Hak KEPEGAWAIAN PNS yang diberhentikan tidak dengan hormat

Badan Kepegawaian Negara menerbitkan Peraturan BKN 3 tahun 2020 tentang Juknis Pemberhentian PNS. Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 3 tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil ini mencabut Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 04/SE/1980 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, dan dinyatakan tidak berlaku.

Seperti kita ketahui bersama Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai PNS secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Ruang lingkup petunjuk teknis pemberhentian PNS dalam Peraturan BKN 3 tahun 2020 tentang Juknis Pemberhentian PNS ini meliputi:

  1. jenis pemberhentian PNS;

  2. pelaksanaan pemberhentian PNS;

  3. penyampaian keputusan pemberhentian;

  4. pemberhentian sementara;

  5. pengaktifan kembali;

  6. kewenangan pemberhentian, pemberhentian sementara, dan pengaktifan kembali;

  7. hak kepegawaian bagi PNS yang diberhentikan; dan

  8. uang tunggu dan uang pengabdian.

Jenis pemberhentian PNS dalam Peraturan BKN 3 tahun 2020 tentang Juknis Pemberhentian PNS, terdiri atas:

  1. pemberhentian atas permintaan sendiri;

  2. pemberhentian karena mencapai batas usia pensiun;

  3. pemberhentian karena perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah;

  4. pemberhentian karena tidak cakap jasmani dan/atau rohani;

  5. pemberhentian karena meninggal dunia, tewas, atau hilang;

  6. pemberhentian karena melakukan tindak pidana/penyelewengan;

  7. pemberhentian karena pelanggaran disiplin;

  8. pemberhentian karena mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi presiden dan wakil presiden, ketua, wakil ketua, dan anggota dewan perwakilan rakyat, ketua, wakil ketua, dan anggota dewan perwakilan daerah, gubernur dan wakil gubernur, atau bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota;

  9. pemberhentian karena menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; dan

  10. pemberhentian karena tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara.

Selain hal di atas juga ada Pemberhentian PNS Karena Hal Lain yang disebutkan dalam Peraturan BKN 3 tahun 2020 tentang Juknis Pemberhentian PNS, antara lain yaitu:

  1. tidak melapor setelah selesai menjalankan cuti di luar tanggungan negara;

  2. PNS yang setelah selesai menjalani cuti di luar tanggungan negara dalam waktu 1 [satu] tahun tidak dapat disalurkan;

  3. terbukti menggunakan ijazah palsu;

  4. tidak melapor setelah selesai menjalankan tugas belajar;

  5. PNS yang menerima uang tunggu tetapi menolak untuk diangkat kembali dalam jabatan;

  6. pemberhentian karena tidak menjabat lagi sebagai komisioner atau anggota lembaga nonstruktural; dan

  7. PNS yang tidak dapat memperbaiki kinerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 3 tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil ditetapkan oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara RI BIma Aria Wibisana pada tanggal 6 Maret 2020 di Jakarta. Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 3 tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil diundangkan Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham Widodo Ekatjahjana di Jakarta pada tanggal 8 April 2020.

Agar setiap orang mengetahuinya. Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 3 tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil ditempatkan pada Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 343.

Peraturan BKN Nomor 3 tahun 2020 tentang Juknis Pemberhentian PNS

Pertimbangan Peraturan BKN Nomor 3 tahun 2020 tentang Juknis Pemberhentian PNS, adalah:

  1. bahwa untuk menyelenggarakan manajemen pegawai negeri sipil perihal pemberhentian, diperlukan pengaturan mengenai pemberhentian pegawai negeri sipil yang efektif dan akuntabel;

  2. bahwa untuk menjamin keseragaman dalam pelaksanaan pemberhentian pegawai negeri sipil, perlu didukung adanya petunjuk teknis pemberhentian pegawai negeri sipil;

  3. bahwa untuk memberikan dasar dan landasan dalam pelaksanaan pemberhentian pegawai negeri sipil, diperlukan peraturan mengenai petunjuk teknis pemberhentian pegawai negeri sipil;

  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Badan Kepegawaian Negara tentang Petunjuk Teknis Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil;

Dasar hukum Peraturan BKN Nomor 3 tahun 2020 tentang Juknis Pemberhentian PNS, adalah:

  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494];

  2. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6037], sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6477];

  3. Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2013 tentang Badan Kepegawaian Negara [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 128];

  4. Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 2 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Kepegawaian Negara [Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 189];

Berikut adalah isi Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 3 tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, bukan format asli:

Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan:

  1. Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai PNS secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.

  2. Jabatan adalah kedudukan yang menunjukkan fungsi, tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang PNS dalam suatu satuan organisasi.

  3. Jabatan Pimpinan Tinggi yang selanjutnya disingkat JPT adalah sekelompok Jabatan tinggi pada instansi pemerintah.

  4. Jabatan Administrasi yang selanjutnya disingkat JA adalah sekelompok Jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan.

  5. Jabatan Fungsional yang selanjutnya disingkat JF adalah sekelompok Jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu.

  6. Pejabat Fungsional adalah PNS yang menduduki JF pada instansi pemerintah.

  7. Pejabat yang Berwenang yang selanjutnya disingkat PyB adalah pejabat yang mempunyai kewenangan melaksanakan proses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  1. Pejabat Pembina Kepegawaian yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS dan pembinaan manajemen ASN di Instansi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  2. Intansi Pemerintah adalah instansi pusat dan instansi daerah.

  3. Instansi Pusat adalah kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, kesekretariatan lembaga negara, dan kesekretariatan lembaga nonstruktural.

  4. Instansi Daerah adalah perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah kabupaten/kota yang meliputi sekretariat daerah, sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah.

  5. Pemberhentian Sementara sebagai PNS adalah pemberhentian yang mengakibatkan PNS kehilangan statusnya sebagai PNS untuk sementara waktu.

  6. Batas Usia Pensiun adalah batas usia PNS harus diberhentikan dengan hormat dari PNS.

  7. Cuti PNS yang selanjutnya disebut dengan Cuti adalah keadaan tidak masuk kerja yang diizinkan dalam jangka waktu tertentu.

  8. Pangkat adalah kedudukan yang menunjukan tingkatan Jabatan.

  9. Badan Kepegawaian Negara yang selanjutnya disingkat BKN adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang diberi kewenangan melakukan pembinaan dan menyelenggarakan manajemen ASN secara nasional sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Ruang lingkup petunjuk teknis pemberhentian PNS dalam Peraturan Badan ini meliputi:

  1. jenis pemberhentian PNS;

  2. pelaksanaan pemberhentian PNS;

  3. penyampaian keputusan pemberhentian;

  4. pemberhentian sementara;

  5. pengaktifan kembali;

  6. kewenangan pemberhentian, pemberhentian sementara, dan pengaktifan kembali;

  7. hak kepegawaian bagi PNS yang diberhentikan; dan

  8. uang tunggu dan uang pengabdian.

Jenis pemberhentian terdiri atas:

  1. pemberhentian atas permintaan sendiri;

  2. pemberhentian karena mencapai batas usia pensiun;

  3. pemberhentian karena perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah;

  4. pemberhentian karena tidak cakap jasmani dan/atau rohani;

  5. pemberhentian karena meninggal dunia, tewas, atau hilang;

  6. pemberhentian karena melakukan tindak pidana/penyelewengan;

  7. pemberhentian karena pelanggaran disiplin;

  8. pemberhentian karena mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi presiden dan wakil presiden, ketua, wakil ketua, dan anggota dewan perwakilan rakyat, ketua, wakil ketua, dan anggota dewan perwakilan daerah, gubernur dan wakil gubernur, atau bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota;

  9. pemberhentian karena menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; dan

  10. pemberhentian karena tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara.

Pasal 4

Selain jenis pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, terdapat Pemberhentian Karena Hal Lain, antara lain sebagai berikut:

  1. tidak melapor setelah selesai menjalankan cuti di luar tanggungan negara;

  2. PNS yang setelah selesai menjalani cuti di luar tanggungan negara dalam waktu 1 [satu] tahun tidak dapat disalurkan;

  3. terbukti menggunakan ijazah palsu;

  4. tidak melapor setelah selesai menjalankan tugas belajar;

  5. PNS yang menerima uang tunggu tetapi menolak untuk diangkat kembali dalam jabatan;

  6. pemberhentian karena tidak menjabat lagi sebagai komisioner atau anggota lembaga nonstruktural; dan

  7. PNS yang tidak dapat memperbaiki kinerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  1. PNS yang mengajukan permintaan berhenti, diberhentikan dengan hormat sebagai PNS.

  2. Permintaan berhenti sebagaimana dimaksud pada ayat [1], dapat ditunda untuk paling lama 1 [satu] tahun, apabila PNS yang bersangkutan masih diperlukan untuk kepentingan dinas.

  3. Penundaan untuk paling lama 1 [satu] tahun sebagaimana dimaksud pada ayat [2], dihitung sejak keputusan penundaan ditetapkan oleh PPK.

  4. Keputusan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat [3], harus memuat batas waktu penundaan.

  5. Kepentingan dinas sebagaimana dimaksud pada ayat [2], antara lain sebagai berikut:

    1. masih ada tugas mendesak yang harus diselesaikan oleh yang bersangkutan; dan/atau

    2. belum ada pegawai lain yang dapat menggantikan tugas yang bersangkutan.

  6. Permintaan berhenti sebagaimana dimaksud pada ayat [1], ditolak apabila:

    1. sedang dalam proses peradilan karena diduga melakukan tindak pidana kejahatan;

    2. terikat kewajiban bekerja pada Instansi Pemerintah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    3. dalam pemeriksaan pejabat yang berwenang memeriksa karena diduga melakukan pelanggaran disiplin PNS;

    4. sedang mengajukan upaya banding administratif karena dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS;

    5. sedang menjalani hukuman disiplin; dan/atau

    6. alasan lain menurut pertimbangan PPK.

  7. Proses peradilan karena diduga melakukan tindak pidana kejahatan sebagaimana dimaksud pada ayat [6] huruf a, yaitu keadaan pada saat yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana baik ditahan maupun tidak ditahan pada tingkat penyidikan, tingkat penuntutan, maupun pada saat yang bersangkutan menjalani pemeriksaan di pengadilan.

Tata cara pemberhentian atas permintaan sendiri, sebagai berikut:

  1. Permohonan berhenti sebagai PNS/Calon PNS diajukan secara tertulis kepada Presiden melalui PPK atau PPK melalui PyB secara hierarki, disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Angka 1 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini;

  2. Permohonan berhenti yang diajukan secara hierarki sebagaimana dimaksud pada huruf a, dilakukan sebagai berikut:

    1. Calon PNS/PNS yang bersangkutan mengajukan permohonan berhenti kepada PPK melalui atasan langsungnya;

    2. Atasan langsung sebagaimana dimaksud pada angka 1, meneruskan permohonan Calon PNS/PNS dimaksud kepada pimpinan unit kerjanya paling rendah menduduki JPT Pratama;

    3. Pimpinan Tinggi Pratama sebagaimana dimaksud pada angka 2, meneruskan permohonan Calon PNS/PNS dimaksud kepada PyB melalui pimpinan unit kerja yang bertanggung jawab di bidang kepegawaian paling rendah menduduki JPT Pratama;

    4. Pimpinan unit kerja yang bertanggung jawab di bidang kepegawaian sebagaimana dimaksud pada angka 3, meneruskan permohonan Calon PNS/PNS dimaksud kepada PyB;

    5. PyB sebagaimana dimaksud pada angka 4, meneruskan permohonan Calon PNS/PNS kepada PPK yang disertai rekomendasi mengenai disetujui, ditunda, atau ditolaknya pemberhentian yang bersangkutan;

    6. Dalam hal PNS yang menduduki JPT utama, JPT madya atau, JF keahlian utama mengajukan pemberhentian atas permintaan sendiri, PyB sebagaimana dimaksud pada angka 4, meneruskan permohonan PNS kepada PPK untuk kemudian oleh PPK diteruskan kepada Presiden yang disertai rekomendasi mengenai disetujui, ditunda, atau ditolaknya pemberhentian yang bersangkutan;

    7. Dalam hal permohonan berhenti ditunda atau ditolak, PPK menyampaikan alasan penundaan atau penolakan secara tertulis kepada Calon PNS/PNS yang bersangkutan;

    8. Keputusan pemberian persetujuan, penundaan, atau penolakan permohonan pemberhentian atas permintaan sendiri ditetapkan paling lama 14 [empat belas] hari kerja, terhitung sejak permohonan secara lengkap diterima oleh PPK;

    9. Keputusan pemberian persetujuan, penundaan, atau penolakan permohonan pemberhentian atas permintaan sendiri serta contoh kasus disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Angka 2 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini;

    10. Sebelum keputusan pemberhentian ditetapkan, Calon PNS/PNS yang bersangkutan wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya;

    11. Dalam hal sebelum keputusan pemberhentian ditetapkan, Calon PNS/PNS yang bersangkutan tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dapat dijatuhi hukuman disiplin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    12. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberhentian PNS dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    13. Dalam hal PNS yang diberhentikan sebagaimana dimaksud pada angka 12, memenuhi syarat diberikan jaminan pensiun maka Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberian pensiun setelah mendapatkan pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN;

    14. Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam angka 12, berlaku sejak akhir bulan ditetapkannya keputusan pemberhentian oleh Presiden atau PPK.

  1. PNS yang telah mencapai Batas Usia Pensiun diberhentikan dengan hormat sebagai PNS.

  2. Batas Usia Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat [1], yaitu:

    1. 58 [lima puluh delapan] tahun bagi pejabat administrasi, pejabat fungsional ahli muda, pejabat fungsional ahli pertama, dan pejabat fungsional keterampilan;

    2. 60 [enam puluh] tahun bagi pejabat pimpinan tinggi dan pejabat fungsional madya; dan

    3. 65 [enam puluh lima] tahun bagi PNS yang memangku pejabat fungsional ahli utama.

  3. Batas Usia Pensiun bagi PNS yang menduduki JF yang ditentukan dalam undang-undang, berlaku ketentuan sesuai dengan Batas Usia Pensiun yang ditetapkan dalam undang-undang yang bersangkutan.

Tata cara pemberhentian PNS yang telah mencapai Batas Usia Pensiun, sebagai berikut:

  1. Kepala BKN menyampaikan data perorangan calon penerima pensiun [DPCP] kepada PNS yang akan mencapai Batas Usia Pensiun melalui PPK paling lama 15 [lima belas] bulan sebelum PNS mencapai Batas Usia Pensiun yang disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Angka 3 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini;

  2. Kepala BKN dalam menyampaikan DPCP melalui PPK sebagaimana dimaksud pada huruf a, disertai dengan daftar nominatif PNS yang akan mencapai Batas Usia Pensiun;

  3. Daftar nominatif sebagaimana dimaksud pada huruf b, disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Angka 4 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini;

  4. Penyampaian DPCP dan daftar nominatif PNS yang akan mencapai Batas Usia Pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, dilakukan melalui Sistem Aplikasi Pelayanan Kepegawaian [SAPK] atau sistem informasi kepegawaian lainnya yang ditentukan BKN;

  5. PPK atau PyB atau pejabat lain yang ditunjuk berkewajiban mencetak dan menyampaikan DPCP atau menyampaikan DPCP secara elektronik kepada PNS yang bersangkutan paling lama 15 [lima belas] hari kerja, setelah DPCP diterima oleh PPK atau PyB atau pejabat lain yang ditunjuk;

  6. PNS yang telah menerima DPCP wajib memeriksa dan meneliti data yang tercantum dalam DPCP dengan ketentuan apabila data telah benar agar ditandatangani atau disetujui oleh PNS dan diketahui oleh pejabat pengelola kepegawaian;

  7. Dalam hal DPCP sebagaimana dimaksud pada huruf f, terdapat perbedaan data maka dilakukan perbaikan dengan melampirkan data dukung;

  8. DPCP sebagaimana dimaksud pada huruf f, disampaikan kepada PPK atau PyB melalui pejabat pengelola kepegawaian paling lama 15 [lima belas] hari kerja, sejak PNS yang bersangkutan menerima DPCP;

  9. Dalam hal PNS tidak menyampaikan DPCP kepada PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada huruf h, maka PPK atau PyB menyampaikan usul pemberhentian PNS yang akan mencapai Batas Usia Pensiun dan berhak atas jaminan pensiun dan jaminan hari tua kepada Presiden atau PPK dengan tembusan kepada Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN berdasarkan data yang ada;

  10. Usul pemberhentian PNS yang akan mencapai Batas Usia Pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf i, disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Angka 5 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini;

  11. PPK atau PyB menyampaikan usul pemberhentian PNS yang akan mencapai Batas Usia Pensiun kepada Presiden atau PPK berdasarkan kelengkapan berkas yang disampaikan oleh PNS paling lama 3 [tiga] bulan, sejak Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN menyampaikan DPCP;

  12. PPK atau PyB dalam menyampaikan usul pemberhentian PNS yang akan mencapai Batas Usia Pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf k, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. PPK menyampaikan usul pemberhentian PNS yang akan mencapai batas usia pensiun kepada Presiden bagi PNS yang menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF keahlian utama;

    2. PyB menyampaikan usul pemberhentian PNS yang akan mencapai batas usia pensiun kepada PPK bagi PNS yang menduduki JPT pratama, JA, dan JF selain JF keahlian utama;

    3. PPK atau PyB menyampaikan usul pemberhentian PNS yang akan mencapai Batas Usia Pensiun dan berhak atas jaminan pensiun dan jaminan hari tua kepada Presiden atau PPK dengan tembusan kepada Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN;

    4. Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN atas dasar tembusan usul pemberhentian PNS yang akan mencapai Batas Usia Pensiun dari PPK dan PyB sebagaimana dimaksud pada angka 3, menetapkan pertimbangan teknis kepada Presiden atau PPK;

    5. Pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN sebagaimana dimaksud pada angka 4, ditetapkan paling lama 14 [empat belas] hari kerja, sejak berkas usul pensiun dinyatakan secara lengkap diterima; dan

    6. Presiden atau PPK menetapkan Keputusan pemberian Pensiun berdasarkan pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN sebagaimana dimaksud pada angka 4.

  13. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberhentian PNS dan/atau pemberian pensiun PNS paling lama 1 [satu] bulan, sebelum PNS mencapai Batas Usia Pensiun;

  14. Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada huruf m, berlaku sejak akhir bulan PNS yang bersangkutan mencapai Batas Usia Pensiun.

  1. Dalam hal terjadi perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan kelebihan PNS maka PNS tersebut terlebih dahulu disalurkan pada Instansi Pemerintah lain.

  2. Dalam hal PNS yang bersangkutan tidak dapat disalurkan sebagaimana dimaksud pada ayat [1], pada saat terjadi perampingan organisasi sudah mencapai usia 50 [lima puluh] tahun dan masa kerja 10 [sepuluh] tahun, diberhentikan dengan hormat dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Apabila PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [1]:

    1. tidak dapat disalurkan pada instansi lain;

    2. belum mencapai usia 50 [lima puluh] tahun; dan

    3. masa kerja kurang dari 10 [sepuluh] tahun,

    diberikan uang tunggu paling lama 5 [lima] tahun.

  4. Apabila sampai dengan 5 [lima] tahun, PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [3], tidak dapat disalurkan, maka PNS tersebut diberhentikan dengan hormat dan diberikan hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  5. Dalam hal pada saat berakhirnya pemberian uang tunggu PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [3], belum berusia 50 [lima puluh] tahun tetapi telah memiliki masa kerja pensiun paling sedikit 10 [sepuluh] tahun, jaminan pensiun bagi PNS mulai diberikan pada saat mencapai usia 50 [lima puluh] tahun.

  6. Dalam hal pada saat berakhirnya pemberian uang tunggu PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [3], masa kerja yang bersangkutan kurang dari 10 [sepuluh] tahun, diberhentikan dengan hormat dan diberikan hak kepegawaian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

  7. Dalam hal pada saat berakhirnya pemberian uang tunggu PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [5], meninggal dunia sebelum berusia 50 [lima puluh] tahun, maka jaminan pensiun janda/duda diberikan mulai tanggal 1 bulan berikutnya PNS yang bersangkutan meninggal dunia.

  8. Keputusan pemberhentian karena perampingan organisasi disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Angka 6 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

Tata cara pemberhentian karena perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah, sebagai berikut:

  1. PPK menginventarisasi kelebihan PNS sebagai akibat perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah.

  2. Kelebihan PNS sebagaimana dimaksud pada huruf a, dilaporkan kepada Menteri dan Kepala BKN dalam bentuk daftar nominatif PNS yang akan disalurkan dari kementerian/lembaga.

  3. Surat pengantar pelaporan PPK kepada Menteri dan Kepala BKN dan daftar nominatif PNS yang akan disalurkan dari kementerian/lembaga disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Angka 7 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

  4. Menteri merumuskan kebijakan penyaluran kelebihan PNS pada Instansi Pemerintah.

  5. Kepala BKN melaksanakan penyaluran kelebihan PNS pada Instansi Pemerintah yang membutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  6. Sebelum Kepala BKN melaksanakan penyaluran PNS sebagaimana dimaksud pada huruf e, terlebih dahulu berkoordinasi dengan pimpinan instansi pemerintah yang membutuhkan.

  7. Dalam hal kelebihan PNS tidak dapat disalurkan pada Instansi Pemerintah, PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  8. Dalam hal PNS diberhentikan karena perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah, diatur sebagai berikut:

    1. PPK atau PyB menyampaikan usul pemberhentian PNS kepada Presiden atau PPK sesuai kewenangan masing-masing;

    2. Dalam hal PNS yang diberhentikan akibat perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah berhak atas jaminan pensiun dan jaminan hari tua, PPK atau PyB menyampaikan usul pemberhentian PNS kepada Presiden atau PPK dengan tembusan kepada Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN;

    3. Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN atas dasar tembusan usul pemberhentian PNS dari PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada Angka 2, menetapkan pertimbangan teknis kepada Presiden atau PPK;

    4. Pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN sebagaimana dimaksud pada angka 3, ditetapkan paling lama 14 [empat belas] hari kerja, sejak berkas usul pemberhentian PNS secara lengkap diterima;

    5. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberhentian PNS dan/atau pemberian pensiun PNS berdasarkan pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN sebagaimana dimaksud pada angka 4;

    6. Keputusan pemberhentian PNS bagi PNS yang belum berusia 50 [lima puluh] tahun dan sudah memiliki masa kerja untuk pensiun minimal 10 [sepuluh] tahun, pemberian jaminan pensiun PNS mulai diberikan pada bulan berikutnya PNS yang bersangkutan berusia 50 [lima puluh] tahun.

Bagian KetujuhPemberhentian Karena Tidak Cakap Jasmani

dan/atau Rohani

Pasal 11

  1. PNS yang tidak cakap jasmani dan/atau rohani diberhentikan dengan hormat apabila:

    1. tidak dapat bekerja lagi dalam semua Jabatan karena kesehatannya;

    2. menderita penyakit atau kelainan yang berbahaya bagi dirinya sendiri atau lingkungan kerjanya; atau

    3. tidak mampu bekerja kembali setelah berakhirnya cuti sakit.

  2. PNS yang tidak cakap jasmani dan/atau rohani karena tidak dapat bekerja lagi, menderita penyakit yang berbahaya, atau tidak mampu bekerja kembali sebagaimana dimaksud pada ayat [1], sesuai dengan contoh kasus yang tercantum dalam Angka 8 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

  3. Ketentuan mengenai tidak cakap jasmani dan/atau rohani sebagaimana dimaksud pada ayat [1], berdasarkan hasil pemeriksaan tim penguji kesehatan yang menyatakan PNS yang bersangkutan tidak dapat bekerja kembali di semua jabatan PNS.

  4. Tim penguji kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat [3], dibentuk oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

  5. Tim penguji kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat [4], beranggotakan dokter pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  6. PNS yang diberhentikan dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat [1], mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  7. PNS yang diberhentikan dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat [1], yang disebabkan oleh dan karena menjalankan kewajiban jabatan diberikan jaminan pensiun tanpa mempertimbangkan usia dan masa kerja.

  8. PNS yang diberhentikan dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat [1], yang tidak disebabkan oleh dan karena menjalankan kewajiban jabatan diberikan jaminan pensiun apabila telah memiliki masa kerja untuk pensiun paling singkat 4 [empat] tahun.

Bagian KedelapanTata Cara Pemberhentian PNS Yang Tidak Cakap

Jasmani dan/atau Rohani

Pasal 12

Tata cara pemberhentian PNS yang tidak cakap jasmani dan/atau rohani, sebagai berikut:

  1. Pemberhentian karena tidak cakap jasmani dan/atau rohani dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan tim penguji kesehatan;

  2. Setelah adanya hasil pemeriksaan kesehatan oleh tim penguji kesehatan sebagaimana dimaksud pada huruf a, Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama yang bertanggung jawab di bidang kepegawaian meneruskan hasil pengujian kesehatan kepada PPK atau PyB;

  3. Pemberhentian dengan hormat PNS yang tidak cakap jasmani dan/atau rohani, berdasarkan hasil pengujian kesehatan PNS oleh tim penguji kesehatan diajukan oleh:

    1. PPK kepada Presiden bagi PNS yang menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF keahlian utama; atau

    2. PyB kepada PPK bagi PNS yang menduduki JPT pratama, JA, dan JF selain JF keahlian utama.

  4. Dalam hal PNS yang diberhentikan karena tidak cakap jasmani dan/atau rohani berhak atas jaminan pensiun dan jaminan hari tua maka usul pemberhentian disampaikan kepada Presiden atau PPK dengan tembusan kepada Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN;

  5. Berdasarkan tembusan usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada huruf d, Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN menetapkan pertimbangan teknis kepada Presiden atau PPK;

  6. Pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN sebagaimana dimaksud pada huruf e, ditetapkan paling lama 14 [empat belas] hari kerja terhitung, sejak berkas usul pemberhentian karena tidak cakap jasmani dan/atau rohani secara lengkap diterima;

  7. Presiden atau PPK menetapkan Keputusan pemberhentian dan pemberian Pensiun berdasarkan pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN sebagaimana dimaksud pada huruf f;

  8. Keputusan pemberhentian karena tidak cakap jasmani dan/atau rohani sebagaimana dimaksud pada huruf g, dengan mendapat hak jaminan pensiun ditetapkan paling lama 14 [empat belas] hari kerja, sejak diterimanya hasil pemeriksaan kesehatan PNS oleh tim penguji kesehatan dan pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN;

  9. Dalam hal pemberhentian karena tidak cakap jasmani dan/atau rohani sebagaimana dimaksud pada huruf g, tanpa mendapat hak jaminan pensiun, keputusan pemberhentian ditetapkan paling lama 14 [empat belas] hari kerja, sejak diterimanya hasil pemeriksaan kesehatan PNS oleh tim penguji kesehatan;

  10. Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada huruf h dan huruf i, berlaku sejak akhir bulan ditetapkan hasil pemeriksaan kesehatan PNS oleh tim penguji kesehatan yang menyatakan PNS yang bersangkutan tidak dapat bekerja kembali di semua jabatan PNS.

  1. PNS yang meninggal dunia diberhentikan dengan hormat sebagai PNS dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  2. PNS dinyatakan meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat [1], apabila:

    1. meninggalnya tidak dalam dan karena menjalankan tugas;

    2. meninggalnya sedang menjalani masa uang tunggu;

    3. meninggalnya pada waktu menjalani cuti di luar tanggungan negara;

    4. meninggal dunia tidak dalam keadaan yang ada hubungannya dengan dinas, sehingga kematiannya itu tidak disamakan dengan meninggal dunia dalam menjalankan tugas kewajibannya; atau

    5. meninggal dunia bukan karena perbuatan anasir yang tidak bertanggung jawab atau bukan sebagai akibat tindakan terhadap anasir itu dalam menjalankan tugas kewajibannya.

  3. PNS yang dinyatakan meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat [2], sesuai dengan contoh kasus yang tercantum dalam Angka 9 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan.

  4. PNS yang meninggal dunia wajib dibuatkan surat keterangan meninggal dunia oleh pimpinan unit kerja yang bertanggung jawab di bidang kepegawaian instansi yang bersangkutan dengan melampirkan surat kematian dari Lurah/Kepala Desa setempat.

  5. Surat keterangan meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat [4], disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Angka 10 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

  6. Apabila PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [2], telah berkeluarga, kepada janda/duda atau anaknya diberikan hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  7. Apabila PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [2], tidak berkeluarga, kepada orang tuanya diberikan hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  1. PNS yang Tewas diberhentikan dengan hormat sebagai PNS dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  2. PNS dinyatakan Tewas sebagaimana dimaksud pada ayat [1], sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Apabila PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [2], telah berkeluarga, kepada janda/duda atau anaknya diberikan hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  4. Apabila PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [2], tidak berkeluarga, kepada orang tuanya diberikan hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  1. Seorang PNS dinyatakan hilang di luar kemampuan dan kemauan PNS yang bersangkutan apabila:

    1. tidak diketahui keberadaannya; dan

    2. tidak diketahui masih hidup atau telah meninggal dunia.

  2. PNS yang hilang sebagaimana dimaksud pada ayat [1], dianggap telah meninggal dunia dan dapat diberhentikan dengan hormat sebagai PNS pada akhir bulan ke-12 [dua belas], sejak dinyatakan hilang.

  3. Pernyataan tentang PNS yang hilang sebagaimana dimaksud pada ayat [2], dibuat secara tertulis oleh PPK atau pejabat lain yang ditunjuk berdasarkan surat keterangan atau berita acara pemeriksaan dari pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia.

  4. Pernyataan tentang PNS yang hilang sebagaimana dimaksud pada ayat [3], dibuat paling lama 14 [empat belas] hari kerja, sejak surat keterangan atau berita acara pemeriksaan dari pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia diterima.

  5. Surat Pernyataan tentang PNS yang hilang sebagaimana dimaksud pada ayat [3], disusun sesuai dengan format sebagaimana tersebut pada Angka 11 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

  6. Kondisi hilang mulai berlaku sejak PNS yang bersangkutan dinyatakan hilang sesuai dengan tanggal yang tercantum dalam surat keterangan atau ‘berita acara pemeriksaan dari pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia.

  7. Janda/duda atau anak dari PNS yang hilang sebagaimana dimaksud pada ayat [2] diberikan hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  8. Hak kepegawaian sebagaimana dimaksud pada ayat [6], terdiri atas gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan pangan, dan tunjangan jabatan sampai dengan ditetapkannya peraturan pemerintah yang mengatur mengenai program jaminan pensiun dan jaminan hari tua.

  9. Dalam hal PNS yang hilang sebagaimana dimaksud pada ayat [1], ditemukan kembali dan masih hidup, dapat diangkat kembali sebagai PNS sepanjang yang bersangkutan belum mencapai Batas Usia Pensiun.

  10. Dalam hal PNS yang hilang sebagaimana dimaksud pada ayat [1], ditemukan kembali dan masih hidup sebelum akhir bulan ke-12 [dua belas], atau belum dianggap meninggal dunia, dapat diangkat kembali sebagai PNS sepanjang yang bersangkutan belum mencapai Batas Usia Pensiun.

  11. Dalam hal adanya dugaan PNS yang hilang maka pihak keluarga atau atasan langsung tempat yang bersangkutan bekerja segera melaporkan kepada PPK secara hierarki melalui atasan langsung tempat yang bersangkutan bekerja.

  12. Berdasarkan laporan pihak keluarga, PPK atau Pejabat yang ditunjuk melaporkan dugaan PNS yang hilang kepada pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia.

  13. Dalam hal PNS yang hilang sebagaimana dimaksud pada ayat [1], ditemukan kembali dan masih hidup setelah akhir bulan ke-12 [dua belas], atau telah dianggap meninggal dunia, dapat diangkat kembali sebagai PNS sepanjang yang bersangkutan belum mencapai Batas Usia Pensiun dan tersedia lowongan jabatan.

  14. Pengangkatan kembali sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [9], ayat [10], dan ayat [13], dilakukan setelah PNS yang bersangkutan diperiksa oleh PPK atau pejabat lain yang ditunjuk dan pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia.

  15. Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat [14], PNS yang dinyatakan hilang karena kemauan dan kemampuannya, yang bersangkutan dijatuhi hukuman disiplin dan wajib mengembalikan hak kepegawaian yang telah diterima oleh Janda/duda atau anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta selama hilang masa kerja tidak dihitung sebagai masa kerja PNS.

  16. Dalam hal PNS yang hilang sebagaimana dimaksud pada ayat [1] ditemukan kembali dan telah mencapai Batas Usia Pensiun, PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat dan diberikan hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  17. Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat [16], setelah dilakukan pemeriksaan oleh PPK atau pejabat lain yang ditunjuk dan pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia.

  18. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat [17], terbukti hilang karena kemauan dan kemampuan yang bersangkutan, maka PNS yang bersangkutan wajib mengembalikan hak kepegawaian yang telah diterima oleh janda/duda atau anaknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  19. Dalam hal PNS yang hilang sebagaimana dimaksud pada ayat [1], belum ditemukan kembali sebelum akhir bulan ke 12 [dua belas], atau sebelum dianggap meninggal dunia tetapi telah mencapai batas usia pensiun maka diberhentikan dengan hormat dan diberikan hak-hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  20. Dalam hal PNS yang hilang sebagaimana dimaksud pada ayat [16], belum ditemukan sampai dengan akhir bulan ke 12 [dua belas], atau telah dianggap meninggal dunia, maka hak kepegawaiannya berubah menjadi pensiun janda/duda atau anaknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  21. Dalam hal PNS yang telah dinyatakan hilang sebagaimana dimaksud pada ayat [16], ditemukan kembali sebelum mencapai Batas Usia Pensiun dan masih hidup tetapi:

    1. sakit dan tidak mampu bekerja lagi setelah berakhirnya cuti sakit;

    2. tidak dapat bekerja lagi dalam semua Jabatan karena kesehatannya; atau

    3. menderita penyakit atau kelainan yang berbahaya bagi dirinya sendiri atau lingkungan kerjanya,

    maka diberhentikan dengan hormat dan diberikan hak- hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  22. Pengembalian hak kepegawaian yang telah diterima sebagaimana dimaksud pada ayat [15], dan ayat [18], terhitung sejak yang bersangkutan dinyatakan hilang.

  23. Dalam hal PNS yang hilang sebagaimana dimaksud pada ayat [1], ditemukan kembali sesudah akhir bulan ke 12 [dua belas], atau telah dianggap meninggal dunia dan telah mencapai batas usia pensiun, Keputusan Pensiun Janda/Duda atau anaknya ditinjau kembali dan kepada yang bersangkutan ditetapkan keputusan Pensiun PNS, terhitung sejak mencapai batas usia pensiun.

  24. Pengangkatan kembali sebagai PNS yang hilang dan ditemukan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat [9], ayat [10], dan ayat [13], dilakukan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan PPK atau pejabat lain yang ditunjuk dan pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia terbukti hilang bukan karena kemauan dan kemampuan yang bersangkutan maka PPK segera mengangkat kembali yang bersangkutan dalam jabatan PNS.

  25. PNS yang diangkat kembali sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [24], ditempatkan pada unit kerja yang sesuai dengan kompetensi, kualifikasi, dan capaian kinerja yang bersangkutan sebelum yang bersangkutan dinyatakan hilang.

  26. Lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat [13], adalah lowongan jabatan untuk mengisi kebutuhan instansi yang dapat berupa promosi, penurunan jabatan, atau dikembalikan pada jabatan semula berdasarkan persyaratan jabatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

  27. Dalam hal PNS yang ditempatkan pada unit kerja sebagaimana dimaksud pada ayat [25], sampai dengan 2 [dua] tahun tidak tersedia lowongan Jabatan maka diberhentikan dengan hormat sebagai PNS sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tata cara pemberhentian PNS karena Meninggal Dunia, Tewas, atau Hilang sebagai berikut:

  1. PPK menyampaikan usul pemberhentian PNS karena Meninggal Dunia, Tewas, atau Hilang kepada Presiden bagi PNS yang menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF keahlian utama;

  2. PyB menyampaikan usul pemberhentian PNS karena Meninggal Dunia, Tewas, atau Hilang kepada PPK bagi PNS yang menduduki JPT pratama, JA, dan JF selain JF keahlian utama;

  3. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberhentian dengan hormat sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, dengan mendapat hak kepegawaian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

  4. Dalam hal PNS yang diberhentikan karena meninggal dunia, tewas, atau hilang berhak atas jaminan pensiun dan jaminan hari tua, PPK atau PyB menyampaikan usul pemberhentian PNS kepada Presiden atau PPK dengan tembusan kepada Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN;

  5. Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN atas dasar tembusan usul pemberhentian dari PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada huruf d, memberikan pertimbangan teknis pensiun PNS dan Janda/duda kepada Presiden atau PPK;

  6. Pemberian pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN sebagaimana dimaksud pada huruf e, paling lama 14 [empat belas] hari kerja, sejak berkas usul pensiun secara lengkap diterima;

  7. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberhentian dengan hormat sebagai PNS berdasarkan pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN sebagaimana dimaksud pada huruf f, dengan mendapat jaminan pensiun dan jaminan hari tua sebagaimana dimaksud pada huruf d;

  8. Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada huruf c, dan huruf g, ditetapkan paling lama 14 [empat belas] hari kerja, setelah usul pemberhentian secara lengkap diterima.

Bagian KesebelasPemberhentian PNS Karena Melakukan Tindak Pidana/

Penyelewengan

Pasal 17

  1. PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 [dua] tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana.

  2. PNS yang dipidana dengan pidana penjara 2 [dua] tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana tidak dengan berencana, tidak diberhentikan sebagai PNS apabila memenuhi kriteria:

    1. perbuatannya tidak menurunkan harkat dan martabat dari PNS;

    2. mempunyai prestasi kerja yang baik;

    3. tidak mempengaruhi lingkungan kerja setelah diaktifkan kembali; dan

    4. tersedia lowongan Jabatan.

  3. Kriteria untuk tidak memberhentikan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [2], bersifat kumulatif sebagai berikut:

    1. perbuatannya baik secara langsung maupun tidak langsung tidak menurunkan harkat dan martabat dari PNS;

    2. mempunyai prestasi kerja yang baik yang dapat diukur dari penilaian prestasi kerja bernilai baik dalam 2 [dua] tahun terakhir;

    3. tidak mempengaruhi lingkungan kerja setelah diaktifkan kembali yang dapat diukur sebelum yang bersangkutan dijatuhi pidana penjara selama melaksanakan tugas jabatan memiliki perilaku kerja yang baik; dan

    4. tersedia lowongan Jabatan yang dapat dibuktikan berdasarkan hasil perhitungan analisis jabatan dan analisis beban kerja, dalam hal ini disesuaikan dengan kebutuhan jabatan yang ada.

  4. PNS yang tidak diberhentikan karena memenuhi syarat kumulatif sebagaimana dimaksud pada ayat [2], sesuai dengan contoh kasus yang tercantum dalam Angka 12 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

  5. Dalam hal PNS tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat [2], maka diberhentikan dengan hormat sebagai PNS.

  6. PNS yang dipidana dengan pidana penjara kurang dari 2 [dua] tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana tidak dengan berencana, tidak diberhentikan sebagai PNS apabila tersedia lowongan Jabatan.

  7. Ketersediaan lowongan Jabatan yang menjadi syarat agar PNS yang dipidana dengan pidana penjara kurang dari 2 [dua] tahun tidak diberhentikan sebagai PNS, harus berdasarkan hasil perhitungan analisis jabatan dan analisis beban kerja sesuai dengan kebutuhan jabatan yang tersedia.

  8. PNS yang tidak diberhentikan karena dipidana kurang dari 2 [dua] tahun dan tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat [6], sesuai dengan contoh kasus yang tercantum dalam Angka 13 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

  9. PNS yang tidak diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat [2], dan ayat [6], maka berlaku ketentuan sebagai berikut:

    1. selama yang bersangkutan menjalani pidana penjara maka tetap berstatus sebagai PNS dan tidak menerima hak kepegawaiannya sampai diaktifkan kembali sebagai PNS.

    2. penghentian hak kepegawaian yang bersangkutan terhitung sejak akhir bulan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, yaitu selama menjalani pidana penjara sampai dengan pengaktifan kembali sebagai PNS.

    3. dalam hal terdapat penghasilan yang sudah terlanjur dibayarkan kepada yang bersangkutan, maka dikembalikan ke kas Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    4. pengaktifkan kembali sebagai PNS tersebut dilakukan apabila tersedia lowongan Jabatan.

    5. keputusan Pengaktifkan kembali sebagai PNS, disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Angka 14 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

    6. dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan, PNS sebagaimana dimaksud pada huruf d, dalam jangka waktu paling lama 2 [dua] tahun yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat sebagai PNS.

    7. selama menunggu lowongan jabatan, PNS sebagaimana dimaksud pada huruf f, tidak menerima penghasilan.

    8. penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf g, baru dapat dibayarkan terhitung mulai tanggal pengaktifan kembali sebagai PNS.

    9. masa selama PNS menjalani pidana penjara sejak putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap sampai dengan diaktifkan kembali tidak dihitung sebagai masa kerja PNS.

    10. PNS yang sedang menjalani pidana penjara dan sudah berusia 58 [lima puluh delapan] tahun diberhentikan dengan hormat sebagai PNS terhitung sejak akhir bulan dicapainya usia 58 [lima puluh delapan] tahun.

    11. PNS yang sedang menjalani pidana penjara apabila meninggal dunia, maka diberhentikan dengan hormat sebagai PNS dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  10. PNS diberhentikan dengan tidak hormat apabila:

    1. melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    2. dipidana dengan pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan Jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan Jabatan;

    3. PNS menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; atau

    4. dipidana dengan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 [dua] tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.

  11. Khusus pemberhentian PNS tidak dengan hormat karena melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana dimaksud pada ayat [10] huruf a, tidak melihat lamanya pidana penjara atau kurungan yang telah diputus oleh pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

  12. Dalam hal PNS terbukti melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka yang bersangkutan telah melanggar sumpahnya untuk taat dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945.

  13. Khusus pemberhentian PNS tidak dengan hormat karena melakukan tindak pidana kejahatan Jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat [10] huruf b, tidak melihat lamanya pidana penjara atau kurungan yang telah diputus oleh pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

  14. Tindak pidana kejahatan jabatan yaitu tindak pidana yang dilakukan PNS dalam jabatan ASN karena melaksanakan tugas jabatannya yang berdasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, terbukti melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai korupsi yang merugikan keuangan negara/perekonomian negara serta dipidana dengan pidana penjara dan/atau denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  15. Tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan yaitu tindak pidana yang dilakukan PNS bukan dalam jabatan ASN tetapi karena melaksanakan tugas tambahan atau tugas dalam jabatan lain yang diberikan oleh pejabat yang berwenang, dan berdasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap terbukti melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai korupsi yang merugikan keuangan negara/perekonomian negara serta dipidana dengan pidana penjara dan/atau denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  16. Dalam hal terdapat PNS melakukan tindak pidana bukan dalam jabatan ASN yaitu dalam jabatan lain yang diberikan oleh pejabat yang berwenang yang dilakukan sebelum berstatus PNS tetapi berdasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap terbukti melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai korupsi yang merugikan keuangan negara/perekonomian negara serta dipidana dengan pidana penjara dan/atau denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maka harus diberhentikan dengan hormat sebagai PNS karena salah satu pertimbangan mendasar dibentuknya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 perlunya dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral, dan bebas dari intervensi politik serta bersih dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.

  17. Tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan sesuai dengan contoh kasus yang tercantum dalam Angka 15 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

  18. PNS yang melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau yang ada hubungannya dengan jabatan harus diberhentikan tidak dengan hormat karena dengan melakukan tindak pidana dimaksud PNS telah menyalahgunakan atau mengkhianati jabatan yang dipercayakan kepadanya untuk diemban pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai Pegawai ASN.

  19. Tindak pidana berencana sebagaimana dimaksud pada ayat [10] huruf d, yaitu tindak pidana yang salah satu unsurnya yaitu dengan rencana lebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana.

  20. Pada saat Peraturan Badan ini ditetapkan, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana sebagaimana yang dimaksud pada ayat [19] tercantum dalam Pasal 340, Pasal 353, dan Pasal 355 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

  21. PNS yang dipidana dengan pidana penjara kurang dari 2 [dua] tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan berencana, diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS.

  22. Pemberhentian PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [1], ayat [10] huruf a, huruf b, dan huruf d, dan ayat [21], ditetapkan terhitung mulai akhir bulan sejak putusan pengadilan atas perkaranya yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Tata Cara Pemberhentian karena melakukan tindak pidana/penyelewengan, dilakukan sebagai berikut:

  1. Pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat PNS yang melakukan tindak pidana/penyelewengan diusulkan oleh:

    1. PPK kepada Presiden bagi PNS yang menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF ahli utama; atau

    2. PyB kepada PPK bagi PNS yang menduduki JPT pratama, JA, JF selain JF ahli utama.

  2. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada huruf a, dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada huruf b, ditetapkan paling lama 21 [dua puluh satu] hari kerja setelah usul pemberhentian secara lengkap diterima.

  4. Usul Pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat sebagai PNS dari PPK kepada Presiden atau dari PyB kepada PPK sebagaimana dimaksud pada huruf a, disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Angka 16 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

  5. Keputusan Pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada huruf a, disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Angka 17 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

  6. Dalam hal PNS yang diberhentikan sebagaimana dimaksud pada huruf a memenuhi syarat diberikan jaminan pensiun maka PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada huruf d menyampaikan usul pemberhentian PNS kepada Presiden atau PPK dengan tembusan kepada Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

  7. Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN atas dasar usul pemberhentian dari PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada huruf f, memberikan Pertimbangan Teknis Pensiun PNS dan janda/duda kepada Presiden atau PPK.

  8. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberian pensiun setelah mendapatkan pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

Bagian Ketigabelas
Pemberhentian PNS Karena Pelanggaran Disiplin

Pasal 19

  1. PNS diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri apabila melakukan pelanggaran disiplin PNS tingkat berat.

  2. Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat [1], dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai disiplin PNS.

Bagian Keempatbelas
Tata Cara Pemberhentian PNS Karena Pelanggaran Disiplin

Pasal 20

Tata Cara Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS karena melakukan pelanggaran disiplin, dilakukan sebagai berikut:

  1. Pemberhentian dengan hormat PNS yang melakukan pelanggaran disiplin diusulkan oleh:

    1. PPK kepada Presiden bagi PNS yang menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF ahli utama; atau

    2. PyB kepada PPK bagi PNS yang menduduki JPT pratama, JA, dan JF selain JF ahli utama.

  2. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada huruf a, dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada huruf b, ditetapkan paling lama 21 [dua puluh satu] hari kerja, setelah usul pemberhentian secara lengkap diterima.

  4. Dalam hal PNS yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat [1] memenuhi syarat diberikan jaminan pensiun maka PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada huruf a menyampaikan usul pemberhentian PNS kepada Presiden atau PPK dengan tembusan kepada Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

  5. Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN atas dasar usul pemberhentian dari PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada huruf d, memberikan Pertimbangan Teknis Pensiun PNS dan janda/duda kepada Presiden atau PPK.

  6. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberian pensiun setelah mendapatkan pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

Bagian KelimabelasPemberhentian PNS Karena Mencalonkan Diri atauDicalonkan Menjadi Presiden dan Wakil Presiden, Ketua,Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua,Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah,Gubernur dan Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota dan

Wakil Bupati/Wakil Walikota

Pasal 21

  1. PNS wajib mengundurkan diri sebagai PNS pada saat ditetapkan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota oleh lembaga yang bertugas melaksanakan pemilihan umum.

  2. Pernyataan pengunduran diri sebagaimana dimaksud pada ayat [1], tidak dapat ditarik kembali.

  3. Permohonan pengunduran diri sebagaimana dimaksud pada ayat [1], dapat ditolak apabila:

    1. sedang dalam proses peradilan karena diduga melakukan tindak pidana kejahatan;

    2. terikat kewajiban bekerja pada Instansi Pemerintah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    3. dalam pemeriksaan pejabat yang berwenang memeriksa karena diduga melakukan pelanggaran disiplin PNS;

    4. sedang mengajukan upaya banding administratif karena dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; atau

    5. sedang menjalani hukuman disiplin.

  4. Surat pernyataan pengunduran diri sebagai PNS, disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Angka 18 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

  5. PNS yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat [1], diberhentikan dengan hormat sebagai PNS.

  6. PNS yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat [1], diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS.

  7. Pemberhentian dengan hormat sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [5] dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [6], berlaku terhitung mulai PNS yang bersangkutan ditetapkan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota oleh lembaga yang bertugas melaksanakan pemilihan umum.

Bagian KeenambelasTata Cara Pemberhentian PNS Karena Mencalonkan Diri atauDicalonkan Menjadi Presiden dan Wakil Presiden, Ketua,Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua,Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah,Gubernur dan Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota dan

Wakil Bupati/Wakil Walikota

Pasal 22

Tata Cara pemberhentian karena mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota diatur sebagai berikut:

  1. Bagi PNS yang mengundurkan diri dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. Permohonan berhenti sebagai PNS karena mencalonkan atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota diajukan secara tertulis dengan membuat surat pernyataan pengunduran diri kepada Presiden melalui PPK atau PPK melalui PyB secara hierarki setelah ditetapkan sebagai calon oleh lembaga yang bertugas melaksanakan pemilihan umum;

    2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1, dengan melampirkan surat keputusan penetapan calon oleh lembaga yang bertugas melaksanakan pemilihan umum;

    3. Permohonan berhenti sebagaimana dimaksud pada angka 1, disampaikan oleh:

      1. PPK kepada Presiden bagi PNS yang menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF ahli utama; atau

      2. PyB kepada PPK bagi PNS yang menduduki JPT pratama, JA, dan JF selain JF ahli utama.

    4. Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada angka 3, ditetapkan paling lama 21 [dua puluh satu] hari kerja setelah usul pemberhentian secara lengkap diterima;

    5. Dalam hal PNS yang diberhentikan sebagaimana dimaksud pada angka 1 memenuhi syarat diberikan jaminan pensiun maka PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada angka 3 menyampaikan usul pemberhentian PNS kepada Presiden atau PPK dengan tembusan kepada Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN;

    6. Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN atas dasar usul pemberhentian dari PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada angka 5, memberikan Pertimbangan Teknis Pensiun PNS dan janda/duda kepada Presiden atau PPK;

    7. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberian pensiun setelah mendapatkan pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

  2. Bagi PNS yang tidak mengajukan pengunduran diri dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. PNS yang diketahui melanggar kewajiban pengunduran diri karena mencalonkan atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota maka diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS;

    2. Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada angka 1 diusulkan oleh:

      1. PPK kepada Presiden bagi PNS yang menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF ahli utama; atau

      2. PyB kepada PPK bagi PNS yang menduduki JPT pratama, JA, dan JF selain JF ahli utama.

    3. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada angka 1, dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan huruf b, ditetapkan paling lama 14 [empat belas] hari kerja, setelah usul pemberhentian secara lengkap diterima.

Bagian KetujuhbelasPemberhentian Karena Menjadi Anggota dan/atau

Pengurus Partai Politik

Pasal 23

  1. PNS dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.

  2. PNS yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik wajib mengundurkan diri secara tertulis.

  3. Pengunduran diri secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat [2], dilakukan sebelum yang bersangkutan ditetapkan menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.

  4. Pengunduran diri sebagaimana dimaksud pada ayat [2], diajukan secara tertulis kepada PPK dan tembusannya disampaikan kepada:

    1. atasan langsung Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan paling rendah pejabat pengawas;

    2. pejabat yang bertanggung jawab di bidang kepegawaian instansi yang bersangkutan; dan

    3. pejabat yang bertanggung jawab di bidang keuangan instansi yang bersangkutan.

  5. Atasan sebagaimana dimaksud pada ayat [4] huruf a, wajib menyampaikan pertimbangan kepada PPK paling lama 10 [sepuluh] hari kerja, setelah diterimanya tembusan pengunduran diri.

  6. PPK sebagaimana dimaksud pada ayat [4], wajib mengambil keputusan paling lama 10 [sepuluh] hari kerja, sejak diterimanya pertimbangan dari atasan langsung PNS yang bersangkutan.

  7. Apabila sampai dengan jangka waktu 10 [sepuluh] hari kerja, sejak atasan langsung menerima surat pengunduran diri tidak memberikan pertimbangan kepada PPK, maka paling lama 20 [dua puluh] hari kerja, sejak diterimanya surat pengunduran diri keputusan pemberhentian dapat ditetapkan tanpa pertimbangan atasan langsung PNS yang bersangkutan.

  8. Apabila setelah tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat [7], PPK tidak mengambil keputusan, maka usul pengunduran diri PNS tersebut dianggap dikabulkan kecuali pemberhentian yang menjadi kewenangan Presiden.

  9. PPK sebagaimana dimaksud pada ayat [8], sudah harus menetapkan keputusan pemberhentian PNS yang bersangkutan paling lama 30 [tiga puluh] hari sejak dianggap dikabulkan.

  10. Permohonan pengunduran diri sebagaimana dimaksud pada ayat [4], dapat ditolak apabila:

    1. sedang dalam proses peradilan karena diduga melakukan tindak pidana kejahatan;

    2. terikat kewajiban bekerja pada Instansi Pemerintah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    3. dalam pemeriksaan pejabat yang berwenang memeriksa karena diduga melakukan pelanggaran disiplin PNS;

    4. sedang mengajukan upaya banding administratif karena dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan/atau

    5. sedang menjalani hukuman disiplin.

  11. PNS yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat [2], diberhentikan dengan hormat sebagai PNS terhitung mulai akhir bulan pengunduran diri PNS yang bersangkutan.

  12. PNS yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud pada ayat [1], diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS.

  13. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [12], terhitung mulai akhir bulan PNS yang bersangkutan menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.

Bagian KedelapanbelasTata Cara Pemberhentian Karena Menjadi Anggota dan/atau

Pengurus Partai Politik

Pasal 24

Tata Cara Pemberhentian karena menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik diatur sebagai berikut:

  1. Bagi PNS yang mengundurkan diri dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. Permohonan berhenti sebagai PNS karena menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik diajukan secara tertulis kepada PPK melalui PyB secara hierarki;

    2. Permohonan berhenti sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada angka 1 disampaikan oleh:

      1. PPK kepada Presiden bagi PNS yang menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF ahli utama; atau

      2. PyB kepada PPK bagi PNS yang menduduki JPT pratama, JA, dan JF selain JF ahli utama.

    3. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberhentian dengan hormat sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2, dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    4. Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada angka 2, ditetapkan paling lama 14 [empat belas] hari kerja, setelah usul pemberhentian secara lengkap diterima;

    5. Dalam hal PNS yang diberhentikan memenuhi syarat diberikan jaminan pensiun maka PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada angka 2 menyampaikan usul pemberhentian PNS kepada Presiden atau PPK dengan tembusan kepada Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN;

    6. Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN atas dasar usul pemberhentian dari PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada angka 5, memberikan Pertimbangan Teknis Pensiun PNS dan janda/duda kepada Presiden atau PPK;

    7. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberian pensiun setelah mendapatkan pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

  2. Bagi PNS yang tidak mengundurkan diri setelah menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. PNS yang diketahui tidak mengundurkan diri setelah menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS;

    2. Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada angka 1, diusulkan oleh:

      1. PPK kepada Presiden bagi PNS yang menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF ahli utama; atau

      2. PyB kepada PPK bagi PNS yang menduduki JPT pratama, JA, dan JF selain JF ahli utama.

    3. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada angka 1, dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    4. Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada angka 3, ditetapkan paling lama 21 [dua puluh satu] hari kerja, setelah PNS yang bersangkutan terbukti menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.

Bagian KesembilanbelasPemberhentian Karena Tidak Menjabat Lagi

Sebagai Pejabat Negara

Pasal 25

  1. PNS yang tidak menjabat lagi sebagai ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi, ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan, ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial, ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, menteri dan jabatan setingkat menteri, kepala perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, diberhentikan dengan hormat sebagai PNS apabila dalam waktu paling lama 2 [dua] tahun tidak tersedia lowongan Jabatan.

  2. Selama menunggu tersedianya lowongan jabatan sesuai dengan kompetensi dan kualifikasi PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [1], diaktifkan kembali sebagai PNS dan diberikan penghasilan sebesar 50% [lima puluh persen] dari penghasilan Jabatan terakhir sebagai PNS sebelum diangkat sebagai pejabat negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. PNS yang diaktifkan kembali setelah selesai menjadi pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat [2], sesuai dengan contoh kasus yang tercantum dalam Angka 19 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

  4. PNS yang telah selesai menjadi pejabat negara mengajukan pengaktifan kembali sebagai PNS kepada PPK melalui PyB paling lama 30 [tiga puluh] hari kalender, terhitung setelah yang bersangkutan diberhentikan sebagai pejabat negara.

  5. Dalam hal PNS yang bersangkutan tidak mengajukan pengaktifan kembali dalam jangka waktu 25 [dua puluh lima] hari kalender, PyB dapat memanggil PNS yang bersangkutan untuk mengajukan pengaktifan kembali.

  6. Dalam hal PNS yang bersangkutan tidak mengajukan pengaktifan kembali dalam jangka waktu lebih dari 30 [tiga puluh] hari kalender, maka PPK memberhentikan dengan hormat sebagai PNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  7. PNS yang diaktifkan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat [2], ditempatkan pada unit kerja yang sesuai dengan kompetensi yang bersangkutan sebelum diangkat sebagai pejabat negara dan tetap bekerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

  8. Dalam hal tersedia lowongan jabatan, PNS yang bersangkutan dapat diangkat dalam jabatan yang lebih tinggi, jabatan yang setara, atau jabatan yang lebih rendah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

  9. Pemberhentian dengan hormat sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [1], terhitung mulai akhir bulan sejak 2 [dua] tahun tidak tersedia lowongan Jabatan.

Bagian KeduapuluhTata Cara Pemberhentian Karena Tidak Menjabat Lagi

Sebagai Pejabat Negara

Pasal 26

Tata Cara Pemberhentian karena tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara sebagai berikut:

  1. Pemberhentian dengan hormat PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara dan tidak tersedia lowongan Jabatan diusulkan oleh:

    1. PPK kepada Presiden bagi PNS yang menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF ahli utama; atau

    2. PyB kepada PPK bagi PNS yang menduduki JPT pratama, JA, dan JF selain JF ahli utama.

  2. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberhentian dengan hormat sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada huruf a, dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada huruf b. ditetapkan paling lama 14 [empat belas] hari kerja, setelah usul pemberhentian secara lengkap diterima.

  4. Dalam hal PNS yang diberhentikan memenuhi syarat diberikan jaminan pensiun maka PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada huruf a menyampaikan usul pemberhentian PNS kepada Presiden atau PPK dengan tembusan kepada Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

  5. Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN atas dasar usul pemberhentian dari PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada huruf d, memberikan Pertimbangan Teknis Pensiun PNS dan janda/duda kepada Presiden atau PPK.

  6. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberian pensiun setelah mendapatkan pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

Bagian Keduapuluhsatu
Pemberhentian Karena Hal Lain

Paragraf 1Pemberhentian Karena Tidak Melaporkan Diri Setelah SelesaiCuti di Luar Tanggungan Negara atau Pemberhentian KarenaSetelah Selesai Menjalani Cuti di Luar Tanggungan Negara

Dalam Waktu 1 [satu] Tahun Tidak Dapat Disalurkan

Pasal 27

  1. PNS yang telah selesai menjalankan cuti di luar tanggungan negara wajib melaporkan diri secara tertulis kepada instansi induknya.

  2. Batas waktu melaporkan diri secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat [1], paling lama 1 [satu] bulan, setelah selesai menjalankan cuti di luar tanggungan Negara.

  3. PNS yang tidak melaporkan diri secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat [1], diberhentikan dengan hormat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  4. Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat [3], ditetapkan oleh Presiden atau PPK paling lama 14 [empat belas] hari kerja, setelah usul pemberhentian secara lengkap diterima.

  5. Pemberhentian dengan hormat sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [3], mulai berlaku pada akhir bulan setelah yang bersangkutan melewati batas waktu yang ditentukan untuk melapor setelah berakhirnya cuti di luar tanggungan negara.

  6. PNS yang cuti di luar tanggungan negara, tidak melaporkan diri kepada instansi induknya sebagaimana dimaksud pada ayat [3], sesuai dengan contoh kasus yang tercantum dalam Angka 20 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

  7. PNS yang melaporkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat [1], tetapi tidak dapat diangkat dalam Jabatan pada instansi induknya, disalurkan pada instansi lain.

  8. PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [7], diaktifkan kembali sebagai PNS sesuai Jabatan yang tersedia.

  9. Pengaktifan kembali sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [7], memerhatikan antara kompetensi jabatan yang dimiliki dengan syarat jabatan.

  10. Penyaluran pada instansi lain sebagaimana dimaksud pada ayat [7], dilakukan oleh PPK setelah berkoordinasi dengan Kepala BKN.

  11. PNS yang tidak dapat disalurkan dalam waktu paling lama 1 [satu] tahun, diberhentikan dengan hormat sebagai PNS.

  12. Pemberhentian dengan hormat sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [11], ditetapkan oleh Presiden atau PPK terhitung mulai akhir bulan ke 12 [dua belas], sejak yang bersangkutan melaporkan diri.

  13. PNS yang cuti di luar tanggungan negara, melaporkan diri kepada instansi induknya dan menunggu selama 1 [satu] tahun, namun belum dapat diangkat dalam jabatan pada instansi induknya atau disalurkan pada instansi lain sebagaimana dimaksud pada ayat [11], sesuai dengan contoh kasus yang tercantum dalam Angka 21 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

  14. Selama menunggu disalurkan pada instansi lain, PNS yang bersangkutan tidak menerima penghasilan dan tidak diperhitungkan sebagai masa kerja PNS.

  15. Penghasilan yang bersangkutan dibayarkan kembali terhitung mulai tanggal pengaktifan dan pengangkatannya dalam jabatan PNS.

  16. PNS yang diberhentikan dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat [3], dan ayat [11], diberikan hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 2
Pemberhentian Karena Menggunakan Ijazah Palsu

Pasal 28

  1. PNS yang terbukti menggunakan ijazah palsu dalam pembinaan kepegawaian diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri.

  2. Ijazah sebagaimana yang dimaksud pada ayat [1], merupakan dokumen resmi yang diterbitkan sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau kelulusan suatu jenjang pendidikan.

  3. Ijazah palsu merupakan ijazah yang bentuk, ciri dan isinya tidak sah.

  4. Kriteria ijazah palsu antara lain sebagai berikut:

    1. blangko ijazahnya palsu;

    2. blangko ijazahnya sah dikeluarkan lembaga yang berwenang, tetapi tidak ditandatangani oleh pejabat yang berwenang untuk menandatangani ijazah;

    3. blangko ijazahnya sah dikeluarkan lembaga yang berwenang, ditandatangani oleh pejabat yang berwenang untuk menandatangani ijazah, tetapi sebagian maupun seluruh isinya tidak benar; dan/atau

    4. Ijazah yang diperoleh dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pendidikan

  5. PNS yang diduga menggunakan ijazah palsu dilakukan penelitian dan pembuktian oleh pejabat yang berwenang menentukan keaslian ijazah.

  6. Pejabat yang berwenang menentukan keaslian ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat [5], diatur sebagai berikut;

    1. di lingkungan kementerian yang mempunyai tugas antara lain menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan tinggi yaitu:

      1. Menteri yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan tinggi bagi ijazah yang dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi Luar Negeri;

      2. Pimpinan perguruan tinggi negeri bagi ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi negeri; dan

      3. Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi, bagi ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi swasta.

    2. di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama, yaitu:

      1. Pimpinan perguruan tinggi negeri, bagi ijazah yang dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi Negeri di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama;

      2. Ketua Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta, bagi ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi agama islam swasta; dan

      3. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama, bagi ijazah yang dikeluarkan oleh Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah atau yang sederajat, baik madrasah negeri maupun swasta.

    3. di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan yaitu Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, bagi ijazah yang dikeluarkan sekolah-sekolah kesehatan atau yang sejenis baik negeri maupun swasta.

    4. di lingkungan pemerintah daerah, yaitu Kepala Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota, bagi ijazah yang dikeluarkan Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Dasar atau yang sederajat, baik sekolah negeri maupun swasta.

    5. di lingkungan instansi pemerintah lainnya, yaitu Menteri/Pejabat lain yang ditunjuk, bagi ijazah yang dikeluarkan oleh sekolah/lembaga pendidikan yang bersangkutan.

  7. PNS yang terbukti menggunakan ijazah palsu sebagaimana dimaksud pada ayat [1] diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri, apabila ijazahnya digunakan dalam pembinaan kepegawaian untuk kenaikan pangkat, kepentingan karir dan/atau jabatan.

  8. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat [7], berlaku secara mutatis mutandis terhadap Calon PNS.

Paragraf 3Pemberhentian Karena Tidak Melaporkan Diri

Setelah Selesai Tugas Belajar

Pasal 29

  1. PNS yang telah selesai menjalankan tugas belajar wajib melapor kepada PPK paling lama 15 [lima belas] hari kerja, sejak berakhirnya masa tugas belajar.

  2. Kewajiban melapor sebagaimana dimaksud pada ayat [1], dibuat secara tertulis.

  3. Batas wajib melapor sebagaimana dimaksud pada ayat [1], dihitung sejak berakhirnya tugas belajar yang tercantum dalam surat perintah tugas belajar.

  4. Dalam hal PNS tidak melapor kepada PPK sebagaimana dimaksud pada ayat [1], PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  5. PNS yang telah menyelesaikan tugas belajarnya namun yang bersangkutan belum melapor secara tertulis kepada pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat [4], sesuai dengan contoh kasus yang tercantum dalam Angka 22 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

Paragraf 4Pemberhentian Karena Menolak Untuk Diangkat Kembali

Dalam Jabatan Pada Saat Menerima Uang Tunggu

Pasal 30

  1. PNS yang menerima uang tunggu yang menolak untuk diangkat kembali dalam Jabatan, diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS pada akhir bulan yang bersangkutan menolak untuk diangkat kembali.

  2. Penolakan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [1], dibuat secara tertulis.

Paragraf 5Pemberhentian Karena Tidak Menjabat Lagi

Sebagai Komisioner atau Anggota Lembaga Nonstruktural

Pasal 31

  1. PNS yang tidak menjabat lagi sebagai komisioner atau anggota lembaga nonstruktural, diberhentikan dengan hormat sebagai PNS apabila dalam waktu paling lama 2 [dua] tahun tidak tersedia lowongan Jabatan.

  2. PNS yang telah selesai menjadi komisioner atau anggota lembaga nonstruktural mengajukan pengaktifan kembali sebagai PNS kepada PPK melalui PyB paling lama 30 [tiga puluh] hari kalender, terhitung setelah yang bersangkutan diberhentikan sebagai komisioner atau anggota lembaga nonstruktural.

  3. Dalam hal PNS yang bersangkutan tidak mengajukan pengaktifan kembali dalam jangka waktu 25 [dua puluh lima] hari kalender, PyB dapat memanggil PNS yang bersangkutan untuk mengajukan pengaktifan kembali.

  4. Dalam hal PNS yang bersangkutan tidak mengajukan pengaktifan kembali dalam jangka waktu lebih dari 30 [tiga puluh] hari kalender, maka PPK memberhentikan dengan hormat sebagai PNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  5. Pemberhentian dengan hormat sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [1], terhitung mulai akhir bulan sejak 2 [dua] tahun tidak tersedia lowongan Jabatan.

  6. PNS yang mengajukan pengaktifkan kembali setelah selesai menjadi komisioner atau anggota lembaga nonstruktural dan setelah 2 [dua] tahun tidak tersedia lowongan jabatan, sesuai dengan contoh kasus yang tercantum dalam Angka 23 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

Paragraf 6PNS Yang Tidak Dapat Memperbaiki Kinerja Sesuai

Dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan

Pasal 32

  1. PNS yang tidak memenuhi target kinerja diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS.

  2. Target kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat [1], dituangkan dalam sasaran kinerja pegawai [SKP] dan akan dilakukan penilaian kinerja setiap tahunnya.

  3. Penilaian Kinerja PNS dinyatakan dengan angka dan sebutan atau predikat sebagai berikut:

    1. Sangat Baik, apabila PNS memiliki nilai dengan angka kurang dari/sama dengan 110 [seratus sepuluh] sampai angka kurang dari/sama dengan 120 [seratus dua puluh] dan menciptakan ide baru dan/atau cara baru dalam peningkatan kinerja yang memberi manfaat bagi organisasi atau negara;

    2. Baik, apabila PNS memiliki nilai dengan angka lebih dari 90 [sembilan puluh] sampai angka kurang dari/sama dengan 120 [seratus dua puluh];

    3. Cukup, apabila PNS memiliki nilai dengan angka lebih dari 70 [tujuh puluh] sampai angka sama dengan 90 [sembilan puluh];

    4. Kurang, apabila PNS memiliki nilai dengan angka lebih dari 50 [lima puluh] sampai angka sama dengan 70 [tujuh puluh];

    5. Sangat Kurang, apabila PNS memiliki nilai dengan angka kurang dari 50 [lima puluh].

  4. PNS diberhentikan dengan hormat karena mendapatkan penilaian kinerja dengan predikat Kurang atau Sangat Kurang, apabila:

    1. PNS tersebut diberikan kesempatan selama 6 [enam] bulan untuk memperbaiki kinerjanya;

    2. dalam hal PNS tidak menunjukan perbaikan kinerja sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka PNS yang bersangkutan harus mengikuti uji kompetensi kembali;

    3. berdasarkan uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada huruf b, PNS yang tidak memenuhi standar kompetensi jabatan dapat dipindahkan pada jabatan lain yang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki atau ditempatkan pada jabatan yang lebih rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    4. dalam hal tidak tersedia jabatan lain yang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki atau jabatan lebih rendah yang lowong sebagaimana dimaksud pada huruf c, PNS ditempatkan sementara pada jabatan tertentu dalam waktu paling lama 1 [satu] tahun; dan

    5. dalam hal setelah 1 [satu] tahun sebagaimana dimaksud pada huruf d, tidak tersedia lowongan jabatan sesuai dengan kompetensinya, PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat.

  5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat [4] berlaku sejak peraturan pelaksanaan dari peraturan pemerintah yang mengatur mengenai penilaian kinerja PNS diundangkan.

Bagian Keduapuluhdua
Tata Cara Pemberhentian Karena Hal Lain

Paragraf 1Tata Cara Pemberhentian Karena Tidak Melaporkan DiriSetelah Selesai CutiDi Luar Tanggungan Negara atauPemberhentian Karena Setelah Selesai Menjalani Cutidi Luar Tanggungan NegaraDalam Waktu 1 [satu] Tahun

Tidak Dapat Disalurkan

Pasal 33

Tata cara pemberhentian dengan hormat PNS yang tidak melaporkan diri kembali kepada instansi induknya setelah selesai cuti di luar tanggungan negara atau PNS yang melaporkan diri tetapi tidak dapat disalurkan dalam waktu paling lama 1 [satu] tahun setelah selesai menjalankan cuti di luar tanggungan Negara, dilakukan sebagai berikut:

  1. Pemberhentian dengan hormat bagi PNS yang tidak melaporkan diri kembali kepada instansi induknya atau PNS yang melaporkan diri tetapi tidak dapat disalurkan dalam waktu paling lama 1 [satu] tahun setelah selesai menjalankan cuti di luar tanggungan Negara, diusulkan oleh:

    1. PPK kepada Presiden bagi PNS yang pada saat mengajukan cuti di luar tanggungan negara menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF ahli utama; atau

    2. PyB kepada PPK bagi PNS yang pada saat mengajukan cuti di luar tanggungan negara menduduki JPT pratama, JA, dan JF selain JF ahli utama.

  2. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberhentian dengan hormat sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada huruf a, dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada huruf b, ditetapkan paling lama 14 [empat belas] hari kerja, setelah usul pemberhentian secara lengkap diterima.

  4. Dalam hal PNS yang diberhentikan memenuhi syarat diberikan jaminan pensiun maka PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada huruf a menyampaikan usul pemberhentian PNS kepada Presiden atau PPK dengan tembusan kepada Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

  5. Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN atas dasar usul pemberhentian dari PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada huruf d, memberikan Pertimbangan Teknis Pensiun PNS dan janda/duda kepada Presiden atau PPK.

  6. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberian pensiun setelah mendapatkan pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

  7. Contoh pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN tentang pemberian pensiun PNS sebagaimana dimaksud pada huruf d, tercantum dalam Angka 24 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

Paragraf 2Tata Cara Pemberhentian Pemberhentian Karena

Menggunakan Ijazah Palsu

Pasal 3

Tata cara pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri bagi PNS yang menggunakan ijazah palsu dilakukan sebagai berikut:

  1. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri bagi PNS yang menggunakan ijazah palsu, diusulkan oleh:

    1. PPK kepada Presiden bagi PNS yang menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF ahli utama; atau

    2. PyB kepada PPK bagi PNS yang menduduki JPT pratama, JA, dan JF selain JF ahli utama.

  2. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada huruf a, dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada huruf b, ditetapkan paling lama 14 [empat belas] hari kerja, setelah usul pemberhentian secara lengkap diterima.

  4. Sebelum Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada huruf a, PPK melalui PyB mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang menentukan keaslian ijazah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat [6].

  5. Pejabat yang berwenang menentukan keaslian ijazah sebagimana dimaksud pada huruf d, melakukan penelitian dan pembuktian terhadap PNS yang diduga menggunakan ijazah palsu.

  6. Pejabat yang berwenang menentukan keaslian ijazah menyampaikan hasil penelitian dan pembuktian kepada PPK melalui PyB.

  7. Dalam hal berdasarkan hasil penelitian dan pembuktian sebagaimana dimaksud pada huruf e, PNS terbukti menggunakan ijazah palsu dalam pembinaan kepegawaian, maka kepada yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri terhitung akhir bulan sejak terbukti menggunakan ijazah palsu.

  8. Dalam hal berdasarkan hasil penelitian dan pembuktian sebagaimana dimaksud pada huruf e, PNS terbukti menggunakan ijazah palsu untuk melamar sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil, maka kepada yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS dan diberikan hak kepegawaian kecuali jaminan pensiun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terhitung akhir bulan sejak terbukti menggunakan ijazah palsu.

  9. Dalam hal PNS sebagaimana dimaksud pada huruf g, diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan mendapatkan jaminan pensiun, maka diatur sebagai berikut:

    1. Pangkat yang dipergunakan sebagai dasar penetapan pokok pensiun merupakan pangkat yang dimiliki sebelum menggunakan ijazah yang dinyatakan palsu untuk kenaikan pangkat;

    2. Masa kerja dihitung penuh sejak CPNS sampai diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS.

  10. Dalam hal PNS yang diberhentikan memenuhi syarat diberikan jaminan pensiun, maka PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada huruf a menyampaikan usul pemberhentian PNS kepada Presiden atau PPK dengan tembusan kepada Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

  11. Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN atas dasar usul pemberhentian dari PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada huruf j, memberikan Pertimbangan Teknis Pensiun PNS dan janda/duda kepada Presiden atau PPK.

  12. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberian pensiun setelah mendapatkan pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

  13. Contoh pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN tentang pemberian pensiun PNS sebagaimana dimaksud pada huruf l, tercantum dalam Angka 24 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

Paragraf 3Tata Cara Pemberhentian Karena Tidak Melaporkan Diri

Setelah Selesai Tugas Belajar

Pasal 34

Tata Cara Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri bagi PNS yang tidak melapor setelah selesai menjalankan tugas belajar dalam waktu yang ditentukan, sebagai berikut:

  1. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri bagi PNS yang tidak melapor setelah selesai menjalankan tugas belajar dalam waktu yang ditentukan, diusulkan oleh:

    1. PPK kepada Presiden bagi PNS yang sebelum menjalankan tugas belajar menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF ahli utama; atau

    2. PyB kepada PPK bagi PNS yang sebelum menjalankan tugas belajar menduduki JPT pratama, JA, dan JF selain JF ahli utama.

  2. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada huruf a, dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada huruf b, ditetapkan paling lama 14 [empat belas] hari kerja, setelah usul pemberhentian secara lengkap diterima.

  4. Dalam hal PNS yang diberhentikan memenuhi syarat diberikan jaminan pensiun, maka PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada huruf a menyampaikan usul pemberhentian PNS kepada Presiden atau PPK dengan tembusan kepada Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

  5. Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN atas dasar usul pemberhentian dari PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada huruf d, memberikan Pertimbangan Teknis Pensiun PNS dan janda/duda kepada Presiden atau PPK.

  6. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberian pensiun setelah mendapatkan pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

  7. Contoh pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN tentang pemberian pensiun PNS sebagaimana dimaksud pada huruf f, tercantum dalam Angka 24 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

Paragraf 4Tata Cara Pemberhentian Karena MenolakUntuk Diangkat Kembali Dalam Jabatan

Pada Saat Menerima Uang Tunggu

Pasal 35

Tata cara pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS bagi PNS yang menerima uang tunggu dan menolak untuk diangkat kembali dalam Jabatan, dilakukan sebagai berikut:

  1. PNS yang menerima uang tunggu dan menolak untuk diangkat kembali dalam Jabatan, diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS pada akhir bulan yang bersangkutan menolak untuk diangkat kembali.

  2. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS bagi PNS yang menolak untuk diangkat kembali dalam Jabatan, diusulkan oleh:

    1. PPK kepada Presiden bagi PNS yang menolak untuk diangkat kembali dalam Jabatan, yang sebelumnya menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF ahli utama; atau

    2. PyB kepada PPK bagi PNS yang menolak untuk diangkat kembali dalam Jabatan, yang sebelumnya menduduki JPT pratama, JA, dan JF selain JF ahli utama.

  3. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberhentian dengan hormat sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada huruf a, dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  4. Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada huruf c, ditetapkan paling lama 14 [empat belas] hari kerja, setelah usul pemberhentian secara lengkap diterima.

  5. Dalam hal PNS yang diberhentikan memenuhi syarat diberikan jaminan pensiun, maka PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada huruf b menyampaikan usul pemberhentian PNS kepada Presiden atau PPK dengan tembusan kepada Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

  6. Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN atas dasar usul pemberhentian dari PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada huruf e, memberikan Pertimbangan Teknis Pensiun PNS dan janda/duda kepada Presiden atau PPK.

  7. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberian pensiun setelah mendapatkan pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

  8. Contoh pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN tentang pemberian pensiun PNS sebagaimana dimaksud pada huruf g, tercantum dalam Angka 24 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

Paragraf 5Tata Cara Pemberhentian Karena Tidak Menjabat Lagi

Sebagai komisioner atau anggota Lembaga nonstruktural

Pasal 36

Tata cara pemberhentian dengan hormat sebagai PNS bagi PNS yang tidak menjabat lagi sebagai komisioner atau anggota Lembaga nonstruktural, dilakukan sebagai berikut:

  1. Pemberhentian dengan hormat sebagai PNS bagi PNS yang tidak menjabat lagi sebagai komisioner atau anggota Lembaga nonstruktural, diusulkan oleh:

    1. PPK kepada Presiden bagi PNS yang sebelumnya menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF ahli utama; atau

    2. PyB kepada PPK bagi PNS yang sebelumnya menduduki JPT pratama, JA, dan JF selain JF ahli utama.

  2. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberhentian dengan hormat sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada huruf a, dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada huruf b, ditetapkan paling lama 14 [empat belas] hari kerja, setelah usul pemberhentian secara lengkap diterima.

  4. Dalam hal PNS yang diberhentikan memenuhi syarat diberikan jaminan pensiun, maka PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada huruf a menyampaikan usul pemberhentian PNS kepada Presiden atau PPK dengan tembusan kepada Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

  5. Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN atas dasar usul pemberhentian dari PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada huruf d, memberikan Pertimbangan Teknis Pensiun PNS dan janda/duda kepada Presiden atau PPK.

  6. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberian pensiun setelah mendapatkan pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

  7. Contoh pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN tentang pemberian pensiun PNS sebagaimana dimaksud pada huruf f, tercantum dalam Angka 24 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

Tata cara pemberhentian dengan hormat bagi PNS yang tidak dapat memperbaiki kinerja, telah mengikuti uji kompetensi, dan setelah ditempatkan pada jabatan tertentu selama 1 [satu] tahun tetap tidak tersedia lowongan jabatan yang sesuai dengan kompetensinya, dilakukan sebagai berikut:

  1. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri bagi PNS yang PNS yang tidak dapat memperbaiki kinerja, telah mengikuti uji kompetensi, dan setelah ditempatkan pada jabatan tertentu selama 1 [satu] tahun tetap tidak tersedia lowongan jabatan yang sesuai dengan kompetensinya, diusulkan oleh:

    1. PPK kepada Presiden bagi PNS menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF ahli utama; atau

    2. PyB kepada PPK bagi PNS menduduki JPT pratama, JA, dan JF selain JF ahli utama.

  2. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada huruf a, dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada huruf b, ditetapkan paling lama 14 [empat belas] hari kerja, setelah usul pemberhentian secara lengkap diterima.

  4. Dalam hal PNS yang diberhentikan memenuhi syarat diberikan jaminan pensiun, maka PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada huruf a menyampaikan usul pemberhentian PNS kepada Presiden atau PPK dengan tembusan kepada Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

  5. Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN atas dasar usul pemberhentian dari PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada huruf d, memberikan Pertimbangan Teknis Pensiun PNS dan janda/duda kepada Presiden atau PPK.

  6. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberian pensiun setelah mendapatkan pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

  7. Contoh pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN tentang pemberian pensiun PNS sebagaimana dimaksud pada huruf f, tercantum dalam Angka 24 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

BAB IVPEMBERHENTIAN SEMENTARA DAN

PENGAKTIFAN KEMBALI

Bagian Kesatu
Pemberhentian Sementara

Pasal 38

PNS diberhentikan sementara, apabila:

  1. diangkat menjadi pejabat negara;

  2. diangkat menjadi komisioner atau anggota lembaga nonstruktural; atau

  3. ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana.

Paragraf 1PNS Yang Diangkat Menjadi Pejabat Negara, Komisioner, atau

Anggota Lembaga Nonstruktural.

Pasal 39

  1. PNS diberhentikan sementara sebagai PNS apabila diangkat menjadi pejabat negara sebagai berikut:

    1. ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi;

    2. ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;

    3. ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;

    4. ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

    5. menteri dan jabatan setingkat menteri;

    6. kepala perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; dan

    7. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.

  2. Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh yang berasal dari JF Diplomat dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1.

  3. PNS yang diangkat menjadi komisioner atau anggota lembaga nonstruktural diberhentikan sementara sebagai PNS.

  4. Pemberhentian sementara bagi PNS yang diangkat menjadi pejabat negara, komisioner, atau anggota lembaga nonstruktural berlaku sejak yang bersangkutan dilantik dan berakhir pada saat selesainya masa tugas sebagai pejabat negara, komisioner, atau anggota lembaga nonstruktural.

  5. PNS yang telah selesai masa tugas sebagai pejabat negara, komisioner, atau anggota lembaga nonstruktural melapor kepada PPK paling lama 1 [satu] bulan sejak selesainya masa tugas.

  6. PNS yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat [3], tidak diberikan penghasilan sebagai PNS.

  7. Tidak diberikan penghasilan sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [6], terhitung mulai bulan berikutnya sejak dilantik sebagai pejabat negara, komisioner, atau anggota lembaga nonstruktural.

  8. Masa kerja selama melaksanakan tugas sebagai pejabat negara, komisioner, atau anggota lembaga nonstruktural tidak diperhitungkan sebagai masa kerja PNS.

Paragraf 2
PNS Yang Ditahan Menjadi Tersangka Tindak Pidana

Pasal 40

  1. Pemberhentian sementara bagi PNS yang ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana berlaku sejak PNS ditahan.

  2. Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat [1], dibuktikan dengan surat perintah penahanan dari pejabat yang berwenang.

  3. Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat [1], termasuk penahanan yang harus dijalani pada rumah tahanan, penahanan yang tidak harus dijalani pada rumah tahanan [tahanan rumah atau tahanan kota], maupun penangguhan penahanan dari pengadilan.

  4. PNS yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat [1], tidak diberikan penghasilan.

  5. PNS yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat [1], diberikan uang pemberhentian sementara.

  6. Uang pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat [5], diberikan sebesar 50% [lima puluh persen] dari penghasilan jabatan terakhir sebagai PNS sebelum diberhentikan sementara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

  7. Penghasilan jabatan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat [6], terdiri dari gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan pangan dan tunjangan kemahalan umum apabila ada sampai dengan ditetapkannya peraturan pemerintah yang mengatur gaji, tunjangan dan fasilitas PNS berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

  8. Uang pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat [5], diberikan pada bulan berikutnya sejak ditetapkannya pemberhentian sementara.

  9. Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat [1], berlaku sejak dikenakan penahanan sampai dengan:

    1. dibebaskannya tersangka dengan surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan oleh pejabat yang berwenang; atau

    2. ditetapkannya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

  10. Dalam hal PNS yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat [1], ditetapkan bersalah berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap maka masa selama menjalani pidana penjara tidak dihitung sebagai masa kerja PNS dan tidak menerima hak kepegawaiannya sebagai PNS.

  11. PNS yang dibebaskan sebagai tersangka dengan surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, melapor kepada PPK paling lama 1 [satu] bulan, sejak keluarnya surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan atau sejak dinyatakan tidak bersalah berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

  12. PNS yang dikenakan pemberhentian sementara pada saat mencapai Batas Usia Pensiun:

    1. apabila belum ada surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan atau belum ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, diberikan penghasilan sebesar 75% [tujuh puluh lima persen] dari jaminan pensiun;

    2. apabila sudah ada surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dibebaskan sebagai tersangka atau berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan tidak bersalah, diberhentikan dengan hormat sebagai PNS dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan memperhitungkan uang pemberhentian sementara yang sudah diterima, terhitung sejak akhir bulan dicapainya Batas Usia Pensiun sebagai berikut:

      1. dengan memperhitungkan kekurangan 50% dari penghasilan jabatan yang tidak dibayarkan selama menjalani pemberhentian sementara sampai dengan yang bersangkutan mencapai Batas Usia Pensiun;

      2. memperhitungkan kekurangan penghasilan sebesar 25% dari jaminan pensiun sejak akhir bulan dicapainya batas usia pensiun sampai dengan adanya surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dibebaskan sebagai tersangka atau adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan

      3. hak atas pensiun secara penuh dibayarkan mulai bulan berikutnya sejak adanya surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dibebaskan sebagai tersangka atau adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

    3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf b, berlaku sampai dengan ditetapkannya peraturan pemerintah yang mengatur mengenai pengelolaan program jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS.

    4. apabila berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 [dua] tahun dan tidak berencana, dengan pidana penjara kurang dari 2 [dua] tahun dan tidak berencana; atau dengan pidana penjara kurang dari 2 [dua] tahun dan berencana, diberhentikan dengan hormat sebagai PNS atau diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan ketentuan sebagai berikut:

      1. tidak memperhitungkan kekurangan 50% dari penghasilan jabatan yang tidak dibayarkan selama menjalani pemberhentian sementara sampai dengan yang bersangkutan mencapai Batas Usia Pensiun;

      2. memperhitungkan kekurangan penghasilan sebesar 25% dari jaminan pensiun sejak akhir bulan dicapainya batas usia pensiun sampai dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

      3. hak atas pensiun secara penuh dibayarkan mulai bulan berikutnya sejak putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

      4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf d angka 1], sampai dengan angka 3], berlaku sampai dengan ditetapkannya peraturan pemerintah yang mengatur mengenai pengelolaan program jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS;

      5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf d angka 2], sampai dengan 4], dikecualikan bagi PNS yang tidak berhak mendapatkan jaminan pensiun.

    5. apabila berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 [dua] tahun dan berencana atau karena melakukan tindak pidana kejahatan Jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan Jabatan, diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, terhitung sejak akhir bulan yang bersangkutan mencapai Batas Usia Pensiun dan tidak mengembalikan penghasilan yang telah dibayarkan.

  13. Dalam hal PNS yang dikenakan pemberhentian sementara sebelumnya menduduki JPT, JF Ahli Madya, atau JF Ahli Utama berusia 58 tahun atau lebih, maka sejak yang bersangkutan diberhentikan sementara karena ditahan sesuai dengan surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang tidak lagi menduduki JPT, JF Ahli Madya, atau JF Ahli Utama.

  14. PNS yang dikenakan pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat [12], batas usia pensiunnya yaitu akhir bulan sejak diberhentikan sementara.

  15. PNS yang dikenakan pemberhentian sementara yang berusia 58 tahun atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat [13]:

    1. apabila belum ada surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan atau belum ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, diberikan penghasilan sebesar 75% [tujuh puluh lima persen] dari jaminan pensiun.

    2. apabila sudah ada surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dibebaskan sebagai tersangka atau berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan tidak bersalah, diberhentikan dengan hormat sebagai PNS dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

      1. dengan memperhitungkan kekurangan penghasilan sebesar 25% [dua puluh lima persen] dari jaminan pensiun sejak akhir bulan yang bersangkutan diberhentikan sementara sampai dengan adanya surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dibebaskan sebagai tersangka atau adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan

      2. hak atas pensiun secara penuh dibayarkan mulai bulan berikutnya sejak adanya surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dibebaskan sebagai tersangka atau adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

    3. Apabila berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 [dua] tahun dan tidak berencana, dengan pidana penjara kurang dari 2 [dua] tahun dan tidak berencana, atau dengan pidana penjara kurang dari 2 [dua] tahun dan berencana, diberhentikan dengan hormat sebagai PNS atau diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    4. Hak kepegawaian sebagaimana dimaksud pada huruf c diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:

      1. memperhitungkan kekurangan penghasilan sebesar 25% [dua puluh lima persen] dari jaminan pensiun sejak akhir bulan dicapainya batas usia pensiun sampai dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan

      2. hak atas pensiun secara penuh dibayarkan mulai bulan berikutnya sejak putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

      3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf d angka 1 dan angka 2, berlaku sampai dengan ditetapkannya peraturan pemerintah yang mengatur mengenai pengelolaan program jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS.

    5. Apabila berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan bersalah karena, melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 [dua] tahun dan berencana atau karena melakukan tindak pidana kejahatan Jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan Jabatan, diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, terhitung sejak akhir bulan yang bersangkutan mencapai Batas Usia Pensiun dan tidak mengembalikan penghasilan yang telah dibayarkan.

  16. Pemberian penghasilan sebesar 75% [tujuh puluh lima persen] dari jaminan pensiun diajukan kepada pengelola program jaminan pensiun PNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  17. Pengajuan kepada pengelola program sebagaimana dimaksud pada ayat [16] disampaikan oleh PPK atau pejabat lain yang ditunjuk paling lambat 1 [satu] bulan sebelum PNS yang dikenakan pemberhentian sementara mencapai Batas Usia Pensiun.

  18. Penyampaian oleh PPK atau pejabat lain sebagaimana dimaksud pada ayat [17], paling kurang memuat:

    1. Surat pengantar pengalihan pemberian uang pemberhentian sementara menjadi penghasilan sebesar 75% [tujuh puluh lima persen] dari jaminan pensiun; dan

    2. Salinan Keputusan pemberhentian sementara sebagai PNS yang bersangkutan.

  19. PNS yang diberhentikan sementara sebagai PNS, diberhentikan dari jabatannya baik jabatan administrasi, JPT, maupun jabatan fungsional.

Paragraf 3
Tata Cara Pemberhentian Sementara

Pasal 41

  1. Pemberhentian sementara PNS diusulkan oleh:

    1. PPK kepada Presiden bagi PNS yang menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF ahli utama; atau

    2. PyB kepada PPK bagi PNS yang menduduki JPT pratama, JA, dan JF selain JF ahli utama.

  2. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberhentian sementara sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [1], dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Keputusan pemberhentian sementara sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [2] yang diangkat menjadi pejabat negara, komisioner, atau anggota Lembaga non struktural, disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam angka 25 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

  4. Keputusan pemberhentian sementara sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [2] yang ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana, disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam angka 26 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

  5. Keputusan pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat [2] ditetapkan paling lama 14 [empat belas] hari kerja, setelah usul pemberhentian secara lengkap diterima.

Bagian Kedua
Pengaktifan Kembali

Pasal 42

  1. Pengaktifan kembali PNS yang telah selesai menjadi pejabat negara, komisioner, atau anggota lembaga nonstruktural:

    1. PNS yang telah selesai menjadi pejabat negara, komisioner, atau anggota lembaga nonstruktural diaktifkan kembali sebagai PNS pada jabatan apabila tersedia lowongan jabatan.

    2. PNS yang diaktifkan kembali sebagaimana dimaksud pada huruf a, diberikan penghasilan yang dibayarkan sejak diangkat dalam Jabatan.

  2. Pengaktifan kembali sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [1], ditetapkan oleh Presiden atau PPK setelah mendapatkan pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

Paragraf 1Pengaktifan Kembali PNS yang Menjadi Tersangka

atau Terdakwa Tindak Pidana

Pasal 43

  1. Dalam hal PNS yang menjadi:

    1. tersangka tindak pidana ditahan pada tingkat penyidikan, dan menurut Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bersangkutan dihentikan dugaan tindak pidananya;

    2. tersangka tindak pidana ditahan pada tingkat penuntutan, dan menurut Jaksa yang bersangkutan dihentikan penuntutannya;

    3. terdakwa tindak pidana ditahan pada tingkat pemeriksaan, dan menurut putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dinyatakan tidak bersalah atau dilepaskan dari segala tuntutan; atau

    4. terdakwa tindak pidana ditahan pada tingkat pemeriksaan, dan menurut putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dinyatakan bersalah dengan pidana penjara kurang dari 2 [dua] tahun karena melakukan tindak pidana dengan tidak berencana,

    maka yang bersangkutan diaktifkan kembali sebagai PNS.

  2. PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [1], diaktifkan kembali sebagai PNS pada jabatan apabila tersedia lowongan jabatan.

  3. Dalam hal PNS yang menjadi terdakwa tindak pidana ditahan pada tingkat pemeriksaan, dan menurut putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dinyatakan bersalah dengan pidana penjara 2 [dua] tahun atau lebih karena melakukan tindak pidana dengan tidak berencana, apabila:

    1. perbuatannya tidak menurunkan harkat dan martabat dari PNS;

    2. mempunyai prestasi kerja yang baik;

    3. tidak mempengaruhi lingkungan kerja setelah diaktifkan kembali; dan

    4. tersedia lowongan Jabatan,

    maka yang bersangkutan diaktifkan kembali sebagai PNS.

  4. Pengaktifan kembali sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [1] dan ayat [3], ditetapkan oleh Presiden atau PPK setelah mendapatkan pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

  5. PNS yang diaktifkan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat [1], dan ayat [3], diberikan penghasilan yang dibayarkan sejak diangkat dalam jabatan.

  6. Pengisian lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat [2], dan ayat [3], dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  7. PNS yang diaktifkan kembali statusnya menjadi PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf a, huruf b, dan huruf c pembayaran penghasilannya diberikan sebagai berikut:

    1. bagi PNS yang menjadi tersangka tindak pidana ditahan pada tingkat penyidikan, dan menurut Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bersangkutan dihentikan dugaan tindak pidananya, kekurangan bagian penghasilan yang tidak diterima selama yang bersangkutan diberhentikan sementara dibayarkan kembali dengan memperhitungkan uang pemberhentian sementara yang sudah diterima;

    2. bagi PNS tersangka tindak pidana ditahan pada tingkat penuntutan, dan menurut Jaksa yang bersangkutan dihentikan penuntutannya, kekurangan bagian penghasilan yang tidak diterima selama yang bersangkutan diberhentikan sementara dibayarkan kembali dengan memperhitungkan uang pemberhentian sementara yang sudah diterima; atau

    3. bagi PNS yang dinyatakan tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kekurangan bagian penghasilan yang tidak diterima selama yang bersangkutan diberhentikan sementara dibayarkan kembali dengan memperhitungkan uang pemberhentian sementara yang sudah diterima.

  8. Dalam hal PNS yang diaktifkan kembali statusnya menjadi PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf d, ayat [3], atau PNS yang dijatuhi pidana percobaan, berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka kekurangan bagian penghasilan yang tidak diterima selama yang bersangkutan diberhentikan sementara tidak dibayarkan.

Paragraf 2
Tata Cara Pengaktifan Kembali

Pasal 44

  1. Tata Cara Pengaktifan Kembali PNS yang telah selesai menjadi pejabat negara, komisioner, atau anggota lembaga nonstruktural, atau PNS yang dibebaskan dengan surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan tidak bersalah oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dilaksanakan sebagai berikut:

    1. PNS yang telah selesai menjadi pejabat negara, komisioner, atau anggota lembaga nonstruktural, atau PNS yang dibebaskan dengan surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan oleh pejabat yang berwenang atau PNS yang dinyatakan tidak bersalah oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, mengajukan pengaktifan kembali sebagai PNS kepada PPK melalui PyB paling lama 30 [tiga puluh] hari kalender terhitung setelah yang bersangkutan diberhentikan sebagai pejabat negara, komisioner, atau anggota lembaga nonstruktural, dibebaskan dengan surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan oleh pejabat yang berwenang, atau dinyatakan tidak bersalah oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

    2. Dalam hal pengajuan pengaktifan kembali sebagaimana dimaksud pada huruf a, dilakukan oleh PNS yang dibebaskan dengan surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan tidak bersalah oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka pengajuan pengaktifan kembali sebagai PNS harus melampirkan surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan dari pejabat yang berwenang atau putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

    3. Dalam hal tersedia lowongan jabatan maka PPK menetapkan keputusan pengaktifan kembali sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada huruf a, dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    4. Keputusan pengaktifan kembali sebagaimana dimaksud pada huruf c, ditetapkan paling lama 14 [empat belas] hari kerja setelah usul pengaktifan kembali secara lengkap diterima.

    5. Pengaktifan kembali sebagaimana dimaksud pada huruf d, berlaku sejak keputusan pengaktifan kembali ditetapkan.

    6. PPK menetapkan keputusan pengaktifan kembali sebagi PNS disertai hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  2. Tata Cara Pengaktifan Kembali PNS yang dijatuhi pidana percobaan dilaksanakan sebagai berikut:

    1. PNS yang dijatuhi pidana percobaan mengajukan pengaktifan kembali sebagai PNS kepada PPK melalui PyB paling lama 30 [tiga puluh] hari kalender terhitung sejak selesai menjalankan pidana percobaan.

    2. Dalam hal PNS yang bersangkutan tidak mengajukan pengaktifan kembali dalam jangka waktu 25 [dua puluh lima] hari kalender, PyB dapat memanggil PNS yang bersangkutan untuk mengajukan pengaktifan kembali.

    3. Apabila setelah dilakukan pemanggilan sebagaimana dimaksud pada huruf b, yang bersangkutan tetap tidak mengajukan pengaktifan sampai dengan lebih dari 30 [tiga puluh] hari kalender, maka diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS dan diberikan hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    4. PPK menetapkan keputusan pengaktifan kembali sebagai PNS disertai hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    5. Keputusan pengaktifan kembali sebagaimana dimaksud pada huruf d, ditetapkan paling lama 14 [empat belas] hari kerja setelah usul pengaktifan kembali secara lengkap diterima.

    6. Pengaktifan kembali sebagaimana dimaksud pada huruf e, berlaku sejak keputusan pengaktifan kembali ditetapkan.

  3. Tata Cara Pengaktifan Kembali PNS yang telah selesai menjalankan pidana penjara kurang dari 2 [dua] tahun, 2 [dua] tahun atau lebih dan pidana yang dilakukan tidak berencana, dilaksanakan sebagai berikut:

    1. PNS yang telah selesai menjalankan pidana penjara kurang dari 2 [dua] tahun, 2 [dua] tahun atau lebih dan pidana yang dilakukan tidak berencana mengajukan pengaktifan kembali sebagai PNS kepada PPK melalui PyB paling lama 30 [tiga puluh] hari kalender terhitung sejak selesai menjalankan pidana penjara.

    2. Dalam hal PNS yang bersangkutan tidak mengajukan pengaktifan kembali dalam jangka waktu 25 [dua puluh lima] hari kalender, PyB dapat memanggil PNS yang bersangkutan untuk mengajukan pengaktifan kembali.

    3. Apabila setelah dilakukan pemanggilan sebagaimana dimaksud pada huruf b, yang bersangkutan tetap tidak mengajukan pengaktifan sampai dengan lebih dari 30 hari kalender, maka diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS dan diberikan hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    4. PPK menetapkan keputusan pengaktifan kembali sebagai PNS disertai hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    5. Keputusan pengaktifan kembali sebagaimana dimaksud pada huruf d, ditetapkan paling lama 14 [empat belas] hari kerja setelah usul pengaktifan kembali secara lengkap diterima.

    6. Pengaktifan kembali sebagaimana dimaksud pada huruf e, berlaku sejak keputusan pengaktifan kembali ditetapkan.

  4. Keputusan pengaktifan kembali sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [1], ayat [2], dan ayat [3], disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum pada Angka 14 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

BAB VKEWENANGAN PEMBERHENTIAN, PEMBERHENTIAN

SEMENTARA, DAN PENGAKTIFAN KEMBALI

Bagian Kesatu
Kewenangan Pemberhentian

Pasal 45

  1. Presiden menetapkan pemberhentian PNS di lingkungan Instansi Pusat dan PNS di lingkungan Instansi Daerah yang menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF ahli utama.

  2. Presiden dapat mendelegasikan kewenangan pemberhentian PNS selain yang menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF ahli utama kepada:

    1. menteri di kementerian;

    2. pimpinan lembaga di lembaga pemerintah non kementerian;

    3. sekretaris jenderal di sekretariat lembaga negara dan lembaga nonstruktural;

    4. gubernur di provinsi; dan

    5. bupati/walikota di kabupaten/kota.

  3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat [2] huruf a, termasuk:

    1. Jaksa Agung; dan

    2. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

  4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat [2] huruf b, termasuk:

    1. Kepala Badan Intelejen Negara; dan

    2. pejabat lain yang ditentukan oleh Presiden.

  5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat [2] huruf c, termasuk juga Sekretaris Mahkamah Agung.

  6. PPK Pusat menetapkan pemberhentian terhadap:

    1. calon PNS yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi PNS di lingkungannya; dan

    2. PNS yang menduduki:

      1. JPT pratama;

      2. JA;

      3. JF ahli madya, JF ahli muda, dan JF ahli pertama; dan

      4. JF penyelia, JF mahir, JF terampil, dan JF pemula.

  7. PPK Instansi Daerah provinsi menetapkan pemberhentian terhadap:

    1. calon PNS yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi PNS di lingkungannya; dan

    2. PNS yang menduduki

      1. JPT pratama;

      2. JA;

      3. JF ahli madya, JF ahli muda, dan JF ahli pertama; dan

      4. JF penyelia, JF mahir, JF terampil, dan JF pemula.

  8. PPK Instansi Daerah kabupaten/kota menetapkan pemberhentian terhadap:

    1. calon PNS yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi PNS di lingkungannya; dan

    2. PNS yang menduduki

      1. JPT pratama;

      2. JA;

      3. JF ahli madya, JF ahli muda, dan JF ahli pertama; dan

      4. JF penyelia, JF mahir, JF terampil, dan JF pemula.

  9. PPK sebagaimana dimaksud pada ayat [2] dapat mensubdelegasikan kewenangan pemberhentian PNS kepada pejabat lain yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Kewenangan Pemberhentian Sementara

Pasal 46

  1. Presiden menetapkan pemberhentian sementara PNS di lingkungan Instansi Pusat dan PNS di lingkungan Instansi Daerah yang menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF ahli utama.

  2. Presiden dapat mendelegasikan kewenangan pemberhentian sementara PNS kepada PPK instansi pusat dan PPK instansi daerah selain yang menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF ahli utama.

  3. PPK dapat mendelegasikan kewenangan pemberhentian sementara PNS kepada pejabat lain yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Kewenangan Pengaktifan Kembali

Pasal 47

  1. Presiden atau PPK menetapkan pengaktifan kembali PNS yang diberhentikan sementara di lingkungan Instansi Pusat dan PNS di lingkungan Instansi Daerah.

  2. PPK dapat mendelegasikan kewenangan pengaktifan kembali PNS yang diberhentikan sementara kepada pejabat lain yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VI
HAK KEPEGAWAIAN BAGI PNS YANG DIBERHENTIKAN

Pasal 48

  1. PNS yang diberhentikan dengan hormat, diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri, dan diberhentikan tidak dengan hormat diberikan hak kepegawaian.

  2. Hak kepegawaian sebagaimana dimaksud pada ayat [1], antara lain tabungan perumahan, jaminan pensiun, jaminan hari tua, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Hak kepegawaian yang diberikan bagi PNS yang diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat [1] antara lain berupa tabungan perumahan, jaminan pensiun, jaminan hari tua sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

  4. Hak kepegawaian yang diberikan bagi PNS yang diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat [1] antara lain berupa tabungan perumahan dan jaminan hari tua sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  5. Bagi PNS yang diberhentikan karena:

    1. Atas permintaan sendiri;

    2. Mencapai batas usia pensiun;

    3. Perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah;

    4. Tidak cakap jasmani dan/atau rohani;

    5. Meninggal dunia, tewas, atau hilang;

    6. Pemberhentian karena melakukan tindak pidana/penyelewengan;

    7. Pelanggaran disiplin;

    8. Mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi presiden dan wakil presiden, ketua, wakil ketua, dan anggota dewan perwakilan rakyat, ketua, wakil ketua, dan anggota dewan perwakilan daerah, gubernur dan wakil gubernur, atau bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota;

    9. Menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik;

    10. Tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara;

    11. Tidak melapor setelah selesai menjalankan cuti di luar tanggungan negara;

    12. PNS yang setelah selesai menjalani cuti di luar tanggungan negara dalam waktu 1 [satu] tahun tidak dapat disalurkan;

    13. Terbukti Menggunakan Ijazah Palsu;

    14. Tidak Melapor Setelah Selesai Menjalankan Tugas Belajar;

    15. PNS Yang Menerima Uang Tunggu Tetapi Menolak Untuk Diangkat Kembali Dalam Jabatan;

    16. Pemberhentian Karena Tidak Menjabat Lagi Sebagai komisioner atau anggota Lembaga nonstruktural; dan

    17. PNS yang tidak dapat memperbaiki kinerja, telah mengikuti uji kompetensi, dan setelah ditempatkan pada jabatan tertentu selama 1 [satu] tahun tetap tidak tersedia lowongan jabatan yang sesuai dengan kompetensinya,

    baik diberhentikan dengan hormat maupun tidak dengan hormat sebagai PNS, apabila tidak memenuhi syarat diberikan jaminan pensiun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Presiden atau PPK dalam menetapkan keputusan pemberhentian yang bersangkutan selain tidak berdasarkan pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN juga hanya berdasarkan data yang ada pada Sistem Aplikasi Pelayanan Kepegawaian [SAPK] atau sistem informasi kepegawaian lainnya yang ditentukan BKN.

BAB VII
UANG TUNGGU DAN UANG PENGABDIAN

Bagian Kesatu
Uang Tunggu

Pasal 49

  1. Uang tunggu diberikan setiap tahun untuk paling lama 5 [lima] tahun.

  2. Uang tunggu sebagaimana dimaksud pada ayat [1], diberikan dengan ketentuan:

    1. 100% [seratus persen] dari gaji, untuk tahun pertama; dan

    2. 80% [delapan puluh persen] dari gaji untuk tahun selanjutnya.

  3. Besarnya uang tunggu sebagaimana dimaksud pada ayat [1], tidak boleh kurang dari gaji terendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  4. Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat [2], dan ayat [3], terdiri atas gaji pokok, tunjangan keluarga, dan tunjangan pangan apabila ada sampai dengan ditetapkannya peraturan pemerintah yang mengatur gaji, tunjangan dan fasilitas PNS.

  5. Uang tunggu diberikan mulai bulan berikutnya terhitung sejak tanggal PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat dari Jabatannya.

  6. PNS yang menerima uang tunggu wajib melaporkan diri kepada PPK melalui PyB paling lambat 1 [satu] bulan sebelum berakhirnya pemberian uang tunggu.

  7. PNS yang menerima uang tunggu, dapat diangkat kembali dalam Jabatan apabila ada lowongan.

  8. Masa selama PNS menerima uang tunggu dihitung sebagai masa kerja pensiun.

  9. Pengangkatan kembali dalam Jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat [6], dilakukan apabila PNS tersebut memenuhi persyaratan Jabatan yang lowong dan dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  10. PNS yang menerima uang tunggu yang menolak untuk diangkat kembali dalam Jabatan, diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS pada akhir bulan yang bersangkutan menolak untuk diangkat kembali.

  11. PNS yang menerima uang tunggu dan diangkat kembali dalam Jabatan, dicabut pemberian uang tunggunya terhitung sejak pengangkatannya, dan yang bersangkutan menerima penghasilan penuh sebagai PNS.

  12. Pemberian dan pencabutan uang tunggu ditetapkan oleh PPK.

  13. Keputusan Pemberian Uang Tunggu, disusun sesuai dengan format sebagaimana tersebut pada Angka 27 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

Bagian Kedua
Uang Pengabdian

Pasal 50

  1. PNS yang tidak dapat disalurkan pada Instansi Pemerintah lain karena perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah diberikan uang tunggu.

  2. PNS sebagaimana dimaksud pada ayat [1], pada saat masa uang tunggu berakhir, yang bersangkutan sudah berusia 50 [lima puluh] tahun dan memiliki masa kerja pensiun kurang dari 10 [sepuluh] tahun diberhentikan dengan hormat dan diberi uang pengabdian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Besar uang pengabdian sebagaimana dimaksud pada ayat [2], adalah 6 [enam] kali masa kerja kali gaji terakhir yang diterima.

  4. Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat [3] terdiri atas gaji pokok, tunjangan keluarga, dan tunjangan pangan apabila ada sampai dengan ditetapkannya peraturan pemerintah yang mengatur gaji, tunjangan dan fasilitas PNS.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 51

Pada saat Peraturan Badan ini mulai berlaku Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 04/SE/1980 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 52

Peraturan Badan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Badan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Demikianlah isi Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 3 tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang ditetapkan oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara RI BIma Aria Wibisana pada tanggal 6 Maret 2020 di Jakarta. Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 3 tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil diundangkan Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham Widodo Ekatjahjana di Jakarta pada tanggal 8 April 2020.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề