Berdasarkan pada UU No 32 tahun 1954 bahwa pencatatan pernikahan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah PPN sebagaimana termaktub dalam?

Konsep pencatatan pernikahan merupakan suatu bentuk pembaruan hukum yang dilakukan dalam bidang hukum keluarga Islam di Indonesia. Hal ini disebabkan tidak diungkapnya secara jelas keharusan pencatatan pernikahan di dalam sumber hukum Islam, baik di dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Selain itu, para ulama fikih juga tidak memberikan perhatian serius terhadap pencatatan pernikahan.

Beberapa hal dianggap sebagai faktor penyebab pencatatan pernikahan luput dari perhatian para ulama pada masa awal masuknya agama Islam. Pertama, adanya larangan dari Rasulullah untuk menulis sesuatu selain al-Quran, yang bertujuan untuk mencegah tercampurnya al-Quran dengan yang lain, sehingga kultur tulis-menulis tidak begitu berkembang dibandingkan dengan hafalan. Kedua, sangat mengandalkan hafalan, mengingat suatu peristiwa nikah bukan hal yang sulit untuk diingat. Ketiga, tradisi walimatul ‘ursy yang dilakukan dianggap telah menjadi saksi, di samping saksi yang termasuk rukun dalam pernikahan [Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, 2004].

Terlihat pada masa awal Islam, pencatatan pernikahan sebagai alat bukti yang otentik belum dibutuhkan. Walaupun begitu, spirit dan substansi yang ingin dicapai dari pencatatan pernikahan telah dimanifestasikan, meskipun dalam bentuk yang lebih sederhana. Dengan pertimbangan maslahah mursalah dalam hukum Islam, pencatatan pernikahan adalah suatu perbuatan yang harus dilaksanakan. Pencatatan pernikahan lebih banyak mendatangkan kebaikan dari pada kerusakan dalam hidup bermasyarakat, maka melaksanakan pencatatan pernikahan adalah suatu keharusan bagi mereka yang beragama Islam [Soemiyati, 1999].

Pencatatan pernikahan adalah kegiatan menulis yang dilakukan oleh seorang mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Pencatatan pernikahan sangat penting dilaksanakan oleh pasangan mempelai, karena buku nikah yang mereka peroleh merupakan bukti otentik tentang keabsahan pernikahan, baik secara agama maupun negara. Dengan buku nikah, dapat membuktikan keturunan sah yang dihasilkan dari perkawinan tersebut dan memperoleh hak-hak sebagai ahli waris [Abdul Manan, 2006].

Negara Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi, Pasal 1 ayat [3] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai warga negara yang baik, maka sebagai warga negara Indonesia harus taat dan patuh terhadap hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk dalam hal pencatatan pernikahan. Hal tersebut mengingat pencatatan merupakan suatu proses administrasi negara dalam rangka menciptakan ketertiban dan kesejahteraan bagi semua warga negara.

Disebutkan di dalam Pasal 2 ayat [1] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Di sis yang lain, bagi yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat pada Kantor Catatan Sipil.

Di dalam Pasal 5 ayat [1] Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam juga dipertegas bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam perkawinan harus dicatat. Pencatatan pernikahan bagi mereka yang melangsungkannya menurut agama Islam diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019.

Pendaftaran Kehendak Nikah

Pendaftaran kehendak nikah dilakukan di Kantor Urusan Agama [KUA] Kecamatan tempat akad nikah akan dilaksanakan. Dalam hal akad nikah dilaksanakan di luar negeri, maka dicatat di kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

Waktu paling lambat mendaftarkan kehendak nikah adalah 10 [sepuluh] hari kerja sebelum dilaksanakan pernikahan. Sementara itu, apabila kurang dari 10 [sepuluh] hari kerja, maka calon pengantin harus mendapat surat dispensasi yang dikeluarkan oleh Camat atas nama Bupati/Walikota atau kepala perwakilan RI di luar negeri tempat akad nikah dilaksanakan.

Pendaftaran kehendak nikah dilakukan secara tertulis, dengan mengisi formulir permohonan dan melampirkan kelengkapan. Persyaratan administratif kehendak nikah meliputi:

  • Surat pengantar nikah dari desa/kelurahan tempat tinggal calon pengantin;
  • Foto kopi akta kelahiran, KTP, dan Kartu Keluarga;
  • Surat rekomendasi nikah dari KUA Kecamatan setempat bagi calon pengantin yang melangsungkan nikah di luar wilayah kecamatan tempat tinggalnya;
  • Persetujuan kedua calon pengantin;
  • Izin tertulis orang tua atau wali bagi calon pengantin yang belum mencapai usia 21 tahun;
  • Izin dari wali yang memelihara atau mengasuh atau keluarga yang mempunyai hubungan darah atau pengampu, dalam hal kedua orang tua atau wali meninggal dunia atau dalam keadaaan tidak mampu menyatakan kehendaknya;
  • Izin dari pengadilan, dalam hal orang tua, wali, dan pengampu tidak bersedia;
  • Dispensasi kawin dari pengadilan bagi calon pengantin yang belum mencapai batas usia minimal yang telah ditentukan;
  • Surat izin dari atasan atau kesatuan jika calon mempelai berstatus anggota TNI atau POLRI;
  • Penetapan izin poligami dari pengadilan agama bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang;
  • Akta cerai dan salinan atau akta kematian/surat keterangan kematian bagi janda atau duda ditinggal cerai atau mati.

Pemeriksaan Kehendak Nikah

Kepala KUA Kecamatan/Penghulu/PPN LN melakukan pemeriksaan dokumen nikah. Pemeriksaan tersebut dilakukan di wilayah kecamatan/kantor perwakilan Indonesia di luar negeri tempat dilangsungkannya akad nikah. Pemeriksaan terhadap dokumen nikah dilakukan dengan menghadirkan calon suami, calon istri, dan wali untuk memastikan ada atau tidak adanya halangan untuk menikah.

Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan dokumen lengkap, maka dituangkan dalam lembar pemeriksaan nikah yang ditandatangani oleh calon suami, calon istri, wali, dan Kepala KUA Kecamatan/Penghulu/PPN LN. Di sisi yang lain, apabila dokumen belum memenuhi ketentuan, Kepala KUA Kecamatan/Penghulu/PPN LN memberitahukan secara tertulis kepada calon suami, calon istri, dan/atau wali untuk melengkapi dokumen persyaratan dan paling lambat 1 [satu] hari kerja sebelum peristiwa nikah.

Apabila pemeriksaan dokumen nikah tidak terpenuhi atau terdapat halangan untuk menikah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang perkawinan, maka kehendak nikah ditolak. Selanjutnya, Kepala KUA Kecamatan/Penghulu/PPN LN memberitahukan penolakan secara tertulis kepada calon suami, calon istri, dan/atau wali disertai alasan penolakan.

Pengumuman Kehendak Nikah

Setelah terpenuhinya ketentuan dalam hal pendaftaran dan pemeriksaan kehendak nikah, maka Kepala KUA Kecamatan/Penghulu/PPN LN mengumumkan kehendak nikah tersebut. Pengumuman dilakukan pada tempat tertentu di KUA Kecamatan atau kantor perwakilan Indonesia di luar negeri atau media lain yang dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat.

Pelaksanaan Pencatatan Nikah

Pencatatan nikah dilakukan setelah akad nikah dilaksanakan. Akad nikah dilaksanakan setelah memenuhi apa yang menjadi persyaratan pada pendaftaran, pemeriksaan dinyatakan lengkap, dan telah dilakukan pengumuman kehendak nikah. Serta juga memenuhi rukun nikah, yang meliputi calon suami, calon istri, wali, 2 [dua] orang saksi, dan ijab qabul.

Akad nikah dicatat dalam akta nikah oleh Kepala KUA Kecamatan/PPN LN. Ditandatangani oleh suami, istri, wali, saksi, Penghulu, dan Kepala KUA Kecamatan/PPN LN.

Akad nikah dilaksanakan di hadapan Kepala KUA Kecamatan/Penghulu/PPN LN yang mewilayahi tempat akad nikah dilaksanakan. Untuk akad nikah yang dilaksanakan di luar tempat tinggal calon suami dan calon istri, maka harus mendapatkan surat rekomendasi nikah dari Kepala KUA Kecamatan wilayah tempat tinggal masing-masing.

Tempat akad nikah dilaksanakan di KUA Kecamatan atau kantor perwakilan Indonesia di luar negeri pada hari dan jam kerja. Atas permintaan calon pengantin dan dengan persetujuan Kepala KUA Kecamatan/Penghulu/PPN LN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA Kecamatan atau kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri atau di luar hari dan jam kerja.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2018 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Agama, dijelaskan bahwa nikah/rujuk yang dilaksanakan di KUA Kecamatan tidak dikenakan biaya pencatatan. Namun, apabila nikah/rujuk dilaksanakan di luar KUA Kecamatan dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi, per peristiwa nikah/rujuk sebesar Rp600.000,00 [enam ratus ribu rupiah].

Saat ini, administrasi pencatatan peristiwa nikah menggunakan aplikasi SIMKAH [Sistem Informasi Manajemen Nikah], yang merupakan aplikasi pengelolaan administrasi nikah yang berbasis web. Dalam hal KUA wilayah tertentu belum terhubung dengan jaringan internet, administrasi pencatatan nikah tetap dilakukan secara manual.

Penyerahan Buku Nikah

Pasangan suami istri memperoleh buku nikah dan kartu nikah. Buku nikah diberikan masing-masing kepada suami dan istri sesaat setelah proses akad nikah selesai dilaksanakan, serta ditandatangani oleh Kepala KUA Kecamatan/PPN LN. Dalam hal terdapat hambatan dalam penerbitan buku nikah, penyerahan buku nikah dapat dilakukan paling lambat 7 [tujuh] hari kerja setelah akad nikah. Sementara itu, untuk kartu nikah diberikan sebanyak 1 [satu] kartu sebagai bukti dan dokumen tambahan, diutamakan kepada pasangan nikah pada tahun berjalan.

Apabila terjadi kesalahan dalam penulisan digital atau manual pada buku nikah, sebagaimana yang terdapat pada Pasal 37 Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan, maka dapat dilakukan penggantian buku nikah. Dalam hal ketersediaan buku nikah terbatas, pembetulan kesalahan dalam penulisan tersebut dapat dilakukan dengan cara mencoret 2 [dua] garis pada tulisan yang salah, menulis perbaikannya dengan huruf kapital, Kepala KUA membubuhi paraf pada ujung kanan kata yang dicoret, dan cap dinas di atas kata yang salah. Untuk perubahan nama didasarkan pada akta kelahiran yang baru, sedangkan pencatatan perubahan data lainnya didasarkan pada surat keterangan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

Terhadap buku nikah yang rusak atau hilang dapat diterbitkan duplikat buku nikah. Penerbitan tersebut dilakukan melalui permohonan secara tertulis hanya berdasarkan alasan rusak atau hilang. Apabila rusak harus disertai dengan buku nikah yang rusak, sedangkan apabila hilang harus disertai dengan surat keterangan kehilangan dari kepolisian. Untuk duplikat buku nikah yang pernah diterbitkan dalam bentuk lembaran dapat diganti dengan duplikat buku nikah baru melalui permohonan kepada KUA Kecamatan yang menerbitkan.

Legalisasi buku nikah dilakukan pada KUA Kecamatan yang mencatat peristiwa nikah. Dalam hal KUA Kecamatan sudah menggunakan aplikasi SIMKAH berbasis web, legalisasi dapat dilakukan pada KUA Kecamatan lain. Namun, bagi yang belum menggunakan, dapat dilakukan di KUA Kecamatan lain setelah melalui verifikasi terlebih dahulu. Legalisasi untuk keperluan ke luar negeri dilakukan oleh pejabat pada direktorat yang melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan KUA Kecamatan.

Tujuan dan Manfaat

Beberapa tujuan dari pencatatan pernikahan, yaitu untuk tertib administrasi pernikahan, jaminan memperoleh hak-hak tertentu, memberikan perlindungan terhadap status pernikahan, memberikan kepastian terhadap status hukum suami-istri maupun anak, serta memberikan perlindungan terhadap hak-hak yang diakibatkan oleh adanya pernikahan. Hal ini juga sebagai suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian pernikahan, khususnya bagi kaum perempuan dan anak dalam kehidupan rumah tangga guna melindungi hak-haknya. Melalui pencatatan pernikahan yang dibuktikan oleh buku nikah, apabila terjadi perselisihan di antara suami istri, maka salah satu di antaranya dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing [Ahmad Rofiq, 2003].

Pencatatan pernikahan beserta aktanya memiliki 2 [dua] manfaat yang bersifat preventif dan represif. Manfaat bersifat preventif, artinya, untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atas penyimpangan rukun dan syarat pernikahan, baik menurut agama dan kepercayaan itu maupun menurut peraturan perundang-udangan, sehingga mendapat perlindungan hukum, memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan, legalitas formal pernikahan di hadapan hukum, dan terjamin keamanan [Neng Djubaidah, 2010].

Pencatatan pernikahan memiliki manfaat respresif, artinya, bagi suami istri yang karena suatu hal pernikahannya tidak dapat dibuktikan dengan akta/buku nikah, maka peraturan perundang-undangan membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan isbat nikah [penetapan nikah] kepada Pengadilan Agama. Hal ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat, agar di dalam melangsungkan pernikahan tidak hanya mementingkan aspek hukum fikih saja, tetapi juga aspek hukum keperdataan [yang berlaku di negara Indonesia] juga perlu diperhatikan secara seimbang.

Dari uraian di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa pencatatan pernikahan dapat memberikan kepastian dan perlindungan bagi para pihak yang telah melangsungkan pernikahan, sehingga memberikan kekuatan bukti otentik tentang telah terjadinya pernikahan serta para pihak dapat mempertahankan pernikahan tersebut kepada siapa pun dan dihadapan hukum. Di samping itu, pencatatan pernikahan merupakan usaha pemerintah untuk mengayomi masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keadilan.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề