Berbagai macam cara/jalan dapat dilakukan oleh umat bersangkutan, guna mewujudkan tujuan utamanya ini, termasuk sembahyang. Dengan menjalankan sembahyang, bathin seseorang menjadi tenang,  dengan  Dharana [menetapkan cipta], Dhyana [memusatkan cipta] dan Samadhi [mengheningkan cita], manusia berangsur-angsur dapat mencapai tujuan hidupnya yang tertinggi. Ia adalah bebas dari segala ikatan keduniawian. Guna mencapai penyatuan Atman dengan Brahman, renungkan, pedomani, dan amalkanlah dalam kehidupan sehari-hari sloka berikut ini;

Bahùnàý janmanàm ante jnànavàn màm prapadyate, vàsudevaá sarvam iti

sa mahàtmà su-durlabhaá.

Terjemahan:

Orang yang bijaksana akan datang kepada-Ku, pada akhir dari banyak kelahiran karena mengetahui bahwa Vasudeva [Tuhan] adalah segalanya ini; sukar mendapatkan orang seperti itu [Bhagavadgita VII. 19].

Mendapatkan seseorang berjiwa besar seperti itu adalah sukar mencarinya. Banyak makhluk akan keluar/lahir dan mati, serta hidup kembali tanpa kemampuannya sendiri. Akan tetapi masih ada satu yang tak tampak dan kekal, tiada masa dan waktu pada saatnya semua makhluk menjadi binasa [pralina]. Yang tak tampak dan kekal itulah harus menjadi tujuannya yang utama, supaya tidak mengalami penjelmaan ke dunia. Itulah tempat-Ku yang tertinggi, oleh karenanya haruslah berusaha demi Aku. Jika engkau selalu ingat kepada-Ku, tak usah disangsikan engkau akan kembali kepada-Ku.

Untuk mencapai ini orang harus selalu bergulat, berbuat baik sesuai dengan ajaran agamanya. Kitab suci Veda telah menyediakan dan memfasilitasi bagaimana caranya orang melaksanakan pelepasan dirinya dari ikatan maya sehingga akhirnya atman dapat bersatu dengan Brahman. Dengan demikian penderitaan dapat dikikis habis dan mahkluk hidup yang menderita itu tidak lagi menjelma ke dunia, sebagai hukuman, tetapi sebagai penolong sesama manusia.

Di dalam ajaran Agama Hindu terdapat berbagai macam jalan yang  dapat  dilalui untuk mencapai kesempurnaan “Moksa”, dengan menghubungkan diri dan memusatkan pikiran kepada Ida Hyang Widhi Wasa. Cara atau jalan yang demikian itu telah terbiasa disebut dengan nama “Catur Marga/Yoga”, terdiri dari:

Bhakti Marga/Yoga adalah proses atau cara mempersatukan atman dengan Brahman, berlandaskan rasa dan cinta kasih yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kata “bhakti” berarti hormat, taat, sujud, menyembah, persembahan, kasih.

Bhakti Marga/Yoga berarti: jalan cinta kasih, jalan persembahan. Seorang Bhakta [orang yang menjalani Bhakti Marga] dengan sujud dan cinta, menyembah dan berdoa dengan pasrah mempersembahkan jiwa raganya sebagai yajna kepada Sang Hyang Widhi. Cinta kasih yang mendalam adalah suatu cinta kasih yang bersifat umum dan mendalam yang disebut maitri. Semangat Tat Twam Asi sangat subur dalam hati sanubarinya. Sehingga seluruh dirinya penuh dengan rasa cinta kasih dan kasih sayang tanpa batas, sedikitpun tidak ada yang terselip dalam dirinya sifat-sifat negatif seperti kebencian, kekejaman, iri dengki dan kegelisahan atau keresahan. Cinta baktinya kepada Hyang Widhi yang sangat mendalam, itu juga dipancarkan kepada semua makhluk baik manusia maupun binatang.

Tatkala memanjatkan doa, umat selalu menggunakan pernyataan cinta dan kasih sayang dan memohon kepada Hyang Widhi agar semua makhluk tanpa kecuali selalu berbahagia dan selalu mendapat berkah termulia dari Hyang Widhi. Jadi untuk lebih jelasnya seorang bhakta akan selalu berusaha melenyapkan kebenciannya kepada semua makhluk. Sebaliknya ia selalu berusaha memupuk dan mengembangkan sifat-sifat Maitri, Karuna, Mudita dan Upeksa [Catur Paramita]. Ia selalu berusaha membebaskan dirinya dari belenggu keakuan [ahamkara].

Sikapnya selalu sama dalam menghadapi suka dan duka, pujaan dan celaan. Orang yang demikian selalu merasa puas dalam segala-galanya, baik dalam kelebihan dan kekurangan. Jadi benar-benar tenang dan sabar selalu. Dengan demikian baktinya kian teguh dan kokoh kepada Hyang Widhi Wasa. Keseimbangan batinnya sempurna, tidak ada ikatan sama sekali terhadap apapun. Ia terlepas dan bebas dari hukuman serba dua [dualis] misalnya suka dan duka, susah senang dan sebagai-nya. Seluruh kekuatannya dipakai untuk memusatkan pikiran kepada Hyang Widhi dan dilandasi jiwa penyerahan total. Dengan begitu seorang Bhakti Yoga dapat mencapai moksa.

Karma Marga/Yoga adalah jalan atau usaha untuk mencapai kesempurnaan atau moksa dengan perbuatan, bekerja tanpa terikat oleh hasil atau kebajikan tanpa pamrih. Hal yang paling utama dari karma yoga

ialah melepaskan semua hasil dari segala perbuatan. Dalam Bhagavadgita tentang Karma yoga dinyatakan sebagai berikut:

Sumber: //unikahidha.ub.ac. id/2012/07/11/
Gambar 1.2 Memuja Kemahakuasaan Tuhan

Tasmād asaktaásatataý kāryaý karma samācara, asakto hy ācaran karma param āpnoti purusaá.

Terjemahan:

Oleh     karena  itu,       laksanakanlah   segala kerja  sebagai  kewajiban  tanpa  terikat pada hasilnya, sebab dengan melakukan kegiatan kerja yang bebas dari keterikatan, orang itu sesungguhnya akan mencapai yang utama [Bhagawadgita III.19].

Pekerjaan yang dilakukan tanpa pamrih dinyatakan lebih baik dilakukan dalam semangat pengorbanan, dari pada kegiatan kerja yang  masih tetap melakukan kegiatan kerja sebagai kegiatan  yang muncul dengan sendirinya. Yogavāsistha menyatakan; Yang mengetahui atman telah tidak mengharapkan sesuatupun yang harus dicapai, baik dengan melakukan kerja maupun tidak. Oleh karena itu ia melaksanakan kegiatan kerja tanpa keterikatan apapun.

Bagi seorang karma, penyerahan hasil pekerjaan kepada Tuhan bukan berarti kehilangan, bahkan akan datang berlipat ganda. Hal inimerupakan rahasia spiritual yang sulit dimengerti, mendapatkan sesuatu yang diperlukan secara mengagumkan dan membahagiakan dirinya

Berkaitan dengan karma renungkanlah cerita berikut : Pada suatu hari Devi Laksmi mengadakan sayembara, di mana beliau akan memilih suami. Semua Deva dan para Danawa datang berduyun-duyun dengan harapan yang membumbung tinggi. Devi Laksmi belum mengumumkan janjinya, kemudian datanglah beliau di hadapan pelamarnya dan berkata demikian; saya akan mengalungkan bunga kepada pria yang tidak menginginkan diri saya. Tetapi mereka yang datang itu semua lobha, maka mulailah Devi Laksmi mencari orang yang tiada berkeinginan untuk dikalungi. Terlihatlah oleh Devi Laksmi wujudnya Deva Wisnu dengan tenangnya di atas ular Sesa yang sedang melingkar. Kalung perkawinan kemudian diletakkan di lehernya dan sampai kinilah dapat kita lihat simbolis Devi Laksmi berada di samping kaki Deva Wisnu. Devi Laksmi datang pada orang yang tidak mengidam-idamkan dirinya, inilah suatu keajaiban Dari cerita di atas dapat dikemukakan bahwa orang yang selalu asyik dalam pikirannya menginginkan buah dari kerjanya, akan kehilangan buah itu yang sebenarnya adalah miliknya, tetapi bagi karma yogin walaupun ia berbuat sedikit, tetapi tanpa pamrih, ia akan mendapatkan hasil yang tidak ternilai. Kesusahan orang duniawi akan mendapat hasil yang sedikit, karena terikat. Sedangkan bagi karma yogin sebaliknya. Maka dari itu ajaran suci selalu menyarankan kepada umatnya agar menjadi seorang karma yogi yang selalu mendambakan pedoman rame ing gawe sepi ing pamrih.

Pada hakikatnya seorang karma yogi dengan menyerahkan keinginan akan pahala, ia akan menerima pahala yang berlipat ganda. Hidupnya akan berlangsung dengan tenang dan ia akan memancarkan sinar dari tubuhnya maupun dari pikirannya. Bahkan masyarakat tempatnya hidup pun akan menjadi bahagia, sejahtera dan suci, ia akan mencapai kesucian batin dan kebijaksanaan.

Masyarakat yang telah suci jasmani dan rohaninya akan menjauhkan diri dari sifat-sifat munafik dan kepalsuan dan cita-cita yang sempurna akan dapat dicapai oleh penduduk masyarakat itu. Semua ini telah terbukti dalam pengalaman dari kebebasan jiwa seorang karma yogi.

Jnana Marga/Yoga adalah cara yang ke tiga setelah Karma Marga/Yoga untuk menyatukan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Jnana artinya kebijaksanaan filsafat [pengetahuan]. Yoga berasal dari urat kata Yuj artinya menghubungkan diri. Jadi Jnana Yoga artinya mempersatukan jiwatman dengan paramatman yang dicapai dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pembebasan diri dari ikatan-ikatan keduniawian.

Tiada ikatan yang lebih kuat dari pada maya, dan tiada kekuatan yang lebih ampuh dari pada yoga untuk membasmi ikatan-ikatan maya itu. Untuk melepaskan ikatan-ikatan ini haruslah kita mengarahkan segala pikiran kita, memaksanya kepada kebiasaan-kebiasaan suci, akan tetapi bila kita ingin memberi suatu bentuk kebiasaan suci pada pikiran kita, akhirnya pikiran pun menerimanya, sebaliknya bila pikiran tidak mau menerimanya maka haruslah kita akui bahwa segala pendidikan yang kita ingin biasakan itu tidak ada gunanya.

Proses tumbuh dan berkembangnya pikiran ke arah kebaikan merupakan hal yang mutlak patut dilakukan. Sebagai jalan pertumbuhannya pikiran, perbuatan lahir, pelaksanaan swadharma dan sikap bathin [wikarma] sangat diperlukan di mana perbuatan lahir adalah penting, karena jika tidak berbuat maka pikiran kita tidak dapat diuji kebenarannya. Perbuatan lahir menunjukkan kualitas sebenarnya dari pada pikiran kita. Ada tiga hal  yang  penting  dalam  hal  ini  yaitu  kebulatan  pikiran, pembatasan pada kehidupan sendiri dan keadaan jiwa yang seimbang atau tenang maupun pandangan yang kokoh tenteram damai. Ketiga hal tersebut di atas merupakan dhyana yoga. Untuk tercapainya perlu dibantu dengan abhyasa yaitu latihan-latihan dan vairagya yaitu keadaan tidak mengaktifkan diri. Adapun kekuatan pikiran kita lakukan di dalam hal kita berbuat apa saja, pikiran harus kita pusatkan kepadanya. Dalam urusan-urusan keduniawian pun pemusatan pikiran ini mutlak diperlukan. Bukanlah sifat  yang  diperlukan  hanya  untuk  suksesnya di dunia berlainan dengan sifat-sifat yang dibutuhkan untuk kemajuan spiritual atau bathin. Usaha untuk menjernihkan kegiatan kita sehari-hari ialah kehidupan rohaniah. Apapun kita laksanakan, berhasil atau tidaknya tergantung kepada kekuatan pemusatan   pikiran kita kepada-Nya.

Raja Marga/Yoga adalah suatu jalan mistik [rohani] untuk mencapai kelepasan atau moksa. Melalui Raja marga/yoga seseorang  akan lebih cepat mencapai moksa, tetapi tantangan yang dihadapinya pun lebih berat, orang yang mencapai moksa dengan jalan ini diwajibkan mempunyai seorang guru Kerohanian yang sempurna untuk dapat menuntun dirinya ke arah pemusatan pikiran

Ada tiga jalan pelaksanaan yang ditempuh oleh para Raja/Yogin yaitu melakukan tapa-brata, yoga, dan samadhi. Tapa dan brata merupakan suatu latihan untuk mengendalikan emosi atau nafsu yang ada dalam diri kita ke arah yang positif  sesuai  dengan  petunjuk  ajaran   kitab suci. Sedangkan yoga dan samadhi adalah latihan untuk dapat menyatukan atman dengan Brahman dengan melakukan meditasi atau pemusatan pikiran. Setelah kita menjalani tapa, brata, yoga dan semadhi diri kita akan menjadi suci, tenang, tentram dan terlatih

Dalam Hinduisme, atma-jnana [kesadaran akan “sang diri”] adalah kunci untuk meraih moksa. Umat Hindu boleh melakukan suatu bentuk [atau lebih] dari beberapa macam Yoga – Bhakti, Karma, Jnana, Raja – dengan menyadari bahwa Tuhan bersifat tak terbatas dan mampu hadir dalam berbagai wujud, baik bersifat personal maupun impersonal.

Diyakini bahwa ada empat Yoga [pengendalian] atau marga [jalan] untuk mencapai moksa. Hal ini meliputi: berbakti demi Yang Mahakuasa [Karma Yoga], memahami Yang Mahakuasa [Jnana Yoga], bermeditasi kepada Yang Mahakuasa [Raja Yoga], dan melayani Yang Mahakuasa dengan bakti yang tulus [Bhakti Yoga]. Tradisi Hinduisme yang berbeda-beda memiliki kecenderungan antara jalan yang satu dengan yang lainnya, beberapa yang terkenal di antaranya adalah tradisi Tantra dan Yoga yang berkembang dalam Hinduisme.

Pendekatan oleh tradisi Wedanta terbagi menjadi non-dualitas [adwaita], non-dualitas dengan kualifikasi [misalnya wisistadwaita], dan dualitas [dwaita]. Cara mencapai moksa yang dianjurkan oleh tiga tradisi tersebut bervariasi.

Adwaita Wedanta menekankan Jnana Yoga sebagai cara utama untuk mencapai moksa. Tradisi ini fokus kepada pengetahuan tentang Brahman yang disediakan oleh literatur tradisional Wedanta dan ajaran pendirinya, Adi Shankara.[1] Melalui pemilahan antara hal yang nyata dan yang tak nyata, sadhaka [praktisi spiritual] akan mampu melepaskan diri dari jerat ilusi dan menyadari bahwa dunia yang teramati sesungguhnya merupakan dunia ilusi, fana, dan maya, dan “kesadaran” tersebut merupakan satu-satunya hal yang nyata. Pemahaman tersebut merupakan moksa, saat atman [percikan Tuhan dalam diri] dan Brahman [esensi alam semesta] saling memahami sebagai substansi dan kehampaan akan dualitas eksistensial.

Tradisi non-dualis memandang Tuhan sebagai objek kasih sayang yang paling patut disembah, misalnya personifikasi konsep monoteistik akan Siwa atau Wisnu. Tidak seperti tradisi agama Abrahamik, Adwaita/Hinduisme tidak melarang aspek Tuhan yang berbeda-beda, seperti berbagai sinar yang berasal dari sumber cahaya yang sama.

Seseorang harus mencapai moksa dengan bimbingan seorang guru. Seorang guru atau siddha hanya membimbing namun tidak campur tangan.

Surga [svarga] diyakini sebagai tempat bagi karma sementara yang mesti dihindari oleh orang yang menginginkan moksa demi bersatu dengan Tuhan melalui Yoga.  Catur Marga Yoga : empat jalan/cara untuk menghubungkan diri dan pemusatan pikiran kepada Ida Sang Hyang Widhi demi tercapai moksa, yakni: Bhakti Marga Yoga : menghubungkan diri dengan jalan sujud bhakti dan cinta, menyembah dan berdoa dengan pasrah mempersembahkan jiwa raganya sebagai yajna kepada Ida Sang Hyang Widhi.

Karma Marga Yoga : adalah jalan/cara untuk mencapai Moksa dengan melakukan perbuatan atau kebajikan tanpa pamrih. Hal yang paling utama dari karma marga yoga adalah melepaskan semua hasil dari segala perbuatan. Ini bukan berarti  kehilangan , bahkan akan datang balasan berlipat ganda.

Contoh : Mythologi Dewi Laksmi saat menentukan calon suami terhadap Dewa Wisnu yang tidak mengidam – idamkan dirinya.

Bhagawadghita III.19, sbb :

Tasmad asaktah satatam karyam karma samacara,

Asakto hy acaran karma param apnoti purusah.

Artinya :

Oleh karena itu, laksanakan segala kerja sebagai kewajiban tanpa  terikat pada hasilnya, sebab dengan melakukan kegiatan kerja yang bebas dari keterikatan, Orang itu sesungguhnya akan mencapai yang utama.

Jnana Marga Yoga : cara untuk mencapai yoga dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan dan falsafah pembebasan dari ikatan duniawi . Ada tiga hal yang penting dalam hal ini, yaitu kebulatan pikiran , pembatasan pada kehidupan sendiri, dan keadaan jiwa yang seimbang atau tenang maupun pandangan yang kokoh, tentram dan damai. Ketiga hal ini merupaka  Dhyana Yoga. Untuk mencapainya perlu dibantu dengan Abhyasa = latihan-latihan dan Vairagya  = keadaan tidak mengaktifkan diri.

Raja Marga Yoga : jalan mistik [rohani] untuk mencapai moksa. Melalui jalan ini orang akan lebih cepat mencapai moksa, tetapi tantangan yang dihadapinyapun semakin berat, yaitu melakukan Tapa dan Brata yang merupakan suatu latihan untuk mengendalikan emosi atau nafsu yang ada dalam diri kita kearah yang positif sesuai dengan petunjuk ajaran kitab suci. Sedangkan yoga dan samadhi adalah latihan untuk melakukan maditasi atau pemusatan pikiran. Maka Rsi Patanjali  dalam bukunya “Yoga Sutra Patanjali, mengajarkan “Astanga Yoga” , yakni delapan tahapan yoga untuk mencapai Moksa”, yakni :

  1. Yama : larangan dalam bentuk jasmani :

Ø  Ahimsa : dilarang membunuh

Ø  Satya : dilarang berbohong

Ø  Asteya : dilarang mencuri

Ø  Brahmacari : dilarang berhubungan sexual

Ø  Aparigraha : dilarang menerima pemberian orang lain  [korupsi]

  1. Nyama : larangan yang lebih bersifat rohani, yakni :

Ø  Sauca : suci lahir batin

Ø  Santosa : puas dengan apa yang datang

Ø  Swadhyaya : mempelejari kitab-kitab keagamaan

Ø  Iswara Pranidhana : selalu bakti kepada Tuhan

Ø  Tapa : tahan uji

  1. Asana : sikap duduk yang menyenangkan, teratur dan disiplin.
  2. Pranayama : pengaturan nafas.
  3. Pratyahara : mengontrol dan mengendalikan indria.
  4. Dharana : berusaha menyatukan pikiran dengan sasaran yang diinginkan.
  5. Dhyana :pemusatan pikiran yang tenang, tidak tergoyahkan kepada satu objek.
  6. Samadhi : penyatuan Sang Atma dengan Brahman.

G. Tingkatan –tingkatan Moksa

Tingkatan Moksa

Disebutkan ada beberapa tingkatan ”moksa” yang diajarkan dalam ajaran agama Hindu. Ajaran ini didasarkan pada keadaan ”atma” dalam hubungannya dengan Brahman. Adapun bagian-bagiannya dapat dijelaskan sebagai berikut ;

Jiwamukti adalah tingkatan moksa ataua kebahagiaan/kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya, dimana atmanya tidak lagi terpengaruh oleh gejolak indrya dan maya.Istilah ini dapat pula disamakan maksudnya dengan samipya dan sarupya.

Widehamukti adalah tingkat kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya, dimana atmanya telah meninggalkan badan wadagnya [jasadnya], tetapi roh yang bersangkutan masih kena pengaruh maya yang tipis.Tingkat keberadaan atma pada dalam posisi ini adalah setara dengan Brahman, namun belum dapat menyatu dengan-Nya, sebagai akibat dari pengaruh maya yang masih ada. Widehamukti dapat disejajarkan dengan salokya.

Purnamukti adalah tingkat kebebasan yang paling sempurna.Pada tingkatan ini posisi atma seseorang keberadaannya telah menyatu dengan Brahman. Setiap orang akan dapat mencapai posisi ini, apabila yang bersangkutan sungguh-sungguh dengan kesadaran dan hati yang suci mau dan mampu melepaskan diri dari keterikatan maya ini. Istilah Purnamukti dapat disamakan dengan sayujya. Purnamukti adalah tingkat kebebasan yang paling sempurna. Pada tingkatan ini posisi atma seseorang keberadaannya telah menyatu dengan Brahman. Setiap orang akan dapat mencapai posisi ini, apabila yang bersangkutan sungguh-sungguh dengan kesadaran dan hati yang suci mau dan mampu melepaskan diri dari keterikatan maya ini. Posisi Purnamukti dapat disamakan dengan Sayujya [Wigama dkk, 1995:106].

Dalam hubungan untuk mewujudkan suatu kebebasan dalam hidup ini sangat baik kita merenungkan dan mengamalkan sloka berikut: Sribhagavan uvacha : Akasaram brahman paramam svabhavo dhyatmam uchyate, bhutabhavodbhavakaro  visargah karmasamjnitah [Bhagawadgita VIII. 3. 129].

Artinya ;

Sri Bhagawan Bersabda: Brahman [Tuhan] adalah yang kekal, yang maha tinggi dan adanya di dalam tiap-tiap badan perseorangan disebut Adhyatman. Karma adalah nama yang diberikan kepada kekuatan cipta yang menjadikan makhluk hidup.

Berdasarkan keadaan tubuh atau lahiriah manusia, tingkatan-tingkatan atma itu dapat dijabarkan sebagai berikut: moksa, adi moksa, dan parama moksa. Secara lebih rinci sesuai uraian di atas tentang keberadaan tingkatan-tingkatan moksa dapat dijabarkan lagi menjadi beberapa macam tingkatan. Moksa dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu: Samipya, Sarupya [Sadarmya], Salokya, dan Sayujya. Adapun penjelasan keempat bagian ini dapat dipaparkan sebagai berikut:

  • Samipya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya di dunia ini. Hal ini dapat dilakukan oleh para Yogi dan oleh para Maharsi. Beliau dalam melakukan Yoga Samadhi telah dapat melepaskan unsur-unsur maya, sehingga beliau dapat mendengar wahyu Tuhan. Dalam keadaan yang demikian itu atman berada sangat dekat dengan Tuhan. Setelah beliau selesai melakukan samadhi, maka keadaan beliau kembali sebagai biasa, di mana emosi, pikiran, dan organ jasmaninya aktif
  • Sarupya [Sadharmya] adalah suatu kebebasan yang didapat oleh seseorang di dunia ini, karena kelahirannya, di mana kedudukan Atman merupakan pancaran dari kemahakuasaan Tuhan, seperti halnya Sri Rama, Buddha dan Sri Kresna. Walaupun Atman telah mengambil suatu perwujudan tertentu, namun ia tidak terikat oleh segala sesuatu yang ada di dunia
  • Salokya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh Atman, di mana Atman itu sendiri telah berada dalam posisi dan kesadaran yang sama dengan Tuhan. Dalam keadaan seperti itu dapat dikatakan Atman telah mencapai tingkatan Deva yang merupakan manifestasi dari Tuhan itu sendiri.
  • Sayujya adalah suatu tingkat kebebasan yang tertinggi di mana Atman telah dapat bersatu dengan Tuhan Yang Dalam keadaan seperti inilah sebutan Brahman Atman Aikyam yang artinya: Atman dan Brahman sesungguhnya tunggal.

Dalam hubungan untuk mewujudkan suatu kebebasan dalam hidup ini sangat baik kita merenungkan dan mengamalkan sloka berikut:

Sribhagavàn uvàcha: Akasaraý brahman paramaý svabhàvo ‘dhyàtmam uchyate, bhùta-bhàvodbhava-karo visargaá karma-samjnitaá.

Terjemahan:

Sri Bhagawan Bersabda: Brahman [Tuhan] adalah yang kekal, yang Maha tinggi dan adanya di dalam tiap-tiap badan perseorangan disebut Adhyatman. Karma adalah nama yang diberikan kepada kekuatan cipta yang menjadikan makhluk hidup [Bhagawadgita VIII. 3].

 Mengenai kebahagiaan atau kebebasan abadi yang harus diupayakan dalam hidup dan kehidupan ini, kitab suci Sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut:

Mātāpitåsahasrāni putradāra

çatani ca,

yuge yuge wyatītāni kasya te kasya wā wayam.

Anādi ketang janma ngaranya, tan kinawruhan tembenya, luput kinalakaran, wilangning janmāntara, mewwiwut pwa bapanta, ibunta, anakta, rabinta, ring sayugasyuga, paramārthanya, ndyang enak katepetana sānu lawan ika, ndyang tuduhan anunta.

Terjemahan:

Tidak diketahui hubungan penjelmaan manusia itu pada permulaannya, tidak dapat diperkirakan akan banyaknya penjelmaan yang lain, beribu-ribu bapa, ibu, anak dan istri pada tiap-tiap yuga; pada hakikatnya, siapakah yang sebenarnya dapat mengatakan dengan tepat keturunan mereka itu, dan yang mana dapat ditunjuk seketurunan dengan engkau sendiri? [Sarasamuscaya, 486].

Nāyamatyantasamwāmsah kadācit kenacit saha,

api swena marīrena kimutānyena kenacit.

Tātan hana teka nitya patemunya ngaranya, ikang patemu ika, ikang tan temu ika, kapwa tan langgeng ika, patemunta lawan iking çariranta tuwi, tan langgeng ika, mapasaha mara don iking paneoadadi, haywa tinucap ikang len.

Terjemahan:

Tidak ada yang kekal yang dinamakan pertemuan itu, yang bertemu satu dengan yang lain; yang tidak bertemu satu dengan yang lain, semuanya itu tidak kekal, bahkan hubunganmu dengan badanmu sendiripun tidak kekal, pasti akan berpisah dari badan; tangan, kaki, dan lain-lain bagian tubuh itu, jangan dikatakan dengan yang lain-lainnya [Sarasamuscaya, 487].

Ādarçanādāpatitāh punaçcā darçanam gatāh,

na te tawa na tesām twam kā tatra pariDevanā.

Keta sakeng taya marika, muwah, ta ya mulih ring taya, sangksipta tan akunta ika, ika tan sapa lawan kita, an mangkana, apa tojara, apa polaha.

Terjemahan:

Katanya mereka datang dari Taya [kenyataan yang tidak nyata], dan kemudian kembalinya lagi ke Taya, singkatnya, bukan kepunyaanku itu, itu tidak ada hubungannya dengan engkau, jika demikian halnya, apa yang akan dikatakan dan apa yang akan dikerjakan [Sarasamuscaya, 488].

Naste dhane wā dāresu putre pitari mātari,

aho kastamiti dhyātwā duhkhasyāpacitin caret.

Hilang pwa mās, māti pwang anak, rabi, bapa, ibu, ikāna telas paratra, atiçaya ta göng nikang lara, mwang dukkhaning hati enget pwa kitan mangkana, gawahenta tikang tambāning duhkha.

Terjemahan:

Kekayaan akan habis, anak akan mati, istri, ayah, dan ibu, mereka itu semuanya telah meninggal, maka sangat menyedihkan dan memilukan hati, bila engkau sadar akan keadaan demikian, perbuatanmu itu merupakan obat pelipur duka [Sarasamuscaya, 489].

Mānasam çamayet tasmāt prajñāya, gnimiwābhasa, praçānte mānase hyasya çārīramupaçāmyati.

Matangnya duhkhaning manah, prihen pademen ring kaprajñān, apan niyata juga hilang dening kaprajñān, kadyangganing apuy dumilah, niyata padem nika dening wwai, padem pwa duhkhaning manah, padem ta laranikang çarīra.

Terjemahan:

Karena itu penderitaan pikiran hendaklah diusahakan untuk dimusnahkan dengan kebijaksanaan, sebab tentunya lenyap oleh kebijaksanaan, seperti misalnya api yang menyala, pasti padam oleh air, jika telah musnah penderitaan pikiran, maka lenyaplah pula sakitnya badan [Sarasamuscaya, 503].

Wījāyagnyupadagdhāni na rohanti yathā punah, jñānadagdhaistathā kleçairnātmā sampadyate punah.

Kunang paramārthanya, hilang ikang kleçaning awak, an pinanasan ring jñāna, hilang pwang kleça, ri katemwaning samyagjñāna, hilang tang janma, mari punarbhawa, kadyangganing wīja, pinanasan sinanga, hilang tuwuh nika, mari masewö.

Terjemahan:

Adapun maknanya yang terpenting kecemaran badan akan lenyap, jika dilebur dengan latihan-latihan ilmu pengetahuan, jika hilang musnah kotoran badan itu, karena telah diperoleh pengetahuan yang sejati, maka terhapuslah kelahiran, tidak menjelma lagi sebagai misalnya biji benihan yang dipanaskan, dipanggang, hilang daya tumbuhnya, tidak tumbuh lagi [Sarasamuscaya, 510].

Demikianlah dapat diuraikan mengenai tingkatan dan keberadaan orang  yang dapat mencapai moksa, dan perlu diikuti dengan kesungguhan hati. Renungkanlah dalam-dalam petikan sloka tersebut di atas, sehingga tercapai apa yang menjadi tujuan hidup ini.

Uji Kompetensi :

  1. Apakah pengertian dari moksa ?
  2. Sebutkanlah 4 jenis moksa !
  3. Jelaskanlah cara untuk mencapai moksa ?
  4. Sebutkan bagian Astanga Yoga dalam pencapaian moksa !
  5. Sebutkanlah Tingkatan-tingkatan Moksa !

Was this article helpful?

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề