Faktor utama yang menyebabkan jatuhnya kabinet tersebut adalah

Lihat Foto

Preanger Studio

Perdana Menteri Djuanda dengan jawaban Pemerintah di tangannya waktu berjalan menuju mimbar untuk memberikan pidatonya di sidang Konstituante.

KOMPAS.com - Kabinet Djuanda adalah kabinet yang bertugas dari periode 9 April 1957 hingga 10 Juli 1959.

Kabinet ini dipimpin oleh Ir. H. Djuanda Kartawijaya bersama dengan tiga wakilnya, Mr. Hardi, Idham Chalid, dan Dr. Leimana.

Kabinet Djuanda juga dikenal sebagai Kabinet Karya dan Zaken Kabinet. Maksud dari Zaken Kabinet adalah, kabinet yang jajarannya diisi oleh para tokoh yang ahli di bidangnya, bukan dari partai politik tertentu.

Setelah dua tahun bertugas, terdapat beberapa hal yang menyebabkan Kabinet Djuanda tidak mampu mempertahankan masa kerjanya.

Lantas, apa penyebab jatuhnya Kabinet Djuanda?

Baca juga: Djuanda Kartawijaya: Pendidikan, Karier Politik, dan Perannya

Tragedi Cikini 1957

Salah satu penyebab jatuhnya Kabinet Djuanda adalah Tragedi Cikini 1957, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno pada 30 November 1957.

Saat itu, Presiden Soekarno sedang menghadiri pesta ulang tahun Perguruan Cikini ke-15.

Percobaan pembunuhan dilakukan dengan granat tangan, yang menimbulkan banyak korban, terutama anak-anak sekolah.

Dalang di balik peristiwa Cikini 1957 adalah anggota pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia [DI/TII], Jusuf Ismail.

Pada masa Kabinet Djuanda, memang muncul pergolakan-pergolakan di daerah yang menghambat hubungan antara pusat dan daerah.

Setelah Tragedi Cikini 1957, keadaan negara terus memburuk dan semakin banyak daerah yang menentang kebijakan pemerintah pusat.

Penentangan ini pun berkembang menjadi pemberontakan-pemberontakan, salah satunya pemberontakan PRRI/Permesta, yang semakin memperlemah Kabinet Djuanda.

Baca juga: Tragedi Cikini 1957, Upaya Pembunuhan Soekarno

Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikeluarkan oleh Presiden Soekarno yang isinya pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar [UUD] 1945.

Dekrit ini dikeluarkan akibat kegagalan Badan Konstituante dalam menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUD Sementara [UUDS] 1950.

Badan Konstituante adalah lembaga dewan perwakilan yang bertugas membentuk suatu konstitusi baru bagi Indonesia untuk mengganti UUDS 1950.

Salah satu alasan UUDS 1950 diganti adalah, pada masa itu sering terjadi pergantian kabinet yang berpengaruh pada ketidakstabilan politik.

Persidangan pertama untuk menetapkan UUD baru berlangsung pada 10 November 1956. Namun, setelah dua tahun berjalan, UUD baru masih belum jadi.

Melihat kondisi ini, Presiden Soekarno menyampaikan amanatnya di depan Sidang Konstituante pada 22 April 1959.

Baca juga: Dekrit Presiden 5 Juli 1959: Latar Belakang, Isi, Tujuan, dan Dampak

Isi amanatnya adalah, Soekarno menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945. Kemudian, pada 30 Mei 1945, pemungutan suara pun dilakukan.

Hasilnya, sebanyak 269 suara setuju atas penetapan kembali UUD 1945 dan 199 lainnya tidak.

Meskipun banyak yang setuju, pemungutan suara kembali dilakukan karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum [jumlah minimum anggota yang harus hadir dalam rapat].

Pemungutan suara kedua dilaksanakan pada 1 dan 2 Juni 1959, yang kembali berujung pada kegagalan.

Dengan adanya kejadian ini, Konstituante dianggap gagal menjalankan tugasnya. Sehingga, Presiden Soekarno memutuskan untuk mengeluarkan dekrit presiden.

Usulan Presiden Soekarno sendiri sempat mengalami pro dan kontra. PNI dan PKI menerima usulan Soekarno, tetapi Masyumi menolaknya.

Baca juga: Partai Masyumi: Pembentukan, Ideologi, Tokoh, dan Pembubaran

Setelah melakukan perundingan panjang, akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Salah satu dampak dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah bubarnya Kabinet Djuanda.

Pasalnya, akibat dekrit ini, sistem pemerintahan berganti dari Sistem Parlementer menjadi Presidensial, di mana kabinet dipimpin langsung oleh presiden.

Dengan adanya perubahan sistem pemerintahan, maka Kabinet Djuanda dibubarkan dan diganti oleh Kabinet Kerja I.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Kabinet Sukiman. ©2021 Merdeka.com

SUMUT | 21 Mei 2021 11:33 Reporter : Ani Mardatila

Merdeka.com - Indonesia pernah menganut sistem Demokrasi Liberal pada tahun 1950-1959. Sistem yang disebut dengan sistem kabinet parlementer ini memiliki landasan UUDS 1950 [Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia tahun 1950].

Dalam sistem kabinet parlementer, para kabinet atau para menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Pemerintahan pada masa Demokrasi Parlementer dijalankan oleh tujuh kabinet dengan masa jabatan berbeda.

Ketujuh kabinet itu adalah Kabinet Natsir dengan masa jabatan antara 6 September 1950 ± 18 April 1951, Kabinet Sukiman dengan masa jabatan antara 26 April 1951 ± 26 April 1952, Kabinet Wilopo dengan masa jabatan antara 19 Maret 1952 ± 2 Juni 1953, Kabinet Ali Sastroamidjojo I dengan masa jabatan antara 31 Juli 1953 ± 24 Juli 1955, Kabinet Burhanuddin Harahap dengan masa jabatan antara 12 Agustus 1955 ± 3 Maret 1956, Kabinet Ali Sastroamidjojo II dengan masa jabatan antara 24 Maret 1956 ± 14 Maret 1957, dan Kabinet Djuanda [Kabinet Karya] dengan masa jabatan antara 9 April 1957 ± 10 Juli 1959.

Berikut merdeka.com merangkum penyebab jatuhnya Kabinet Sukiman dan program kerjanya selama masa Demokrasi Liberal:

2 dari 4 halaman

Kabinet Natsir merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh Masyumi. PNI sebagai partai kedua terbesar lebih memilih kedudukan sebagai oposisi.

Penyebab jatuhnya kabinet pertama yaitu kabinet Natsir diduga karena munculnya mosi tidak percaya terhadap Kabinet Natsir. Hal itu dilatari oleh terjadinya pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Masalah dalam keamanan negeri, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, dan Gerakan RMS. Perundingan-perundingan masalah Irian Barat juga mulai dirintis, namun mengalami jalan buntu.

Mosi itu disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Perdana Menteri Natsir mengembalikan mandatnya kepada presiden.

3 dari 4 halaman

Setelah Kabinet Natsir runtuh, kemudian digantikan dengan kabinet Sukiman. Kabinet Sukiman terdiri dari koalisi Masyumi dengan PNI dan sejumlah partai kecil. Kabinet koalisi itu dipimpin oleh Sukiman dan kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kabinet Sukiman.

Program kerja Kabinet Sukiman hampir sama dengan kabinet sebelumnya yaitu sebagai berikut:

1. Keamanan : menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk menjamin keamanan dan ketentraman.

2. Sosial-Ekonomi : mengusahakan kemakmuran rakyat secepatnya dan memperbarui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani serta mempercepat usaha penempatan bekas pejuang di lapangan usaha.

3. Mempercepat pelaksanaan pemilu dan terlaksananya otonomi daerah

4. Menyiapkan undang-undang tentang :

a. Pengakuan serikat buruh

b. Perjanjian kerja sama

c. Penetapan upah minimum

d. Penyelesaian pertikaian buruh

5. Politik luar negeri: menjalankan secara bebas dan aktif serta memasukkan Irian Barat ke wilayah RI secepatnya.

4 dari 4 halaman

Tak bertahan lama pula, setahun setelahnya Kabinet Sukiman juga mengalami kejatuhan. Penyebab jatuhnya Kabinet Sukiman yaitu karena ketidakstabilan karena mengalami masalah-masalah seperti krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.

Kabinet Sukiman juga memiliki program perebutan kembali Irian Barat dari tangan Belanda, meskipun belum juga membawa hasil.

Selain itu hubungan Kabinet Sukiman dan militer tidak baik yang terlihat kala pemerintah menghadapi pemberontakan yang terjadi di Jawa Barat, Jawa tengah, dan Sulawesi Selatan yang kurang tegas.

Posisi Kabinet Sukiman semakin di ujung tanduk ketika terjadinya pertukaran nota antara Menteri Luar Negeri Subardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran mengenai bantuan ekonomi dan militer berdasarkan ikatan Mutual Security Act [MSA] atau Undang-undang Kerja Sama Keamanan.

Kerja sama tersebut dinilai sangat merugikan politik luar negeri bebas-aktif yang dianut Indonesia, karena Indonesia harus lebih memerhatikan kepentingan Amerika Serikat.

Tak hanya itu, Kabinet Sukiman dituduh telah memasukkan Indonesia ke dalam Blok Barat melansir dari Jurnal Online Fakultas Keguruan dan Pendidikan Universitas Riau.

Akhirnya Kabinet Sukiman mengalami kejatuhan dan digantikan oleh Kabinet Wilopo.

[mdk/amd]

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề