Contoh ancaman radikalisme di Indonesia adalah

Bahaya radikalisme membuat stabilitas dan kedamaian suatu negara dapat terancam. Oleh karenanya pemaparan materi terkait radikalisme dan terorisme disampaikan oleh Subagiyo, S.Pd., M.Si dalam Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru [PKKMB] Untag Surabaya. Penyampaian materi tersebut dipusatkan di Graha Prof. Dr. H. Roeslan Abdulgani pada Minggu, 18 Agustus 2019.

Subagiyo mengatakan radikalisme identik dengan fantisme terhadap suatu hal yang dapat dikatakan terlalu berlebihan, sehingga ada sesuatu yang dianggap paling benar oleh beberapa kelompok tertentu tanpa memandang hal tersebut dari sudut pandang yang lain.

Radikal adalah istilah yang digunakan pada akhir abad ke-18 untuk pendukung Gerakan Radikal. Radix atau radics yakni sesuatu yang dianggap paling benar menurut pemikiran beberapa orang atau sekelompok orang dengan tidak menghiraukan kaidah atau aturan yang berlaku,’’ papar Subagiyo kepada mahasiswa baru Untag Surabaya.

Ajun Komesaris Besar Polisi itu juga menjelaskan terkait beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya radikalisme, seperti fanatisme yang berlebihan, Ideologi, ekonomi, politik, budaya dan juga kesenjangan sosial. Menurutnya perbedaan penafsiran terhadap suatu hal akan berdapak buruk bagi kedamaian masyarakat Indonesia.

‘’Radikalisme di negara kita Indonesia, muncul karena perbedaan penafsiran terhadap ideologi dalam menafsirkan kitab suci. Artinya permasalahan kecil pun dapat menjadi masalah besar dan akan sangat berpengaruh terhadap perdamaian di negeri ini. Cara pandang seperti itulah yang dapat menimbulkan perspektif yang berbeda,’’ imbuh pria kelahiran 31 Januari tersebut.

Terakhir, Subagiyo berpesan bahwa tindakan radikal sama sekali tidak diharapkan oleh masyarakat Indonesia, kerena memiliki tujuan yang sewenang-wenang tanpa mempedulikan hak orang lain. Subagiyo berharap jika mahasiswa mengalami beberapa hal tekait tindakan radikal yang dirasa merugikan, agar segera melaporkan.

''Radikalisme bertujuan ingin membuat perubahan secara drastis dengan menggunakan kekerasan. Perbuatan radikalisme juga mencoreng nama baik agama, karena kita tahu bahwa semua agama mengajarkan perdamaian dan kasih sayang. Sekali lagi, jika mahasiswa di sini mengalami kegiatan teror yang membuat tidak nyaman dan mengganggu, hal itu dapat dilaporkan kepada pihak berwajib,'' tutup Subagiyo.

Sumber : //warta17agustus.com

Kata radikalisme ditinjau dari segi terminologis berasal dari kata dasar radix yang artinya akar [pohon]. Makna kata akar [pohon], dapat diperluas kembali sehingga memiliki arti pegangan yang kuat, keyakinan, pencipta perdamaian dan ketenteraman. Kemudian kata tersebut dapat dikembangkan menjadi kata radikal, yang berarti lebih adjektif.

Sehingga dapat dipahami secara kilat, bahwa orang yang berpikir radikal pasti memiliki pemahaman secara lebih detail dan mendalam, layaknya akar tadi, serta keteguhan dalam mempertahankan kepercayaannya.

Memang terkesan tidak umum, namun hal inilah yang  menimbulkan kesan menyimpang di masyarakat. Setelah itu, penambahan sufiks –isme, memberikan makna tentang pandangan hidup [paradigma], sebuah faham, dan keyakinan atau ajaran. Penggunaannya juga sering disambungkan dengan suatu aliran atau kepercayaan tertentu.

Pengertian radikalisme menurut bahasa yaitu paham atau aliran yang mengingikan perubahan atau pembaharuan social dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.

Berikut ini adalah beberapa definisi mengenai radikalisme menurut beberapa ahli.

Dawinsha mengemukakan bahwa defenisi radikalisme adalah sikap dari jiwa yang membawa kepada tindakan yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan kemapanan dan menggantinya dengan gagasan baru.

  • Ketua umum Dewan Masjid Indonesia, Dr. dr. KH. Tarmidzi Taher

Memberikan komentarnya tentang radikalisme bemakna positif, yang memiliki makna tajdid [pembaharuan] dan islah [peerbaikan], suatu spirit perubahan menuju kebaikan. Hingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara para pemikir radikal sebagai seorang pendukung reformasi jangka panjang.

Munculnya isu-isu politis mengenai radikalisme merupakan tantangan baru bagi kalangan masyarakat untuk menjawabnya. Isu radikalisme ini sebenarnya sudah lama mencuat di permukaan wacana internasional. Munculnya radikalisme pertama kali diperkeisakan sekitar abad ke-19 dan terus berkembang sampai sekarang. Dalam tradisi barat sekuler hal ini ditandai dengan keberhasilan industrialisasi pada hal-hal positif di satu sisi tetapi negative disisi yang lain.

  • Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

Radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.

Radikalisme memiliki kekayanyang kuat akan kebenaran ideologi atau program yang mereka bawa. Dalam gerakan sosial, kaum radikalis memperjuangkan keyakinan yang mereka anut.

Baca Juga :Pengertian Lembaga Sosial Menurut Para Ahli

Faktor Penyebab Munculnya Radikalisme

Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul begitu saja tetapi memiliki latar belakang yang sekaligus menjadi faktor pendorong munculnya gerakan radikalisme. Diantara faktor-faktor itu adalah sebagai berikut.

Yaitu adanya pandangan yang salah atau salah kaprah mengenai suatu kelompok yang dianggap sebagai kelompok radikalisme. Secara historis kita dapat melihat bahwa konflik-konflik yang ditimbulkan oleh kalangan radikal dengan seperangkat alat kekerasannya dalam menentang dan membenturkan diri dengan kelompok lain ternyata lebih berakar pada masalah sosial-politik.

Dalam hal ini kaum radikalisme memandang fakta historis bahwa kelompok tersebut  tidak diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi.Dengan membawa bahasa dan simbol tertentu serta slogan-slogan agama, kaum radikalis mencoba menyentuh emosi keagamaan dan mengggalang kekuatan untuk mencapai tujuan “mulia” dari politiknya.

Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu.

Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan  sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama [wahyu suci yang absolut] walaupun gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama, jihad dan mati syahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif. Jadi sifatnya nisbi dan subjektif.

Baca Juga :Norma Kesusilaan – Pengertian, Sangksi, Sumber, Manfaat Dan Contohnya

Faktor ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural, sebagaimana diungkapkan Musa Asy’ari, bahwa di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai.

Sedangkan yang dimaksud faktor kultural di sini adalah sebagai anti tesa atau pertentangan terhadap budaya sekularisme. Budaya Barat merupakan sumber sekularisme yang dianggap sebagai musuh yang harus dihilangkan dari bumi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya Muslim.

Peradaban Barat sekarang inimerupakan ekspresi dominan dan universal umat manusia. Negara Barat telah dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi seluruh sendi-sendi kehidupan Muslim sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas.Negara Barat dengan sekularismenya, sudah dianggap sebagai bangsa yang mengotori budaya-budaya bangsa Timur dan Islam, juga dianggap bahaya terbesar bagi keberlangsungan moralitas Islam.

  1. Faktor Ideologis Anti Westernisme

Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam mengaplikasikan syari’at Islam. Sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syarri’at Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.

  1. Faktor Kebijakan Pemerintah

Ketidakmampuan pemerintah untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian orang atau kelompok yang disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara besar. Dalam hal ini elit-elit pemerintah belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan [radikalisme] sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat.

Baca Juga :Norma Adalah

Di samping itu, faktor media massa [pers] Barat yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam. Propaganda-propaganda lewat pers memang memiliki kekuatan dahsyat dan sangat sulit untuk ditangkis sehingga sebagian “ekstrim” yaitu perilaku radikal sebagai reaksi atas apa yang ditimpakan kepada komunitas Muslim.

Selain itu, ada yang beranggapan bahwa radikalisme terutama radikalisme islam munculdisebabkan oleh faktor-faktor berikut ini.

Faktor internal yang dimaksud adalah adanya legitimasi teks keagamaan, dalam melakukan “perlawanan” itu sering kali menggunakan legitimasi teks [baik teks keagamaan maupun teks “cultural”] sebagai penopangnya. Untuk kasus gerakan “ekstrimisme islam” yang merebak hampir di seluruh kawasan islam [termasuk indonesia] juga menggunakan teks-teks keislaman [Alquran, hadits dan classical sources– kitab kuning] sebagai basis legitimasi teologis, karena memang teks tersebut secara tekstual ada yang mendukung terhadap sikap-sikap eksklusivisme dan ekstrimisme ini.

Seperti ayat-ayat yang menunjukkan perintah untuk berperang seperti;  Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak [pula] kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar [agama Allah], [Yaitu orang-orang] yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk. [Q.S. Attaubah: 29].

Menurut gerakan  radikalisme hal ini adalah sebagai pelopor bentuk tindak kekerasan dengan dalih menjalankan syari’at, bentuk memerangi kepada orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan lain sebagainya. Tidak sebatas itu, kelompok fundamentalis dengan bentuk radikal juga sering kali menafsirkan teks-teks keislaman menurut “cita rasa” merka sendiri tanpa memperhatikan  kontekstualisasi dan aspek aspek historisitas dari teks itu, akibatnya banyak fatwa yang bertentangan dengan hak-hak kemanusiaan yang Universal dan bertentangan dengan emansipatoris  islam sebagai agama pembebas manusia dari belenggu hegemoni. Teks-teks keislaman yang sering kali ditafsirkan secara bias itu adalah tentang perbudakan, status non muslim dan kedudukan  perempuan.

Faktor internal lainnya adalah dikarenakan gerakan ini mengalami frustasi yang mendalam karena belum mampu mewujudkan cita-cita berdirinya ”negara islam internasional”    sehingga pelampiasannya dengan cara anarkis; mengebom fasilitas publik dan terorisme.

Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama [wahyu suci yang absolut]. Hal ini terjadi pada peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh negara Israel terhadap palestina, kejadian ini memicu adanya sikap radikal di kalangan umat islam terhadap Israel, yamni menginginkan agar negara Israel diisolasi agar tidak dapat beroperasi dalam hal ekspor impor.

Baca Juga :Pengertian Mediasi Menurut Para Ahli

Faktor eksternal  yang dianggap sebagai latar belakang atau penyebab munculnya radikalisme adalah sebagai berikut.

  • Pertama, faktor ekonomi-politik.

Kekuasaan pemerintah yang menyeleweng dari nilai-nilai fundamental islam. Itu artinya, rezim di negara-negara islam gagal menjalankan nilai-nilai idealistik islam. Rezim-rezim  itu bukan menjadi pelayan rakyat, sebaliknya berkuasa dengan sewenang-wenang bahkan menyengsarakan rakyat.  Penjajahan Barat yang serakah, menghancurkan serta sekuler justru datang belakangan, terutama setelah ide kapitalisme global dan neokapitalisme menjadi pemenang.

Satu ideologi yang kemudian mencari daerah jajahan untuk dijadikan “pasar baru”. Industrialisasi dan ekonomisasi pasar baru yang dijalankan dengan cara-cara berperang inilah yang sekarang mengejawantah hingga melanggengkan kehadiran fundamentalisme islam. Karena itu, fundamentalisme dalam islam bukan lahir karena romantisme tanah [seperti Yahudi], romantisme teks [seperti kaum bibliolatery], maupun melawan industrialisasi [seperti kristen Eropa]. Selebihnya, ia hadir karena kesadaran akan pentingnya realisasi pesan-pesan idealistik islam yang tak dijalankan oleh para rejim-rejim penguasa dan baru berkelindan dengan faktor-faktor eksternal yaitu ketidakadilan global.

Faktor ini menekankan pada budaya barat yang mendominasi kehidupan saat ini. Budaya sekularisme yang dianggap sebagai musuh besar yang harus dihilangkan dari bumi.

  • Ketiga, faktor sosial-politik.

Pemerintah yang kurang tegas dalam mengendalikan masalah teroris ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu faktor masih maraknya.

Fakta-Fakta Aksi Radikalisme dan Implikasinya dalam Masyarakat

Berbicara tentang radikalisme, tidak mungkin menampik adanya aksi-aksi yang memang berasaskan kekerasan, pemankasaan, bahkan pembinasaan. Salah satunya adalah  pemboman-pemboman yang dilakukan di Paris oleh kelompok-kelompok Islam Aljazair seperti pegawai islam bersenjata telah memperburuk ketegangan-ketegangan di Perancis dan menambah jumlah dukungan untuk mereka yang mempersoalkan apakah islam sesuai dengan budaya Perancis, entah itu budaya Yahudi-Kristen atau budaya sekuler, dan apabila muslim dapat menjadi warga negara Perancis yang sejati dan loyal.

Baca Juga :Pengertian Etika/Etiket Dan Etiket/Etika Di Dalam Bekomunikasi Beserta Contohnya

Penasehat menteri dalam negeri tentang imigrasi mengingatkan, “Sekarang ini, memang benar-benar terdapat ancaman Islam di Perancis itu adalah bagian dari gelombang besar fundamentalisme muslim dunia. Di tengah-tengah perdebatan Perancis terhadap suatu kecenderungan untuk melihat islam sebagai agama asing, menempatkannya sebagai agama yang bertolak belakang dengan tradisi Yahudi-Kristen.

Sementara itu, banyak orang menekankan proses asimilasi yang menyisakan hanya sedikit ruang untuk pendekatan multikultural, sebagian yang lain berpendapat bahwa muslim harus diizinkan untuk mengembangkan identitas muslim Perancis yang khas yang mencampur antara nilai-nilai asli ke-Perancis-an, dengan akidah dan nilai-nilai islam.

Realita lain yang dikenal sebagai awal berkibarnya bendera perang terhadap terorisme oleh AS, yaitu peristiwa 11 September yang merontokkan Gedung WTC dan Pentagon merupakan tamparan berat buat AS. Maka, agar tidak kehilangan muka di dunia internasional, rezim ini segera melancarkan “aksi balasan” dengan menjadikan Afghanistan dan Irak sebagai sasarannya.

Jika benar “benturan peradaban” antara Barat dan Islam terjadi tentu aksi koboi AS [dan Inggris] ke Afghanistan dan Irak disambut gembira oleh umat Kristiani. Faktanya ribuan rakyat [entah Kristen atau bukan] di berbagai belahan dunia Barat justru menggalang solidaritas sosial untuk menentang aksi keji dan biadab ini. Begitu ketika WTC dan Pentagon diledakkan, ribuan umat islam turut mengutuknya.

Reaksi di beberapa negara Amerika Latin banyak yang tidak simpati terhadap peristiwa 11 September itu. Sebab, selama berpuluh-puluh tahun, rakyat di sana tidak pernah menikmati kemajuan sekalipun sumber daya alam mereka yang sudah habis dikuras. China juga bersikap kurang lebih sama dengan Amerika Latin ini. Pasalnya mereka justru menganggap adalah AS sendiri yang bersikap hostile karena surplus perdagangan bilateral memang berada di pihak China. Akhirnya China, oleh AS, justru dianggap sebagai pesaing strategis ketimbang mitra strategis dalam ekonomi.

Peran Idiologi Pancasila untuk Membentengi Diri dari Radikalisme

Pancasila merupakan pegangan hidup Bangsa Indonesia yang kini mulai terkikis seiring pesatnya perkembangan Teknologi dan kuatnya arus Informasi di era globalisasi saat ini. Pemerintah juga sekarang ini tengah sibuk terhadap masyarakat yang berpergian ke Syiria terkait ISIS.

Padahal, jika nilai-nilai Pancasila ini diserap baik oleh bangsa Indonesia maka tidak perlu takut terhadap paham-paham Radikalisme seperti ISIS, sebab Pancasila mengandung nilai-nilai luhur yang bersifat fleksibel terhadap perkembangan zaman namun tetap memiliki ciri khas tersendiri. Pancasila di era globalisasi merupakansebuah pegangan sekaligus pedoman hidup yang dapat menjadi jawaban atas tantangan baru yang dihadapi bangsa ini. Arus informasi yang semakin cepat sehingga paham-paham dunia barat  sangat mudah diakses oleh masyarakat Indonesia. Liberalisme yang dianut oleh dunia barat kini merambat ke tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai dampak negatif globalisasi.

Baca Juga :Cara Proses Pengendalian Sosial Beserta Contohnya Lengkap

Ideologi Pancasila sebenarnya dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, hanya saja nilai-nilai yang terkandung didalamnya tidak terjiwai oleh masyarakat Indonesia itu sendiri. Sehingga paham liberalis dan radikalis dapat dengan mudahnya menembus pemikiran bangsa ini. Banyak yang berpandangan bahwa Pancasila identik dengan Orde baru [Orba], maka setelah runtuhnya Orba nilai luhur Pancasila juga ikut runtuh.

Padahal pancasila sebagai ideologi bangsa ini sangatlah penting difahami dan dijiwai. Sebab nilai-nilai yang secara tersirat maupun tersurat memiliki tujuan yang mulia dan dapat membawa bangsa ini kedalam peradaban yang baik. Ketika kita mampu menjiwai Pancasila, tidak perlu takut dengan paham radikal dan riberal yang meracuni pemikiran kita. Sebab pancasila telah merumuskan nilainya sendiri mengenai “MAU DIBAWA KEMANA BANGSA INI KEDEPANNYA”.

Saat ini MPR tengah sibuk mensosialisasikan 4 Pilar Berkehidupan Berbangsa dan Bernegara yang mana terdiri dari Pancasila, UU 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Ini memang harus ditanamkan sejak dini kepada anak cucu bangsa ini kedepannya. Dan ini bukan hanya menjadi tugas MPR, tetapi tugas kita bersama selaku warga negara yang baik dan menjujung tinggi ideologi Pancasila.

  1. Membentengi Pemuda dari Radikalisme

Tidak bisa dipungkiri bahwa pemuda adalah aset bangsa yang sangat berharga. Masa depan negeri ini bertumpu pada kualitas mereka. Namun ironisnya, kini tidak sedikit para pemuda yang justru menjadi pelaku terorisme dan radikalisme. Serangkaian aksiterorisme dan radikalisme mulai dari bom Bali-1, bom Gereja Kepunton, bom di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton, hingga aksi penembakan Pos Polisi Singosaren di Solo dan bom di Beji sertaTambora, melibatkan para pemuda. Sebut saja, Dani Dwi Permana, salah satu pelaku bom di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton, yang saat itu berusia 18 tahun dan baru lulus SMA.

Fakta di atas diperkuat oleh riset yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian [LaKIP]. Dalam risetnya tentang radikalisme di kalangan siswa dan guru Pendidikan Agama Islam [PAI] di Jabodetabek, pada Oktober 2010-Januari 2011, LaKIP menemukan sedikitnya 48,9 persen siswa menyatakan bersedia terlibat dalam aksi kekerasan terkait dengan agama dan moral. Bahkan yang mengejutkan, belasan siswa menyetujui aksi ekstrem bom bunuh diri tersebut.

Rentannya para pemuda terhadap aksi kekerasan dan terorisme patut menjadi keprihatinan kita bersama. Banyak faktor yang menyebabkan para pemuda terseret ke dalam tindakan terorisme, mulai dari kemiskinan, kurangnya pendidikan agama yang damai, gencarnya infiltrasi kelompok radikal, lemahnya semangat kebangsaan, kurangnya pendidikan kewarganegaraan, kurangnya keteladanan, dan tergerusnya nilai kearifan lokal oleh arus modernitas negatif.

Apapun faktor yang melatari, adalah tugas kita bersama untuk membentengi mereka dari radikalisme dan terorisme. Untuk membentengi para pemuda dan masyarakat umum dari radikalisme dan terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme [BNPT], menggunakan upaya pencegahan melalui kontra-radikalisasi [penangkalan ideologi].

Hal ini dilakukan dengan membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme [FKPT] di daerah, Pelatihan anti radikal-terorisme bagi ormas, Training of Trainer [ToT] bagi sivitas akademika perguruan tinggi, serta sosialiasi kontra radikal terorisme siswa SMA di empat provinsi. Di atas upaya-upaya tersebut, sejatinya ada beberapa hal yang patut dikedepankan dalam pencegahan terorisme di kalangan pemuda.

Baca Juga :Penjelasan Macam-Macam Konflik Sosial Menurut Para Ahli

  • Pertama, memperkuat pendidikan kewarganegaraan [civic education] dengan menanamkan pemahaman yang mendalam terhadap empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Melalui pendidikan kewarganegaraan, para pemuda didorong untuk menjunjung tinggi dan menginternalisasikan nilai-nilai luhur yang sejalan dengan kearifan lokal seperti toleransi antar- umat beragama, kebebasan yang bertanggungjawab, gotong royong, kejujuran, dan cinta tanah air sertakepedulian antar-warga masyarakat.

  • Kedua, mengarahkan para pemuda pada beragam aktivitas yang berkualitas baik di bidang akademis, sosial, keagamaan, seni, budaya, maupun olahraga. Kegiatan-kegiatan positif ini akan memacu mereka menjadi pemuda yang berprestasi dan aktif berorganisasi di lingkungannya sehingga dapat mengantisipasi pemuda dari pengaruh ideologi radikal terorisme.

  • Ketiga, memberikan pemahaman agama yang damai dan toleran, sehingga pemuda tidak mudah terjebak pada arus ajaran radikalisme. Dalam hal ini, peran guru agama di lingkungan sekolah dan para pemuka agama di masyarakat sangat penting. Pesan-pesan damai dari ajaran agama perlu dikedepankan dalam pelajaran maupun ceramah-ceramah keagamaan.

  • Keempat, memberikan keteladanan kepada pemuda. Sebab, tanpa adanya keteladanan dari para penyelenggara negara, tokoh agama, serta tokoh masyarakat, maka upaya yang dilakukan akan sia-sia. Para tokoh masyarakat harus dapat menjadirole model yang bisa diikuti dan diteladani oleh para pemuda.Berbagai upaya dan pemikiran di atas penting dan mendesak untuk dilakukan. Kita tidak bisa hanya mengandalkan penegakan hukum terhadap para pelaku terorisme semata. Tetapi, kita patut bersyukur, upaya-upaya tersebut telah dan sedang dilakukan, baik pemerintah maupun masyarakat sipil seperi tokoh agama, akademisi, pemuda, organisasi masyarakat, serta media massa.

Perspektif Islam tentang Radikalisme

Islam sama sekali tidak membolehkan radikalisme. Karena Islam adalah agama rahmatan lil’alamin. Islam berasal dari dari kata salam yang berarti selamat, aman, damai. Islam tidak memperkenankan kekerasan sebagai metode menyelesaikan masalah. Islam menganjurkan agar kita mengajak kepada kebaikan dengan bijak [hikmah], nasihat yang baik [mau’izah hasanah] dan berdialog dengan santun [wajadilhum billati hiya ahsan]. Radikalisme, apalagi terorisme, hanya akan membuat Islam jauh dari watak aslinya sebagai agama rahmat, dan bisa membuat kehilangan tujuannya yang hakiki.

Syari’at Islam diturunkan kepada manusia untuk menjaga irama fondasi kehidupan [maqosid asy-syari’ah] yaitu: pertama untuk melindungi keselamatan fisik atau jiwa manusia dari tindakan kekerasan di luar ketentuan hukum [hifz an-nafs]. Kedua melindungi keyakinan atas suatu agama [hifz ad-din]. Ketiga menjaga kelangsungan hidup dengan melindungi keturunan atau keluarga [hifz an-nasl]. Keempat, melindungi hak milik pribadi atau harta benda [hifz al-mal] dan kelma, melindungi kebebasan berfikir [hifz al-aql].

Dengan demikian syari’at Islam pada dasarnya melindungi dan menghargai manusia sebagai individu yang bermartabat. Semua tindakan yang melawan kebebasan dan martabat manusia, bertentangan dengan syari’at. Untuk mewujudkan itu semua, syari’at Islam selain berfungsi melindungi seluruh dimensi kemanusiaan, juga diturunkan untuk memudahkan manusia dalam menjalankan hidupnya, bukan membuat hidup jadi sulit. Islam melindungi hak hidup manusia, karena itu perbuatan melawan hak ini tidak diperkenankan.

Ayat-ayat al-Qur‘an yang membincangkan tentang jihad kenyataannya juga tidak mengarahkan umat Islam untuk melakukan kekerasan sehingga memaksa pemeluk agama lain untuk memeluk agama Islam. Pun jika ada pemaknaan jihad dalam artian boleh melakukan perang, itu hanya sebatas “membela diri” karena mengalami penindasan yang dilakukan oleh musuh.

Sayangnya pembicaraan mengenai jihad dan konsep-konsep yang dikemukakan sedikit ataupun banyak telah mengalami pergeseran paradigma dan perubahan sesuai dengan konteks dan lingkungan masing-masing pemikir. Begitu pentingnya pembicaraan mengenai jihad dalam Islam, sehingga kaum Khawarij yang cenderung radikal [seperti sudah diuraikan] menetapkannya sebagai “rukun Islam” yang keenam.

Banyak pengertian tentang jihad yang dikemukakan para ahli dengan berbagai penjelasan dan dasarnya termasuk pengertian jihad dalam pandangan Barat bahwa jihad fi sabilillah adalah perang suci [the holy war].

  • Radikalisme Di dunia Islam

Istilah “fundamentalisme” biasa dipakai oleh kalangan akademisi maupun media masa untuk merujuk pada gerakan-gerakan isalam politik yang berkonotasi negativ seperti: Radikal, ekstrem, dan militan “serta anti Barat atau Amerika”. Namun, tidak arang pula julukan “fundamentalisme” diberikan kepada semua orang islam yang menerima Qur’an dan Hadits sebagai alan hidup mereka. Dengan kata lain, “kebanyakan dari penegasan kembali agama dalam politik dan masyarakat tercakup dalam istilah “fundamentalisme” islam “.

Salah satu contohnya adalah Organisasi Al-ana’ah Al-Islamiyah di Mesir. Organisasi ini abanyak diminati dan digerakioleh para pemuda Mesir lahir pada awal 1970-an. Organisasi yang merupakan gerakan Islam konservatif [sayap mahasiswa dari Ikhwan Al-Muslimin] ini awalnya ditunukan untuk membangun kembali kekuatan-kekuatan religius konservatif lewat kampus-kampus, pemuda-pemuda dimasid-masid dan kelompok pemuda lainya.

Ketika pemerintah Sadat mulai mengurangi peran pemerintah dan memeberi kesempatan luas pada peran swasta di Mesirbanyak bermunculan organisasi-organisasi Islam, organisasi ini didirikan di kota-kota besar di Kairo, Ikandariyah, Port Said dan Suez yangberlokasi di Mesir Bawah serta Asyut,Al-Fayyum dan Al-Minya di Mesir bawah. Hal ini pada giliranya uga telah mendorong organisasi-organisasi islam seperti Alama’ah, al-islamiyah, kegiatan-kegiatanya yang tak terbatas di sekitar kampus ataupun masid, tetapi mencakup kegiatan-kegiatan sosial ekonomi seperti penyediaaan layanan dalam distribusi pangan dan sandang.

Al-ama’ah al-islamiyah ini sebenarnya tidak memiliki kepemimpinan tunggal, karenanya gerakan-gerakan islam memakai bendeanya menajdikan bermacam-macam. Omar Abdel Rahman ia adalah tokoh kharismatis [setidaknya bagi kelompok Al-ama’ah] yang lewat bukunya berjudul Mitsaq Al-amil al-islami, mengemukakan gagasan-gagasan islam radikal yang berupaya untuk menumbangkan negara sekular dan mendirikan negara Islam.

Semakin meluasnya pengaruh Syaikh Omar itu membuat pemerintah mengambil sikap tegas dengan menekan dan menutup kegitan-kegiatan apa saa yang diyakini berada dibawah bendera Al-ama’ah Al-islamiyah.

Kelompok Fundamentalis islam yang dalam hal ini di Representasikanoleh organisasi Al-islamiyah adalah yang paling rentan terhadap tuduhan-tuduhan itu karena mereka sering memperlihatkan sikap “tidak mempunyai pemerintah” meskipun belum pasti bahwa aksi itu dilakukan oleh Al-ama’ah Al-islamiyah ini.

Dalam upaya menekan kelompok radikal islam pemerintagh Mesir telah membuat satu undang-undang baru tentang terorisme[1992]. Dengan undang-undang itu pemerintah telah menjaring dan menahan pemimpin-pemimpin Al-ama’ah Al-islamiyah yang diyakini menadi kekuatan simbolik organisasi ini.para pemuda maupun mahasiswabak dikampus-kampus maupun di masjid-masjid independen yang jumlahnya ribuan dan tersebar hingga ke plosok-plosok telah menadi kekuatan grass root yang sulit untuk ‘dibasmi’.

Sebailknya, pemerintah uga sulit untuk ditumbangkan oleh Al-jama’ah karena ia didukung penuh oleh militer dan kelompok kelas menengah serta cendekiawan.

  • Delegitimasi Islam Politik dan Radikalisme

Pengertian islam politik radikalisme mnurut Barat berarti gerakan tindakan berbasis politik massa melainkan gerakan individu atau komunitas revolusioner- anarkis yang menggunakan instrumen kekerasan secara acak. Hal ini berarti bahwa islam radikalisme akan selalu menantang norma-norma dan struktur-strukturyang telah mengalami pengorganisasian secara mendasar.

Kalangan barat berasumsi bahwa islam politik radikalis melakukan kegiatan “pembebasan” dengan menentang perspektif anarkis yang mendukung tertib peradaban barat [falk 1980:37-39]. Pleh karena itu, gerakan politik islam radikal bahkan mendapat sebutan barat sebagai gerakan teroris, dalam pengertian kelompok powerles melawan barat yang memiliki kekuatan besar. Gerakan politik islam radikal memperjuangkan identitas islam dengan memanipulasi doktrin dan strategi bagi pengutan militasi dan ekstremitasnya.

Gerakan politik islam Radikal di Afrika Utara sebagaimana penuturan Tareq al-Bishri menggambarkan perorganisasian masyarakat melalui Islamisasi. Gerakan politik islam radikal diwilayah ini , terutama maroko [maghrib], merupakan gerakan kemerdekaan yang memperuangkan kebebasan tidak hanya dari dominasi barat tetapi juga kekuasaan elit sekuler.nasionalisme bagi gerakan ini berarti nasionalisme islam dan bukan nasionalisme Arab karena etnisitas arab telah menyatukedalam islam.

Delegimitasi Islampolitik oleh Barat elas bermaksud melumpuhkan baik dinamika gerakan-gerakan nasionalis dan anti imperialis maupun politik identitas yang berbasis aaran islam total melalui ekspansi nilai-nilai demokrasi. Mereka menolak peran sentral Imam Islami dalam politik. Bagi mereka rasionalitas politik bisa membimbing pembentukan konsesus tentang formulasi kepentingan bersama.perbedaan iman dalam politik dipandang sebagai sumber pembantaian tanpa henti didalam masyarakat. Tetapi, dibalik semua agumen itu mungkin tersimpan kecemasan mendalam berupa destabilisasi hegemoni Barat.

Solusi Masalah Radikalisme dan Terorisme

  • Meminimalisir Kesenjangan Sosial

Kesenjangan sosial yang terjadi juga dapat memicu munculnya pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme.Sedemikian sehingga agar kedua hal tersebut tidak terjadi, maka kesenjangan sosial haruslah diminimalisir.Apabila tingkat pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme tidak ingin terjadi pada suatu Negara termasuk Indonesia, maka kesenjangan antara pemerintah dan rakyat haruslah diminimalisir.

Caranya ialah pemerintah harus mampu merangkul pihak media yang menjadi perantaranya dengan rakyat sekaligus melakukan aksi nyata secara langsung kepada rakyat. Begitu pula dengan rakyat, mereka harusnya juga selalu memberikan dukungan dan kepercayaan kepada pihak pemerintah bahwa pemerintah akan mampu menjalankan tugasnya dengan baik sebagai pengayom rakyat dan pemegang kendali pemerintahan Negara.

  • Memahamkan Ilmu Pengetahuan Dengan Baik Dan Benar

Hal kedua yang dapat dilakukan untuk mencegah pemahaman radikalisme dan tindak terorisme ialah memahamkan ilmu pengetahuan dengan baik dan benar. Setelah memperkenalkan ilmu pengetahuan dilakukan dengan baik dan benar, langkah berikutnya ialah tentang bagaimana cara untuk memahamkan ilmu pengetahuan tersebut.

Karena tentunya tidak hanya sebatas mengenal, pemahaman terhadap yang dikenal juga diperlukan. Sedemikian sehingga apabila pemahaman akan ilmu pengetahuan, baik ilmu umum dan ilmu agama sudah tercapai, maka kekokohan pemikiran yang dimiliki akan semakin kuat. Dengan demikian, maka tidak akan mudah goyah dan terpengaruh terhadap pemahaman radikalisme sekaligus tindakan terorisme dan tidak menjadi penyebab lunturnya bhinneka tunggal ika sebagai semboyan Indonesia.

  • Mengatasi radikalisme dan terorisme di lingkungan kampus

Instrumen pertama menurut Profesor Firmanzah, Rektor Universitas Paramadina, adalah dengan instrumen instruksi.Maksudnya adalah ada struktur komando dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi kepada rektor di perguruan tinggi yang dilanjutkan kepada dosen terkait pencegahan gerakan radikal.Namun, instrumen ini tidak bersifat otoriter, melainkan mengedepankan dialog.

Instrumen kedua adalah pemilihan dan pembenahan kurikulum di kampus. Antara lain, kewarganegaraanm pancasila, serta bela negara. Instrumen ketiga adalah perlu diadakannya kegiatan-kegiatan di luar kelas yang bisa memperkuat persatuan dan kesatuan.Kegiatan ini bersifat lintas universitas dan didukung pula oleh pemerintah.Terakhir yaitu perlu adanya strategi budaya.Dengan memiliki modal besar berupa kearifan lokal, Indonesia mampu menjunjung tinggi toleransi dan kerukunan.

  • Menyaring informasi yang didapatkan

Menyaring informasi yang didapatkan juga merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme. Hal ini dikarenakan informasi yang didapatkan tidak selamanya benar dan harus diikuti, terlebih dengan adanya kemajuan teknologi seperti sekarang ini, di mana informasi bisa datang dari mana saja.

Sehingga penyaringan terhadap informasi tersebut harus dilakukan agar tidakmenimbulkan kesalahpahaman, di mana informasi yang benar menjadi tidak benar dan informasi yang tidak benar menjadi benar.Oleh karena itu, kita harus bisa menyaring informasi yang didapat sehingga tidak sembarangan membenarkan, menyalahkan, dan terpengaruh untuk langsung mengikuti informasi tersebut.

  • Mendukung gerakan BNPT lewat strategi kontra radikalisasi dan deradikalisasi

Kontra radikalisasi yakni upaya penanaman nilai-nilai ke-Indonesiaan serta nilai non-kekerasan melalui pendidikan formal ataupun informal.Deradikalisasi ditujukan untuk simpatisan, inti, militan, dan pendukung gerakan teror baik di dalam atau di luar lapas. Hal ini dilakukan agar mereka meninggalkan cara-cara kekerasan dan teror yang merugikan orang lain, serta menghilangkan paham radikal supaya sejalan dengan paham ideologi pancasila.

Demikian penjelasan artikel diatas tentang Pengertian Radikalisme – Ciri, Penyebab, Solusi, Contoh, Dampak semoga bisa bermanfaat bagi pembaca setia kami.

Mungkin Dibawah Ini yang Kamu Butuhkan

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề