Dalam ajaran Yoga Apakah yang dimaksud dengan Tuhan atau ide sanghyang Widhi wasa jelaskan

Dalam ajaran Agama Hindu, Catur Marga merupakan sebuah konsep ajaran yang termasuk bagian dari aspek Tattwa dalam kerangka dasar agama Hindu. Catur Marga berasal dari kata "catur" yang berarti empat dan "marga" yang berarti jalan. Catur Marga juga sering dikenal dengan sebutan Catur Marga Yoga. Catur Marga umumnya didefinisikan sebagai empat jalan untuk mencapai moksa dan membangun jagaddhita.[1] Catur Marga adalah empat tahapan berjenjang dalam mencapai pemahaman akan hakikat Tuhan, hakikat kesemestaan, hakikat bertingkah laku, ritual, dan pemahaman-pemahaman tentang pengetahuan hakiki lainnya.[2]

Catur Marga terdiri dari empat bagian, yakni:

Bhakti Marga Yoga

Bhakti Marga Yoga merupakan perpaduan antara kata Bhakti Marga dan Bhakti Yoga. Kata Bhakti berarti menyalurkan, mencurahkan, mempersembahkan, cinta yang tulus dan luhur kepada Tuhan, kesetiaan kepada-Nya, pelayanan, perhatian yang sungguh-sunggah untuk memuja-Nya, penyerahan diri seutuhnya pada Sang Pencipta. Kata Marga berarti jalan atau usaha dan kegiatan. Yoga berarti usaha untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. Bhakti Marga Yoga adalah jalan menuju Tuhan dengan cara menunjukkan bhakti kepada-Nya.

Bhakti Yoga adalah proses atau cara mempersatukan atman dengan Brahman dengan berlandaskan atas dasar cinta kasih yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi dan segala ciptaan-Nya.

Karma Marga Yoga

Karma Marga Yoga berasal dari akar kata “karma” yang artinya melakukan kegiatan atau kerja, demikianlah karma dalam hal ini berarti aktivitas/kegiatan untuk suatu tujuan. Karma Marga Yoga berarti usaha atau jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan melalui tindakan kerja yang tulus ikhlas. Karma Marga Yoga menekankan kerja sebagai bentuk pengabdian dan bhakti kepada Tuhan di dalam usaha mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin.

Landasan filosofis untuk melakukan karma marga untuk mencapai kebebasan adalah ketekunan melakukan kerja, keikhlasan, dan tidak terikat dengan hasil pekerjaan. Setiap perbuatan akan mendatangkan hasil sebagai hukum dari kerja, maka dengan perbuatan baik dan  melakukan kerja sesuai dengan swadarma maka seseorang akan memperoleh kebebasan. Hal yang penting untuk memahami Karma Marga Yoga adalah pengertian terhadap hakikat kerja. Seseorang dapat melepaskan diri dari keterikatan kerja hanya melalui keyakinan bahwa kerja yang dilakukan itu sebagai perwujudan bhakti kepada Tuhan maupun pengabdian kepada kemanusiaan, tanpa kesadaran itu seseorang tidak dapat melepaskan diri.

Jnana Marga Yoga

Jnana artinya pengetahuan sehingga Jnana Marga Yoga artinya usaha untuk menghubungkan diri dengan Tuhan melalui jalan pengetahuan. Pengetahuan yang ditekankan yaitu pengetahuan spiritual, yakni pengetahuan yang dapat membebaskan umat manusia dari belenggu penderitaan, lahir, dan kematian.

Jnana atau ilmu pengetahuan suci menuntun manusia untu bekerja tidak terikat oleh hawa nafsu, tanpa motif kepentingan pribadi, rela melepaskan hak milik, sadar bahwa badan bukan atma yang bersifat abadi. Walaupun banyak cara untuk mendekatkan diri dengan Tuhan seperti melalui persembahan harta benda, melalui tapa brata, melalui yoga, dsb. Namun dengan jalan ilmu pengetahuan [kerohanian] lautan dosa dapat diseberangi, dengan pikiran terpusat pada ilmu pengetahuan dan melaksanakan kerja dengan penuh keyakinan [sradha] seseorang mencapai kesempurnaan.

Raja Marga Yoga

Raja Marga Yoga adalah jalan atau usaha tertinggi untuk menghubungkan diri dengan Tuhan melalui jalan melakukan Yoga. Raja Marga memerlukan pengendalian diri, disiplin diri, pengekangan dan penyangkalan terhadap hal-hal yang bersifat keduniawian. Raja Marga Yoga adalah suatu jalan mistik [rohani] untuk mencapai kelepasan atau moksa. Melalui jalan ini seseorang akan lebih cepat mencapai moksa, tetapi tantangan yang dihadapinya pun lebih berat, orang yang mencapai moksa dengan jalan ini diwajibkan mempunyai seorang guru kerohanian yang sempurna untuk dapat menuntun dirinya ke arah tersebut.

  1. ^ Nala, Dr. I. Gst. Ngurah; Wiratmadja, Drs. I. G. K. Adia [1991]. Murddha Agama Hindu. Denpasar: PT. Upada Sastra. hlm. 150.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan [bantuan]
  2. ^ Jayendra, Putu Sabda [2017]. "AJARAN CATUR MARGA DALAM TINJAUAN KONSTRUKTIVISME DAN RELEVANSINYA DENGAN EMPAT PILAR PENDIDIKAN UNESCO". Jurnal Penelitian Agama. III [1]: 73.  line feed character di |title= pada posisi 50 [bantuan][pranala nonaktif permanen]
  3. ^ Sutarti, Titin [2019]. "Menghayati Ajaran Hindu Ke Dalam Diri". Widya Aksara Jurnal Agama Hindu. 24 [1]: 9–10. 

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Catur_Marga&oldid=19490091"

I Wayan Budi Utama

Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia

Denpasar

e-mail:

I.Pendahuluan

Aktivitas Yoga Asana saat ini dapat dikatakan menjamur d Indonesia khususnya Bali. Fenomena Yoga sebagai aktivitas olah tubuh yang menjamur saat ini menjadi menarik untuk diteliti, karena telah terjadi pembacaan dan penafsiran terhadap Yoga yang pada awalnya adalah sebuah sistem filsafat Hindu, kemudian bergerak menjadi semacam gaya hidup [lifestyle] pada beberapa kelompok masyarakat dewasa ini. Yoga adalah salah satu sistem filsafat Hindu yang didirikan oleh Maharsi Patanjali, dengan tujuan untuk mengendalikan aktivitas pikiran dan merupakan media untuk menyatukan roh pribadi dengan roh tertinggi yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Yoga dapat dikatakan lebih ortodoks dari filsafat Samkhya karena Yoga langsung mengakui keberadaan Iswara atau Purusa istemewa yang tak tersentuh oleh kemalangan, penderitaan, kerja keinginan dan sebagainya. Patanjali mendirikan sistem filsafat Samkhya dan menerima 25 prinsip atau Tattwa dari Samkhya [Maswinara, 1998:52].

Dalam mempersiapkan fisik agar memudahkan upaya pendekatan diri kepada Yang Maha Suci, Yoga mengajar cara latihan fisik yang disebut Asana. Asana adalah sikap badan yang nyaman dan mantap, yang merupakan persiapan fisik dalam membantu konsentrasi pikiran. Inilah yang kemudian melahirkan berbagai bentuk gerakan tubuh yang dikenal dengan istilah Yoga Asana.

Kegiatan Yoga Asana [lebih sering hanya disebut Yoga] belakangan ini semakin marak di masyarakat khususnya di Denpasar dan Ubud serta beberapa kota di Bali. Berbagai bentuk sanggar yang mengajarkan Yoga bermunculan. Kegiatan Yoga massal juga dilakukan di lapangan Puputan Renon setia hari minggu sore. Hasil penjajagan di daerah Ubud, aktivitas Yoga ini selain diikuti oleh masyarakat lokal juga diminati oleh masyarakat manca negara. Dapat dikatakan bahwa saat ini Yoga telah menjadi semacam gaya hidup bagi sekelompok orang, sehingga dengan demikian fenomena ini menjadi menarik untuk diteliti.

Didalamnya tidak hanya terkandung niat untuk mendapatkan jalan bagi upaya pendekatan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa sesuai dengan hakikat Yoga yang sesungguhnya, namun kini telah menjadi semacam gaya hidup yang mewabah dalam masyarakat. Gejala bahwa Yoga kini telah bergerak menuju gaya hidup diindikasikan juga oleh kehadiran bintang sinetron yang bertindak sebagai instruktur yoga di lapangan Niti Mandala Renon pada tanggal, 1 Nopember 2015. Para pesertanya membludak meskipun dikenai biaya Rp. 35.000,00 per orang dan memberikan satu kaos oblong. Pada akhir acara dilakukan undian berupa door prize kepada para peserta dengan hadiah sebuah sepada motor.

Tulisan ini dimaksudkan untuk menganalisis tentang perubahan Yoga dari sistem spiritual menjadi gaya hidup yang dianalisis dengan pendekatan sosiologi dengan teknik analisis bersifat deskriptif interpretatif.

1.2 Pembahasan

1.2.1 Ideologi Pasar sebagai Pemicu Bergesernya Yoga menjadi Gaya Hidup

Praktik Yoga yang berkembang masif dewasa ini telah menjadi industri yang besar di seluruh dunia. Berbagai institusi, pusat-pusat atau studio Yoga tumbuh demikian cepat. Tarif per sekali kegiatan atau per program bervariasi antara studio satu dan yang lainnya disesuaikan dengan format dan goal-nya masing-masing.

Latihan Yoga dilakukan dalam jadwal tertentu disesuaikan dengan padatnya kelas. Tidak sedikit sebuah studio Yoga mengambil lebih dari lima kelas sehari sehingga kegiatan dilaksanakan pada pagi, siang, sore dan malam hari. Seperti misalnya studio-studio Yoga yang tumbuh dan berkembang di Ubud, Yoga dilaksanakan dengan jadwal yang ketat.

Industri Yoga ini pun berkembang bersama dengan branding institusi mereka masing-masing. Semakin bagus pemasaran yang mereka lakukan terhadap produknya, maka semakin laku mereka di pasaran. Sebagai konsekuensinya, produk tersebut menjadi diminati dan diikuti oleh banyak orang. Apalagi jika produk tersebut terbukti bermanfaat sesuai dengan konten Yoga yang dipasarkan. Berdasarkan kemanfaatannya, institusi itu pun mampu berkembang dan menyebar ke berbagai Negara. Beberapa institusi Yoga bahkan memiliki ribuan center yang tersebar di lebih dari ratusan Negara, seperti Vihanggam Yoga, Iyengar Yoga dan yang lainnya.

Dari perkembangan tersebut, beberapa praktisi ahli melihat bahwa perkembangan tersebut, di samping bermanfaat langsung terhadap kesehatan dan berbagai tujuan khusus yang diinginkan dalam praktik Yoga, juga dikhawatirkan akan melenceng dari pakem awal mengenai tujuan sejati dari Yoga itu sendiri. Di sini Yoga yang merupakan jalan pembebasan spiritual, berubah menjadi sebuah produk yang bisa dipasarkan.

Sebagaimana diketahui runtuhnya feodalisme Inggris dan munculnya kapitalisme dipandang sebagai sebuah titik dari munculnya budaya pasar, yaitu sebuah sistem yang didasarkan pada uang dan keuntungan, sehingga konsumsi menjadi terpisah dari kebutuhan-kebutuhan sederhana dan muncul sebagai aspek penting dari aktivitas manusia. Bagi Marx dan Frederick Engels, transisi dari feodalisme ke kapitalisme adalah suatu trasisi dari produksi yang digerakkan oleh kebutuhan menuju produksi yang digerakkan oleh keuntungan.

Dengan kata lain konsumsi menjadi menjadi semacam pencarian identitas, namun ini selalu lebih dari sekadar sebuah pengganti yang palsu [sebuah objek pemujaan]. Selain itu proses tersebut didorong oleh apa yang disebut ideologi konsumerisme- sugesti bahwa makna kehidupan kita harus kita temukan pada apa yang kita konsumsi, bukan pada apa yang kita hasilkan. Jadi, ideologi tersebut melegitimasi dan mendorong perhatian terhadap pengerukan keuntungan oleh kapitalisme [sebuah sistem yang menuntut konsumsi yang senantiasa meningkat terhadap barang-barang].

Menurut pandangan Marcuse ideologi konsumerisme mendorong kebutuhan palsu dan bahwa kebutuhan ini bekerja sebagai satu bentuk kontrol sosial. ‘ Orang-orang  itu mengenali diri mereka di dalam komoditas mereka; mereka menemukan jiwa mereka di dalam mobil, perangkat hi-fi, rumah bertingkat, perlengkapan dapur. Mekanisme itu sendiri, yang mengikatkan individu pada masyarakatnya, telah berubah; dan kontrol sosial dilabuhkan pada kebutuhan-kebutuhan baru yang telah dihasilkan. Jadi menurut Marcuse, pengiklan mendorong kebutuhan palsu-misalnya, keinginan menjadi untuk menjadi jenis orang tertentu, mengenakan tipe pakaian tertentu, memakan macam makanan tertentu, meminum minuman khusus, menggunakan barang-barang khusus, dan seterusnya [Storey, 2007:145].

Menurut Simmel, mengonsumsi berarti mengartikulasikan suatu rasa identitas dan perbedaan untuk menciptakan ‘pembedaan’ [Storey, 2007:148]. Dalam pandangan Marx gagasan-gagasan yang dominan dalam masyarakat adalah gagasan yang dirumuskan oleh kelas penguasa untuk mengamankan kekuasaannya [Strinati, 2009:297]. Kelas penguasa ini mengkonstruk dan menyebarluaskan gagasan-gagasan yang menyelamatkan kekuasaannya karena mereka mendominasi pemikiran masyarakat.  Sebuah ideologi dominan, ideologi kelas penguasa, membuat kelas penguasa berkuasa dengan cara mengendalikan kesadaran kelas pekerja maupun kelompok-kelompok di luar kelas penguasa yang menganut gagasan-gagasan tersebut.

Jika kita hubungkan dengan praktik industri Yoga selama ini, bisa dikatakan bahwa ajaran Yoga telah diseret ke dalam budaya pasar. Mereka yang mengikuti latihan dan praktif Yoga tidak semata-mata ingin mencari pembebasan spiritual melalui olah tubuh dan konsentrasi, melainkan kebutuhan akan konsumsi [baca; budaya konsumen]. Mereka menemukan jiwa dan diri mereka dalam aktivitas-aktivitas konsumsi termasuk mengikuti latihan Yoga Asana, seperti yang disampaikan Simmel, mengkonsumsi berarti pula mengartikulasikan sebuah rasa identitas. Akibatnya, mengikuti latihan Yoga bukan untuk memasuki dimensi spiritual yang ditawarkan, namun sebagai ruang konsumsi masyarakat kelas menengah. Jadi yang diperlukan bukan hanya kebutuhan akan spiritual, tetapi juga simbolisasi untuk mengidentifikasikan diri mereka. Hal ini pun diakui oleh Luh Sukiari seorang instruktur Yoga di Denpasar.

“Memang motivasi mereka belajar Yoga Asana berbagai macam. Tapi lebih banyak untuk ketenangan dan kedamaian hidup. Mereka menemukan itu dalam Yoga. Mereka mengikuti Yoga juga karena promosi manfaat Yoga selama ini. Memang yang ikut kebanyakan masyarakat kelas menengah kota”. [Wawancara 12/09/2016].

Dari pernyataan di atas dapat dijelaskan bahwa, motivasi kelas menengah perkotaan mengikuti praktik Yoga Asana sangat dipengaruhi oleh branding dan promosi Yoga melalui berbagai macam saluran media. Tidak sedikit iklan-iklan menyajikan promosi Yoga dengan menawarkan berbagai macam manfaat sesuai kebutuhan masyarakat. Pemasaran Yoga melalui iklan dan baliho ini menjadi strategi untuk merekrut peserta-peserta baru. Hal ini sejalan dengan gagasan Martin dan Schumann [2004:33]  yang mengatakan bahwa pada era globalisasi ini iklan memainkan peranan penting dalam merangsang daya konsumsi manusia akan barang ataupun jasa.

Sahlin [dalam Lury, 1998] mengatakan bahwa kuatnya hasrat masyarakat untuk mengkonsumsi barang atau jasa yang bernilai modern tidak semata-mata karena masyarakat terjerat pada budaya tontonan [yakni masyarakat tidak hanya suka menonton, tetapi juga ditonton oleh orang lain] melainkan sering pula disertai dengan pemaknaan barang buatan pabrik sebagai totem. Artinya, masyarakat membeli, memakai, atau mengonsumsi suatu barang atau jasa tidak semata untuk menghabiskan nilai guna [nilai utilitas] akan tetapi dipakai pula untuk mengkomunikasikan identitas sosialnya, simbol status dan sekaligus untuk mengidentifikasikan dirinya berbeda dari kelompok masyarakat kebanyakan.

Hal ini sejalan pula dengan gagasan Durkheim [dalam Atmadja, 2010:103] bahwa barang yang dibeli bukan sekadar merk, melainkan juga sebagai simbol atau mirip dengan lencana yang mengikat dan sekaligus membedakan konsumennya dari kelompok sosial lainnya. Dalam konteks ini dapat dicontohkan pakaian misalnya, secara faktual pakaian merupakan seperangkat objek materiil untuk membuat pemakainya merasa hangat, nyaman, dan terhindar dari teriknya matahari di siang hari dan dinginnya hembusan angin di malam hari.

Akan tetapi di era sekarang pakaian tidak lagi hanya dimaknai sebatas pelindung tubuh manusia dari teriknya matahari dan dinginnya hembusan angin, melainkan pakaian juga dimaknai sebagai kode simbolik, yang digunakan oleh pemakainya untuk mengkomunikasikan keangotaan mereka dalam suatu kelompok sosial tertentu.

Dari pandangan tersebut bila dikaitkan dengan tingginya minat kelas menengah urban dalam mengikuti praktik Yoga, bahwa praktik Yoga Asana tidak hanya dipahami sebagai ajaran dalam memasuki dunia spiritualitas, melakukan penyatuan dengan ilahi, melainkan dimaknai sebagai kode dan aktivitas simbolik untuk menunjukkan identitas diri mereka di masyarakat. Dalam artian motivasi orang mengikuti Yoga memang cenderung pada hal-hal yang pragmatis, yang salah satunya adalah menunjukkan daya konsumsi.  Hal ini sejalan dengan pandangan Judith Wiliamsons [dalam Piliang, 2003:148] yang mengatakan  bahwa dalam masyarakat kapitalis, terjadi proses konsumsi secara berlebihan yang menurutnya disebut masyarakat konsumer.

            Lebih lanjut menurut Wiliamsons dalam masyarakat konsumer semacam itu, konsumsi tidak hanya dimaknai sebagai upaya untuk menghabiskan nilai utilitas, tetapi konsumsi juga dipandang sebagai reprentasi kekuasaan, khususnya di dalam hal mengontrol objek-objek. Artinya, ketika seseorang mengonsumsi sesuatu, maka objek yang dikonsumsi dimuati oleh makna-makna yang digunakan untuk mengkomunikasikan atau menandai kekuasaan atau kelas tertentu.

Selain itu, masyarakat tidak hanya mengonsumsi sesuatu berdasarkan nilai guna, akan tetapi berubah menjadi consumer, yakni  mengonsumsi sesuatu, selain untuk menghabiskan nilai guna juga karena muatan nilai simbolik [status sosial, kelas, gengsi, dan prestise] pencitraan diri agar penampilan enak ditonton oleh orang lain [Piliang, 1998]. Di sini pasar dengan mekanisme produksi dan pencitraan media memainkan peran penting menjadikan Yoga Asana sekadar sebagai gaya hidup kelas menengah kota. 

Menurut Abdullah [2006:111] dalam masyarakat yang berorientasi pada pasar, maka cara pandang terhadap dunia [seperti juga terhadap agama] mengalami pergeseran. Agama dalam hal ini bukan merupakan sumber nilai dalam pembentukan gaya hidup, tetapi lebih sebagai instrumen bagi gaya hidup itu sendiri. Misalnya naik Haji tidak lagi sebagai perjalanan spiritual semata, tetapi pula telah menjadi ’produk’ yang dikonsumsi dalam rangka ”identifikasi diri” yang disebut Friedman sebagai bentuk culture strategy of self definition. Dengan demikian agama seperti barang-barang seni telah diambil alih oleh pasar untuk dikelola sedemikian rupa.

Begitu pula jika dihubungkan dengan praktik-praktik industri Yoga yang telah berkembang pesat di Bali selama ini. Mereka membuka jasa latihan Yoga dengan tarif tertentu yang besarannya tentu disesuaikan dengan kantong-kantong kelas menengah kota. Bahkan ada yang senilai 8 juta sampai mahir. Bila perlu mereka mendatangkan seorang selebritis papan atas untuk menjadi salah satu instruktur Yoga. Pada salah satu televisi lokal Bali  pernah diiklankan kegiatan Yoga dengan mendatangkan aktor Anjasmara.

Kegiatan Yoga tersebut melibatkan beberapa sponsor perusahaan swasta yang tururt mengiklankan branding produk masing-masing. Di sini bisa dikatakan, ajaran Yoga diseret ke wilayah pasar dengan bantuan pencitraan media elektronik. Dalam teknik pencitraan media audio-visual, bukan ajaran Yoga saja yang ingin ditampilkan di situ, melainkan juga sponsor kapitalis di belakanganya. Artinya Yoga dimainkan untuk kepentingan-kepentingan kapitalistik.

Selain itu, pelibatan selebritis juga menunjukkan bahwa Yoga berlaku universal dan tidak lagi ’terkurung’ dalam bingkai-bingkai partikular agama. Kehadiran selebritis merupakan bentuk strategi ’pemasaran’ untuk menarik peminat-peminat baru.  Dalam artian, Yoga sudah menjadi bagian gaya hidup selebritis – tidak lagi hanya menyangkut urusan spiritualitas semata.

Ajaran Yoga pun tidak lagi dianggap produk spiritualitas yang sakral, namun juga bisa dieksploitasi untuk kepentingan-kepentingan pasar. Motif lain yang ditemukan adalah orang mengikuti latihan Yoga dengan tujuan bisa menjadi instruktur Yoga sehingga bisa digunakan untuk mencari keuntungan ekonomis. Mereka membaca potensi ’pasar’ studio-studio Yoga di tengah patologi-patologi sosial dan psikis  masyarakat kota. Maka tidak heran jika peserta pelatihan-pelatihan Yoga ini memang dominan kelas menengah kota, sebagaimana diungkapkan salah satu narasumber instruktur A.A Raka.

”Saya mengajar Yoga di beberapa tempat seperti di Denpasar, Badung dan Ubud Gianyar. Kebanyakan peserta Yoga memang adalah kaum kelas menengah. Mereka memiliki berbagai macam masalah, dari masalah kesehatan sampai pada problem psikis. Ada juga yang ingin belajar Yoga untuk kelak menjadi instruktur Yoga. Setelah mereka mahir, mereka ikut mengajar yoga di hotel-hotel”. [wawancara 12/09/2016].

Dari pernyataan di atas dapat dijelaskan bahwa, keikutsertaan dalam latihan Yoga memang lebih banyak kelas menengah. Mereka membawa berbagai macam motif yang cenderung pragmatis dan berorientasi pasar. Selain itu Yoga seperti menjadi rutinitas kelas menengah di tengah keriuhan dan kejenuhan hidup di tengah kota. Jadi sangat memungkinkan jika latihan Yoga bagian dari pembentukan gaya hidup kelas menengah urban kota.

Mereka meyakini jika keikutsertaannya dalam pelatihan Yoga mampu mengatasi segala problem kehidupannya secara instan di kota selama ini. Mereka juga mendapatkan ’kepuasan’ akan hasrat konsumsi di tengah kepungan budaya pasar. Jadi bisa dikatakan, latihan Yoga menjadi salah satu instrumen pembentukan gaya hidup masyarakat kota. Meminjam istilah Piliang, gejala ini merupakan ekstase konsumsi masyarakat kota. Menurut Abdullah [1006:32] proses konsumsi merupakan instrumen yang signifikan untuk menjelaskan gaya hidup. Tingkah laku konsumsi merupakan penanda identitas simbolik. Proses konsumsi simbolis merupakan tanda penting dari pembentukan gaya hidup di mana nilai-nilai simbolis dari suatu produk dan praktek telah mendapat penekanan yang lebih besar dibandingkan dengan nilai kegunaan dan fungsional. Maka dalam aktivitasnya, dimensi spiritualitas dari ajaran Yoga jadi terpinggirkan.

Pada abad 21 ini yoga hadir sebagai salah satu bentuk exercise yang makin marak ditemukan di pusat-pusat kebugaran. Masyarakat dari berbagai lapisan strata sosial berbondong-bondong datang menghadiri kelas yoga. Motif dasar mereka pada umumnya sama. Semua ingin mendapatkan efek kesehatan yang diperoleh ketika melakukan gerakan-gerakan yoga [Annunaki, 2010].

Sekarang hampir semua orang di planet ini tentu pernah mendengar tentang yoga dan seiring dengan makin maraknya orang yang beryoga, liputan serta pemberitaan tentang Yoga, maka informasi yang benar tentang apa itu yoga makin mudah diperoleh. Begitu pula dengan informasi mengenai dampak dari yoga terhadap kesehatan.

Jika menggunakan mesin pencari di internet untuk topik ‘yoga dan kesehatan’ maka muncul banyak sekali entry mengenai jurnal-jurnal medis bergengsi yang membahas topik tersebut. Di bawah kacamata ilmu kedokteran, Yoga tengah mendapatkan banyak penelitian dan para scientist mendapatkan hasil yang memuaskan.

Di tengah kehidupan modern masyarakat kota yang carut marut, maka kebutuhan akan kesehatan menjadi hal yang penting. Di sini Yoga dianggap menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi persoalan-persoalan kesehatan tersebut. Maka tidak heran saat ini, pada studio-studio Yoga motivasi orang untuk ikut latihan Yoga bukanlah semata-mata ingin mendapatkan pencerahan rohani melainkan untuk kesehatan dan kebugaran tubuh. Apalagi, masyarakat kota mengalami kerentanan diserang berbagai macam gangguan penyakit akibat pola konsumsi dan sesaknya situasi sosial yang berakibat pada tingginya tingkat stress dan frustasi masyarakat.

Pada titik ini, Yoga menawarkan solusi-solusi jitu yang dipercaya mampu mengatasi krisis kesehatan yang dialami masyarakat kota, baik itu kesehatan fisik maupun psikis. Berkaitan dengan hal tersebut, maka istilah “gerakan hidup sehat” pun menjadi motto atau ‘ritual’ masyarakat kelas menengah kota yang kemudian membentuk gaya hidupnya. Gerakan hidup sehat ini tidak hanya dipresentasikan dalam bentuk mengubah pola konsumsi, melainkan juga mengikuti latihan-latihan fisik yang salah satunya adalah Yoga. Dari sini, esensi dan pakem Yoga pun disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kelas menengah kota.

Sebagaimana diketahui, Yoga berasal dari bahasa sansekerta yang berarti penyatuan, yaitu penyatuan dengan alam atau penyatuan dengan sang pencipta. Yoga merupakan ajaran dari filsafat Hindu yang menitikberatkan pada meditasi. Namun Yoga pada abad ke-20 ini bukan hanya sekadar meditasi tetapi juga menjadi gerakan-gerakan olahraga. Yoga memusatkan olahraga pada pernafasan, stretching, kelenturan, yang dianggap dapat menenangkan pikiran dan menghilangkan stres. Selain itu, dipilihnya Yoga sebagai alternatif penyembuhan lantaran dipercaya menawarkan sebuah sensasi atau ‘keajaiban’ pengobatan yang tidak didapat dalam pengobatan medis. Berikut pengakuan seorang rohaniawan untuk kelompok Yoga di Ubud bernama Putu Suyoga soal motivasi orang ikut latihan Yoga. 

“Yang saya ketahui dan berdasarkan pengalaman, kebanyakan orang mengikuti latihan-latihan praktik Yoga karena mereka punya latar belakang penyakit tertentu. Ada juga yang ingin mencegah diserang penyakit tertentu. Jadi motifnya sebenarnya sama. Motivasi mereka ikut latihan Yoga juga untuk kesehatan fisik. Bukan hanya untuk mencari pencerahan bathin. Apalagi sebenarnya yang penting dari Yoga kan meditasi dan  pemusatan pikiran yang membawa kita dalam suasana hening dan spiritual, tapi kebanyakan mereka lebih senang dengan gerakan-gerakan fisik yang ringan seperti Surya Namaskar dan Hatha Yoga. Jadi mereka ikut Yoga murni karena motivasi gaya hidup sehat itu”. [wawancara 10/09/2016].

            Pengakuan yang sama juga disampaikan seorang instruktur Yoga yang sudah sering mengajar di hotel-hotel yakni Luh Sukiari sebagai berikut.

“Yang saya ketahui motivasi murid-murid kami mengikuti Yoga memang dominan untuk kesehatan fisiknya. Mereka ada yang sudah menderita penyakit tertentu. Cita-cita mereka ikut latihan Yoga Asanya ya untuk kesembuhan itu. Ya bisa dikatakan karena alasan pragmatis. Ada juga peserta Yoga yang divonis tidak bisa sembuh, akhirnya mereka merasa memiliki harapan sembuh ketika mengikuti Yoga. Di sini Yoga memang dianggap menjanjikan kesehatan bagi mereka”. 

            Dari pernyataan narasumber di atas dapat dipahami bahwasannya motivasi orang mengikuti pelatihan Yoga murni karena kebutuhan akan kesehatan, bukan kebutuhan akan spiritualitas. Dalam imaji masyarakat kota, dengan mengikuti pelatihan Yoga, berbagai persoalan kesehatan yang mereka alami dapat disembuhkan. Kendati kebenaran ini bisa dipertanyakan atau mungkin diperdebatkan secara medis, namun konstruksi kesadaran mereka akan manfaat Yoga sudah terbentuk demikian. Di sini dapat dipahami jika Yoga menjadi harapan kesehatan masyarakat kota.

Sebenarnya hal ini bisa dibaca sebagai retradisionalisasi atau renaturalisasi – masyarakat merindukan hal-hal yang berbau tradisional dan natural tinimbang yang kimia modern sebagaimana dalam pengobatan medis. Kejenuhan mereka akan hal-hal yang berbau modern disebabkan karena dianggap tidak mampu memberikan harapan kesehatan dan memiliki resiko yang lebih besar. Berbeda halnya dengan pengobatan tradisional.

Mungkin inilah sebab saat ini kembali marak munculnya pengobatan-pengobatan herbal natural dalam kehidupan masyarakat kota. Begitu pula dengan Yoga menjadi salah satu solusi di tengah keputusasaan. Mereka memiliki harapan bisa hidup sehat dan panjang umur. Berangkat dari sini, maka Yoga pun menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat kelas menengah kota.

Padahal jika dilihat esensi dari ajaran Yoga adalah untuk penyatuan diri dengan Tuhan. Yoga adalah penyatuan, yaitu penyatuan antara jiwa spiritual  individu dengan jiwa universal. Yoga mencita-citakan pengalaman spiritual bagi para praktisinya. Arti lain Yoga adalah pelepasan dari segala ikatan duniawi [Surada, 2016:45].

Vivekananda [2008: 187] menyatakan bahwa dalam latihan yoga harus memenuhi tiga syarat, yaitu 1] melepaskan semua kesenangan duniawi, 2] memiliki keinginan kuat dan kebenaran dan 3] menjaga pikiran yag berkelana, menjaga indera, mengalihkan pikiran ke dalam, menderita tanpa mengeluh, menguatkan pikiran akan ide tertentu dan berfikir selalu tentang sifat. Dari pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa Yoga mengutamakan tujuan-tujuan yang bersifat spiritual yang supraduniawi, bukan untuk cita-cita keduniawian. Namun faktanya, masyarakat atau peserta Yoga cenderung mengikuti Yoga untuk tujuan-tujuan duniawi termasuk agar memperpanjang umur. Di sini bisa dilihat telah terjadi kontekstualisasi dan redefinisi makna Yoga dari spiritualitas menjadi sekadar gaya hidup sehat.

Namun demikian, kontekstualisasi Yoga sesuai dengan kebutuhan manusia modern juga dilakukan oleh para penekun Yoga itu sendiri. Dr. Somvir misalnya, dalam salah satu artikelnya di proseding seminar nasional; Kemanfaatan Latihan Fisik dalam Meningkatkan Kesehatan Jasmani dan Rohani menuju Kesempurnaan Hidup, ia menyatakan betapa pentingnya Yoga digunakan untuk mengatasi segala jenis penyakit. 

Menurut Somvir [2016:5], jutaan orang yang mengalami penyakit menahun, akibat salah makan, diet tak seimbang, terlalu banyak bekerja, kelelahan, susah tidur yang tak mampu disembuhkan di rumah sakit atau di dokter, dengan yoga bisa diatasi secara tuntas.  Yoga menciptakan  keselarasan antara tubuh, pikiran, dan jiwa. Dari segi kesehatan, latihan yoga ini dapat memperlancar peredaran darah, distribusi udara yang diperlukan tubuh, mencegah, bahkan menyembuhkan beberapa jenis penyakit.

Manfaat yang terpenting adalah dapat menjaga kondisi fisik maupun pikiran senantiasa dalam  keadaan sehat dan bahagia serta meningkatkan daya tahan tubuh menghadapi perubahan cuaca, maupun menahan lapar, dan haus. Latihan yoga sangat penting dari sudut pandang fisik, mental, dan spiritual. Dengan memahami yoga yang diperkenalkan dalam Patanjali, yaitu Astangga Yoga atau eight fold path, seseorang akan menjadi sehat secara fisik, mental, dan moral.

            Selain itu Somvir juga menjelaskan bahwa dalam Yoga terdapat rahasia hidup sehat dan panjang umur. Menurutnya, jika pernafasan dikembangkan melalui latihan pranayama maka akan bisa membuat umur panjang. Dan apabila menarik nafas lebih banyak dari 21.600 per hari maka umur akan semakin pendek, dalam filsafat yoga dikatakan: selama tidak mengerti tentang sistem pernafasan sebagaimana mestinya, orang tidak akan bisa hidup sehat dan berumur panjang. Latihan pernafasan tidak hanya penting untuk tubuh melainkan juga membantu meningkatkan ketenangan pikiran. Berikut pernyataannya.

“Jika seseorang ingin hidup damai, ia harus melatih pernafasannya. Pada jaman sekarang, dimana hidup penuh dengan tekanan, harus ingat dengan ritme pernafasaan. Jangan terjebak dengan kehidupan yang penuh dengan stress, yang sebenarnya bisa mengatakan, pranayama adalah bagian penting ke empat dari yoga. Tanpa mendalami latihan pranayama seseorang tak kan mampu membersihkan dan menjermihkan tubuh dan pikirannya”.

Dikatakan pula bahwa yoga adalah pembatasan pikiran yang selalu bergerak. Ini sebuah fakta yang mengejutkan bahwa sebagian besar orang di seluruh dunia menderita tekanan mental, kecemasan, depresi, frustasi, dan dari jumlah tersebut sebagian besar diantaranya tidak mau pergi ke dokter atau berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater, sedangkan mereka yang memilih pergi ke dokter dianjurkan untuk minum obat pengurang rasa sakit dan obat penenang sepanjang hidup mereka sehingga  terancam  efek  samping  pengaruh  obat  tersebut.  Di sini Dr Somvir menawarkan untuk melakukan Yoga.

Kontekstualisasi Yoga dalam kehidupan kekinian juga dilakukan dengan mensistematisasi gerakan-gerakan Yoga yang disesuaikan dengan manfaatnya dalam kesehatan tubuh. Jenis-jenis yoga berdasarkan manfaatnya [Amadea, 2016: 12].

Yoga ini adalah jenis yang paling mudah, cocok untuk para pemula. Gerakannya pun lembut dan halus, serta memiliki fokus gerakan pada bagaimana caranya agar Anda dapat bernafas dengan benar sambil melakukan yoga.

Yoga ini biasa disebut hot slimming yoga class, cocok untuk mereka yang ingin menurunkan berat badan. Gerakan-gerakannya hampir sama dengan hatha yoga, hanya saja dilakukan dalam ruangan panas bersuhu 70 derajat fahrenheit layaknya sedang melakukan sauna. Selain itu fungsinya untuk mengendurkan otot-otot yang tegang.

Core yoga banyak dianggap sebagai jenis yoga terberat. Gerakan-gerakan yang dilakukan cukup terbilang ekstrem, dan berfokus pada perut. Untuk mengikuti kelas core yoga, seseorang harus sudah mahir dalam melakukan gerakan pada kelas hatha yoga. Yoga jenis ini cocok untuk mereka yang ingin mengecilkan perut.

Power yoga menjadi versi terberat yang melakukan gerakan-gerakan lebih ekstrem dan menantang lagi. Dibutuhkan keseimbangan dan kelenturan tubuh. Gerakannya seperti sedang melakukan circus yoga. Gerakannya pun cepat dan agresif, fungsinya untuk membangun kekuatan dan daya tahan tubuh.

Yoga dapat bersifat therapeutic bagi penyakit-penyakit diatas jika dipraktikkan sesuai dengan prinsip berikut [Annunaki, 2010]:

  1. Dilakukan secara teratur. Berlatih yoga secara teratur membantu meregangkan dan menguatkan otot, melenturkan persendian dan menguatkan tulang serta menstimuli pengeluaran hormon secara teratur.
  2. Bernafas dalam. Teknik pernafasan yoga meningkatkan kapasitas paru-paru agar proses pernafasan menjadi optimal. Teknik pernafasan yoga juga membantu menguatkan organ tubuh bagian dalam dan meningkatkan kemampuan tubuh untuk relaks.
  3. Pola makan seimbang. Pola makan yang seimbang dan memenuhi asupan gizi bagi tubuh akan meningkatkan kesehatan saecara holistik.
  4. Istirahat yang cukup. Penting sekali menjaga keseimbangan antara bekerja dan beristirahat agar kesehatan tubuh selalu dalam kondisi yang prima.
  5. Berpikir positif. Pikiran/bathin juga harus selalu diberikan input yang positif agar aspek mental dan emosional terjaga kesehatannya. Terdapat korelasi antara pikiran dan tubuh. Pikiran-pikiran positif amat membantu proses pemulihan tubuh dari penyakit.

Pensistematisasian dan kontekstualisasi Yoga yang disesuaikan dengan kebutuhan kesehatan masyarakat memang sedang marak dilakukan saat ini. Secara tidak langsung, upaya kontekstualisasi dan redefinisi tujuan Yoga ini justru dilakukan oleh tokoh-tokoh dan praktisi Yoga. Hal ini akan berdampak pada semakin praktis dan pragmatisnya orang-orang yang mengikuti pelatihan Yoga.  Seperti yang dijelaskan beberapa narasumber di atas bahwa motivasi orang mengikuti pelatihan Yoga murni kebutuhan akan kesehatan dan kebugaran tubuh. Di sini bisa ditegaskan bahwa kontekstualisasi Yoga dengan kebutuhan masyarakat akan kesehatan menjadi salah satu pemicu terjadinya pergeseran makna Yoga dari spiritualitas menjadi sekadar gaya hidup sehat.

Pergeseran makna Yoga dari spiritualitas menjadi gaya hidup tidak bisa dilepaskan dari peran budaya massa [mass culture]. Dalam budaya massa, individu tenggelam dalam dominasi konsumsi atau ‘hasrat’ massal. Mereka tidak bisa menjadi persona autentik – yang menentukan sendiri arah tujuan hidup. Budaya massa menyeret persona-persona dalam lautan kolektif, sehingga aktivitas manusia sangat ditentukan oleh suara-suara massal.

Secara sederhana bisa dijelaskan bahwa seseorang mengikuti aktivitas tertentu bukanlah karena panggilan nurani, melainkan gebyar-gebyar  massal. Individu merasa hadir dalam momen-momen kolektif tersebut. Dalam budaya massa individu bisa dikatakan telah mati. Dalam pandangan posmo, budaya massa ini turut ambil andil dalam pembentukan gaya hidup masyarakat khususnya masyarakat kota.

Jika diparalelkan dengan gejala riuh-guyubnya orang mengikuti Yoga selama ini, tidak bisa dilepaskan dari budaya massa ini. Apalagi tidak jarang aktivitas Yoga diadakan secara massal dan terbuka untuk publik. Seperti halnya yang pernah terjadi di Bajra Sandhi Lapangan Niti Mandala Renon. Pada bulan Juni tahun 2015 lalu diadakan Yoga massal berkenaan dengan Hari Yoga Internasional.

Sebanyak 3600 peserta dari berbagai kalangan ikut dalam aktivitas Yoga ini, termasuk juga kampus-kampus agama. Aksi Yoga massal dengan ribuan peserta ini pun dihadiahi MURI oleh Museum Rekor Indonesia. Di sini bisa dilihat, orang mengikuti Yoga bukan untuk pencapaian spiritual, tetapi ekstase massal yang dibungkus melalui ‘gerakan hidup sehat’ atau peringatan Yoga Internasional. Tujuan dari diadakan Yoga massal ini pun untuk mencetak MURI.

Pagelaran Yoga massal juga pernah diadakan pada 19 Juni 2016 dengan mendatangkan langsung Duta Besar Hari Yoga Sedunia Nenghca Lhoumvum dan atlet binaragawan Ade Rai. Acara Yoga massal ini juga dihardiri wakil Gubernur Ketut Sudikerta dan puluhan ribu peserta. Tempat dilaksanakan kegiatan ini pun sama yakni di Bajra Sandhi Renon. Jadi di sini yang terpenting bukan hanya aktivitas Yoga itu, melainkan ekstase massal. Bisa dikatakan orang mengikuti Yoga karena ‘panggilan’ massal dan sebatas mengikuti festival, bukan untuk pencapaian spiritual. Budaya massal inilah yang membentuk gaya hidup perkotaan.

Sebagaimana diketahui, gaya hidup di era masyarakat modern, apalagi di era masyarakat postmodern, bagaimana seseorang menampilkan dirinya di hadapan orang lain, dan bagaimana seseorang membangun identitas di hadapan lingkungan sosialnya dalam banyak hal dipengaruhi oleh gaya hidup dan konstruksi dirinya menyikapi tuntutan masyarakat massal dan kepentingan yang melatarbelakanginya. Gaya hidup [life style] berbeda dengan cara hidup [way of life]. Cara hidup ditampilkan dengan ciri-ciri, seperti norma, ritual, dan polapola tatanan sosial ataupun cara berbicara yang khas.

Sementara itu, gaya hidup diekspresikan melalui apa yang dikenakan seseorang, apa yang ia konsumsi, dan bagaimana ia bersikap atau berperilaku ketika ada di hadapan orang lain. Gaya hidup mencakup sekumpulan kebiasaan, pandangan dan pola-pola respons terhadap hidup, serta terutama perlengkapan untuk hidup. Cara berpakaian, cara kerja, pola konsumsi, bagaimana individu mengisi kesehariannya merupakan unsur-unsur yang membentuk gaya hidup. Gaya hidup dipengaruhi oleh keterlibatan seseorang dalam kelompok sosial, dari seringnya berinteraksi dan menanggapi berbagai stimulus di sana.

Sustian [2002:145] dalam buku “Perilaku Konsumen dan Komunikasi Pemasaran” mendefinisikan gaya hidup secara luas adalah sebagai cara hidup yang diidentifikasi oleh bagaimana orang menghabiskan waktu mereka [aktivitas] apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia sekitar. Sedangkan menurut Weber gaya hidup merupakan selera pengikat kelompok dalam [in group] aktor-aktor kolektif atau kelompok status, berkompetisi ditandai dengan kemampuan untuk memonopoli sumber-sumber budaya.

Beberapa sifat umum dari gaya hidup menurut Piliang [2010], antara lain: [1] gaya hidup sebagai sebuah pola, yaitu sesuatu yang dilakukan atau tampil secara berulang-ulang; [2] yang mempunyai massa atau pengikut sehingga tidak ada gaya hidup yang sifatnya personal; dan [3] mempunyai daur hidup [life cicle], artinya ada masa kelahiran, tumbuh, puncak, surut dan mati.

Dengan gaya hidup individu menjaga tindakan-tindakannya dalam batas dan kemungkinan tertentu. Berdasarkan pengalaman sendiri yang diperbandingkan dengan realitas sosial, individu memilih rangkaian tindakan dan penampilan mana yang menurutnya sesuai dan mana yang tidak sesuai untuk ditampilkan dengan ruang sosial. Istilah gaya hidup, baik dari sudut pandang individual maupun kolektif, mengandung pengertian bahwa gaya hidup sebagai cara hidup mencakup sekumpulan kebiasaan, pandangan dan polapola respons terhadap hidup, serta terutama perlengkapan untuk hidup.

Cara sendiri bukan sesuatu yang ilmiah, melainkan hal yang ditemukan, diadopsi atau diciptakan, dikembangkan dan digunakan untuk menampilkan tindaakaan agar mencapai tujuan tertentu. Untuk dapat dikuasai, cara harus diketahui, digunakan, dan dibiasakan. Gaya hidup selalu berkaitan dengan upaya untuk membuat diri eksis dalam cara tertentu dan berbeda dari kelompok lain.

Menurut Machin & Leeuwen, berbeda dengan individual style [gaya pribadi] dan social style [gaya sosial], yang dimaksud life style [gaya hidup] adalah gabungan dari kedua gaya pribadi dan gaya sosial yang muncul pada wilayah sosial tertentu, merupakan aktivitas bersama dalam mengisi waktu senggang, dan sikap dalam  menghadapi, isu sosial tertentu. Seperti halnya pada aktivitas Yoga selama ini yang cenderung mengarah ke aktivitas massal mengisi waktu senggang.

Gaya hidup merupakan gambaran bagi setiap orang yang mengenakannya dan menggambarkan seberapa besar nilai moral orang tersebut dalam masyarakat disekitarnya. Atau juga, gaya hidup adalah suatu seni yang dibudayakan oleh setiap orang. Gaya hidup juga sangat berkaitan erat dengan perkembangan zaman dan teknologi. Semakin bertambahnya zaman dan semakin canggihnya

Lebih lanjut Amstrong, menyatakan bahwa faktor faktor yang mempengaruhi gaya hidup seseorang yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu [internal] dan faktor yang berasal dari luar [eksternal]. Faktor internal yang mempengaruhi gaya hidup yaitu sikap, pengalaman, dan pengamatan, kepribadian, konsep diri, motif. Sementara faktor eksternal [menurut Nugraheni 2003] yang mempengaruhi gaya hidup adalah sebagai berikut: Kelompok referensi.

Kelompok referensi adalah kelompok yang memberikan pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap sikap dan perilaku seseorang. Kelompok yang memberikan pengaruh langsung adalah kelompok dimana individu tersebut menjadi anggotanya dan saling berinteraksi, sedangkan kelompok yang member pengaruh tidak langsung adalah kelompok dimana individu tidak menjadi anggota didalam kelompok tersebut. Pengaruh-pengaruh tersebut akan menghadapkan individu pada perilaku dan gaya hidup tertentu.

Motivasi orang mengikuti latihan dan praktik Yoga juga tidak bisa dilepaskan dari budaya massa ini atau kelompok referensi ini. Mereka mengikuti kelas-kelas Yoga disebabkan karena promosi kelompok atau kebetulan berada dalam kelompok tersebut. Hal ini disampaikan praktisi Yoga AA. Raka sebagai berikut.

“Selain karena ingin sehat dan bugar, memang diakui orang yang ikut dalam kelas Yoga juga dipengaruhi oleh teman-temannya kelompoknya yang ikut latihan Yoga. Jadi mereka masuk kelas Yoga awalnya karena ikut-ikutan karena bagian dari gaya hidup kelompoknya. Namun setelah mereka merasakan kenyamanan dan ketenangan, maka ada motivasi internal yang lain sehingga mereka makin serius mengikuti yoga”. [wawancara 12/09/2016].

Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh seorang instruktur Yoga dari Karangasem bernama Nyoman Selamet.

”Seperti yang sudah saya sampaikan tadi bahwa motivasi orang mengikuti Yoga sangat beragam. Tidak bisa hanya disebut satu motif saja. Memang ada yang murni untuk mempelajari spiritualitas, ada juga untuk kesehatan. Mungkin juga karena awalnya ikut-ikutan karena dipengaruhi temannya. Tetapi pagelaran Yoga massal itu memang sangat membantu dalam upaya memperkenalkan Yoga secara lebih luas”. [wawancara 12/09/2016].

Dari pernyataan dua instruktur Yoga di atas dapat dipahami bahwa pengaruh kelompok referensi – seperti istilah Nugraheni di atas – memang sangat mempengaruhi keterlibatan orang untuk mengikuti kelas Yoga. Mereka mengikuti Yoga murni karena kehendak kelompok atau massal bukan kesadaran pribadi akan pentingnya mempelajari spiritualitas melalui pemusatan pikiran dan meditasi Yoga. Seperti yang disampaikan Piliang bahwa gaya hidup selalu melibatkan massa dan hilangnya yang personal. Pergeseran makna Yoga pun disebabkan oleh virus budaya massa yang sedang menjangkiti masyarakat kota ini.

1.3 Penutup

Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa telah terjadi pergeseran dalam praktik Yoga dari sebuah sistem filsafat yang bersifat spiritual menjadi semacam gaya hidup dalam masyarakat perkotaan yang dipicu oleh beberapa sebagai berikut. Pertama, masuknya budaya pasar dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat. Kedua, munculnya budaya massa yang kemudian dimanfaatkan oleh kapitalisme sehingga menjadikan Yoga sebagai komoditi bagi kelas sosial tertentu.

 Daftar Bacaan

Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Amadea, Azalia. 2016. Ini Manfaat Yoga dan Jenis-jenisnya. Dalam: //www.money.id. Diunduh: 20-05-2016.

Anonim. 2013. Manfaat Yoga untuk Kesehatan. Dalam: //majalahonline wanitaindonesia.com. Diunduh: 22-05-2016.

Anonim, 2015. Manfaat Kesehatan dari Yoga. Dalam: //www.dokter.id. Diunduh: 22-05-2016.

Annunaki, 2010. Yoga dan Kesehatan. Dalam: //annunaki.me. Diunduh: 22 Mei 2016.

Barker, Chris. 2005. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Yogyakarta : Bentang.

Chaney, David. 2008. Lifestles, Sebuah Pengantar Konprehensif. Yogyakarta: Jalasutra

Maswinara, I Wayan.1998. Sistem Filsafat Hindu [Sarva Darsana Samgraha]. Surabaya:  Paramita

Piliang, Yasraf Amir.2006. Imagologi dan Gaya Hidup. Dalam Resistensi Gaya Hidup, Teori dan Realitas, editor Alfathri Aldin. Yogyakarta & Bandung : Jalasutra.

-----------. 2004. Dunia yang Berlari, Mencari “Tuhan-Tuhan”Digital. Jakarta : Grasindo.

Somvir, M.D, 2004. 7 Hukum Spiritual Yoga. Jakarta.

Storey, John. 2004. Teori Budaya dan Budaya Pop. Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề